“Tugas Seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa lepas dari arus masyarakat yang kacau, tapi mereka tidak bisa lepas dari fungsi sosialnya, yakni bertindak jika keadaan mulai mendesak. Kaum intelelektual yang diam disaat keadaan mulai mendesak, telah melunturkan nilai kemanusiaaan”
SEBAIT kalimat di atas yang diucapkan oleh Soe Hok Gie, aktivis gerakan mahasiswa 1960-an, haruslah menjadi renungan bagi mahasiwa kekinian. Di dalam dimensi sosial saat ini, dengan penetrasi budaya konsumeris lintas dunia yang dibawa oleh arus pasang globalisasi, telah membuat mahasiwa sekarang cenderung tidak peduli dengan keadaan sosial yang ada di sekitarnya. Sikap hidup atau gaya hidup hura-hura pun telah mengakar pada tiap-tiap kehidupan remaja dan telah cenderung membudaya..
Gaya hidup hedonis ini juga telah merambah ke dalam ruang-ruang kampus, baik negeri maupun swasta. Mahasiswa lupa menyadari perannya sebagai agen perubahan sosial. Tidak ada lagi keinginan untuk ‘blusukan’, berempati atau bahkan berkolaborasi mencipta sebuah gerakan bersama masyarakat. Kita seolah ingin mempertegas status kita sebagai middle class elite, sebuah kelas yang, kata Karl Marx, dipandang serupa dengan elite borjuis. Kita memang sudah benar-benar tinggal di menara gading, hingga suara-suara masyarakat yang tertindas oleh sistem hanya terdengar sayup-sayup sampai.
Realitas kekinian menunjukkan bahwa mahasiswa terjebak pada obsesi untuk mengejar indeks prestasi kumulatif (IPK). IPK tinggi dan selesai tepat waktu menjadi hal wajib yang harus dikejar selama proses perkuliahan. Beragam cara pun ditempuh demi mencapai cita-cita mulia tersebut, termasuk melalui jalan yang tidak mulia, sebut saja ‘menyontek’. Menyontek adalah cara paling instan untuk meningkatkan IPK tersebut, karena slogan ‘jujur itu hebat’ á la Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bukan barang dagangan yang laku di bangku kuliah. Jujur biasanya lekat dengan ketertinggalan.
Hal itu diperparah dengan kondisi perguruan tinggi sekarang yang telah menjadi ‘Pabrik-pabrik’ yang memproduksi mahasiswa sebagai komoditi layak jual. Karena pada dasarnya ‘Pasar’ sedang menanti lulusan-lulusan yang terbaik. Tentu saja pasar memiliki mekanismenya sendiri untuk menentukan mana yang memiliki daya jual yang tinggi. Pabrik pun sebagai perpanjangtanganan Pasar, berusaha mencetak komoditi yang sempurna tanpa cacat. Alhasil, untuk menjamin barang tercetak tanpa cacat harus ada kriteria yang mengiringinya. IPK tinggi dan cepat tamat menjadi kriteria utama untuk menentukan kualitas barang tersebut. Miris memang, namun seperti inilah realitasnya.
Kita pun semakin terobesesi untuk menuruti ‘hawa nafu‘ Pasar. Segala cara dilakukan untuk mendapat predikat komodi berkualitas. Hingga kita melupakan peran-peran besar kita yang pernah direkam sejarah sebelumnya, dan sebenarnya kita pun secara latah menerobos norma-noram intelektualitas. Menyontek, memplagiat, menyuap dosen, membeli nilai adalah konsumsi umum mahasiswa sekarang. Kita sudah memunafikkan peranan besar kita demi mengejar hal-hal seperti itu. Kita telah menjadi budak Pasar seutuhnya. Tidak perlulah kita merasa shock melihat jumlah penyakit kera putih semakin meningkat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi fenomena yang lumrah dikonsumsi masyarakat. Pelakunya bukan meraka yang tidak berpendidikan, melainkan mereka yang akrab dengan bangku perkuliahan. Kaum intelektual! Mereka yang pernah kuliah.
Tidak hanya lemah integritas dan dedikasi keilmuannya, kaum intelektual sekarang juga cenderung ‘berselingkuh’. Rakyat yang harusnya menjadi kawan sejati dalam berjuang melawan penindasan baru (contohnya: kapitalisme, neoliberalisme) justru dibuang dan dikhianati. Lihatlah bagaimana para cendekiawan, yang dulu sekolahnya disubsidi oleh keringat rakyat, justru kini memihak kebijakan privatisasi dan penghapusan subsidi bagi rakyat miskin. Mereka sibuk mencari argumen untuk pembenaran terhadap proses penyingkiran rakyat. Para ekonom dan sosiolog menjadi juru bicara yang fasih paham neoliberal dan mendesakkan kebijakan kepada pemerintah yang berakibat pada semakin tersudutnya msyarakat yang miskin. Begitu juga dengan praktisi-praktisi hukum yang seharusnya menjadi penegak keadilan malah memutarbalikan hukum untuk kepentingan-kepentingan penguasa. Hanya sedikit intelektual hukum yang memberikan pemahaman hukum pada masyarakat awam serta memberikan bantuan-bantuan hukum bagi masyarakat miskin yang kurang mampu.
Masih banyak fakta-fakta getir lainnya untuk menggambarkan maraknya kejahatan kaum intelektual. Jika mau kita runut, maka kita akan semakin sakit membacanya.
Pada akhirnya tulisan ini menjadi semacam refleksi untuk penulis yang masih bergumul di bangku kuliah, seorang kader organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Ada semacam kesakitan sendiri menyaksikan proses dehumanisasi atas status keintelektualitasan seorang mahasiswa. Namun, tentu tidak semua mahasiswa mengkhianati peran besarnya, masih ada segelintir mahasiswa intelektual organik yang mengerti apa yang harus dilakukan, setidaknya menjadi bermanfaat bagi masyarakat. Mereka yang segelintir itu paham bahwa suara-suara ketertindasan harus diperjuangkan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya, dan karenanya kolaborasi gerakan menjadi amat dirindukan.***
Penulis adalah mahasiswa Universitas Bengkulu, Sumatera