KALAU Anda kalah pemilu namun tidak merasa kalah, apa yang harus Anda lakukan? Untuk itu, Anda harus belajar dari Afghanistan. Mereka punya cerita menarik untuk menyelesaikan perselisihan penghitungan suara dalam pemilihan presiden.
Begini ceritanya.
Pada 5 April 2014, Afghanistan mengadakan pemilihan presiden. Ini kali ketiga dalam sejarah peradaban mereka memilih presiden. Hamid Karzai, presiden sebelumnya, tidak boleh lagi mencalonkan diri. Seperti Yudhoyono di tanah air, dia sudah dua kali menjabat. Dia naik ke kekuasaan tahun 2001, ketika rejim Taliban digulingkan Amerika. Kemudian lewat International Conference on Afghanistan di Jerman, yang diadakan dengan sponsor Amerika dan negara-negara Barat, dia diangkat menjadi kepala pemerintahan sementara. Tahun 2002, Loya Jirga (Dewan Agung) Afghanistan mengangkatnya jadi presiden. Ketika pilpres tahun 2004, Karzai sukses mengamankan kekuasaannya menjadi presiden (dengan dukungan Amerika tentu saja). Lima tahun kemudian, dia terpilih kembali. Tentu, masih dengan dukungan Amerika.
Dalam pemilihan pendahuluan (pada tanggal 5 April itu) menghasilkan dua kandidat peraih suara terbanyak, yaitu Ashraf Ghani dan Abdullah Abdullah. Yang pertama adalah bekas ambtenaar di Bank Dunia dan menteri keuangan di bawah pemerintahan Karzai. Sedangkan Abdullah Abdullah adalah bekas menteri luar negeri (2001-05). Dia adalah penasehat pemimpin Aliansi Utara (Northern Alliance) Ahmad Shah Massoud, yang membantu Amerika mengalahkan Taliban pada 2001. Abdullah telah lama menjadi penantang Karzai. Tahun 2009, dia menjadi calon presiden namun kalah oleh Karzai. Ini kekalahan pahit untuk Abdullah, karena dia menduga Karzai melakukan kecurangan secara ‘terstruktur, sistematis, dan masif.’ Oleh karena itu, Abdullah tidak mau melakukan pemilihan tahap kedua.
Dalam pemilu kali inipun sami mawon. Dalam pemilihan pertama, Ashraf Gani mendaat 31.5 persen dari suara dan Abdullah Abdullah mendapat 45 persen. Ada delapan kandidat maju dalam pemilihan ini. Pemilihan kedua dilangsungkan pad 14 Juni. Hasilnya diharapkan dapat diumumkan sebulan kemudian. Namun apa yang terjadi adalah saling tuduh. Kedua belah pihak mengatakan pihak sebelah melakukan kecurangan. Deadlock ini berakhir pada bulan September, ketika KPU Afghanistan mengumumkan Ashraf Ghani sebagai pemenang Pilpres.
Selesai? Belum. Karena demikian tajamnya tuduh menuduh, maka John Kerry, menteri luar negeri Amerika, membikin suatu perjanjian bagi-bagi kekuasaan (power sharing). Ghani menjadi presiden dan Abdullah menjadi Chief Excutive Officer (CEO) negara Afghanistan.
Eits, tunggu dulu. Ini bukan cerita yang ingin saya sampaikan. Bukan hasil power sharing ini yang ingin saya sampaikan. Ceritanya justru ada pada saat-saat deadlock itu. Apa yang terjadi ketika itu? Kedua belah pihak sama-sama pergi ke Washington, D.C., ibukota negara yang menjadi tuan mereka selama satu dekade lebih. Karena pemilihan di Afghanistan sangat tergantung dari pusaran angin di Washington, maka keduanya lantas membeli pengaruh di sana untuk mempengaruhi hasil penghitungan suara di negeri sendiri. Saya ulangi: membeli pengaruh di Washington untuk mempengaruhi hasil penghitungan suara di negeri sendiri.
Ashraf Gani pergi ke satu perusahan lobbying yang bernama Sanitas International. Menurut surat kabar The Christian Science Monitor, ia membayar $45,000 per bulan (sekitar Rp 550 juta dalam kurs sekarang), untuk ‘mendapatkan nasehat tingkat tinggi, hubungan dengan media dan menjangkau stakeholder (pemangku kepentigan) .. dan mengkomunikasikan kepentingan-kepentingan dan kebijakan terhadap media massa di Amerika dan negara-negara Barat serta membangun dukungan di kalangan pemirsa-pemirsa kunci di Amerika dan di negara-negara Barat.’[1]
Tidak cukup itu saja. Ashraf Ghani juga menyewa Roberti White LLC. Dia membayar $100,000 (sekitar Rp 1,2 miliyar) perbulan untuk konsultasi politik dan kehumasan, termasuk pengembangan strategi kampanye serta pelaksanaannya, perumusan isu-isu dan penyampaian pesan, konsultasi media, dan jasa-jasa lain yang diperlukan untuk mendukung aktivitas partai Ahsraf Ghani.
Yang menarik, lawannya Ghani, yakni Abdullah Abdullah, juga menyewa perusahaan yang sama untuk mempengaruhi hasil pemilihan di negerinya. Abdulah diketahui menyewa operator politik yang terkait Joe Ritchie, seorang manajer keuangan yang lama terlibat dalam politik Afghanistan. Nah, Ritchie ini yang kemudian terkait dengan Sanitas International, lembaga yang juga memberikan jasa konsultasi politik ke Ghani.
Mengapa saya cerita panjang lebar tentang hal ini?
Karena Sanitas Internasional juga berkaitan dengan politisi Indonesia, yakni Prabowo Subianto. Sama seperti saudaranya, Hashim Djojodhadikusumo,[2] Prabowo rupanya juga berupaya menaklukkan Washington D.C. yang memiliki pengaruh untuk menentukan politik Indonesia.
Dokumen yang didapat dari Foreign Agents Registration Act (FARA),[3] sebuah lembaga pemerintah federal Amerika, menunjukkan bahwa Prabowo Subianto sudah mengadakan persetujuan sementara dengan Sanitas International, lembaga yang menjadi konsultan politik Ashraf Ghani dan Abdullah Abdullah. Dokumen yang bertanggal 7 Juli 2014 (dua hari sebelum hari pemungutan suara!) menyebutkan bahwa Sanitas International akan ‘membimbing tim kampanye Prabowo dalam menjangkau media AS dan media internasional.’
Dalam dokumen laporan Sanitas ke FARA, disebutkan juga orang yang menjadi penghubung dengan pihak Prabowo adalah Wibawanto Nugroho. Dia disebutkan sebagai ‘senior advisor to Prabowo Subianto.’ Siapakah penasehat senior Prabowo ini? Menurut penelusuran, dia adalah anak dari Laksamana (Purn.) Widodo Adi Sutjipto, Panglima TNI pertama dari Angkatan Laut yang diangkat oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Widodo juga Menteri Polhukam pada masa administrasi pemerintahan Presiden Yudhoyono yang pertama (2004-2009).
Wibawanto Nugroho memiliki segudang jabatan dan reputasi. Dia pernah menjabat sebagai Asisten Khusus/Analis Kebijakan Senior pada kantor Menkopolhukam,[4] Ketua Komisi I DPR, Kementerian Pertahanan, dan asisten riset/staf ahli pada Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dia juga pernah kuliah di Universitas Bradford (Inggris); The U.S. National Defense University, Fort McNair, Washington, D.C.; dan sekarang sedang melanjutkan sekolah PhD dalam bidang Public Policy di The George Mason University, Washington, D.C. Dia mendapat beasiswa Fullbright Presidential Scholar untuk melanjutkan studi di George Mason University. Saat ini dia menjabat sebagai Senior Fellow pada DIP Center (Democracy, Integrity and Peace) di Jakarta. Selain itu, dia adalah Komisaris pada Shefa Resources (sebuah perusahaan pertambangan), dan menjadi partner pada The Zoom Strategist, sebuah lembaga yang mengkhususkan diri pada ‘hubungan pemerintahan’.[5]
Yang terpenting, Wibawanto Nugroho adalah Ketua DPW Gerindra Amerika-Kanada. Melihat keahliannya dan kedudukannya di dalam Gerindra, tidaklah mengherankan jika Prabowo menjatuhkan pilihan pada Wibawanto untuk menjadi penghubung dengan Sanitas International.
Apa jasa yang akan diberikan oleh Sanitas kepada Prabowo? Dalam dokumen disebutkan bahwa mereka setuju untuk ‘mulai melakukan pendekatan (outreach) kepada media-media Amerika dan media internasional dengan anggapan bahwa kontrak tertulis yang resmi akan ditetapkan kemudian.’ Juga dijelaskan dalam dokumen itu, ‘Sanitas akan memastikan tersedianya peluang-peluang media untuk (Prabowo) Subianto, termasuk media penyiaran dan sindikasi media cetak yang bersifat internasional.’ Dokumen ini ditandatangani oleh Christopher Harvin dari Sanitas International.
Dokumen ini memang belum merupakan kontrak. Akan tetapi sudah mengindikasikan bahwa tim kampanye Prabowo agaknya sudah melihat akan terjadi ‘stalemate’ (kebuntuan) dalam hasil pemilihan presiden. Dia merasa perlu untuk membentuk opini di … Amerika dan dunia internasional (baca: dunia Barat!).
Anda mungkin bertanya, lho kan pemilihannya di Indonesia? Mengapa membangun opini di Amerika dan dunia Barat? Ya karena mereka percaya bahwa resolusi atas kebuntuan pemilihan ini akan datang dari Amerika dan negara-negara Barat. Maka mereka merasa penting untuk mengelola opini di sana.
Kita tidak tahu berapa biaya untuk melakukan ini. Tapi kalau melihat pengalaman Ashraf Ghani, mungkin $45,000 per bulan (atau kurang lebih Rp 550 juta) adalah angka yang layak. Menurut kawan saya yang berprofesi sebagai lobbyist di Washington, tagihan akan semakin membengkak kalau Sanitas juga harus menyediakan ahli strategi media, tukang-tukang salon pencitraan, dan para tukang plintir (spin doctors). Tidak cukup $200,000 per bulan untuk bisa dapat paket lengkap ini. Banyak politisi dari negara-negara yang rata-rata rakyatnya berpenghasilan sekitar $1 per bulan, berani membayar harga segitu.
Langkah Prabowo ini seakan melengkapi langkah adiknya, Hashim Djojohadikusumo, yang telah terlebih dahulu melakukan lobbying di Washington. Seperti diketahui, pada tahun 2013 Hashim telah membelanjakan sebanyak $660 ribu untuk melakukan lobbying terhadap Congress Amerika serta beberapa lembaga pemerintah federal Amerika. Ternyata, pada tahun 2014 pun Hashim agaknya belum berhenti melakukan lobbying. Jika sebelumnya Hashim, lewat Yayasan Arsari Djojohadikusumo, melakukan lobbying memakai jasa William Mulllens LLC, kali ini dia melakukannya lewat Clark Hill PLC. Pelobi yang bekerja untuk Yayasan Arsari adalah Michael J. Ferrell, yang dahulu juga bekerja untuk Arsari di William Mullens.[6]
Nah, apa yang bisa disimpulkan dari transaksi jual beli pengaruh ini? Untuk saya sederhana sekali: belilah pengaruh hingga ke Washington. Giliran berkampanye, teriaklah: Awas pengaruh asing! Ah, politisi memang hidup dalam banyak alam. Kodok pun, yang hidup di dua dunia, tidak bisa mengalahkan mereka.***
———
[1] http://www.csmonitor.com/World/Security-Watch/Backchannels/2014/0814/In-Afghan-election-dispute-enter-the-DC-lobbyists
[2] Lihat laporan IndoPROGRESS, “Membeli Pengaruh di Washington: Menelusuri Peran Hashim Djojohadikusumo, “ https://indoprogress.com/2014/07/membeli-pengaruh-di-washington-menelusuri-peran-hashim-djojohadikusumo/
[3] www.fara.gov/docs/5963-Exhibit-AB-20140714-9.pdf
[4]Lihat: http://www.linkedin.com/pub/wibawanto-nugroho-widodo/1b/a22/126
[5] Perusahaan ini berbasis di Jakarta. Tampaknya kegiatan-kegiatan bisnis The Zoom Strategist ini lebih banyak berhubungan dengan usaha-usaha lobbying kepada pemerintah Indonesia. Lihat https://www.linkedin.com/company/the-zoom-strategist
[6] Kegaiatan lobbying yang dilaporkan terjadi pada Kwartal II (Q2) 2014. Tidak ada dana (atau mungkin belum) ada dana yang dibayarkan oleh pihak Arsari kepada Clark Hill PLC. Lihat: http://soprweb.senate.gov/index.cfm?event=getFilingDetails&filingID=2F6E2F5C-A226-4A54-8E65-B9268F16DC4D&filingTypeID=60