SUDAH sejak jaman Orde Baru, Indonesia memiliki hari nasional yang dirayakan dua hari berturut-turut, yakni 30 September dan 1 Oktober. Tanggal 30 September diperingati sebagai ‘Pengkhianatan Gerakan 30 September/PKI.’ Sementara tanggal 1 Oktober adalah hari ‘Kesaktian Pancasila.’ Kita tentu sudah tahu bagaimana ini terjadi. Tanggal 30 September, tujuh jenderal TNI-Angkatan Darat diculik dan dibunuh di sebuah tempat di pinggiran Jakarta yang bernama Lubang Buaya. Pelakunya adalah ‘Gerakan 30 September’ sebuah gerakan bersenjata yang isinya adalah perwira dan prajurit-prajurit TNI-Angkatan Darat juga.
Hari berikutnya dirayakan sebagai ‘Hari Kesaktian Pancasila.’ Dalam versi Orde Baru, tanggal 30 September adalah hari pengkhianatan Pancasila. Sehari sesudahnya, Pancasila ternyata tidak bisa dikhianati, dan dengan demikian, ia sakti adanya.
Dua hari ini adalah hari yang paling sentral dari ‘agama Orde Baru.’ Saya katakan agama karena dua hari ini berfungsi mirip seperti agama: ada upacara, ada renungan, ada doa-doa, ada ritus-ritus (berkunjung ke Lubang Buaya). 30 September adalah hari kematian. Disusul kemudian oleh 1 Oktober yang merupakan hari kemenangan. Susunan upacara peringatan ini sungguh mengingatkan kita pada hari raya agama-agama, dimana ada penaklukan atas kematian dan kemudian merayakannya sebagai kemenangan?
Jika Orde Baru adalah agama, maka tentara adalah pendeta atau ulamanya dan militerisme adalah ideologinya. Tidak terlalu mengherankan jika perayaan dua hari ini didominasi oleh militer karena mereka adalah pemimpin upacaranya. Juga, dalam dua hari ini, jalan-jalan dihiasi spanduk-spanduk yang mengingatkan kembali massa-rakyat akan ‘bahaya laten Komunisme’ atau ‘kebangkitan Komunisme.’ Di Koran-koran, pemuka-pemuka militer mengeluarkan fatwa yang terus diulang-ulang akan bahaya Komunis. Hari ini, saya baca Kepala Staf Angkatan Darat, Jendral Gatot Nurmantyo mengatakan, ‘Ada aliran baru, yaitu Neo Komunis yang seolah-olah mengedepankan demokrasi di kehidupan sehari-hari. Bagi Indonesia, komunisme merupakan bahaya laten dan musuh bersama.’[1]
Perlu diketahui, Jendral Gatot ini kelahiran Tegal pada 13 Maret 1960. Dia baru berumur lima tahun ketika G30S itu meledak. Dengan begitu, tentu kita bisa simpulkan bahwa pengetahuan dia tentang komunisme pastilah berasal dari sumber-sumber kedua. Demikian pula pengetahuan dia tentang G30S dan kaitannya dengan PKI. Boleh jadi dia membaca buku putih yang disusun oleh Rezim Soeharto. Bisa jadi dia menonton film seram Pengkhianatan G30S/PKI itu.
Jargon yang dipakai oleh Gatot Nurmantyo sesungguhnya tidak baru. Hampir semua petinggi militer hafal luar kepala akan bahaya komunisme itu. Yang menarik adalah kaitan antara ‘Neo Komunis yang seolah-olah mengedepankan demokrasi di kehidupan sehari-hari.’ Gatot Nurmantyo menyuruh pendengarnya untuk ‘menginterogasi’ prakter demokrasi dalam kehidupan sehari-hari yang manakah yang ‘Neo Komunis’ itu.
Menangkap Neo Komunis itu tentulah bukan pekerjaan yang mudah. Karena Neo Komunis itu sesungguhnya seperti setan dalam agama-agama. Setan itu ada, berbahaya, dan menjadi musuh. Namun sulit untuk menangkapnya. Yang terjadi kemudian usaha untuk ‘menyetankan’ orang lain. Neo Komunis atau Komunis itu pun setali tiga uang. Karena Komunis itu mangkir dalam kehidupan sehari-hari maka ia perlu ditubuhkan. Yang rentan untuk menjadi Komunis tentulah orang-orang yang tidak sejalan dengan TNI, seperti misalnya para petani yang menuntut haknya atas tanah; buruh yang meminta upah yang layak; kaum miskin perkotaan yang meminta tempat tinggal dan tempat berusaha, dan lain-lain. Mereka-mereka inilah yang rentan menjadi Komunis.
Tentu ada pertanyaan, mengapa petinggi militer seperti Jendral Gatot Nurmantyo memandang Komunis sebagai musuh terbesar?
Lagi-lagi, kita dipaksa untuk melihat ke jaman Orde Baru. Jenderal kita ini lulus Akademi Militer tahun 1982. Di tahun-tahun itu, militer Indonesia sudah mulai dikuasai oleh generasi akhir revolusi. Sementara, Suharto berhasil menjadikan militer sebagai basis kekuasaannya. Itu adalah jaman ketika menjadi militer berarti bisa menjadi apa saja di negeri ini: dari lurah hingga ke menteri; dari bankir hingga jaksa agung; bahkan hingga menjadi presiden. Generasi Jenderal Gatot ini adalah generasi yang dipersiapkan untuk ‘multi-tasking’ seperti itu.
Tentu, untuk menjadi tentara Orde Baru, tidaklah lengkap tanpa mempelajari ‘ajaran-ajaran’-nya. Di dalam Orde Baru, tentara menemukan bahwa dirinya perlu hadir di tengah-tengah massa-rakyat. Mereka mereka-ulang persepsi sebagai ‘tentara-rakyat’, sebuah konsep kemiliteran yang sesungguhnya dianut oleh kaum Komunis. Dengan persepsi ‘tentara-rakyat’ mereka merumuskan ‘dwi-fungsi,’ yakni tentara yang berfungsi sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan dan sekaligus kekuatan politik.
Para pelajar serius teori-teori Komunisme pasti akan dengan mudah menemukan betapa mudahnya menemukan paralelisme antara konsep kemiliteran tentara Indonesia dengan konsep kemiliteran Komunis. Namun, uniknya, tentara menjadikan Komunisme sebagai ‘nemesis’-nya. Lagi-lagi sejarah memainkan peranan di sini.
Tidak banyak orang yang menyadari bahwa tentara sesungguhnya belum lahir ketika kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Karena kelahirannya yang terlambat itulah, tentara absen dalam semua perdebatan, pengorganisasian, pemogokan, hingga ke pemberontakan menuntut Indonesia merdeka.
Tentara lahir beberapa bulan setelah proklamasi. Ia dibentuk sebagai alat mempertahankan revolusi. Dalam pembentukannya, tentara Indonesia diisi, terutama, oleh bekas tentara didikan Jepang dan laskar-laskar pemuda. Namun tiga tahun kemudian, tentara regular disempurnakan lewat proses reorganisasi dan rasionalisasi (ReRa). Setelah pengakuan kedaulatan, tentara Indonesia terpaksa juga harus menerima tentara-tentara KNIL. Secara perlahan-lahan, elemen-elemen revolusioner tersingkir dari dinas ketentaraan. Perwira-perwira TNI diisi oleh kalangan-kalangan terdidik. Sejak awal perwira-perwira ini sudah memperlihatkan ambisinya untuk terlibat dalam politik. Faksionalisme di dalam tentara sangat tinggi. Persaingan juga memuncak. Gontok-gontokan di dalam tubuh tentara dan gontok-gontokan keluar dengan kekuatan politik lain juga meningkat. Faksionalisme ini membikin tumbuh suburnya warlordism di daerah-daerah. Banyak komandan militer di daerah tidak mau tunduk kepada komando pusat. Puncaknya adalah pemberontakan PRRI-Permesta yang dimotori oleh komandan-komandan militer di luar jawa.
Peranan tentara semakin diperkuat pada tahun 1957 saat Soekarno menasionalisasi perusahan-perusahan Belanda. Tentara mengambilalih banyak perusahan-perusahan tersebut. Dengan tiba-tiba tentara memiliki banyak dana. Namun di sisi yang lain, tentara juga harus berhadapan dengan serikat-serikat buruh yang kuat yang telah ada di perusahaan-perusahan tersebut sejak lama. Banyak dari dari serikat-serikat buruh ini berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak saat itu pulalah rivalitas antara PKI dengan militer terbangun dan semakin hari semakin menajam.
Kita semua tahu puncaknya. Ketika berhasil mengambilalih kekuasaan, Suharto pertama-tama menggasak musuh besarnya, PKI. Anti-PKI kemudian dilembagakan dengan kuat. Ia menjadi agama Orde Baru. Perlakuan brutal rejim Orde Baru kepada anggota dan simpatisan PKI menjadi alat teror yang sangat efektif untuk menjinakkan massa-rakyat.
Tumbangnya kekuasaan Soeharto dan Orde Barunya, tidak dengan serta merta menghapus ajaran-ajarannya. Terlebih di dalam tubuh tentara, yang merupakan epicenter kekuasaan Orde Baru. Perwira-perwira militer, seperti Gatot Nurmantyo, adalah didikan Orde Baru. Untuk saat ini, hukum melarang mereka terlibat dalam politik. Namun, bukan berarti mereka punah sebagai sebuah kekuatan politik. Siapapun yang berkuasa di Indonesia perlu melihat apa yang dimaui tentara.
Bukan sesuatu yang kebetulan ketika dua hari raya Orde Baru ini nantinya akan ditutup oleh perayaan Hari Kelahiran TNI, 5 Oktober. Selain unjuk kekuatan senjata dan ketrampilan kekuatan para prajurit, biasanya juga dipertontonkan ‘replikasi’ dari massa-rakyat. Militer akan berusaha meniru (tepatnya: menyaru) seperti massa-rakyat di daerah-daerah dimana militer mengalami gangguan yang paling besar. Keanehan itu terlihat, misalnya, ketika tentara-tentara menarikan tarian ‘Yosim Pancar’ dari Papua. Sementara pada saat yang bersamaan mereka memerangi gerakan kemerdekaan rakyat Papua.***
————
[1] http://nasional.news.viva.co.id/news/read/543605-kasad-ungkap-komunisme-terus-berkembang-di-indonesia?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook