LAYAKNYA Berto Tukan yang kebingungan menulis pengantar rubrik kliping edisi lalu, saya hampir mati kutu mencari ide membuka tulisan ini. Beruntung saya sempat mengintip timeline Instragram saya sebelum mulai menulis. Saya yang awalnya cuma ingin melihat postingan terakhir beberapa teman, malah dapat inspirasi.
Seorang kawan di akun instagramnya mengunggah foto sebuah prasasti sembari menyertakan sebuah komentar. Singkatnya, Ia bilang kebudayaan modern kita—yang banyak disebarkan dan diarsipkan di dunia daring—sejatinya sangat ringkih dan mudah terhapus. Sekali jaringan internet ambruk, ludes semuanya. Maka ada baiknya, kembali mencatat secara tradisional di atas kertas atau bahkan batu alih-alih bergantung sepenuhnya pada, katakanlah, hard disk portable.
Dahsyat memang komentar itu, walau sebenarnya sekadar iklan terselubung. Teman saya ini memang punya label rekaman kecil-kecilan. Pesannya mudah ditebak: “Kurangi mengunduh berkas mp3 gratisan dari Torrent, beli vinyl & kaset (produksi label saya)!”
Bagaimana pun maksudnya, komentar itu sangat bernas. Buktinya, gara-gara pendapat ini, saya tahu bagaimana menulis pengantar kliping partitur lagu-lagu yang mejeng di halaman koran Harian Rakjat sepanjang Januari – Oktober 1965.
Kira-kira dua minggu sebelum tulisan ini saya rampungkan, saya dan seorang teman menghabiskan hari sabtu memelototi dua mikrofilm Harian Rakjat di Perpustakaan Nasional. Setelah 3 jam menelusuri huruf-huruf mungil di mikrofilm itu—sambil sesekali cengengesan ketika memergoki iklan tahun 60-an yang ajaib (dari iklan senjata api sampai minuman keras produksi Tionghoa lokal) hingga sisipan pidato PJM Soekarno yang maha panjang itu—kami pulang membawa beberapa partitur lagu yang tak kalah ajaib.
Terdapat 8 partitur yang dimuat di Harian Rakjat selama 10 bulan di tahun berdarah itu. Sebagian besar diciptakan oleh komponis Lekra, dengan pengecualian lagu Kim Il Sung Jang Goon Eu Norai (Lagu Djendral Kim Il Sung) yang merupakan saduran dari lagu puja-puji untuk Kim Il Sung, sang “presiden abadi” Korea Utara.
Lelah sehabis riset kecil-kecilan itu, kami makan baso di pinggiran Jalan Salemba. Baksonya murah walau tinggal sisa-sisa aja. Kami sempat ngobrol ngalor ngidul, dari perkara pekerjaan yang menjemukan, kawan yang tengah galau asmara hingga rencana riset yang menarik. Sayangnya, saya lupa detail obrolan kami. Padahal, kalau mau dicatat, mungkin sudah mulai kami garap riset-riset basah itu mulai dari sekarang
Nah, itu dia biang masalahnya: kami alpa untuk mencatat. Ironis memang, kami tidak belajar dari objek kulikan kami: Harian Rakjat. Harian Rakjat rajin mengarsip lagu-lagu—kebanyakan berupa mars—dalam bentuk not balok dan angka untuk diterbitkan di halaman muka edisi akhir pekan. Walhasil, berkat“catatan” Harian Rakyat ini, saya—dan Anda pada gilirannya—bisa mendapati mengenal kembali lagu-lagu yang sempat tenar di tahun-tahun yang dirobek paksa dari buku sejarah itu.
Tahun ’65 khususnya, merupakan tahun yang genting. Kesan genting itu tergambar dengan kentara dalam dua mikrofilm yang kami pesan. Harian Rakjat memang koran “brengsek” yang lantang menyerang lawannnya. Serangan Harian Rakjat begitu terasa dalam tajuk yang gahar seperti “Kepungan Imperialis Harus Kita Djebol!”, atau tudingan dahsyat pada Amron Lubis (Kepala Biro Kebudayaan Departemen P.D.&K) yang “Disinjalir sebagai oknum Murba”, dan tertangkap basah telah “’mengadukan’ tidak baiknja taraf seni rombongan daerah Bali kepada rombongan daerah dan begitu djuga sebaliknja.”[i] Keganasan itu pun tampak jelas dalam komik strip dan karikatur yang menghiasi koran itu setiap akhir pekan.
Dengan reputasi macam itu, maka kami tak heran ketika menemukan partitur Ganjang Tiga Setan Kota di koran tersebut. Dari semua partitur yang kami temukan, lagu inilah yang berlirik paling galak. Syairnya berisi peringatan keras pada ‘setan-setan kota’: “Awaslah awas! Makin meningkat harga beras!/Awas Hei Awas Bung Awas/ Kesabaran rakjat djuga kenal batas!”.
Lagu itu digubah oleh Subronto K. Atmodjo, salah seorang komponis kenamaaan yang tergabung dalam Lekra. Lagu Nasakom Bersatu gubahannya (yang juga dimuat dalam Harian Rakjat pada 15 Agustus 1965), adalah lagu yang sering dikumandangkan di stasion radio RRI pada era Orde Lama. Subronto memang rajin mengolah seruan-seruan Sukarno dalam bentuk lagu. Selain Nasakom Bersatu, terdapat pula lagu Resopim (Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan Nasional), yang merupakan judul pidato Sukarno pada 17 Agustus 1953. Terdapat pula Trikora (Tri Komando Rakyat); Bebaskan Irian!; atau Sukarelawan, sebuah seruan untuk mengganyang Malaysia sebagai proyek ‘nekolim’.
Lagu Ganjang Tiga Setan Kota dimuat di Harian Rakjat pada tanggal 3 Oktober 1965, selang 3 hari setelah G30S, dan 2 hari setelah serangan balik Gestok.
Ini yang menurut kami – mengutip Sutan Bhatoegana – ngeri-ngeri sedap. Harian Rakjat punya keberanian untuk melakukan agitasi sampai titik darah terakhir.
Di sisi lain, tahun ‘65 juga bisa dilihat sebagai tahun perayaan. Setidaknya, ada glorifikasi PKI yang kentara terasa dalam dalam Djajalah Partai, Djajalah Negeri. Terdapat pula Mei Raja adalah lagu untuk merayakan ulang tahun PKI, yang tahun itu dirayakan secara besar-besaran.
Keriuhan lain di tahun 65 yang terekam dari partitur yang kami bawa pulang adalah kunjungan Marsekal Kim Il Sung ke Jakarta. Tak tanggung-tanggung ada 2 lagu yang merekam kejadian ini. Yang pertama berjudul Soekarno Kim Il Sung. Isinya lumayan cliché: sanjungan untuk 2 pemimpin besar yang disebut dalam judul lagu. begini cuplikan liriknya: Soekarno Kim Il Sung/ Dua gunung tegak teguh tak tergoyahkan/Tegak teguh tak tergoyahkan/Membentengi kemerdekaan. Standarlah, dari dulu sampai sekarang, kita kerap kerimpungan bikin sambutan kalau ada tamu negara – apalagi jika ternyata memiliki pendirian yang sama – datang berkunjung.
Bahkan, seakan takut dianggap tuan rumah yang kurang ramah. Kita sampai harus mengimpor lagu berbahasa korea berjudul Kim Il Sung Jang Goon Eu Norai. Mudah ditebak, lagu gubahan Li Chan & Kim Won Kyoon juga berisi puji-pujian pada Kim Il Sung. Tapi, apapun isinya, sampai saat ini, saya masih tersenyum-senyum kecil ketika membaca lagu ini. Jangan-jangan kalau Njoto masih hidup saat ini, mungkin ia bisa jumawa di depan “dede-dede unyu” penggemar Super Junior, “Ya elah Bray, kemana aja, gue udah Korea-Korea-an dari tahun ‘65!”
Sayangnya, “dede-dede” korban Korean wave itu mungkin tak pernah tahu kisah lagu ini. Kliping ini pun disusun BUKAN untuk merayu “dede-dede” Korean lover. Walau tentunya, jika mereka—gara-gara kliping ini—berubah menjadi radikal dan progresif, itu kami anggap sebagai trickle down effect dari kesabaran revolusioner belaka!
Sungguh—kali ini serius—pengunggahan ini sejatinya cuma sebuah sumbangan kecil dari kami untuk mengungkap kembali budaya Kiri yang sudah lama dibenamkan. Syukur-syukur, anda mau mereintrepetasi & mendaur lagu-lagu ini. Itung-itung memberi warna baru pada kebudayaan progresif lokal biar tak berakhir seperti itu-itu saja.
Atau, setidaknya anda bisa membagi tulisan ini di laman sosial anda. Siapa tahu tautan ini nanti dilihat para pelaku skena musik indie di Indonesia. Siapa tahu juga, tautan Anda mematik keinginan mereka mengarsipkan karya yang telah mereka hasilkan. Masa’ mereka yang katanya edgy dan nge-hip itu kalah dari musisi Lekra di Bayuwangi yang telah mendokumentasikan karya mereka dalam bentuk notasi angka pada tahun 1950-an.
Ingat bung, mengutip band indie beken dari Jakarta, The Upstairs, “Semua (yang) terekam tak pernah mati!” (LKIP/Mochamad Abdul Manan Rasudi/Yovantra Arief)
(Untuk resolusi lebih besar, unduh di sini)
[i] “Kegiatan Memetjah-belah dari Amron Lubis”, Harian Rakjat, 2 Mei 1965, tahun ke-XV, hlm. 1.