SIAPA kini yang tak kenal Florence Sihombing? Mahasiswi S-2 Universitas Gadjah Mada (UGM) itu berhasil menyedot perhatian nasional akibat serapahnya di media sosial, yang berbuntut penahanan dirinya oleh kepolisian Jogjakarta. Mula peristiwanya ketika ia menyerobot antrean di pom bensin, yang kemudian diteriaki oleh massa antrean yang sebagian besar terdiri dari borjuis kecil. Ia pun pergi, malu. Selesai? Belum. Florence mengadu ke media sosial.
Nah, disinilah pokok soalnya. Banyak orang tersinggung karena sumpah serapahnya yang terlalu general. Dia menyebut Jogja seolah kota itu adalah tunggal. Kemudian muncullah apa yang selalu menjadi masalah bagi dunia modern kita: representasi. Orang-orang yang menamakan diri ‘warga Jogja’ mulai marah di media sosial. Media massa mengipasi, seolah membenarkan representasi itu. Selusin-dua lusin mahasiswa berdemo, seakan menjadi representasi seluruh mahasiswa.
Dan mulailah kampanye ‘mengusir’ gadis ini dari Jogja.
Seingat saya, ini bukan pertama kali ‘warga Jogja’ mengusir orang yang tidak disukai. Dua tahun silam, sosiolog George Aditjondro diusir dari Jogja karena satu ceramahnya yang dianggap ‘lèse-majesté’ alias melecehkan Kraton Jogja. Rumahnya kontrakannya diserbu massa dan dia diberikan tiket bus gratis untuk meninggalkan Jogja.
Ada apa dengan Jogja? Mengapa tiba-tiba saja orang gampang naik darah di kota ini, tersinggung bila ‘kejogjaannya’ merasa terganggu?
Saya tidak bisa menjawab dengan tepat. Saya hanya bisa mengira-ngira. Itu pun lewat perbandingan dengan persoalan-persoalan yang sejenis.
***
Tiga belas tahun lamanya saya tinggal di Jogja. Di pertengahan tahun 1980an, kota yang masih agak sepi itu, Jogja adalah sebuah kampung besar. Desa Condong Catur masih udik. Di sanalah jalur bus kota berhenti, tepat di bawah beringin besar di depan Balai Desa. Daerah Pakem terasa amat di luar kota. Untuk menuju Kaliurang, Anda perlu persiapan sehari perjalanan dengan naik bus dari terminal Terban. Bus ini akan berhenti setiap seratus meter, sampai-sampai perjalanan ke Kaliurang yang jaraknya tidak seberapa itu, terasa seperti plesir naik bis.
Anehnya, saat itu saya merasakan Jogja sebagai sesuatu yang nasional. Sekalipun sebagian besar penduduk tidak bisa berbahasa Indonesia. Pun jika berbahasa Indonesia, lebih banyak istilah Jawa yang masuk ke dalam percakapan ketimbang bahasa Indonesia.
Mahasiswa jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang sekarang dan mereka tinggal di kampung-kampung. Hampir semua mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia berusaha berbahasa Jawa, bahasa pergaulan sehari-hari, termasuk mereka yang hidup di asrama kedaerahan. Saya sendiri beruntung karena saya mendapat kos di kampung. Keberuntungan yang kedua adalah saya bertemu dengan Bu Mul, ibu kawan karib saya, yang dengan sukarela ‘membenahi’ bahasa Jawa saya sehingga cukup untuk tingkat ‘madya’ (menengah).
Tidak bisa saya ingkari, saya punya romantika tersendiri terhadap Jogja. Di kota ini saya melahap buku-buku, mempelajari apa saja yang bisa dipelajari dan menarik minat, berdiskusi, berlama-lama di perpustakaan.
Saya merasa tidak puas dengan kuliah saya. Jogja selalu menyediakan jalan untuk pencarian itu. Ada begitu banyak diskusi (dan seminar yang tidak saya sukai), kegiatan-kegiatan di luar kemahasiswaan, buku-buku murah, teater, puisi, pameran seni, dan lain sebagainya.
Perlu diingat, jaman saya di Jogja adalah jaman pra-internet, jaman sebelum media sosial merajalela.
Oh ya, saya juga bermimpi tentang revolusi. Saya menghabiskan kemarahan-kemarahan terhadap sistem yang dibangun Suharto dengan membantu gerakan-gerakan bawah tanah. Namun, harus saya akui, saya terlalu pengecut untuk menjadi anggota organisasi apapun.
Pendeknya, Jogja terasa sangat nasional. Saya sungguh merasakan bahwa saya berada di sebuah kampung besar tapi dengan daya jelajah yang lumayan kosmopolitan. Saya kira, terlalu banyak tipikal seperti saya di Jogja. Saya yakin, mereka pun punya romantisme yang sama terhadap Jogja.
Pemotongan hewan kurban Idul Adha di Jogjakarta. Foto dari demotix.com
***
Butuh waktu agak lama bagi saya untuk menyadari bahwa Jogja adalah sebuah kota dengan bipolar disorder (kepribadian ganda). Ada dua jiwa yang hidup di sini dan keduanya jarang berhubungan satu sama lain.
Jogja adalah kota ‘adiluhung’ yang halus. Kota yang mengaku kemanusiaannya didasari oleh tatakrama dan unggah-ungguh. Lihatlah kehalusan mereka bercakap, ketakziman mereka menghargai orang yang lebih tua, kesantunan mereka bertingkahlaku.
Namun, tidak terlalu sulit untuk mengingat bahwa kota ini juga ladang kekerasan. Geng-geng anak-anak muda beranak-pinak dan langgeng hingga beberapa generasi. Premanisme juga marak. Tahun 1982, Suharto (orang Jogja!) melakukan sesuatu yang drastis. Secara diam-diam dia melakukan operasi militer menembaki preman-preman ini dan meletakkan mayatnya di tempat-tempat umum. ‘Untuk shock therapy,’ ujarnya ketika itu. Koran-koran sibuk memberitakan mayat-mayat bertato atau mayat dalam karung yang ditemukan di jalanan. Puluhan ribu orang yang dituduh preman didor.
Dari mana Suharto memulai penjagalan itu? Dari Jogja!
Tentu kita tidak lupa kejadian tahun lalu: segerombolan serdadu Kopassus dari Karangmenjangan menyerbu penjara sipil di Cebongan dan membunuh empat tahanan. Di Jogja, pembantaian para tahanan tersebut kemudian didukung sebagai pemberantasan ‘preman.’
Jogja adalah pusat kebudayaan Jawa. Di sini terletak Kraton Ngayogkarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman, dua monarki yang masih punya kekuasaan politik yang nyata di tanah Jawa. Saat ini, Sultan Hamengku Buwono X dan Pakualam IX adalah gubernur dan wakil gubernur DIY. Kedua penguasa ini masih menjaga semua tradisi kekuasaan Jawa. Namun, sebagaimana jamaknya kekuasaan, ia memerlukan kemegahan dan kemewahan, upacara dan pertunjukkan. Ia perlu the poetic of power! Untuk memelihara the poetic of power perlu ‘ragat’ (biaya) yang tidak sedikit. Kraton dan Kadipaten tidak bisa menggantungkan diri pada pihak lain untuk soal biaya ini. Pelajaran dari Kraton Solo dan Mangkunegaran menunjukkan, ketergantungan dari pihak luar selalu mengundang campur tangan dalam politik internal Kraton yang memang rentan dan penuh intrik itu.
Namun di sisi lain, Jogja dikelola oleh struktur pemerintahan nasional. Penguasanya bukan berdasarkan keturunan (hereditary) melainkan dipilih. Ketegangan pun muncul sejak beberapa tahun lalu, ketika orang mulai membahas ‘keistimewaan’ Jogja: apakah gubernur Jogja harus dipilih lewat pemilihan langsung ataukah ditetapkan?
Situasi politik pun memanas karena gubernur – yang adalah Sultan Jogja sendiri – dan pendukung-pendukungnya menginginkan pengecualian. Perdebatan antara ‘pemilihan’ dan ‘penetapan’ gubernur itu meletus menjadi aksi massa besar-besaran untuk menuntut ‘keistimewaan’ Jogja. Untuk saat ini, pemenangnya adalah pihak ‘penetapan.’
Debat ‘keistimewaan’ ini sesungguhnya menjadi penanda baru bahwa Jogja bukan ‘nasional.’ Ia adalah Jogja yang istimewa—dan dengan begitu, yang parochial.
Sejak itulah saya menangkap tanda-tanda menguatnya semangat kedaerahan. Telah lama saya mengamati munculnya konflik-konflik berdasarkan identitas. Apa yang terlihat di Jogja sungguh bukan sesuatu yang asing untuk saya. Tapi satu-satunya yang mengejutkan saya adalah bahwa itu terjadi di Jogja.
Contoh kemenduaan Jogja tidak sedikit. Kota ini dihuni lembaga-lembaga penganjur toleransi terbaik di Indonesia, mulai dari Interfidei, CRCS, hingga LKiS. Jogja melahirkan intelektual yang memikirkan kemajuan hidup bertoleransi. Dan di Jogjalah lahir Muhammadiyah, organisasi Islam modernis terbesar di Indonesia.
Tapi tak boleh dilupakan juga: intoleransi marak semarak-maraknya. Laskar Jihad berbasis di Jogja. Demikian pula Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Pemikir-pemikir dan ideologi Hizbut Thahir ada di sini. Seminari-seminari Kristen evangelis yang agresif tumbuh.
Jogja, yang konon paling ramah terhadap pendatang, memperlihatkan gejala-gejala bangkitnya parochialism bahkan dalam taraf yang makin parah. Kos-kosan mahasiswa yang menerima penghuni berdasarkan agama yang dianutnya kian menjamur. Ada pula laporan bahwa di beberapa tempat di Jogja, mahasiswa Papua makin sulit mencari kos-kosan. Khususnya setelah peristiwa pembantaian tahanan di penjara Cebongan, nasib yang sama menimpa mahasiswa asal Timor dan Flores.
Seorang kawan yang menjadi staf pengajar sebuah perguruan tinggi di kota ini mengeluh, “Mahasiswaku yg asal Papua itu sulitnya minta ampun kalau mau cari kost. Apa salah mereka yang masih unyu-unyu kok dipersulit, padahal Jogja bisa hidup salah satunya karena pendidikan dan wisata. Dan mahasiswa adalah wisatawan yang masa tinggalnya paling lama.” Sekitar 250 ribu penduduk Jogja adalah mahasiswa.
***
Dua kepribadian Jogja adalah cermin dua masyarakat yang tidak saling bertemu. Sesungguhnya, tidak saja mahasiswa yang merupakan wisatawan yang tinggal paling lama di Jogja. Saya tahu, banyak kelas menengah—terutama kaum paling terdidik yang mengajar di universitas-universitas ternama di kota ini—yang menjadi wisatawan menetap. Dengan mudah kita menangkap ketidakjumbuhan antara Jogja yang hidup dengan kejogjaannya sendiri—lengkap dengan segala unggah-ungguh, kesulitan hidup, kekerasan, dan politik lokalnya—dengan Jogja yang menjadi industri baik pariwisata maupun pendidikan.
Dalam hal ini, Jogja sedikit banyak menyerupai Bali. Sebagai komoditi dia laku dijual; namun Anda akan mendapati suasana yang sangat berbeda jika Anda hidup didalamnya.
Demikian banyak kaum terdidik di kota ini. Mereka adalah sekumpulan orang-orang terpandai di Indonesia. Mereka menghuni kantung-kantung (enclaves) yang sama sekali tidak bersentuhan dengan keseharian Jogja. Mereka hidup di kompleks-kompleks perumahan. Banyak di antara mereka yang nglaju ke Jakarta atau kota-kota besar lain di Indonesia. Mereka memberikan jasa konsultasi ini dan itu kepada lembaga pemerintah, organisasi internasional, atau organisasi swasta. Lihatlah pesawat penerbangan pertama dan terakhir, maka akan Anda jumpai para penglaju pergi dan pulang. Atau, sekalipun mereka tidak pernah pergi dari Jogja, mereka berada dalam dunia yang sama sekali terpisah dengan Jogja. Meminjam terminologi dari intelektual Afrika Mahmood Mamdani, mereka adalah ‘settlers’ yang datang karena keuntungan ekonomi yang ditawarkan oleh Jogja. Mereka ada di Jogja namun sesungguhnya mereka tidakhadir di Jogja.
Di sisi yang lain, Anda akan menjumpai Jogja yang ‘native’ yang tidak banyak berbeda dengan masyarakat-masyarakat lain yang masih setia dan terikat dengan segala macam tradisinya. Dalam banyak hal, mereka adalah juga pihak yang diuntungkan dengan segala macam industri yang dibangun oleh para ‘settlers’ ini di kota mereka. Namun, banyak juga dari mereka yang menjadi korban—entah itu mereka sadari atau tidak. Mereka memang bukan lagi pengolah tanah, bahkan tidak lagi menjadi pemilik tanah. Banyak dari kekayaan atas tanah sudah terjual untuk kompleks perumahan, untuk hotel, mall, dan semua proyek untuk melayani ‘tamu’ yang datang, yakni para wisatawan atau para settlers. Sebagian dari mereka mengais remah-remah pembangunan ini dengan menjadi buruh. Banyak juga yang tidak mendapatkan apa-apa.
Politisi lokal yang merancang proyek-proyek ini tahu persis bagaimana melayani wisatawan dan settlers ini. Mereka juga tahu persis bagaimana mendapatkan legitimasi untuk terus berkuasa, yakni dengan menaikkan sentimen-sentimen parochialism yang memang akan tumbuh subur di dalam situasi seperti yang dialami para natives Jogja.
***
Gadis pemarah yang mengumpat di media sosial itu tentu dengan mudah menjadi sasaran kemarahan. Namun, seperti yang pernah saya saksikan ketika pembantaian Cebongan, kemarahan semacam ini selalu terbatas. Dia tidak pernah menjadi kemarahan dalam skala amuk massa. Dalam pembantaian Cebongan, kemarahan ditujukan kepada tahanan yang dibantai—merekalah yang menjadi ‘preman’ yang harus dibasmi. Tentu saja, tuduhan ini mengaburkan kenyataan bahwa premanisme memang telah lama ada dan kuat berakar di Jogja.
Demikian pula dengan kemarahan terhadap gadis ini. Kemarahan ini, di samping terbatas, juga berfungsi untuk mengingat-ingat kembali bahwa Jogja itu berbudaya, adiluhung, sopan dan santun . Namun di sisi yang lain, orang sengaja dibuat lupa: mereka hidup dari ratusan ribu—atau bahkan mungkin jutaan yang pulang-pergi dalam setahunnya—orang semacam Florence ini, yang menggerakkan roda ekonomi Jogja.***