Penyingkiran Kaum Miskin Kota dan Hak Atas Kota

Print Friendly, PDF & Email

HARI-HARI setelah Idul Fitri/lebaran seharusnya menjadi momen dimana warga Jakarta kembali ke kehidupan seperti biasanya: bekerja membanting tulang dalam kesemrawutan ibu kota demi melanjutkan hidup. Tetapi, hal tersebut bukanlah termasuk rutinitas banyak rakyat miskin kota Jakarta. Pasca lebaran, mereka dihantui oleh ancaman penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI. Misalnya, penggusuran yang dilakukan Satpol PP terhadap para pedangan kaki lima (PKL) di Prumpung (12/8)[1] dan juga seluruh PKL di kawasan Monas.[2] Berdasarkan data yang didapat dari LBH Jakarta,[3] terdapat setidaknya 127 lokasi yang berpotensi digusur sampai tenggat waktu akhir tahun ini dengan 40 titik penggusuran yang telah dieksekusi pasca lebaran.

Penggusuran terhadap rakyat miskin kota ini, juga tidak dilakukan dengan mekanisme yang berlaku dalam hukum. Misalnya saja, warga tidak mendapatkan penjelasan yang memadai tentang rencana penggusuran, tidak ada proses negosiasi terlebih dahulu, serta penggusuran yang dilakukan dengan cara kekerasan dengan melibatkan Satpol PP, TNI, Polri, dan juga preman.[4] Selain dilakukan dengan cara yang tidak manusiawi, pasca penggusuran juga rakyat miskin kota menghadapi ketidakjelasan nasib, karena tidak semua rakyat miskin kota yang digusur mendapat ganti rugi/relokasi, baik pedagang kecil ataupun warga di pemukiman (yang dinilai) kumuh.

 

Penggusuran Rakyat Miskin, Kenyamanan Kelas Menengah

Kalau diperhatikan dengan seksama, penggusuran terhadap rakyat miskin kota yang selalu dilakukan atas nama ‘ketertiban umum’ tersebut, ternyata diikuti dengan pembangunan yang diperuntukkan bagi ‘kenyamanan’ kelas menengah-atas perkotaan, seperti pembangunan mall dan apartemen. Sampai dengan tahun 2013, terdapat 173 unit mall yang berdiri di Jakarta[5] dan 117.276 unit apartemen baru yang pertumbuhannya mencapai 20,2 persen lebih tinggi dari tahun 2011.[6] Pola pembangunan perkotaan yang demikian, tentu saja hanya membuat nyaman sebagian orang: kelas menengah-atas. Sementara rakyat miskin semakin terpinggirkan, kelas menengah-atas semakin dimanjakan.

Penggusuran terhadap rakyat miskin ini, sebagaimana banyak muncul di media massa, dilakukan dengan dalih agar membuat Jakarta menjadi kota yang indah dan nyaman. Misalnya, dengan cara mengalihfungsikan kembali taman-taman yang digunakan pedagang kaki lima untuk berdagang sebagaimana yang terjadi di Monas. Sebagai gantinya, Pemprov DKI menyediakan lahan untuk relokasi. Hal yang sama juga terjadi pada kasus-kasus seperti normalisasi bantaran kali ataupun kawasan-kawasan (yang mereka anggap) kumuh lainnya dengan menyediakan rusun-rusun bagi warga gusuran.

Dalil pertanggungjawaban dari pemerintah DKI ini tentu harus diperiksa lebih lanjut. Apakah segala bentuk penyingkiran terhadap rakyat miskin ini mendapatkan kompensasi yang layak dari Pemprov? Apakah dengan penggusuran kepada para pedangang kaki lima, pemerintah menyediakan tempat usaha lain, yang kemudian terhindar dari penyingkiran di hari-hari berikutnya? Begitu pula dengan warga di perkampungan kumuh, apakah mereka semua, tanpa segala bentuk diskriminasi, mendapat perumahan yang layak sebagai gantinya? Kenyataannya, dalam berbagai kesempatan, penyingkiran, rakyat miskin tersebut tidak mendapat kompensasi yang layak, apakah berbentuk uang sebagai ganti rugi, rumah susun yang tidak didapat, hingga upaya penyeleksian yang mengakibatkan tidak seluruh pedagang dapat menempati tempat relokasi, sebagaimana yang terjadi di kawasan Monas.

Selain itu, hal yang juga penting dalam melihat problem penyingkiran rakyat miskin kota adalah paradigma yang menjadi kerangka berpikir pemerintah sebagai pihak eksekutor. Jika penggusuran dilakukan dengan dalil agar Jakarta menjadi nyaman, dan dengan kenyataan bahwa berbagai penyingkiran yang telah terjadi tidak dibarengi dengan kompensasi yang layak, maka paradigma berpikir Pemprov tidak lain adalah rakyat miskin kota itulah satu-satunya sumber ketidaknyamanan kota.[7]Rakyat miskin kota dipaksa untuk mengikuti logika kenyamanan á la kelas menengah, dan dengan sumber daya yang terbatas dari pemerintah, rakyat miskin yang tidak tertampung dalam logika kenyamanan kelas menengah tersebut akhirnya disingkirkan.

Logika kenyamanan kota á la kelas menengah ini yang kemudian menjadi cara berpikir umum dari mayoritas warga Jakarta, atau dengan kata lain logika yang digunakan pemerintah telah menghegemoni mayoritas warga, dan pada akhirnya membenarkan tindakan yang mencerabut hak asasi mereka yang terpinggirkan dengan cara menggusur. Dengan ditopang oleh media massa, kebijakan pemerintah DKI didukung oleh sebagian besar kelas menegah Jakarta. Memang, di satu sisi, pada aras birokrasi dan pemerintahan yang bersih, pimpinan DKI telah menunjukkan kemajuan dari masa sebelumnya. Tetapi, apa guna birokrasi yang bersih tetapi menggusur rakyatnya sendiri, apalagi dengan cara yang tidak wajar sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya?

Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa kaum miskin kota seperti pedagang asongan, kaki lima, atau penghuni bantaran sungai membuat kehidupan di kota semakin semrawut. Tetapi, harus dilihat bahwa kesemrawutan kota juga disebabkan banyak faktor lain yang saling berkelindan, misalnya, pembangunan ruang-ruang privat yang tidak terkontrol yang mengakibatkan ruang publik semakin hilang. Akan tetapi, hal ini bukan berarti menghilangkan hak-hak rakyat miskin yang, pada dasarnya, tidak pernah mau memilih hidup yang demikian. Kenyamanan kota dan hak untuk mencari penghidupan di kota bukanlah dua hal yang saling menegasikan. Kenyamanan hidup di kota bagi kelas menengah tidak melulu harus menegasikan hak-hak rakyat miskin kota untuk sekadar bertahan hidup. Keduanya bisa saling dilakukan secara beriringan dengan syarat: rakyat miskin kota harus dianggap sebagai manusia seutuhnya. Sayangnya, yang terjadi saat ini adalah paradigma bahwa keduanya tidak bisa beriringan dan saling menegasikan. Jika ingin kota yang bersih, nyaman, dan indah, maka kota harus bersih dari para lumpen.[8] Pada titik inilah kita pahami mengapa kelas menengah justru merayakan dengan sukacita ketika satpol PP dipersenjatai dan secara agresif menggusur rakyat miskin.[9]

 

kota2Ilustrasi diambil dari http://www.rujak.org

 

Penguasaan Kota oleh Kelas Dominan

Persoalan perkotaan sebagaimana yang terjadi di kota besar seperti Jakarta, tidak bisa dilepaskan dari relasi sosial yang terjadi, entah itu antara masyarakat dengan kota, ataupun di antara kelas sosial dalam masyarakat sendiri.

Pada titik dimana penyingkiran terhadap rakyat miskin kota dilakukan secara masif, sistematis, dan terstruktur, maka kita harus berbicara relasi politik-ekonomi dominan yang menguasai ruang kota dan menjadi fondasi atas segala kehidupan di kota: kapitalisme. Dengan memahami cara kerja kapitalisme, maka problem perkotaan akan menjadi lebih jelas duduk perkaranya, sekaligus memungkinkan untuk menemukan jawaban yang paling tepat untuk problem tersebut.

Jika diperhatikan, dinamika yang berkembang yang mempengaruhi kota tidak lain adalah semakin terkooptasinya ruang publik yang tersedia oleh ruang-ruang privat. Dari taman kota hingga perpustakaan umum, perkembangannya akan selalu minor dibanding perkembangan ruang-ruang privat seperti mall, hotel, hingga apartemen mewah. Perkembangan kota ini dengan jelas menunjukkan bahwa logika yang sedang berjalan di balik pembangunan tersebut adalah logika yang menempatkan kepentingan privat di atas kepentingan publik, yang tidak lain adalah logika kapitalisme.

Apa yang terjadi pada ruang kota adalah kondisi yang serba terasing (alineatif). Sebagaimana yang kita lihat, di satu sisi terjadi esklusivitas atas kelas tertentu dan di sisi lain menyingkirkan kelas lainnya. David Harvey[10] mengatakan kondisi alienatif perkotaan ini merupakan konsekuensi atas gerak internal kapitalisme yang harus selalu menguasai ruang sebagai sarana untuk ekstraksi nilai lebih. Pada momen itulah kapitalisme selalu akan berusaha untuk menghilangkan ruang-ruang yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Misalnya, tanah yang tadinya tak bertuan, kemudian dijadikan tempat berproduksi, dan kalaupun ada yang menempati, maka harus disingkirkan. Contoh konkret lainnya adalah penggusuran para pedagang kecil dari peron stasiun kereta api di Jabodetabek sejak bulan November 2012 Mei 2013. Penggusuran pedagang kecil tersebut tidak lain adalah agar korporasi besar dapat masuk dan dengan demikian dapat memberikan nilai tambah bagi ruang yang dimiliki PT Kereta Api.[11]

Harvey dalam studinya tentang sejarah perkotaan mengatakan bahwa sudah sejak dahulu kota memang muncul melalui konsentrasi geografis dan sosial dari suatu surplus produksi.[12] Hal ini terjadi karena sebagai sebuah corak produksi ekonomi, kapitalisme secara inheren mengandung krisis di dalam dirinya, dimana krisis yang paling umum adalah apa yang dinamakan krisis overakumulasi. Dalam overakumulasi, terjadi situasi dimana kapital, baik uang, barang dan tenaga kerja mengalami surplus, tetapi tidak ada cara untuk menggunakan surplus tersebut agar menguntungkan. Pada titik inilah pembangunan kota menjadi sarana kelas kapitalis untuk menyerap overakumulasi tersebut, yaitu dengan cara ekspansi geografis. Kota dijadikan tempat investasi dengan berbagai cara, baik investasi jangka panjang seperti pembangunan fisik ataupun pembukaan pasar baru. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa dalam proyek MP3EI, Jawa –termasuk di dalamnya Jakarta- akan menjadi sentra jasa dan industri.[13] Tentu saja, dalam kondisi ini rakyat miskin tidak masuk hitungan dan justru harus disingkirkan.

Dalam konteks ini, menjadi penting untuk melihat keterbatasan pemimpin populis yang mencoba berdiri di atas semua kelas yang berkontestasi dalam ruang kota, sebagaimana yang terjadi di Jakarta. Mengutip Irwansyah,[14] keterbatasan pemimpin populis adalah karena batasan yang tercipta antara kelas-kelas dalam kota. Dengan batasan tersebut, populisme pada akhirnya gagal untuk mengakomodir kepentingan semua kelas. Kasus penyingkiran rakyat miskin kota dengan dalil untuk membangun kenyamanan hidup di kota, dibatasi oleh kemampuan pemerintah untuk memberikan kompensasi sekaligus ruang kota yang telah diprivatisasi, yang bahkan tidak masuk dalam jangkauan kuasa pemerintah. Keterbatasan tersebut pada akhirnya akan mengarah pada kecenderungan tertentu: berpihak para mereka yang termarjinalkan, atau justru condong kepada kepentingan kelas dominan dalam kota. Terutama setelah Jakarta dipimpin oleh Ahok, kecenderungan yang terakhirlah yang terlihat.

 

Merebut Hak Atas Kota

Dari paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa problem penyingkiran rakyat miskin kota adalah, meminjam istilah filsuf Roy Bhaskar, realitas konkret yang dikondisikan oleh realitas yang lebih dalam, yaitu bekerjanya sistem ekonomi politik kapitalisme dalam konteks ruang kota. Untuk menyelesaikan problem ini, tawaran dari Harvey[15] patut dikedepankan: merebut kembali hak atas kota. Hak atas kota sendiri pada dasarnya telah terangkum dalam hak asasi manusia, misalnya, hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak untuk bebas beragama, hak atas pendidikan dan kesehatan yang terjangkan, dan lain sebagainya.[16] Tetapi, hak atas kota secara lebih dalam bukan hanya didefinisikan dengan individu yang bebas mengakses sumber daya perkotaan saja, tetapi juga ‘hak untuk mengubah diri kita melalui mengubah kota itu sendiri.’[17] Dengan demikian, hak atas kota bukan hanya semata untuk kepentingan bagi diri kita sendiri, hak atas kota juga bukan hanya menjadi dasar untuk melawan kesewenang-wenangan aparat birokrasi yang belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan tetapi justru main gusur saja. Hak atas kota juga tentang bagaimana warga kota secara partisipatif menjadikan kota mereka sendiri sebagai tempat hidup yang manusiawi bagi semua orang, bukan hanya segelintir orang yang memiliki akses terhadap sumber daya. Sebab warga kotalah yang membentuk kota, maka kontrol kota pun harus berada di tangan mereka.

Pada akhirnya, merebut hak atas kota adalah melawan kapitalisme itu sendiri, karena hak atas kota tidak akan operatif dengan kerangka logika kapitalisme. Untuk itu, tentu saja dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari warga kota, terutama mereka yang terpinggirkan dalam logika kapitalisme. Kesadaran ini dapat termanifestasi dalam bentuk organisasi. Jika kembali merujuk pada kota Jakarta, maka organisasi yang dimaksud belum ada. Dengan demikian, yang mendesak dilakukan, terutama dalam kurun waktu dimana terdapat ratusan titik penggusuran hingga akhir tahun ini di Jakarta, adalah membuat organisasi semacam ini. Organisasi yang berfokus pada teritori lokal, dengan menggabungkan kelas-kelas yang terpinggirkan dalam kapitalisme dan menjahitnya dalam konteks sebagai warganegara untuk merebut hak atas kota. Selain sebagai bentuk konkret terhadap perjuangan hak atas kota, setidaknya organisasi teritorial ini dapat memiliki dua fungsi lagi: pertama, melawan hegemoni yang mengilusi rakyat, terutama yang menghinggapi kelas menegah perkotaan terhadap dikotomi kenyamanan vs hak untuk hidup; dan kedua, sebagai front persatuan yang menjahit berbagai kepentingan dari gerakan rakyat yang selama ini masih terfragmentasi dengan isu-isu yang berbasis sektoral. Karena tanpa rakyat yang bersatu, kapitalisme tak bisa dikalahkan.***

 

Penulis adalah Sekjen SEMAR UI dan Anggota Redaksi Left Book Review IndoPROGRESS

 

[1] ‘Penertiban PKL di TPU Prumpung Ricuh.’ Diakses dari beritajakarta.com/read/4149/Penertiban_PKL_di_TPU_Prumpung_Ricuh

[2] ‘KAWASAN MONAS: Wagub Ahok Targetkan Penertiban PKL Tuntas Bulan Ini.’ Diakses dari http://jakarta.bisnis.com/read/20140806/386/248011/kawasan-monas-wagub-ahok-targetkan-penertiban-pkl-tuntas-bulan-ini

[3] Data didapat pada rapat aliansi ‘Pembangunan Koalisi Jakarta’ di LBH Jakarta, 14 Agustus 2014.

[4] Ibid.

[5] ‘Data Pertumbuhan Mal di Kawasan Jakarta.’ Diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2013/09/18/083514312/Data-Pertumbuhan-Mal-di-Kawasan-Jakarta

[6] ‘Apartemen Makin Menjamur Di Jakarta.’ Diakses dari www.tempo.co/read/news/2013/01/08/093452994/Apartemen-Makin-Menjamur-Di-Jakarta

[7] Logika bahwa rakyat miskin merupakan satu-satunya sumber ketidaknyamanan kota dapat dikatakan merupakan paradigma yang sifatnya historis warisan kolonial. Lihat Purnawan Basundoro. Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an. (2013). Tangerang: Marjin Kiri.

[8] Terminologi marxian yang merujuk pada kelas sosial yang terbuang dalam struktur masyarakat borjuis, mereka tidak memiliki kaitan langsung dengan moda kapitalisme, tetapi tetap tersingkirikan karena sistem tersebut.

[9] “Jaga Monas, Satpol PP Dipersenjatai Pistol Listrik.” Diakses dari jakarta.okezone.com/read/2014/06/16/500/999581/jaga-monas-satpol-pp-dipersenjatai-pistol-listrik

[10] David Harvey. (1973). Social Justice and The City. New York: Routledge.

[11] Hal ini dibuktikan dengan berdirinya berbagai franchise supermarket pasca penggusuran di stasiun.

[12] David Harvey. (2012). Rebel Cities: From the Right to the City to Urban Revolution. London&New York: Verso.

[13] Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. (2011). Hlm. 46

[14] Wawancara Fathimah Fildzah Izzati dengan Irwansyah, ‘Wargalah yang Sehari-hari Membentuk Kota.’ Diakses pada https://indoprogress.com/2013/12/irwansyah-wargalah-yang-sehari-hari-membentuk-kota/

[15] David Harvey, Rebel Cities. Op. Cit.

[16] Dimana sebenarnya berbagai hak ini pun dijamin dalam konstitusi Indonesia pasal 28

[17] David Harvey. The Right to The City. New Left Review. Edition 53. September 2008.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.