Apakah nasib kita akan terus seperti
Sepeda rongsokan karatan ini?
O, tidak, dik!
Kita akan terus melawan
Waktu yang bijak bestari
Kan sudah mengajari kita
Bagaimana menghadapi derita
Kitalah yang akan memberi senyum
Kepada masa depan
Jangan menyerahkan diri pada ketakutan
Kita akan terus bergulat
(Wiji Thukul, Puisi untuk Adik)
AKU TINGGAL di kota yang indah. Sragen namanya. Sekujur kota dikelilingi oleh sawah. Diapit dengan pepohonan yang rindang dan sejuk. Keramahan penduduk beradu dengan simpati kaum pendatang. Jika malam, sawah itu mendengungkan suara kodok: ramai dan kompak. Irama malam juga dihiasi oleh langit yang jadi pekarangan bintang. Terang kota berhiaskan lampu jalanan. Kini lapangan telah jadi mimbar pesta: biasanya penduduk habiskan malam di sana. Ada pasar malam di alun-alun. Mirip ibu kota tanpa kemacetan. Seperti kota wisata tanpa kegaduhan.
Tapi ketentraman ternyata tak bisa abadi. Kota ini memikat tak saja bagi kami tapi juga buat mereka: kawanan penyamun yang bertitel investor. Kawanan yang disambut oleh pemerintah dengan tangan terbuka. Mereka ingin sawah disulap jadi pabrik dan suara kodok berubah jadi suara mesin. Berdatangan mereka dengan membawa uang dan janji.
Uang itu mempesona untuk mereka yang tak paham keindahan. Uang itu meyentuh ambisi dan kerakusan. Uang itu mengganti keinginan jadi hasrat dan menyulap kepentingan jadi ambisi. Maka dengan mudah uang itu meyentuh kewenangan. Melalui pintu uang itulah sawah tidak ditanami padi tapi bangunan. Deretan pabrik itu berdiri seperti sebuah botol di pinggiran meja: berjejer, tanpa bentuk dan hanya mengeluarkan suara gaduh. Maka beriringan dengan itu lahirlah janji. Lowongan pekerjaan dibuka seluas-luasnya. Persis di depan pabrik ada pengumuman nyaring: menerima lowongan kerja. Hiasan yang kini hampir merajai pada tiap pintu pabrik di kota kami. Maka berbondong-bondong penduduk mendaftar sebagai buruh. Mereka berusaha untuk mempercayai sebuah janji tentang harapan, bahwa buruh akan diperlakukan seperti bunyi UU Perburuhan. Diberi hak berorganisasi, dikasih kesempatan demo hingga diangkat jadi karyawan tetap. Tapi pabrik ternyata bukan lembaga bajik yang patuh pada bunyi aturan.
Di antara nama pabrik itu adalah PT DMST (Delta Merlin Sandang Tekstil). Letaknya di desa Bumi Aji. Persisnya berada di pinggir jalan Sragen menuju Ngawi. Memakan tanah berhektar-hektar. Pabrik itu berdiri sejak tahun 2003. Jumlah buruhnya mencapai 3000. Perusahaan raksasa yang mengolah kapas jadi benang lalu mengubah benang jadi kain. Seluruh proses ini tidak diselesaikan dengan tongkat sihir tapi mesin raksasa. Mesin yang ukuran dan kemampuanya seperti raksasa. Hingga pernah mesin itu melahap tangan buruh sampai pergelagan. Buntung tangan itu hingga dioperasi tak bisa membuatnya kembali sediakala. Tak hanya mesin melainkan pemilik mesin itu juga perangainya seperti raksasa: buruh perempuan jika hamil harus berhenti, kontrak hanya berlaku tiga bulan saja, liburan lebaran hanya 4 hari, jaminan kesehatan nol, perlindungan hak nol dan serikat buruh hanya diperbolehkan kalau itu sesuai keinginan perusahaan. Perbuatan nista pabrik itu berlangsung selama 13 tahun!! PT DMST mirip rombongan penyamun yang merampok apapun yang dimiliki manusia. Perusahaan ini meyajikan sesuatu yang kejam: buruh selayaknya diperlakukan seperti mesin. Haknya ditenggelamkan dan kemauannya harus sesuai dengan ambisi perusahaan. Mengail laba banyak dengan cara memeras tenaga.
Sudah barang tentu buruh tak terima. Kesabaran ada batasnya dan kekejaman tak bisa selamanya. Warga tak suka. Mahasiswa mau membela. Ketiganya bersatu menentang praktek keji perusahaan DMST. Maka perlawanan lalu disusun. Pertama mereka ingin ada perjanjian baru dengan perusahaan. Mula-mula perusahaan mau susun janji: ingin mengubah dan memberi hak. Tapi perusahaan tahu kalau janji tak harus ditepati. Mereka janji bukan dengan pembeli tapi buruhnya sendiri. Janji tinggal dokumen di atas kertas. Dua kali perundingan dilakukan dan tak membuahkan hasil. Bahkan tiap perundingan ada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) di sana. Jalan berunding buntu maka cara kedua: buruh memutuskan aksi. Bukan di pabrik tapi di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Di sana mereka bertemu lagi dengan janji yang keluar dari mulut Dewan. Janji yang membujuk dan mempesona itu disampaikan oleh dewan lewat gaya sok tahu persoalan.1 Ketika berunding itulah kepala Disnaker hilir mudik mirip setrika melobi Dewan. Mungkin supaya tuntutan buruh bisa dilunakkan. Kepala Disnaker dan Dewan sepakat untuk ada di sisi buruh. Walau diucapkan di bulan puasa tapi nyatanya itu hanya bualan. Persisnya tanggal 2 Agustus: tiba-tiba buruh tak bisa masuk perusahaan, terutama mereka yang aktif di serikat pekerja FBLP (Forum Buruh Lintas Pabrik). Kata pabrik, buruh yang bisa bekerja hanya yang diundang lewat SMS. Menggelikan sekali pabrik yang punya lebih 3000 pekerja mengundang masuk lewat SMS. Mirip undangan deklarasi ketimbang kegiatan produksi.
Aksi buruh PT DMST, Sragen. Foto diambil dari www.forum.co.id
PT DMST menjelma jadi gurita. Harapan buruh tinggal pada dirinya sendiri. Maka dengan gagah berani mereka datangi pabrik. Tanggal 4 Agustus 2014, dibantu oleh warga, pabrik didatangi buruh dan mahasiswa. Disnaker yang sejak semula tak bisa membela hanya datang menonton. Manager perusahaan nyatanya tak bisa memenuhi tuntutan buruh. Sayangnya polisi tak mengerti maksud suci ini. Alam pikiran hukum membentuk mereka untuk menatap rombongan buruh sebagai pembuat onar. Tanpa perundingan, bahkan tanpa mau tahu alasan, para buruh itu dipukul, ditangkap hingga diadili. Kapolres Sragen malah ikutan memarahi hingga mencaci maki. Banyak saksi melihat ia ikut memukuli massa aksi. Pentungan diayun kesana-kemari dengan korban kening, kaki hingga punggung massa. Ada perempuan tua hingga anak muda dijambak rambutnya. Diseretnya buruh-buruh itu dalam rombongan tersangka dan diangkut dalam tuduhan sebagai kriminal. Kali ini Polisi seperti kaki tangan perusahaan yang marah karena aksi buruh. Pasal tindak pidana ringan ditempelkan pada tujuh orang yang didakwa sebagai pelaku. Persisnya tanggal 6 Agustus Pengadilan Negeri Sragen menggelar persidangan buram: 7 buruh dianggap menghalang-halangi karyawan masuk kerja.2 Pasal 493 KUHP dijeratkan pada mereka. Peradilan tercepat dalam sejarah dunia hukum: ditangkap tanggal 5 Agustus dan esoknya langsung disidang.
Bagaimana sidang tercepat itu berlangsung?
Kantor pengadilan dipenuhi oleh intel dan polisi. Truk polisi melintang dekat halaman pengadilan. Buruh yang tergabung dalam serikat perusahaan ikut didatangkan. Perkara tindak pidana ringan yang disidang mirip dengan kasus teroris. Penuh pengawalan dan padat pengawasan. Polisi berseragam dan preman bersliweran. Hari itu seakan semua petugas hukum tumplek ke pengadilan. Mirip maklumat bahwa ini persidangan serius dan bahaya.
Hakim tunggal mengusut dan bertanya dengan lagak. Ia berusaha mengadili buruh dengan cara pikir pengusaha. Para saksi yang diajukan oleh polisi selalu ditanya oleh hakim: apa perusahaan rugi dengan mogok? Apa dibenarkan buruh kontrak minta jadi pegawai tetap? Apakah demostrasi itu sudah minta ijin perusahaan? Bagaimana mereka dihalang-halangi oleh aksi buruh? Entah mengapa, hari itu tersangka bukan berhadapan dengan hakim tapi penguasa hukum yang sikapnya bela perusahaan. Puncak adegan persidangan itu adalah: tujuh tersangka disalahkan oleh hakim karena melakukan demonstrasi. Kata si hakim: bagaimana kalau nanti demo lalu pabrik pindah ke luar negeri. Tidakkah warga Sragen akan rugi. Bukankah perbuatan buruh itu akan membawa ekonomi Sragen babak-belur. Dengan garang hakim tuduh salah satu pendamping buruh sebagai provokator yang jauh-jauh datang dari Jakarta.3 Peryataan hakim ini lebih mirip lontaran satpam pabrik ketimbang penegak hukum. Di tangan kualitas hakim seperti itu, vonis pidana dijatuhkan pada tujuh pembela buruh: pidana kurungan tujuh hari dengan masa percobaan selama sebulan.
Sidang pengadilan Tipiring 7 buruh PT DMST. Foto diambil dari www.timlo.net
Sontak putusan itu bawa petanda. Pengadilan memang ada bersama perusahaan. Pengadilan ternyata kawan perusahaan. Tak sekalipun perusahaan yang ingkari hak buruh dijatuhi hukuman. Pabrik memang jadi sandaran harapan hakim, polisi hingga disnaker. Jika tak percaya lihatlah kantor Disnaker Sragen: megah dan mewah. Wajar jika banyak yang curiga posisi keberpihakan Disnaker. 13 tahun perusahaan melanggar tanpa Disnaker peduli. Buruh PT DMST bukan hanya dipotong tanganya oleh mesin melainkan juga dipangkas seluruh haknya. Hak sebagai manusia yang punya martabat, kehormatan dan sepatutnya dilindungi. Kontrak baru disodorkan pada buruh dengan tanggapan tunggal: HARUS setuju. Isinya bedebah sekali: kontrak kerja hanya tiga bulan, bisa diputus setiap saat oleh pabrik, hak berorganisasi hanya diberikan pada serikat yang disetujui oleh perusahaan dengan gaji yang sudah ditentukan. Itu bukan ikatan kerja yang adil tapi kontrak untuk kerja rodi. Kini buruh memerlukan bantuan untuk membela dan memperjuangkan haknya. Bukan hanya untuk menekan pabrik melainkan menekan pejabat siapapun yang kini berdiri di belakang kepentingan pabrik. 13 tahun adalah waktu penjajahan yang terlampau lama jika didiamkan saja.
Kami hanya buruh. Tapi buruh punya hati yang tak terbuat dari baja. Kami bukan batangan mesin yang gampang untuk diganti jika rusak. Kami manusia yang tidak hanya butuh diupah tapi juga butuh untuk diperlakukan layaknya manusia: dilindungi, dihargai dan dijamin kebebasanya berorganisasi. Kami tahu bahwa yang kami lawan ini raksasa berhati serigala. Itu sebabnya, kami punya kekuatan yang tak mungkin mereka punya: keberanian dan kebenaran. Jika kami benar maka kami berani. Dan kalau kami berani itu karena kami yakin kalau kami benar. Keduanya itu hendak kami tebarkan bukan melalui uang, tapi di jalan melalui aksi dan tebar persoalan. Ingatlah pintu pabrik itu pernah kami kepung; jalanan itu sudah pernah kami buat macet dan anggota parlemen sudah pernah kami debat. Kini pabrik DMST akan kami ingat dan pahat namanya, bukan sebagai tempat untuk mengail laba tapi gulag yang menelan semua perasaan manusiawi yang kami miliki. DMST akan jadi sebuah nama yang punya alamat malapetaka yang dihuni oleh mereka yang punya keinginan mencelakai semua pekerjanya.
DMST, mungkin kalian dengan bangga telah membekuk kami. Tujuh orang buruh telah diseret sebagai tersangka. FBLP kau harapkan akan ditinggalkan oleh para anggotanya. Sementara tak semua mahasiswa mau terlibat dalam soal ini. Tapi kami tak sendiri karena kini kami melipat-gandakan diri. Di kampus-kampus namamu akan kami ingat dengan rasa benci dan jijik. Di sekolah kami akan ingatkan semua anak agar jangan pernah mau bekerja di sana. Di rumah ibadah kami akan memanjatkan doa semoga Tuhan memberi azab untuk semua yang kamu lakukan. Di luar negeri akan kami ajak seluruh penduduk dunia untuk memboikot produkmu. Hingga di tempat-tempat umum akan kami umumkan bahwa di negeri ini ada penindas yang berlagak membuka lowongan. Namanya tak lain adalah PT DMST (Duta Merlin Surya Tekstil). Alamatmu di sana tertera jelas dengan terang benderang: di kota penipu dengan rumah bertanda kekejaman.
Kini kami mau KATAKAN: menentangmu adalah perbuatan mulia di dunia ini. Melawanmu adalah perbuatan bajik yang diganjar dengan pahala berlipat. Kini kami mengajak semua pembaca untuk berbaris bersama kami. Di barisan depan kami namai barisan kehormatan. Karena pabrik itu melukai kehormatan kota kami dan pejabat kami. Mereka menjual kehormatanya untuk pabrik. Pada barisan tengah kami namai barisan martir. Karena lewat melawanmu kami semua diberi anugerah sebagai terpidana. Status yang ditetapkan karena kebenaran perjuangan. Sedang di barisan akhir kami beri nama barisan harga diri. Karena melawanmu adalah cara untuk menggariskan sesuatu yang sudah langka di negeri ini: harga diri sebagai manusia merdeka melawan para tiran yang berlindung dan bersolek di balik akumulasi laba. PT DMST kami mengajakmu ke medan laga hari ini, hari berikutnya dan hari-hari selanjutnya. Selama kamu belum penuhi hak kami, ingin kami cetuskan janji: Melawan PT DMST selalu & selamanya.***
Sragen, 17 Agustus tanpa Kemerdekaan!
Penulis adalah anggota Badan Pekerja Social Movement Institute (SMI)
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Politik Rakyat. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
* Tulisan ini dibuat untuk buruh-buruh Sragen yang tergabung dalam FBLP (Forum Buruh Lintas Pabrik) yang telah berjuang mempertahankan haknya dan berupaya terus melawan kesewenang-wenangan perusahaan. Meski polisi telah memukul, dewan juga telah mencederai janji dan hakim sudah menghukum: tapi buruh tak pernah punya rasa takut dan gentar. Bendera perjuangan itu telah dikibarkan tinggi-tinggi dan waktunya saat ini bukan untuk membuktikan siapa yang menang melainkan siapa yang berani untuk tetap berada di barisan buruh sambil menahan arus kebiadaban perusahaan. Tulisan ini disusun ketika perjuangan menuntut hak menjadi karyawan tetap masih berlangsung. Terimakasih untuk kawan-kawan aktivis mahasiswa yang tergabung dalam SMI (Social Movement Institute) LBH Yogyakarta dan BEM UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta) yang terlibat dalam mendukung perjuangan buruh Sragen.
————
1Disampaikan tanggal 24 Juli 2014 saat buruh beramai-ramai aksi ke DPRD Sragen.
2Ketujuh orang itu adalah: Agus Widodo, Martuti, Haryono, Roso Indarwanto, Harjono Martowajono, Iman Kurniawan dan Febri Widodo. Beberapa di antara mereka sesungguhnya tak ikut aksi hanya menolong kawanya ketika mau dipukul Polisi, tapi mereka semua diangkut oleh Polisi. Polisi menangkap tanpa negosiasi sebelumnya melainkan langsung memukul hingga mengangkut mereka semua.
3Martuti salah satu pengurus FBLP dan pendamping buruh dicerca oleh hakim dengan pertanyaan maupun peryataan yang menyudutkan. Kelak LBH memberi laporan perangai hakim ini pada Komisi Yudisial. Karena sungguh tak masuk akal hakim yang mengaku pernah punya pengalaman di SPSI itu dengan buas menekan semua tersangka untuk mengakui perbuatanya yang merugikan ekonomi Sragen.