Melanggengkan Patriarki dalam Budaya Populer

Print Friendly, PDF & Email

SAYA sedang membayangkan suatu identitas yang sangat berat. Seorang perempuan negro, lesbian, dan feminis, lalu ia hadir dalam ruang publik kita. Apa yang akan terjadi jika dia hidup di dunia dimana feminis dianggap hantu dan patriarki senormal oksigen? Saya memandang dunia dalam perspektif pesimistis Sartre. Dunia ini sudah terlalu patriarkis dan male-centered. Butuh perjuangan lebih besar dan mendasar dari gerakan-gerakan perempuan. Sebabnya, kapitalisme yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan memakai jubah baru yang lebih kompleks dan lebih kontradiktif untuk melanggengkan nilai patriarkisnya: budaya populer.

Budaya populer memang suatu terminologi yang luas. Budaya populer menandakan kuasa kapital terhadap selera masyarakat yang diturunkan untuk kepentingan pemodal. Begitu pun persoalan perempuan; ia nyaris dihilangkan dalam wacana budaya populer. Contohnya beragam, mulai dari pelecehan verbal dalam acara lawak televisi hingga pengkultusan perempuan dalam ruang domestik melalui acara gosip. Namun, dalam tulisan ini akan saya sempitkan dalam hal budaya visual: musik video, khususnya dalam melakukan transmisi ide berkenaan dengan feminisme dan objektifikasi perempuan.

Musik video sangat penting untuk dibahas dalam melihat objektifikasi perempuan dan pelemparan wacana gerakan feminis. Sudah menjadi rahasia umum (yang sayangnya dimaklumi) bahwa banyak industri musik yang memakai tubuh perempuan dan menggunakan lirik vulgar untuk mendongkrak profit penjualan lagu. Ini bisa ditemui dalam kebanyakan video hiphop dan rap yang mentereng di puncak teratas Billboard atau MTv. Persoalan di lagu tidak banyak memuat masalah genial dan urgen. Siapa yang mau memberikan lirik tentang perjuangan Rosa Luxemburg atau Lucia Saornil? Bahkan, ketika Beyonce repot-repot mengutip Chimamanda Ngozi Adichie dalam lagunya, saya rasa itu tak lebih dari sekedar kepentingan bisnis, dengan sasarannya adalah perempuan yang berusaha didelusional-kan. Kemunafikan itu toh juga bisa dilihat dari visualisasi lagu yang hadir dalam video musik, khususnya yang menjadi viral (terkenal/populer). Resepnya sama; tubuh perempuan diselingi lirik misoginis. Merasa familiar?

 

Menggugat Standar Perempuan dalam Video Viral

Kegelisahan ini dimulai ketika melihat video Blurred Lines, sebuah lagu maha dahsyat yang diganjar nominasi Grammy 2013 oleh Robert Thicke. Di dalam videonya, tiga perempuan menari telanjang, terobjektifikasi, dan terseret ingar-bingar lirik yang sangat misoginis. Julia Suryakusuma membahas video ini dengan sangat genial, mulai dari judul lagu, penggambaran perempuan di dalam video itu, hingga liriknya, jadi saya tidak akan membahas lagu ini lebih jauh[1]. Yang membuat saya makin kalut dan gelisah – menghasilkan suatu ketidaknyamanan bagi seorang perempuan, adalah komentar Netizen di YouTube.

Video Blurred Lines tidak menuai kritikan secara umum dari media, atau lebih tepatnya, banyak yang menyukai video itu – saya pastikan mayoritas dari mereka adalah lelaki. Bandingkan dengan apa yang terjadi dengan video counter-attack dari Lily Allen dalam video Hard Out Here yang sama-sama menampilkan perempuan berpakaian minim, merokok, dan menggoyangkan pinggul mereka di dalam suatu garis cerita bahwa semua tindakan itu didasari oleh arahan seorang lelaki, yang sepertinya pengarah video atau produser musik. Lagu Lily Allen tidak melanggengkan perempuan patriarkis, dia justru mengritiknya. Secara kasar, video Hard Out Here merupakan gambaran grotesque industri musik video dan lagunya sendiri menceritakan secara sarkastis bagaimana perempuan dipandang di ruang publik[2]. Pada lirik Hard Out Here, terdapat tandingan atas lagu Blurred Lines. ‘Forget your balls and grow a pair of tits […]Have you thought about your butt? Who’s gonna tear it in two?’ Lirik tersebut mengejek Robert Thicke yang mengatakan ‘I’ll give you something big enough to tear your ass in two.’  Lirik yang menjijikkan. Visualisasi yang lebih mengerikan.

Lalu apa yang terjadi dengan Allen? Video Hard Out Here menuai sejumlah kritik dan dituduh rasis karena memakai penari perempuan kulit hitam oleh sejumlah media Inggris.[3] Komentar yang ada di video Hard Out Here juga didominasi oleh lelaki yang mencerca secara sinis. Padahal, di video Blurred Lines kita bisa melihat seorang perempuan kulit hitam, telanjang bulat, dan menari di antara para lelaki. Lagi-lagi, ada standar ganda. Dalam video rap kekinian, banyak perempuan kulit hitam yang diperdayakan sebagai model video. Permasalahan muncul ketika yang memakainya adalah seorang perempuan kulit putih. Begitu juga dengan video-video rap Amerika lainnya. Patriarki sudah menjadi budaya popular, dia menjadi pemuas massa.

Hal yang sama juga terjadi pada video parodi feminis dari Universitas Auckland yang menuai kritikan sinis dari banyak lelaki dan perempuan. Dalam video mahasiswi Universitas Auckland, tidak hanya lirik yang diparodikan (everybody shut up! menjadi every bigot shut up!), dalam video mereka laki-lakilah yang diejek secara habis-habisan.  Komentar para pengguna YouTube banyak yang mengekspresikan ketidaksukaan mereka terhadap video itu karena dianggap sangat tidak sopan (!) dan gerakan feminisme adalah suatu hal yang menggelikan (!!).

Hal yang bisa ditarik dari sini: standar ganda bagi perempuan adalah dimana laki-laki yang menentukannya. Perempuan boleh bertelanjang bulat di video dengan lagu yang seksis nan misoginis dan tidak masalah jika lelaki menghembuskan asap rokok ke mukanya, tapi rupanya kita tidak boleh menepuk bokong lelaki dan memasukkan uang ke celana dalamnya. Pandangan yang lebih patriarkis dan tidak membantu lagi adalah, makanya perempuan gak usah sok-sokan di dunia kayak gitu aja! Urus tuh dapur ama suami! Patriarki sudah mencapai level penguasaan yang baru; ia juga hidup dalam perempuan dan sudah berusaha memuskilkan persoalan feminisme dan penindasan perempuan.

 

feminsIlustrasi diambil dari http://www.feministcurrent.com

 

Perempuan dan Patriarki: Persoalan Bersama

Lain perempuannya, lain pendapatnya. Mungkin inilah yang membuat Butler pernah mengatakan bahwa untuk menyelesaikan masalah gender, perempuan, dan feminisme dibutuhkan suatu pemikiran yang sangat mendasar dan sesuai (settled ground of analysis).[4] Emily Ratajkowski dalam wawancara Ecsquire edisi Juli 2013 mengatakan dengan ringan bahwa video yang ia bintangi (Blurred Lines) sama sekali tidak misoginis dan seksis, lebih menggelikan, ‘Lagu itu merayakan feminitas dan tubuh kita sebagai perempuan.’[5] Logika sesat tersebut tidak bisa serta merta salah Ratajkowski. Fakta tersebut merupakan PR besar bagi gerakan perempuan dan feminisme, bahwa ada satu pola dan permasalahan yang disatukan dan dapat mengakumulasi semua penindasan yang melanda perempuan. Woman question terkait penindasan dan patriarki masih menjadi persoalan dalam hal ini. Sebabnya, patriarki bukan hanya milik lelaki, tetapi juga, dalam kasus yang gawat, menetap di pola pikir perempuan. Ini juga bukan masalah sepele apakah perempuannya nyaman dengan ini atau itu, karena feminisme bukan persoalan preferensial. Feminisme harusnya adalah suatu gerakan yang memanusiakan perempuan dan mengeluarkan perempuan dari mitos bahwa ia adalah kelas sosial tersendiri, bahwa ia tidak melulu harus tunduk pada nilai-nilai maskulin.

Polemik video seksis juga semakin menggarisbawahi bahwa ruang publik adalah ruang lelaki. Ketika suatu video menjadi viral dan disiarkan melalu jejaring luas seperti internet dan media televisi, seyogyanya konten video itu merupakan persoalan publik. Namun objektifikasi perempuan rupanya tidak benar-benar objektif – atau hanya sekedar persoalan fisik semata. Ironis ketika masalah seksisme ini diangkat ke suatu video yang sangat frontal, seperti yang dilakukan mahasiswi Universitas Auckland, publik tidak menyambutnya. Perempuan feminis dianggap suatu hal yang menakutkan dan suatu kegilaan. Padahal feminisme sendiri juga merupakan persoalan bersama, yang pada akhirnya merembet lebih luas dari persoalan perempuan; ada anak, gender, dan masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, ini adalah isu kolektif, milik publik yang harus diketahui. Melalui media (yang seharusnya) dimiliki dan diperuntukkan kepada publik, kemana isu itu pergi?

Borjuasi pada ruang publik menurunkan intelektualitas yang harusnya ada di sana, dan ruang publik telah ‘dibajak secara khusus oleh kepentingan kelas tertentu’[6], begitu tukas Habermas dengan getir dalam The Structural Transformations of the Public Sphere. Gerakan genial dan kesamaan yang digaungkan oleh feminis hilang dalam wacana publik yang dibentuk oleh kapitalisme media. Kapitaslime media yang sangat patriarkis – kalau saya boleh menambahkan. Mereka seolah melemparkan premis kuno bahwa ruang publik memang bukan untuk perempuan. Sebabnya, jika perempuan masuk ke dalam ruang publik (dalam hal ini media seperti televisi dan internet), ia akan terindoktrinasi dengan nilai-nilai patriarkis yang membuatnya terlempar kembali dalam keadaan kesadaran palsu bahwa isunya diangkat oleh pemilik media. Ini kembali lagi dalam masalah klasik feminisme dan perempuan, bahwa perempuan bukan kelas sosial sendiri, layaknya ruang publik yang menciptakan lagi ruang di dalamnya ‘khusus’ bagi perempuan. Artinya, media-media kapitalis tersebut memandekkan gerakan perempuan dan feminisme, dimana budaya populer sebagai budaya massa rupanya tidak menempatkan perempuan dalam persoalannya. Modernitas dalam budaya populer rupanya tidak lebih dari masa-masa jahiliah bagi perempuan.

Pergerakan perempuan dan feminisme mengalami tantangan setiap masanya, tapi saya rasa itu tidak akan menyurutkan mereka, justru seharusnya akan membuat gerakan tersebut akan selalu ada. David Harvey pernah mengatakan bahwa kapitalisme tidak akan pernah bisa menyelesaikan kontradiksi internalnya, ia hanya akan menghasilkan kontradiksi baru. Oleh karena itu, setiap kali muncul kontradiksi-kontradiksi tersebut, itulah celah gerakan kaum tertindas. Sebab, menurut Martin Luther King Jr, dimana ada ketidakadilan, keadilan akan terus terdorong untuk bangkit. ***

 

Penulis adalah mahasiswa FIB UI dan anggota Serikat Mahasiswa Progresif UI.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Semar UI. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

 

———-

[1] Suryakusuma, Julia. 22 Januari 2014. From Rape Culture of ‘Blurred Lines’ to ‘Defined Lines’ of feminist assertiveness. The Jakarta Post. http://www.thejakartapost.com/news/2014/01/22/view-point-from-rape-culture-blurred-lines-defined-lines-feminist-assertiveness.html

[2] “You should probably fix your face or you’ll end up on your own

[3] “Lily Allen Responds to Criticism Surrounding “Hard Out Here” Dancers”. http://pitchfork.com/news/52993-lily-allen-responds-to-criticism-of-hard-out-here-dancers/

[4] Bowden, Peta, Jane Mummery. 2009. Understanding Feminism. Acumen: Great Britain.

[5] http://www.esquire.com/blogs/culture/emily-ratajkowski-interview-blurred-lines

[6] Smith, Phillip. 2001. Cultural Theory: An Introduction. Blackwell: Great Britain.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.