DARI tiga kata pada judul tulisan ini, kata ketigalah, tebakan saya, yang paling cepat mendapat rujukkan di kepala Anda. Sosok bertopi baret, mata menerawang jauh ke depan dengan rambut gondrong itu memang bukan hanya ikon orang kiri, meskipun terkadang orang kirilah yang merasa paling berhak untuk memilikinya. Sosok ini jugalah, dugaan saya, yang paling sering menjadi teman ‘anak TK’-nya kiri. Barangkali, pada suatu periode tertentu, ia sempat digantikan dengan ikon lain; penutup muka a la ninja dengan cangklong di mulut. Tetapi yang terakhir ini hanya sedikit merchandise-nya yang dikonsumsi.
Setidaknya hal itu terjadi pada saya. Che ada di kaos oblong sambil bersenandung Wake Up-nya RATM. Terkadang sambil mabuk. Apa sebenarnya hubungan antara ketiga hal itu, suram juga. Pokoknya, terlihat pemberontak dan keren. Itu saja.
Guantanamera adalah sebuah judul film. Kenapa dia terselip pula di sini, sederhana alasannya. Itu film dari Kuba. Cliché. Sejatinya Guantanamera adalah film satir tentang Kuba dan revolusinya di era 90-an. Kala itu memang Kuba mengalami banyak kemunduran. Alkisah, menurut film itu (dibuat tahun 1995), seorang penyanyi terkenal Kuba, Yoyita, pulang ke kampungnya, Guantanamera, dan mendapatkan sambutan sebagai pahlawan. Naas, ia meninggal. Di sinilah cerita Guantanamera dimulai. Di Kuba ada sebuah instansi pemerintah yang bertugas mengurusi pengiriman jenazah. Menantu Yoyita adalah seorang petinggi pada instansi tersebut. Ia pun berusaha sekuat tenaga mengantar jenasah ibu mertuanya ke Havana. Perjalanan mengantarkan jenazah inilah sebagian besar cerita Guantanamera.
Dalam perjalanan itu kita disuguhkan kepercayaan mistik dan rohani masyarakat yang kental, usaha membangun sebuah layanan publik yang diandalkan, bercampur baur dengan teori-teori ekonomi-politik Marxis. Bayangkanlah sebuah scene ini; seorang pengemudi truk pengangkut barang bersama kerneknya sibuk melaburi dan melemparkan jampi-jampi ke badan truk sebelum berangkat. Untaian bawang putih digantungkan pada kaca spion dan rosario yang ditempatkan di depan mobil serta senantiasa bergerak-gerak diterpa angin sepanjang perjalanan mereka. Sang kernek yang adalah mahasiswa drop out jurusan eknomi Universitas Havana, bercerita santai mengisi waktu melalui jalan-jalan sepi Kuba perihal eknomi-politik Marxsisme. Kita disuguhi pula musik latar Guantanamera. Minuman beralkohol serta rokok menjadi komoditi yang lebih penting dibandingkan komoditi-komoditi lain dalam truk tersebut. Ini memang khas Amerika Latin; semangat revolusioner bercampur baur kepercayaan magis.
Jadi, ada massa dengan segala tetek bengek kesehariannya dan ada, menurut bahasanya Che Guevara, foco (kelompok inti); orang-orang terpilih nan militan yang darinya perubahan terjadi. Di dalam Guantanamera, foco ini tak terlihat jelas. Namun aromanya bisa tercium pada sosok menantu Yoyita dan istrinya, seorang mantan dosen ekonomi Marxis. Ketika dua tokoh tersebut membicarakan infrastruktur, pembangunan ekonomi, dsb, terdengar membosankan dan kerap berujung pada perdebatan yang tak ada juntrungannya. Namun, ketika seorang pemuda drop out menceritakan ulang perihal ekonomi Marxis yang didapatkannya dari mantan dosennya yang cantik kepada sang supir, terdengar lebih membumi dan sangat diterima sang supir.
Tentu saja tak ada niat untuk mengajak Anda drop out berjamaah. Hidup di Indonesia dengan segala keruwetannya ini, kebanyakan dari kita masih butuh ijazah untuk bisa melakukan sesuatu. Namun dengan mengantongi ijazah yang masih panas layaknya baru ke luar dari oven, bukan berarti Anda ditasbihkan untuk datang ke kampung-kampung dan mengajari segala hal dari bangku kuliah pada penduduk desa. Justru Anda perlu belajar dari mereka.
Berbicara tentang foco dan Che Guevara, jika tak salah, mereka jarang mendapatkan kemenangan yang gemilang. Che dan foco-nya banyak terjun dalam perang-perang gerilya. Namun hampir di semua perang gerilya demi pembebasan tersebut, mereka kerapnya mengalami kekalahan. Kekalahan-kekalahan ini pun sedikit banyak disumbangkan oleh kepercayaan yang terlalu besar pada kelompok foco; kelompok yang dianggap mampu memimpin menuju sebuah kemenangan dan pembebasan rakyat. Foco yang berjuang dan memenangkan sedangkan rakyat diberi tempat di belakang mereka, mengikuti dan menuruti apa-apa yang dicontohkan foco demi cita-cita kemerdekaan pembebasan tersebut.
Namun seorang Che bukanlah tidak belajar dari kegagalan-kegagalan. Lepas dari gerilya berkepanjangan dan tidak terlalu gemilang pencapaiannya itu, Che mengajukan diri sebagai Menteri Ekonomi dan Kepala Bank Nasional Kuba di bawah pemerintahan Fidel Castro. Mengherankan, Che yang latar belakang pendidikannya dokter dan lebih banyak menghabiskan masa mudanya di medan-medan perang gerilya, punya pemikiran tentang ekonomi dan keuangan yang bisa dikatakan ‘melampaui’ zamannya kala itu. Ia berusaha memajukan Kuba yang kala itu hanya berpenghasilan tebu untuk menjadi sebuah negara industri. Ia juga mengusahakan terbukanya sebanyak mungkin pekerjaan dengan penghasilan yang layak untuk setiap orang.
Saya kurang tahu, apakah Che berhasil mewujudkan hal tersebut ketika menjabat sebagai Menteri Ekonomi dan Kepala Bank Nasional Kuba. Namun, setidaknya, ia punya kemauan keras untuk bekerja di bidang itu dengan sebuah cita-cita akan kesejahteraan bersama yang menyala-nyala sebagai lokomotifnya. Itulah yang membuat Castro tanpa ragu menempatkannya sebagai Menteri Ekonomi. Meski pun kita tahu bahwa setelah dari situ, Che kembali terjun bergerilya, yang gagal juga, lantas meninggal di Bolivia. Dan kita terpesona dengan sampiran dari fakta itu; Che Guevara terlahir sebagai gerilyawan, alhasil kursi birokrasi mengungkung jiwa gerilyanya.
Bukankah daya revolusioner tak pernah di bawah sejak dari lahir tetapi dibentuk oleh sebuah situasi kondisi tertentu? Dengan demikian, daya revolusioner selalu perlu mengambil bentuk berbeda-beda pada setiap situasi kondisi yang berbeda-beda?***