Antara Iman dan Pembebasan

Print Friendly, PDF & Email

SEJAK rezim Orde Baru (Orba) berkuasa pada 1965, hubungan antara Agama dan Marxisme dikonstruksikan seperti air dan api, terpisah dan saling meniadakan. Dalam konstruksi Orba, tidak mungkin agama dan marxisme berjalan beriringan apalagi beririsan. Adalah kafir dan jahanam jika ada orang beragama sekaligus Marxis, begitu sebaliknya.

Propaganda ‘terstruktur, sistematis, dan masif’ rezim Orba, yang didahului dengan eksekusi mati dan pemenjaraan jutaan mereka yang dituduh Partai Komunis Indonesia (PKI) serta diundangkannya Tap Tap MPRS/XXV/1966 tentang pelarangan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme Leninisme, telah begitu tertanam dalam kepala dan hati sanubari rakyat Indonesia hingga kini. Padahal, dalam sejarah pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia, saling silang antara Agama dan Marxisme, menjadi orang beriman sekaligus Marxis, menjadi seorang Muslim yang taat sekaligus Marxis, merupakan hal yang wajar.

Tulisan ini, dengan mengambil contoh kasus Amerika Latin, coba mengintroduksi kembali sebuah perbincangan yang kreatif dan bersahabat antara Agama dan Marxisme. Perbincangan ini saya anggap penting dan relevan kini, karena kehidupan mayoritas rakyat Indonesia semakin tertindas akibat penerapan kebijakan kapitalisme-neoliberal. Kita bisa merujuk pada angka-angka statistik resmi yang menunjukkan tentang tingginya tingkat kesenjangan sosial, besarnya angka kemiskinan, represi aparat negara terhadap rakyat yang menolak tanahnya digusur, upah buruh yang sangat rendah, dsb, dsb.

***

Di abad XIX, boleh jadi peran keagamaan masih merupakan penopang kubu kalangan reaksioner, konservatisme, penentang pencerahan akal dan perubahan politik, sebagaimana yang Marx dan Engels lihat. Tetapi semakin tumbuh mekarnya para penganut Kristen – termasuk banyak pastor dan agamawan lainnya – yang mendukung perjuangan rakyat dan melibatkan diri langsung secara pejal dalam revolusi Sandinista, di Nikaragua, jelas-jelas memperlihatkan perlunya suatu pendekatan yang baru dalam pandangan Kaum Marxis awal terhadap peran agama.

Pandangan tradisional lainnya adalah saling mempertentangkan para orang awam radikal Gereja dengan para pemilik jenjang kedudukan atau kekuasaan konservatif dalam Gereja. Mungkin saja benar sebagiannya, namun semakin banyak jumlah para uskup yang menyatakan kesetiakawanan mereka pada gerakan-gerakan pembebasan orang miskin. Dan lebih jauh lagi, tidak jarang para uskup yang bersetiakawan ini membayarnya dengan nyawa mereka sendiri, seperti pada kasus Monsinyor Oscar Romero yang ditembak mati oleh pasukan pembunuh pada bulan Maret 1980.1

Ada dasar perjuangan yang sama di kalangan gerakan-gerakan pembebasan, di antaranya perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama – yakni menentang berhala-berhala baru yang disembah oleh Fir’aun baru, Caesar-Caesar baru, dan Herodes-Herodes baru: Uang, Kekayaan, Kekuasaan, Keamanan Nasional, Negara, Pasukan Militer dan ‘Peradaban Kristen Barat’. Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab musabab kemiskinan, pertentangan-pertentangan dalam tubuh kapitalisme dan bentuk-bentuk perjuangan kelas. Dan hal-hal dasar lainnya tentang ketidakadilan dan menuntut kebebasan.

Gerakan sosial yang melibatkan sektor-sektor penting dari Gereja (para romo, para pengamal tarekat-tarekat atau ordo-ordo keagamaan, para uskup), gerakan-gerakan keagamaan orang awam (Aksi Katolik, Pemuda Perguruan Tinggi Katolik, Pemuda Buruh Kristen), keterlibatan pastoral-pastoral yang merakyat (kepastoran buruh, kepastoran petani, kepastoran kota) serta kelompok basis masyarakat-masyarakat gereja, semakin luas dan muncul pada awal tahun 1960-an yang lazim disebut ‘Kekristenan untuk Pembebasan.’

Gerakan inilah yang secara keras ditentang oleh Vatikan dan hirarki tertinggi dari Gereja Katolik Amerika Latin dalam Konferensi Para Uskup se-Amerika Latin yang dipimpin oleh Uskup Kolombia, Alfonso Lopez Trujillo. Dapat dikatakan, telah terjadi perjuangan kelas dalam tubuh Gereja? antara iya dan tidak. Iya, dalam hal tertentu yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan kelas penguasa dan para sekutunya atas mereka yang tertindas. Tidak, dalam hal tertentu dimana para uskup, para penganut Jesuit, dan para pendeta yang memimpin ‘Gereja Orang Miskin’, pada diri mereka sendiri bukan orang miskin.

Gereja gaya Brazilia menjadi sangat terdepan di Amerika Latin, di mana Teologi Pembebasan dan para jemaatnya memenangkan pengaruh yang sangat menentukan. Kediktatoran militer yang mulai berkuasa sejak 1964, kemudian membangun kekuasaan dengan menutup semua saluran kelembagaan yang mewakili pernyataan protes kerakyatan (terutama setelah tahun 1968). Rejim kediktatoran militer itu tumbang oleh persekutuan antara gerakan-gerakan kerakyatan dan gereja-gereja basis yang menganut teologi pembebasan. Praktis gerakan-gerakan kiri terbentuk di Gereja, sehingga mengubah lembaga keagamaan untuk lebih berpihak kepada kaum miskin dan yang tertindas, yang juga kemudian memicu pertentangan yang ajeg antara negara dengan Gereja. Namun jangan lupa, kediktatoran di Argentina justru didukung penuh oleh pihak Gereja.

 

firman2

 

Kecepatan dan kedalaman perkembangan kapitalisme sejak 1950 yang jauh lebih pesat di Brazil daripada negara Amerika Latin lainnya, bisa menjelaskan kenapa peran gereja berbeda dari satu negara ke negara lainnya. Tingginya perpindahan penduduk ke kota-kota, industrialisasi, ketangkasan, dan kekejaman penjarahan kapitalis ke desa-desa yang makin memperkeras pertentangan-pertentangan sosial, seperti kian suburnya ketidakadilan sosial, pengusiran penduduk pedesaan dari tanah mereka, kian bertumpuknya penduduk-penduduk miskin di pinggiran perkotaan, semua ini mendorong munculnya ajaran Kristen pembebasan sebagai jawaban radikal atau model ‘modernisasi’ kapitalis yang mencelakakan dan menyengsarakan rakyat.

Para romo dan teolog radikal tahun 1970 dan 1980, belajar dari pengalaman tahun 1960-an dan dari apa yang terjadi di negara Amerika Latin lainnya, bekerja diam-diam di antara para Uskup untuk tidak dicampakkan dari Gereja. Beberapa ada yang terang-terangan dan berbicara kepada Uskup mengenai gerakan pembebasan ini. Salah satu tokoh utama dalam gerakan kesadaran politik kerakyatan ini adalah Frei Betto, penganut tarekat Dominikan asal Brazil yang dikenal seluruh dunia karena merekam percakapan keagamaan dengan Fidel Castro. Berangkat dari terpukul hatinya melihat kemiskinan rakyat dan kediktatoran militer yang merebut kekuasaan 1964, Betto lantas menjalin hubungan kerja Dominikan yang bersimpati secara aktif dengan gerakan gerilya. Ketika penindasan besar-besaran tahun 1969, Betto menolong banyak pegiat revolusioner atau membantu mereka menyeberangi perbatasan secara diam-diam ke Uruguay atau Argentina. Kegiatan inilah yang mengantarkannya ke penjara dalam kurun waktu 1969 sampai 1973.2 Surat-surat yang dikirim dari balik jeruji menandakan perlawanan rohaninya yang sangat berani, sebab dia sendiri dalam penganiayaan dan pengekangan.

Salah satu bagian yang menarik dari bukunya adalah ketika diinterogasi oleh algojo rezim diktator yang terkenal bengis:

‘Bagaimana orang Kristen kok bisa bekerja sama dengan orang Komunis?’

‘Bagi saya, manusia tidak dibedakan dari mereka yang beriman dan mereka yang ateis, tetapi dibagi antara mereka yang tertindas dan mereka yang menindas, antara mereka yang ingin mempertahankan tatanan masyarakat yang tidak adil ini dan mereka yang berjuang demi tegakknya keadilan.’

‘Apa kamu sudah lupa kalau Marx menganggap bahwa agama itu candu bagi rakyat?’

‘Orang-orang borjuislah yang telah memutarbalikkan agama menjadi candu bagi rakyat dengan mengkhotbahkan adanya Tuhan yang bertahta Cuma di surga, sementara itu mereka meraup semua isi bumi ini untuk dirinya sendiri.’

Dipersembahkan juga kepada tokoh yang bernasib menyedihkan, Frei Tito de Alencar yang disiksa secara keji oleh polisi Brazilia3, yang, bahkan setelah dikeluarkan dari penjara, ia tidak bisa memulihkan cacat di sekujur tubuhnya. Sampai pengasingannya di Perancis, ia masih tetap merasa terus disiksa oleh para penganiayanya dan beberapa kali mencoba bunuh diri.

Dalam novelnya yang diterbitkan tahun 1987, O dia de Angela, Frei Betto menuturkan riwayat kehidupan dan kematian seorang wartawan Kristen yang dipenjarakan oleh rezim militer dan ‘mempertanyakan’ sebab-sebab kematiannya. Kesimpulan buku ini digambarkan dengan ironi yang menggigit dari suatu pertemuan ‘tidak resmi’ para pemimpin partai oposisi yang berhaluan liberal kala itu – kini duduk dalam pemerintahan – di mana suatu keputusan diambil untuk ‘melupakan yang sudah-sudah’ dan menganugerahkan suatu pengampunan umum kepada para tukang siksa rezim sebelumnya.

Sebenarnya masih banyak lagi ulasan pemikiran-pemikiran awal pendekatan agama dan perjuangan kelas hingga perjalanan panjang sampai pada teologi pembebasan di Amerika Latin. Kemunculan pergerakan Kristen revolusioner dan teologi pembebasan di negara-negara Amerika Latin lainnya seperti Gereja Brasilia, Sandinismo di Nikaragua, Perjuangan Revolusioner di El Savador (dan dimana saja), telah membuka suatu lembaran sejarah baru. Kita dapat melihat penampilan suatu pemikiran keagamaan yang justru menggunakan konsep-konsep Marxis yang kemudian mengilhami banyak perjuangan ke arah pembebasan sosial.

Ketertaklukan Gereja maupun lembaga-lembaga agama lain oleh hegemoni kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi yang serakah, bisa jadi penyebab munculnya aturan-aturan penentang gerakan-gerakan ke arah sosialis dan teori Marxis. Di sisi lain, sekaligus, ini menjadi kritik terhadap sebagian pemahaman kaum Marxis tentang pemisahan agama dan pergerakan revolusioner, yang menjadi pilihan progresif analisis Marxis tentang agama.***

 

Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya, Malang. Beredar di twitterland dengan id @tonyfrmn

 

Kepustakaan:

Lowy, Michael (2013) Teologi Pembebasan:Kritik Marxisme & Marxisme Kritis, Yogyakarta: INSISTPress.

Diterjemahkan dari: Michael Lowy, “Marxismo e Teologia da Libertação”

 

——–
1http://en.wikipedia.org/wiki/ Óscar_Romero

2http://en.wikipedia.org/wiki/Frei_Betto

3http://en.wikipedia.org/wiki/Frei_Tito

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.