- Teori – Nasionalisme Sebagai Teknologi Pengaturan
- Kliping – Partisipasi Nan Gembira
- Catatan Kawan – Jokowi Sebagai Biang Hipster
- Karya – Berantas Pelacuran
- Karya – Terbalut Songket di Kyoto
Salam Pembaca Lembar Kebudayaan IndoPROGRESS nan budiman, di mana pun Anda berada.
Maaf, bulan lalu LKIP tak hadir ke muka pintu intelektual Anda. Semua personel LKIP kala itu memang tengah turut bergembira dalam partisipasi politik warga; sebuah kenyataan yang—bagi generasi ini—belum pernah dijumpai sejak lahir hingga sekarang. Jika menengok sejarah, barangkali euforia yang sama pernah muncul pada Pemilu 1955. Pada pemilu pertama itu, kesadaran mempertahankan kemerdekaan yang didapatkan dengan berdarah-darah masih sungguh tingginya. Saat itu barangkali banyak anggota Laskar Rakyat dan para pemuda, yang memandang perang gerilya sebagai sebuah cara mengangkat martabat hidupnya, baru turun dari gunung-gunung dengan tubuh dan otak hanya terbiasa untuk berperang. Barangkali state of emergency, meminjam Anom Astika, turut mendorong keterlibatan aktif dalam euforia politik kemarin.
Hadirnya kembali LKIP di bulan ini, dengan sedikit keterlambatan, bukan berarti kembalinya rutinitas biasa seperti dahulu kala. Kami menyadari, mengakomodasi, dan menjalankan sesuatu yang berbeda, yakni kegembiraan politik di tengah rutinitas sehari-hari. Barangkali kesadaran inilah yang tak mewujud dalam tokoh Iskandar dalam Lewat Jam Malam besutan Usmar Ismail, tokoh khayalan Asrul Sani. Iskandar adalah pejuang revolusi fisik kemerdekaan yang menemukan kehampaan ketika masuk kembali ke Kota Bandung. Ia lantas tewas.
Usaha menginjeksikan kegembiraan—atau antusiasme—politik dalam kehidupan sehari-hari adalah tugas hari ini. Kesadaran sebagai warga yang politis dan bahwa hidup sehari-hari senantiasa politis mensyaratkan sikap ‘awas’ pada sekeliling, lebih peka lantas berani lantang untuk menyuarakan kejanggalan-kejanggalan hidup bermasyarakat. Ingat, bagi kelas tertindas bahaya selalu mengintip setiap saat. Kelas penindas tentu tak merasakan itu.
Untuk mengenang euforia politik tersebut, pada rubrik Kliping dihadirkan koleksi stiker karya seniman oomleo. Stiker karya seniman visual cum musisi ini menggambarkan bentuk kegembiraan yang paling absurd, radikal, dan di luar kontrol. Namun ia justru berhasil menyedot perhatian dan mendorong partisipasi khalayak. Stiker-stikernya termasuk yang cukup kerap di-share dan dikomentari di media sosial ketika acara #Siaga2Jaga2 digelar di ruangrupa, Jakarta, beberapa hari sebelum tanggal 9 Juli.
Pada rubrik Catatan Kawan, Rahmat Arham menulis “Jokowi sebagai Biang Hipster”. Di sana Arham menggambarkan apa itu hipster sebenarnya dan kenapa benar adanya jika atribut hipster ini dikenakan pada sang presiden terpilih. Arham juga mengingatkan pentingnya terus menjaga ke-hipster-an Jokowi agar tidak terkooptasi. Bukankah dalam dunia musik banyak sekali band yang penginnya tetap indie tetapi diam-diam digerogoti industri komersial? Atau, memang ada juga musisi tertentu yang memakai atribut independen sebagai loncatan menuju major label. Jadi, lantas di manakah posisi Jokowi, si biang hipster itu?
Meski banyak anggota redaksi LKIP yang jomblo, tetap ada perhatian untuk sebuah hubungan sosial paling purba antara laki-laki dan perempuan. Untuk itulah kenapa pada rubrik karya kali ini kami hadirkan komik karya Aji Prasetyo. Aji mengkritik konsep hubungan dua manusia beda jenis kelamin itu dalam kerangkeng agama dan menjukstaposisikannya dengan realitas labelisasi lokalisasi sebagai haram.
Pada Rubrik Teori,Holy Rafika D. mengajak kita merefleksikan nasionalisme dalam tulisannya yang bertajuk “Nasionalisme sebagai Teknologi Pengaturan”. Membaca nasionalisme pada bulan Agustus tentu sebuah kebetulan yang manis. Bulan yang penuh dengan perayaan kemerdekaan itu memberikan momen yang pas untuk berefleksi kembali tentang nasionalisme. Benedict Anderson memang benar, bahwa Indonesia adalah sebuah proyek yang perlu terus dipikirkan dan terus dipikirkan. Terlepas dari argumen dan pendasaran teori serta pembahasan Rafika, marilah memberi sedikit waktu untuk berdebat dan merenungkan kembali nasionalisme. Tentu ini bukan sebuah ajakan a la fasis.
Bersamaan dengan bulan Agustus sebagai bulannya kemerdekaan Indonesia, hadir pula di rubrik Karya sebuah cerpen sejarah karya Joss Wibisono. Sejarawan yang sudah dua kali menyumbangkan karya fiksinya untuk Lembar Kebudayaan IndoPROGRESS ini selalu asyik menghadirkan kisah sejarah dalam rupa fiksi. Sumbangannya penting buat fiksi sejarah Indonesia yang seringkali terkadang disalah-artikan begitu rupa—mungkin lantaran penulisan sejarah kita memang seperti fiksi.
Akhirulkalam, Selamat Merdeka, selamat memiliki presiden baru, dan ingatlah bahwa kemerdekaan bukanlah sebuah kenyataan yang mati. Ia adalah kenyataan yang terus berkembang, maka itu harus terus dirawat, diperjuangkan. Semoga kegembiraan politik terus mewarnai keseharian bangsa ini.
Selamat membaca!