Jokowi adalah presiden Indonesia terpilih periode 2014-2019 yang hip. Sebelum saya paparkan lebih lanjut indikator apa saja yang membuat dia hip, saya ingin menjelaskan pengertian hip dan beberapa hal yang menurut saya penting untuk dituliskan secara singkat. Kata ‘hip’ yang merupakan asal kata ‘hipster’, saat digunakan di Indonesia, mengalami perubahan, pergeseran, atau penurunan makna dari term aslinya. Dalam buku Hip: The History karya John Leland, disebutkan bahwa kata ‘hip’ diambil dari kata ‘hepi’ yang berarti ‘to see’ atau ‘hipi’ yang maksudnya ‘to open one’s eyes’. Kata ini sendiri berasal dari bahasa Wolof, bahasa yang digunakan budak asal Afrika Barat (Senegal dan Gambia) di Amerika sekitar tahun 1700-an. Hip pada mulanya adalah suatu pencerahan budaya untuk kulit putih dan kulit hitam Amerika. Mereka inilah yang menginginkan budaya populer Amerika, sehingga kulit putih dan kulit hitam dapat menyatu. Hip adalah cara respons diri sendiri terhadap kebudayaan, lalu kebudayaan itu mengadopsinya agar menjadi hip. Dengan hip, sejarah Amerika bergerak dari negara agraris ke negara yang mengedepankan teknologi, dari era Victoria ke era modern.
Generasi hip pertama dimulai pada abad XIX, saat orang-orang kulit hitam dan putih memutuskan untuk hidup bersama. Mereka mengadakan blackface minstrel show, yaitu aneka pertunjukan musik, komedi, dan tarian, atau menyanyikan lagu-lagu blues. Nama-nama seperti Ralph Waldo Emerson, Henry David Thoreau, Walt Whitman, dan Herman Melville merupakan tokoh-tokoh kunci hip pertama sekitar 1850-1855. Generasi kedua antara1910 dan 1920 ditandai dengan eksodus penduduk desa ke kota, datangnya imigran kulit hitam, pengungsi Yahudi dari Eropa, penulis dari Paris, dan radio-radio yang mulai mengudara serta mendorong munculnya industri rekaman. Generasi ketiga hip dihitung setelah Perang Dunia Kedua. Generasi ini disebut sebagai masa keemasan hip dengan munculnya Beat Generation: Allen Ginsberg, Jack Kerouac, William S. Burroughs—beberapa orang yang sudah tentu tidak asing lagi bagi yang merasa dirinya benar-benar hipster. Tahun 1970-an, saat krisis melanda Amerika Serikat, merupakan penanda generasi keempat hip. Era ini ditandai dengan asas do-it-yourself atau DIY, musik punk, hip-hop, grafiti, skateboard, dan membanjirnya zine. Sosok yang mewakili generasi ini, di antaranya: Jim Jarmusch, John Lurie, Bob Dylan, dan Andy Warhol. Saat internet masuk hingga perputaran informasi di dunia maya menjadi begitu cepat merupakan penanda generasi hip yang kelima. Sekarang ini era hip sudah masuk generasi keenam.
Lebih lanjut, Leland mengatakan bahwa tidak ada panduan manual untuk menjadi hipster, tapi ada yang dikenal sebagai “archetypes of hip”. Beberapa nama di atas merupakan contohnya dan sebutan untuk mereka adalah trickster, orang-orang yang mempunyai pandangan atau pengaruh di suatu lingkungan dan menjalankan apa yang mereka yakini.
Saya mencatat beberapa poin penting dari Leland yang saya gunakan sebagai indikator mengapa Jokowi disebut sebagai biang hipster:
- “Hip is social relation. You decide what is hip and what is not”
Blusukan. Itulah yang menjadi relasi sosial Jokowi dengan masyarakat. Betapa populernya kata itu semenjak dia disorot prestasinya. Cukup jarang ditemukan dokumentasi foto atau video Jokowi berada di satu ruangan yang sejuk. Sebaliknya, akan sangat mudah menemukan dokumentasi tentang dirinya saat dia blusukan dan dikerumuni orang banyak. Secara tidak sadar, Jokowi menegaskan bahwa seperti inilah pemimpin seharusnya. Bekerja di tengah masyarakat dan melayaninya. Silakan ketik kata kunci “Jokowi dan Blusukan” di Google maka hasil pencariannya sekitar 3.180.000. Tidak mengherankan angka seperti itu didapatkan. Blusukan membawa Jokowi jadi hip dan dia yang memulainya.
- “Hip requires a transaction, an acknowledgment”
Berdialog, bermusyawarah, dan mengajak makan. Itulah yang dilakukan Jokowi ketika ingin menata PKL Pasar Tanah Abang dan normalisasi Waduk Pluit. Dia mengajak masyarakat untuk berdialog mengenai apa yang diinginkan. PKL dibujuk untuk pindah ke Blok G Pasar Tanah Abang. Penataan dan normalisasi Waduk Pluit dilaksanakan dengan merelokasi warga ke rumah susun. Cara persuasif seperti itu terbukti efektif ketimbang menggunakan Satpol PP yang mudah menyulut kemarahan masyarakat.
- “…hip doesn’t happen just anywhere. It requires population density…”
Jokowi tidak akan jadi hip seandainya saja dia masih mengurus secara penuh perusahaannya di bidang perabotan. Sudah takdirnya Jokowi bekerja untuk rakyat, dimulai sebagai menjadi walikota Solo, gubernur DKI Jakarta, dan sekarang presiden Indonesia ke-7. Karena dia juga berasal dari rakyat, maka Jokowi mampu merasa, mendengar, dan bertindak seperti apa demi kesejahteraan rakyatnya. Apa yang dilakukan Jokowi adalah hal-hal yang dirindukan rakyat Indonesia untuk bisa dekat dengan pemimpinnya dan melayaninya.
- “In a society run on information, hip is all there is”
Peran relawan yang begitu massif berkampanye saat pemilihan presiden, khususnya di ranah media sosial—Facebook, Twitter, dan Youtube—membuat pesona Jokowi makin hip. Muncul tagar #AkhirnyaMilihJokowi di mikroblog Twitter yang merupakan ajakan bagi yang belum menentukan pilihan; dukungan dari musisi luar negeri seperti Sting dan Jason Mraz yang sosoknya dijadikan role model oleh sebagian besar orang-orang di Indonesia; beberapa web yang dijadikan sumber informasi untuk pemenangan Jokowi, seperti www.gerakcepat.com atau www.jokowicenter.com; ilustrasi tentang Jokowi di beberapa tempat di kota besar; testimoni video, seperti “60 Detik Buat Kamu yang Masih Bingung”; beberapa musisi membuatkan lagu, seperti Kill The DJ dari Jogja Hip Hop Foundation, Slank dengan “Salam 2 Jari”, dan konser Salam Dua Jari di Gelora Bung Karno, 5 Juli 2014 yang dipenuhi lebih dari 100 ribu orang.
Penyederhanaan dari hal di atas adalah munculnya istilah Jokowi Effect yang makin menegaskan bahwa Jokowi memang pantas disebut sebagai pemimpin yang hip. Istilah ini muncul setelah pendeklarasian dia sebagai calon presiden Indonesia yang berakibat bagi meningkatnya penjualan saham di Indonesia. Mata uang rupiah pun saat itu menguat. Masyarakat yang hampir apatis terhadap pemimpin Indonesia berikutnya perlahan-lahan menunjukkan rasa optimis bila Indonesia dipimpin Jokowi. Sosok dia ibarat oase di padang pasir. Istilah ini sampai juga ke ranah Wikipedia;[1] media luar, www.thediplomat.com menyebut bahwa kesuksesan Jokowi sebagai pemimpin dapat berpengaruh ke beberapa negara, dan ini menjadikannya sebagai figur pemimpin ideal untuk pergerakan masyarakat di Asia Tenggara;[2] hingga akhirnya frasa Jokowi Effect dijadikan nama web www.efekjokowi.com sebagai pusat informasi tentang Jokowi dalam kampanye pemilihan presiden Indonesia.
Dampak lain yang cukup besar adalah naiknya jumlah anak muda yang memilih Jokowi sebagai pemimpin baru Indonesia. Posisi anak muda yang begitu signifikan untuk meraup suara—apalagi pemilih pemula—tidak bisa dilepaskan dari pengaruh relawan. Hasil survei dari Political Communication (Polcomm) Institute menunjukkan mayoritas pemilih muda memilih Jokowi-JK, yaitu sebesar 46,4 persen. Survei dilakukan di 33 provinsi pada 16-20 Juni 2014.[3] Dengan memilihnya, ada harapan untuk Indonesia yang lebih baik. Seperti kata Hilmar Farid, salah seorang ketua relawan Jokowi, saat diwawancara Wall Street Journal, “Kita menemukan sebuah harapan akan masa depan yang lebih baik pada sosok Jokowi. Jokowi adalah sosok baru. Ini yang membuat kita berharap padanya. Dia orang biasa … Relawan sangat mandiri. Mereka tidak banyak didukung partai-partai politik, organisasi politik. Wataknya spontan.”[4]
Relawan menjadi sangat vital untuk memenangkan Jokowi sebagai presiden. Lebih jauh lagi, setelah Jokowi dipilih oleh 70 juta rakyat Indonesia, peran relawan belum selesai. Tugas berikutnya yang lebih berat adalah mengawal pemerintahan Jokowi. Dalam acara syukuran atas terpilihnya Jokowi sebagai presiden di Tugu Proklamasi (23/07) kemarin, ada 9 Maklumat Rakyat yang dibacakan Hilmar Farid. Maklumat ini merupakan salah satu bentuk pengawasan dan keterlibatan relawan dalam mengawasi jalannya pemerintahan nanti.[5] Beredar juga daftar anggota Kabinet Alternatif Usulan Rakyat (KAUR) yang mempersilakan partisipasi rakyat untuk memilih satu dari tiga nama calon menteri atau mengusulkan nama lain sesuai dengan posnya masing-masing.[6] Pelibatan masyarakat ini suatu terobosan baru dalam pemerintahan Indonesia. Jokowi merasa pandangan publik menjadi bagian penting sebelum dia menentukan siapa saja yang akan duduk di kabinetnya nanti[7] karena kemenangan Jokowi-JK adalah kemenangan relawan dan rakyat Indonesia. Dalam pidato kemenangannya bersama JK di atas kapal pinisi, dia berucap, “Saya hakul yakin bahwa perjuangan mencapai Indonesia yang berdaulat, Indonesia yang berdikari, dan Indonesia yang berkepribadian hanya akan dapat tercapai dan terwujud apabila kita bergerak bersama.”[8]
Dengan demikian Jokowi adalah trickster untuk memimpin Indonesia jadi lebih baik. Memang tidak akan mudah membenahi Indonesia menjadi sebuah negara yang maju. Tapi sedikit demi sedikit, hal itu bisa kita percayakan pada Jokowi, yang bisa melayani rakyat dan menyejahterakan negara, dengan cara tetap mengawal pemerintahannya nanti. Seperti kata Leland, “To be hip is to believe in the possibility of reinvention to understand oneself as between states…”
[1] http://bit.ly/1A2KYKY. Terakhir diakses 9 Agustus 2014. [2] “The Jokowi Effect in Southeast Asia”, thediplomat.com, 16 Mei 2014. Tautan: http://bit.ly/QRcNUv. Terakhir diakses 9 Agustus 2014. [3] “Survei Polcomm: Anak Muda Pilih Jokowi-JK”, tribunnews.com, 24 Juni 2014. Tautan: http://bit.ly/1yh05Ob. Terakhir diakses 9 Agustus 2014. [4] “Kampanye Akar Rumput: Akar Pemerintahan Indonesia Mendatang”, hilmarfarid.com, Juli 2014. Tautan: http://bit.ly/1lKjKjO. Terakhir diakses 9 Agustus 2014. [5] “Tumpang Tujuh Meter Semarakkan Syukuran Kemenangan Relawan”, jokowi.id. Tautan: http://bit.ly/1pHX3Re. Terakhir diakses 9 Agustus 2014. [6] Kabiner Alternatif Usulan Rakyat (KAUR)”. Tautan: http://bit.ly/1s5Tq8H. Terakhir diakses 9 Agustus 2014. [7] “85 Ribu Orang Usulkan Nama Menteri ke Jokowi”, pemilu.tempo.co, 1 Agustus 2014. Tautan: http://bit.ly/1mx7N18. Terakhir diakses 9 Agustus 2014. [8] “Pidato Kemenangan Jokowi di Atas Kapal Pinisi”, www.beritasatu.com. Tautan: http://bit.ly/1kt4SLo. Terakhir diakses 9 Agustus 2014.