HARUS diakui bahwa gagasan ‘dukungan kritis’ beresonansi cukup kuat dalam proses pemenangan Jokowi pada pemilu kemarin. Jokowi didukung bukan karena dirinya sendiri, akan tetapi juga konteks politik yang mengiringi kandidasi dirinya, yang membuat kekalahannya dalam pemilu akan menyebabkan demokrasi Indonesia menjadi terancam. Kemenangan dirinya atas Prabowo, memberikan ruang yang lain mengenai arah demokrasi yang berada di luar trajektori politik Orde Baru itu sendiri. Dengan kata lain, semacam dukungan bersyarat mengenai pentingnya demokrasi Indonesia untuk dipertahankan, serta keharusan untuk meningkatkan kualitas demokrasi kita agar berfungsi bagi semua masyarakat Indonesia.
Walau begitu, bukan berarti semuanya menjadi mudah. Kemenangan Jokowi tidak secara otomatis bisa secara cepat merealisasikan politik kerakyatan yang diperlukan untuk transformasi mendalam relasi politik Indonesia. Anggapan ini, setidaknya, dapat kita lihat pada perkembangan terkini dari proses yang dilakukan Jokowi untuk mengonsolidasikan kekuatannya menjelang pelantikan, yang mana sedikit banyak masih mengakomodasi kepentingan kekuatan politik lama. Setidaknya, ini bisa dilihat dengan diberikannya ruang-ruang manuver kekuasaan kepada figur-figur bermasalah, seperti Hendropriyono, Rini Suwandi dsb. Dalam proses awal seperti ini, kita dihadapi oleh posisi dilematis mengenai hubungan dengan Jokowi itu sendiri.
Dilema ini tentu saja harus diatasi. Sempat kita mengambil keputusan untuk mendukung secara kritis kandidasi Jokowi. Maka ketika Jokowi sudah secara resmi ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU, maka kita harus memeriksa kembali apa arti dukungan kritis kita terhadapnya, ketika ia sudah mendapatkan kemenangan. Hanya dengan jawaban yang jelas atas pertanyaan ini kita dapat mengatasi dilema yang tengah kita hadapi sekarang.
Jawaban atas pertanyaan ini tentu saja harus dimulai dari apa yang sebenarnya muncul dengan gagasan dukungan kritis itu sendiri. Yang menarik untuk kita lihat dari artikulasi ‘dukungan kritis’ adalah gagasan ini diiringi degan kemunculan entitas ‘relawan’ sebagai suatu bentuk artikulasi dukungan yang kritis terhadap Jokowi. Klaim ini mungkin terdengar berlebihan, namun bukan berarti argumen ini keliru mengingat kontribusi aktif relawan yang terlibat aktif dalam proses kampanye kemarin adalah sebentuk dukungan yang kritis terhadap Jokowi itu sendiri. Kritisisme relawan terhadap Jokowi terletak pada adanya pemahaman kritis relawan mengenai batas-batas politik yang dihadapi oleh Jokowi itu sendiri. Dalam kondisi itu, ada yang penting dari posisi relawan dimana mereka secara spontan terpolitisasi dalam rangka menyikapi kritik mereka sendiri serta keterbatasan yang dimiliki Jokowi.
Akan tetapi, menjadi penting bagi kita untuk memahami bahwa relawan beserta dukungan kritisnya tidak terjadi dalam ruang yang vakum. Kekuatan politik Orde Baru, yang pada saat itu juga mendukung Jokowi, juga melibatkan diri dalam kategori relawan ini. Dengan kata lain, kategori relawan tidak dapat dikatakan sebagai bentuk politik yang transformatif dalam dirinya sendiri. Terdapat operasi kuasa tertentu yang menyebabkan ia bisa fungsional dalam konfigurasi politik yang ada. Disinilah diperlukan pemeriksaan atas relasi kuasa terlebih dahulu untuk menentukan bagaimana ‘dukungan kritis’ dapat diformulasikan setelah Jokowi menjadi pemenang.
Lalu bagaimana relasi kuasa ini dapat diperiksa? Sebagai Marxis, tentu saja kita harus memahami bahwa relasi kuasa beroperasi dalam historisitas kapitalisme tertentu. Tulisan Martin Suryajaya mengenai proses historis kapitalisme indonesia yang menubuh dalam relasi oligarki adalah titik tolak yang penting dalam memahami relasi kuasa Indonesia sekarang. Kalibrasi kapitalisme dalam oligarki menyebabkan kapitalisme Indonesia beroperasi dalam relasi rente antara negara dengan kapitalis itu sendiri. Dalam relasi rente inilah operasi kekuasaan di Indonesia tidak dapat dipahami sebatas keberadaan figur, namun harus dilihat dalam interaksinya dengan jejaring aliansi bisnis-politik birokrat yang menggunakan kekuasaan negara dalam rangka merampok sumberdaya publik dan rakyat pekerja pada khususnya. Hal inilah yang menyebabkan relasi oligarki begitu fleksibel untuk dapat mempengaruhi posisi politik yang lain. Karena yang utama adalah relasi dalam jejaring, yang terkadang terlepas dari posisi individual tertentu. Tidak mengherankan, jika Jokowi sendiri tidak dapat melepaskan dirinya dari relasi oligarki itu sendiri.
Akan tetapi kita perlu lebih spesifik disini. Fleksibilitas oligarki itu sendiri secara historis harus ditempatkan dalam konfigurasi kapitalisme terkini, yang populer dikenal sebagai neoliberalisme. Dalam hal inilah, penting untuk memeriksa tesis oligarki dalam kaitannya dengan neoliberalisme. Jika kita membaca secara seksama tesis oligarki, kita dapat menemukan bahwa neoliberalisme adalah sesuatu yang eksternal dari oligarki. Tidak heran jika bagi proponen utama tesis oligarki Indonesia, yakni Robison dan Hadiz, menyebut bahwa agenda neoliberalisme telah dibajak oleh kekuatan politik oligarki (atau istilah mereka sebagai hijacking the market). Argumen ini secara eksplisit menyiratkan bahwa tidak ada operasi neoliberalisme di Indonesia, sebagaimana yang diagung-agungkan oleh para teknokrat pasar bebas. Akan tetapi anehnya, tesis oligarki juga memberikan justifikasi implisit mengenai kemungkinan neoliberalisme, serta fungsionalitasnya tentunya, di Indonesia jika kekuatan oligarki ini diatasi. Tidak heran jika para proponen pasar bebas dapat juga menempatkan diri mereka secara oposisional terhadap oligarki yang mendominasi politik Indonesia.
Gagasan ini tentu bermasalah karena neoliberalisme bukan saja gagasan utopis mengenai pasar bebas yang didengung-dengungkan oleh para teknokrat rasional, tapi juga ia adalah proyek kelas berkuasa. Sebagai proyek kelas, maka ia mensyaratkan adanya ‘akumulasi melalui perampasan’ yang modusnya serupa dengan modus perampasan sumber daya publik yang juga dilakukan oleh relasi oligarki. Tidak heran, jika pun oligarki telah lama berkuasa di Indonesia, maka ia tidak akan menggerogoti relasi ekonomi neoliberal Indonesia. Hal ini, setidaknya, dapat dilihat pada betapa pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu dipuja-puji oleh para teknokrat neoliberal, baik nasional maupun internasional.
Pembacaan mendalam atas oligarki mengindikasikan bahwa melihat kepentingan politik Indonesia pada sebatas oligarki tidaklah mencukupi. Di sinilah kita perlu bertanya, jika memang Jokowi adalah anti-oligarki, maka anti oligarki yang neoliberalkah atau yang mana? Pertanyaan seperti ini, setidaknya menjelaskan, mengapa ada ketidakjelasan ideologis dalam embrio kekuasaan politik Jokowi itu sendiri. sebagai contoh, dalam beberapa hari belakangan ini kita disuguhi wacana mengenai adanya kemungkinan bagi dikeluarkannya kebijakan penarikan subsidi BBM oleh pemerintahan Jokowi. Dengan argumentasi defisit anggaran serta pembangunan infrastruktur transportasi publik, Jokowi menganggap perlu untuk menarik subsidi BBM. Akan tetapi, argumen ini adalah argumen yang sepenuhnya neoliberal karena mengabaikan sepenuhnya kepentingan masyarakat miskin yang masih membutuhkan BBM yang terjangkau. Sekaligus juga, kebijakan ini mengabaikan fakta bahwa agresivitas industri otomotiflah yang menyebabkan terjadinya konsumsi BBM serta yang menghalang-halangi upaya pembangunan infrastruktur transportasi public yang murah dan nyaman.
Pada titik inilah kita melihat apa yang kritis dari dukungan kita terhadap Jokowi dalam pemerintahannya nanti. Dukungan terhadap Jokowi dilakukan sejauh ia justru menantang konstruksi ideologis neoliberalisme itu sendiri. Jika pemerintahan Jokowi justru mendorong kebijakan neoliberal, maka menjadi sah bagi para pendukungnya untuk melawan sehebat-hebatnya kebijakan tersebut. Dalam hal ini, menjadi penting kemudian untuk segera melakukan perumusan secara sistematis atas politik anti neoliberalisme pasca kemenangan Jokowi itu sendiri.***
Penulis adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)