PEMILIHAN Umum Presiden pada 9 Juli 2014 tidak hanya menentukan pemerintah pengganti Susilo Bambang Yudhoyono, juga menentukan takdir demokrasi Indonesia. Selama lima belas tahun terakhir, Indonesia telah menorehkan kisah sukses demokrasi di Asia Tenggara. Berbeda dengan Thailand yang kembali ke tradisi lama, di dalam cengkeraman militer yang sukses melakukan kudeta, atau Malaysia dan Singapura yang tetap berada dalam kondisi semi-demokratik, demokrasi di Indonesia tampaknya semakin terkonsolidasi. Walaupun tidak ada pengamat yang mengatakan Indonesia tidak mengalami masalah yang serius dalam politik–yang paling utama adalah korupsi yang berurat-berakar–banyak kemajuan yang telah dicapai, misalnya evolusi kebebasan pers, berakhirnya dwifungsi ABRI, tradisi pemilu yang jujur dan adil serta desentralisasi kewenangan dan keuangan ke daerah.
Saat ini, Indonesia menghadapi tantangan besar yang tidak hanya berkaitan dengan kualitas demokrasi, tetapi lebih serius dari itu. Tantangan tersebut adalah apakah Indonesia dapat menentukan demokrasi akan bertahan. Kedua calon presiden berasal dari tradisi politik yang bertolak belakang dalam sejarah modern politik Indonesia, keduanya berjanji membawa Indonesia ke arah yang sama sekali berlawanan.
Dua Pilihan
Kandidat yang memimpin survei pendapat publik saat ini adalah Joko Widodo yang lebih dikenal sebagai Jokowi. Jokowi adalah produk murni dari era demokratis. Dia sama sekali tidak berperan di kancah politik sebelum masa reformasi, dan menapak karier sangat cepat sebagai politisi setelah dua kali menjadi Walikota Solo dan sebagai Gubernur Jakarta–sebuah karier politik nasional yang tidak mungkin bisa dicapai pada masa otoritarian. Dikenal sebagai pribadi yang sederhana, merakyat, dan berasal dari lingkungan yang juga sederhana, Jokowi menunjukkan prestasi di industri ekspor furnitur yang mengantarnya memasuki dunia politik. Gaya kepemimpinan Jokowi memberi perhatian kepada reformasi birokrasi, peningkatan pelayanan publik, kesejahteraan sosial, dan penyelesaian konflik yang didasarkan melalui proses dialog.
Walaupun sulit menduga kebijakan Jokowi pada beberapa isu-isu krusial (misalnya penyelesaian konflik di Papua), dia akan menjadi presiden Indonesia pertama yang sama sekali tidak terlibat langsung dalam politik praktis selama pemerintahan otoriter, dan sampai sejauh ini, akan menjadi presiden yang paling reformis. Walaupun pemerintahan Jokowi kemungkinan tidak akan membawa perubahan yang dramatis, paling tidak ia akan memberi perhatian yang serius kepada penguatan institusi-institusi demokratis serta menjamin semakin bergulirnya roda birokrasi menjadi lancar dan bersih.
Prabowo Subianto, lawan Jokowi satu-satunya, berjanji akan menghormati proses demokrasi Indonesia. Namun, berkaca dari sejarah pribadi Prabowo, retorika dan gaya kepemimpinannya selama ini, pemerintahan Prabowo memiliki potensi besar untuk mengembalikan Indonesia ke arah pemerintahan otoritarian. Berbanding terbalik dengan Jokowi, Prabowo adalah produk murni dari otoritarianisme Orde Baru Presiden Suharto (1966—1998). Prabowo adalah satu dari sedikit jenderal paling senior pada masa rezim Suharto berakhir. Dia merupakan anak arsitek ekonomi pada masa awal Orde Baru, ia lalu menikah dengan anak keempat Suharto, Titiek Suharto. Adik Prabowo, Hasyim Djojohadikusumo, seperti kebanyakan putra-putri penguasa Orde Baru lainnya, menekuni dunia bisnis, sementara Prabowo disiapkan untuk meniti karier di Angkatan Darat. Hasyim menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia sekaligus penyandang dana untuk mewujudkan ambisi Prabowo menjadi presiden. Prabowo menikmati kehidupan yang mewah, tinggal di peternakannya yang sangat luas dan mewah di Hambalang yang sekaligus menjadi istal bagi kuda-kudanya yang mahal. Perlu dicatat, kedua kakak beradik ini menjadi kaya dari usaha perburuan rente ekonomi, misalnya dari kayu dan sumber daya alam.
Pada 1980-an dan 1990-an, Prabowo menikmati karier cemerlang di Angkatan Darat, terutama akibat hubungan patronase dengan mertuanya, Suharto. Pada pertengahan dan akhir 1990-an, saat kekuatan Orde Baru mulai melemah, elemen masyarakat sipil mencari teman seperjuangan di Angkatan Darat yang dapat diajak bekerja sama untuk perubahan demokratis, tetapi tidak ada satu pun yang menghitung Prabowo sebagai tokoh yang reformis. Sebaliknya, Prabowo justru menjadi penjaga istana yang utama dan pada bulan-bulan terakhir rezim Suharto,ia bertanggung jawab terhadap penculikan aktivis reformasi yang beberapa di antaranya masih hilang sampai saat ini. Presiden Habibie memberhentikan Prabowo sebagai Komandan Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), sehari setelah Suharto mengundurkan diri pada 22 Mei 1998. Saat itu, ada laporan bahwa Prabowo menggerakkan pasukannya mendekati istana negara, tanpa persetujuan Panglima TNI. Prabowo diberhentikan dari militer sebagai akibat dari perbuatannya menculik aktivis demokrasi dan pembangkangan-pembangkangan lainnya.
Awal 2000-an, setelah kembali dari luar negeri, Prabowo bekerja keras membangun karier politik. Sejak awal, dia sudah membulatkan tekad untuk membidik kursi presiden. Percobaannya yang pertama adalah menjadi calon presiden untuk Pilpres 2004 yang dinominekan oleh Partai Golkar (yang menjadi mesin politik Orde Baru). Setelah rencana ini gagal, Prabowo membangun kendaraan politiknya sendiri melalui Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang memiliki satu tujuan, yaitu mengantarkan Prabowo ke istana negara. Pada 2009, Prabowo menjadi calon wakil presiden bersama Megawati Soekarnoputri, walaupun sebenarnya tampak jelas saat itu bahwa tujuan utamanya adalah menjadi presiden. Pada pemilu legislatif April lalu, Gerindra memperoleh 11,8%, tetapi hanya Prabowo yang berpotensi untuk menjadi pesaing terdekat Jokowi dalam berbagai jajak pendapat. Selanjutnya, Prabowo berhasil membangun koalisi lima partai besar yang kemudian menominekannya sebagai calon presiden.
Setahun lalu, Jokowi dibayangkan akan mudah meraih kemenangan dalam pemilihan presiden tanpa halangan yang berarti. Ia menjadi kesayangan media dan popularitasnya jauh melampaui kandidat-kandidat potensial lainnya. Hanya saja, dalam enam bulan terakhir, kampanye Prabowo mampu menaikkan popularitasnya secara signifikan. Walaupun Jokowi tetap masih unggul, jarak antar-keduanya menjadi semakin dekat dan hanya berbeda satu digit. Saat ini, tak ada yang berani memastikan bahwa Jokowi akan menang dalam pemilihan presiden nanti. Dalam kondisi seperti itu, kita perlu memikirkan secara serius tentang apa yang mendasari meningkatnya daya tarik Prabowo dan bagaimana pemerintahan Prabowo memberi dampak terhadap Indonesia.
Kebangkitan Prabowo
Bagaimana kita mampu menjelaskan meningkatnya dukungan terhadap Prabowo yang berlangsung begitu cepat? Salah satu jawabannya adalah tidak terorganisasinya kampanye yang dilakukan oleh kubu Jokowi sebagaimana argumen dosen Australian National University, Marcus Mietzner. Sebaliknya, sejak awal kampanye Prabowo terorganisasi rapi dan hanya memiliki satu tujuan jelas, yaitu menjadikan Prabowo Presiden dan mendapatkan dana yang melimpah. Adik Prabowo, Hasyim, telah memompakan dana tak terhingga, bahkan ketika popularitasnya semakin meningkat, Prabowo mampu mengonsolidasi tambahan dana dari kekuatan oligarki dan sekutu politiknya.
Prabowo juga berhasil mendapatkan dukungan dari dua konglomerat media utama Indonesia dengan siaran bias yang secara gamblang mendukung kampanye Prabowo. Bahkan, Prabowo tampak pada penyerahan hadiah utama pada acara final Indonesian Idol (harus diakui pula bahwa kanal berita yang dimiliki Surya Paloh juga sama biasnya mendukung Jokowi). Selain itu, pasukan media sosial bayaran memenuhi dunia maya dengan material pro-Prabowo dan melawan isu-isu negatif tentang Prabowo. Selama berbulan-bulan, media elektronik juga dipenuhi oleh iklan untuk menaikkan citra positif Prabowo.
Semakin jelas bahwa gaya dan pesan khas Prabowo berhasil menarik simpati sebagian rakyat Indonesia. Prabowo memosisikan dirinya secara sangat berbeda dengan elite politik Indonesia lainnya. Salah satu yang paling terlihat adalah gaya kampanye Prabowo yang menonjolkan pesan kuat khas seremonial, lengkap dengan marching band dan parade bergaya militer. Prabowo juga berbusana meniru Sukarno dan para pahlawan nasionalis lainnya di zaman perjuangan kemerdekaan pada 1940—1950-an; dia bahkan menggunakan mikrofon model lama, mirip dengan yang digunakan Sukarno puluhan tahun lalu.
Selain elemen-elemen khas tersebut, setidaknya ada tiga hal yang membedakan Prabowo dengan politisi-politisi Indonesia pada umumnya. Pertama, inti pesan yang ingin disampaikan. Prabowo mempromosikan gabungan antara tema nasionalisme dan populisme yang sering digunakan oleh politisi demagog di seluruh dunia. Dalam setiap kampanye, Prabowo selalu menekankan tema nasionalisme, bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang dieksploitasi sekian lama oleh bangsa lain sehingga menjadikan rakyat sebagai ‘kacung’ di negeri sendiri. Kekayaan Indonesia selalu diisap untuk kepentingan bangsa asing dan sekaranglah saatnya, begitu Prabowo berpidato, untuk berdiri di atas kaki sendiri, lalu mengembalikan kehormatan dan kedaulatan bangsa. Dia juga berbicara panjang lebar tentang kesulitan yang dihadapi kaum miskin dan bagaimana mereka menderita akibat dari korupsi, neoliberalisme, neokapitalisme, pengaruh asing dan penyakit-penyakit lainnya. Kekayaan Indonesia telah dicuri dari rakyat Indonesia; dan sudah saatnya untuk mengambilnya kembali dan dinikmati oleh rakyat Indonesia.
Tidak ada yang aneh dari pesan Prabowo ini: dukungan terhadap ‘wong cilik’ dan hujatan terhadap korupsi adalah tema standar dalam perpolitikan Indonesia. Hanya saja, gaya bahasa yang digunakan Prabowo jauh lebih dramatis–bahkan militan—daripada yang digunakan oleh para politisi lainnya. Yang lebih tidak biasa adalah bahwa Prabowo menyampaikan kritik ini berbarengan dengan hujatan terhadap seluruh elite politik yang dia gambarkan sebagai sangat korup dan hanya melayani diri sendiri.
Hal ini dapat terlihat dalam pidatonya di Hari Buruh yang terakhir:
‘Terlalu lama…Bangsa Indonesia, elitenya terlalu banyak bicara bohong… Bohong kepada rakyat! Bohong kepada bangsa! Bohong kepada dirinya sendiri!’
Selanjutnya dia menambahkan, ’Semua dikorupsi! Semua disogok! Semua pemimpin kita mau dibeli dan mau disogok!’
Membedakan dirinya dengan politisi yang lain yang membohongi rakyat, Prabowo berkata dengan berapi-api:
‘Kita tidak bisa terlalu banyak berharap dari elite kita. Mereka pinter bicara, saking pinternya, saking pinternya, mereka jadi pinter bohong semua! Saya masuk politik terpaksa saudara-saudara sekalian! Terpaksa!! Minta ampun politik ini! Dari lima belas orang yang saya ketemu di politik, empat belas orang bohong semua!!!’
Saat berkampanye di Aceh, Prabowo mengatakan kurang lebih: ‘Sangat mudah mengontrol Indonesia. Yang Anda butuhkan hanya membeli partai politik!’ Tentu saja ada ironi yang sangat mendalam dalam pidato ini: Prabowo sendiri adalah produk teratas dari elite politik Indonesia dan merupakan seorang oligark. Namun, tidak ada yang menolak konsistensi dan kuatnya retorika Prabowo.
Hal ini membawa kita pada daya tarik Prabowo selanjutnya: semangat berapi-api–kadang penuh amarah—dari cara Prabowo menyampaikan pesan dalam pidatonya. Hal ini membedakan Prabowo dari politisi Indonesia lainnya, terutama presiden saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono yang selalu menyampaikan pidato secara terukur dan hati-hati sehingga sering dikritik sebagai peragu. Juga berbeda dari Jokowi dengan gaya pribadinya yang sangat sederhana. Pada kampanye di Medan, Sumatra Utara, yang menjadi sorotan banyak pengamat, Prabowo mengutuk sangat keras ‘bangsa asing’ dan musuh-musuh masyarakat Indonesia yang mencuri uang rakyat, berlaku curang, tidak pernah membela rakyat dan lain sebagainya, tetapi tidak jelas siapa yang dimaksud dengan musuh tersebut. Liam Gammon berpendapat, ‘Ada sesuatu di benak Prabowo sehingga satu-satunya kesempatan dia berusaha sangat keras sampai kehilangan kontrol emosional adalah ketika berbicara tentang “kalian” (tanpa menjelaskan siapa yang dimaksud dengan “kalian”) yang berkonspirasi untuk mencuri kekayaan bangsa Indonesia dan curang kepada rakyat Indonesia.’ Prabowo tidak terlihat bersandiwara dalam acara kampanye tersebut; dia terlihat hanyut benar dalam emosi pribadi yang berapi-api. Bahkan, ia seperti terlihat sedang membayangkan musuh pribadinya.
Kekuatan ini juga memiliki potensi kelemahan. Prabowo mudah terpancing emosinya, atau bahkan memiliki pribadi yang tidak stabil. Dia gampang mengamuk dan kadang memperlihatkan kekerasan fisik, cerita yang berasal dari lingkaran dalam Prabowo yang kemudian menyebar menyebutkan bahwa dia memukul, melempar telepon genggam dan asbak ketika dikecewakan kawan atau bawahannya. Beberapa orang yang pernah menjadi rival Prabowo ketika masih di militer menyebutkan karakter negatif Prabowo secara terbuka, salah satunya A. M. Hendropriyono (yang sebenarnya juga memiliki jejak hitam hak azazi manusia), menyebut Prabowo sebagai ‘psikopat.’ Tekanan emosional yang dimiliki Prabowo ketika berpidato berpotensi menjadi pedang bermata dua dan bisa menciptakan antipati di benak pemilih, terutama pemilih perempuan. Namun, tidak dapat diragukan bahwa bahwa banyak rakyat Indonesia–terutama yang miskin—menikmati pertunjukan pidato yang tidak lazim dari seorang tokoh nasional yang merepresentasikan diri mereka dalam menghujat para elite dan politisi yang mereka benci.
Daya tarik Prabowo yang ketiga terletak pada janji penyelesaian terhadap semua persoalan tersebut, yaitu kepemimpinan yang ‘tegas’ dan ‘kuat.’ Bahkan, kita bisa menyebut bahwa janji kepemimpinan yang tegas dan kuat tidak hanya menjadi sentral, bahkan menjadi satu-satunya poin paling penting dalam program politik dan strategi pemerintahan Prabowo. Dalam analisis terbaru dari sejarawan University of British Columbia, John Roosa, berargumen bahwa, ‘Dalam benak Prabowo, semua yang berkaitan dengan negara–kualitas sistem ekonomi, budaya, dan pijakan internasional—bergantung sepenuhnya kepada ‘faktor kepemimpinan’. Satu-satunya solusi dari seluruh masalah bangsa adalah ‘kepemimpinan nasional yang kuat.’ Selain itu, pidato Prabowo sering merujuk dan memuji kepada dirinya sendiri, sesuatu yang tidak biasa dalam politik Indonesia, dia juga sering bertanya kepada pendengarnya apakah dia ‘terlalu keras’ atau ‘terlalu tegas’ dalam penghujatannya.
Dalam pembicaran dengan masyarakat umum yang saya lakukan dalam beberapa bulan terakhir, semua orang yang mengaku mendukung Prabowo selalu mengulang kata-kata yang sama: Indonesia membutuhkan pemimpin yang tegas, yang bisa memberantas korupsi, yang berani terhadap bangsa asing, yang tidak mengulang kesalahan atas lepasnya Timor Timur dan lain sebagainya. Survei pendapat publik juga menujukkan bahwa kepemimpinan yang tegas adalah faktor utama yang menyebabkan dukungan luar biasa ke Prabowo. Sebuah ironi tentu saja, bahwa semua yang dibicarakan Prabowo tentang kepemimpinan, tidak memiliki rujukan apa pun dalam kariernya selama enam belas tahun terakhir, kecuali kepada partai politik yang telah menyediakan Prabowo platform politik. Prabowo dipecat dari posisi terakhir saat ia menduduki posisi senior dalam lembaga negara.
Ancaman Terhadap Demokrasi?
Untuk menduduki kursi Presiden, Prabowo menggunakan mekanisme demokratis. Beberapa waktu lalu, dia menekankan bahwa dirinya menerima sistem demokrasi yang berlangsung di Indonesia, dan berjanji untuk terus mempertahankannya. Jika berkuasa, Prabowo akan didukung koalisi partai politik yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan partisipasi demokratis. Dia juga akan menjadi presiden di sebuah sistem politik yang memiliki sistem checks and balances, kebebasan pers yang kuat, dan masyarakat sipil. Lalu, mengapa kita harus khawatir terhadap implikasi Prabowo menjadi presiden terhadap demokrasi di Indonesia?
Alasan paling nyata adalah masa lalu otoritarian Prabowo dan rekam jejaknya dalam pelanggaran hak asasi manusia. Kritik dari masyarakat sipil di Indonesia berfokus pada hal ini dan Prabowo menjadi marah dalam Debat Calon Presiden pertama saat calon wakil presiden Jokowi, Jusuf Kalla berusaha memancingnya dalam isu hak asasi manusia.
Kekhawatiran lainnya terkait dengan program Prabowo yang mengandung elemen yang nyata-nyata tidak demokratis. Misalnya, Prabowo berkali-kali menyampaikan bahwa dirinya ingin kembali kepada UUD 1945 yang ‘asli’ yang ditandatangani pada 18 Agustus 1945. Dengan kata lain, dia ingin kembali kepada konstitusi yang memberikan konsentrasi kekuasaan di tangan presiden dan menghilangkan seluruh institusi demokrasi dan kontrol yang ada dalam sistem demokrasi Indonesia saat ini, sebagian besar dihasilkan dari empat kali amandemen yang dilakukan sejak 1998.
Prabowo juga sering menegaskan bahwa demokrasi, atau paling tidak versi demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia, adalah sumber utama korupsi dan penyakit bangsa lainnya. Dalam Debat Capres Pertama, Prabowo mengkritik demokrasi ‘destruktif’ dan mengatakan bahwa dia ingin membangun demokrasi yang ‘produktif’. Selain itu, dalam reuni purnawirawan tentara beberapa waktu lalu, dia mengatakan bahwa demokrasi telah ‘membuat kita capai’.
Bahaya utama, terletak pada kombinasi antara tekanan Prabowo terhadap prinsip kepemimpinan tegas dan apa yang kita ketahui tentang personalitasnya. Sangat jelas terlihat bahwa Prabowo memosisikan dirinya sebagai solusi dari seluruh permasalahan bangsa dan percaya bahwa mewujudkan keinginannya sebagai presiden adalah kunci untuk menciptakan kejayaan nasional. Pada saat yang sama, pernyataan publiknya yang sering menghujat musuh—yang tidak dia sebut namanya—mengandung ancaman implisit pada aktor politik lain. (Sebagai contoh, saat dikonfirmasi oleh jurnalis, Prabowo sering tidak menjawab pertanyaan mereka, tetapi justru menanyakan dari media mana jurnalis itu berasal, seperti sedang menyusun daftar mereka yang memperlakukannya secara tidak hormat). Ditambah lagi, kecenderungan pribadi yang mudah tersulut amarah yang dapat berubah menjadi murka saat tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Maka, kita punya alasan kuat untuk memprediksi bahwa Prabowo akan menjadi presiden yang tidak sabar terhadap prosedur demokratis dan penghukum keras terhadap lawan-lawan politiknya.
Pada awal tahun pertama dan kedua masa pemerintahannya, mungkin akan berjalan cukup lancar. Namun, setelah beberapa saat, begitu dia menemui frustrasi saat berkompromi dalam kehidupan demokratis—saat dia menemui jalan buntu berhadapan dengan DPR, MK, media dan institusi lainnya—sangat mudah membayangkan Presiden Prabowo akan mengambil jalan pintas atau tindakan darurat menyingkirkan semua rintangan itu. Bahkan, saat ini saja, sudah ada militer aktif, Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang berkampanye untuknya dan nantinya akan sangat mudah bagi Prabowo sebagai presiden untuk mengaktifkan kembali ‘struktur teritorial’ lalu mengembalikan tentara dalam politik.
Tentu saja, pemerintahan Prabowo tidak akan menjiplak pemerintahan Orde Baru Suharto; Indonesia telah mengalami perubahan besar sejak Orde Baru dan akan muncul penolakan sangat kuat terhadap upaya untuk kembali ke masa otoritarian. Namun, salah satu tren global dalam beberapa dekade terakhir adalah kemunculan apa yang disebut sebagai rezim elektoral otoritarian (electoral authoritarian regime): sebuah sistem saat pemilu tetap berlangsung, tetapi kebebasan sipil dan partisipasi demokratis dimanipulasi untuk memungkinkan elite untuk terus-menerus berkuasa. Membayangkan Rusia di bawah Putin, kita mungkin akan memperoleh gambaran jelas tentang bagaimana wujud pemerintahan Prabowo kelak.
Bagaimana Hal Ini Bisa Terjadi?
Tentu saja, tidak ada yang aneh dari nostalgia otoritarian masa lalu, atau bahkan kembalinya secara penuh sistem otoritarian, sekitar satu dekade atau lebih setelah sebuah negara menjalani transisi demokratis. Ilmuwan politik telah lama berspekulasi akan hadirnya tantangan populis dalam sistem demokratis Indonesia. Namun, banyak pengamat politik Indonesia kontemporer—termasuk saya—selama beberapa tahun terakhir cenderung berpandangan positif dalam melihat capaian-capaian demokrasi di Indonesia. Banyak hal yang sudah tercapai, kebebasan pers yang terus membaik dan munculnya sebuah masyarakat sipil yang kuat. Upaya untuk menggagalkan proses demokratisasi hampir selalu dikalahkan oleh perlawanan publik. Demokrasi Indonesia sepertinya terus terkonsolidasi.
Pada saat yang sama, masalah-masalah serius yang terlihat jelas terus menjadi topik dalam banyak analisis akademik. Sekarang, beberapa masalah ini ikut berperan dalam mendongkrak popularitas Prabowo. Walaupun Prabowo nantinya tidak memenangi pilpres pada bulan Juli, fakta bahwa Prabowo sudah tinggal selangkah lagi menduduki kursi kepresidenan, harus menjadi pengingat kita bahwa ternyata demokrasi Indonesia jauh lebih rapuh dari yang kita bayangkan.
Tiga area berikut sepertinya sangat penting untuk menjelaskan meningkatnya dukungan terhadap Prabowo. Pertama adalah ‘transitional justice’ yaitu tugas untuk menginvestigasi dan menghukum pejabat yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Indonesia gagal total dalam menangani masalah ini. Setelah kejatuhan Suharto, terdapat banyak investigasi, bahkan beberapa sampai ke proses pengadilan. Walaupun banyak kasus tersebut terdokumentasi dengan sangat baik, pada akhirnya tidak ada satu pun perwira senior di militer atau pejabat lainnya yang dinyatakan bersalah atas kasus pelanggaran hak asasi manusia di bawah rezim Orde Baru. Bahkan, bisa dikatakan bahwa harga yang harus dibayar untuk mengeluarkan militer dari politik adalah garansi informal bahwa tidak ada satu pun pemimpinnya yang dapat dihukum atas kesalahan yang mereka lakukannya di masa lalu. Fakta bahwa seseorang seperti Prabowo, yang lima belas tahun lalu sangat didiskreditkan sampai harus meninggalkan Indonesia, sekarang sanggup bertarung untuk memperebutkan kursi presiden adalah contoh nyata dan sekaligus konsekuensi dari kegagalan ini.
Beberapa dari tokoh yang sekarang menjadi lawan politik Prabowo patut disalahkan dalam situasi ini: pada 2009, Megawati Soekarnoputri memilih Prabowo sebagai calon wakil presidennya, memberikan pesan jelas bahwa bagi Megawati dan partainya, buruknya catatan pelanggaraan hak asasi manusia tidaklah signifikan secara politik. Tahun ini, pendukung Prabowo bertanya, dengan beberapa justifikasi, jika PDIP yang mendukung Jokowi tidak mempermasalahkan rekam jejak hak asasi manusia Prabowo waktu itu, mengapa mereka mempermasalahkannya sekarang?
Kedua adalah korupsi politik yang tidak hanya luas, tetapi juga mendalam. Selama sekian tahun, hampir setiap hari, Anda dapat membuka halaman pada semua koran besar di Indonesia dan tersinggung dengan berita tentang korupsi dana haji, skandal impor sapi, korupsi tanah, penyelundupan bahan bakar minyak, korupsi alat kesehatan, mark up buku teks, penggelembungan proyek bangunan rumah sakit atau gedung olahraga–apa pun bisa dikorupsi di Indonesia. Mereka yang terlibat termasuk yang tertinggi dari kementrian sampai yang terendah pejabat daerah dan pegawai negeri sipil. Walaupun sebenarnya, liputan media yang masif sejatinya adalah tanda berlangsungnya perang melawan korupsi. Namun, dapat dimaklumi jika rakyat Indonesia akan mudah percaya bahwa demokrasi telah melahirkan sistem politik saat apa saja dan siapa saja bisa dibeli, seperti yang berulang kali diucapkan Prabowo.
Bahkan, berjalannya pemilu legislatif bulan April lalu, yang diiringi dengan politik uang dan manipulasi yang begitu massif, menjadi bahan dasar utama bagi naiknya popularitas Prabowo. Tidak heran ketika begitu banyak rakyat Indonesia–terutama golongan miskin—setuju dengan hujatan yang disampaikan Prabowo terhadap elite politik, dan janjinya untuk memberantas korupsi melalui kepemimpinan yang tegas. Meskipun sejatinya Prabowo sendiri terlibat aktif dalam jaringan bisnis dan patronase Orde Baru.
Ketiga, dan berhubungan sangat erat, adalah gaya politik transaksional yang telah menjadi bagian sentral dalam demokrasi Indonesia. Lebih nyata dibandingkan yang banyak terjadi di negara lain, institusi politik formal di Indonesia bercirikan, apa yang disebut ilmuwan politik dari Amerika Serikat, Dan Slater sebagai ‘promiscuous power sharing’. Promiscuous power sharing adalah kecenderungan partai yang memiliki basis ideologi dan basis sosial yang berbeda untuk menyingkirkan perbedaan yang mereka miliki guna memperoleh akses bersama terhadap patronase sumber daya yang ditawarkan oleh pemerintah. Dalam politik Indonesia, sepertinya tidak ada aliansi politik yang dibangun berdasarkan prinsip atau kebijakan yang sama; sebaliknya, semua tergantung pada negoisasi dan deal politik. Sebagian besar kabinet yang dibangun setelah Suharto jatuh berbentuk ‘kabinet pelangi’ saat hampir semua partai besar terwakili. Sistem ini membantu Prabowo memunculkan kekecewaan publik seperti yang selama ini dihujatnya, tetapi pada saat yang sama membantu ia mewujudkan koalisi politiknya. Kebiasaan partai-partai politik di Indonesia adalah melakukan aliansi dengan siapa saja tanpa melihat prinsip. Selain Gerindra, empat partai besar lain yang mendukung pencalonan Prabowo: Golkar, PAN, PKS, dan PPP (tiga yang terakhir adalah partai Islam). Terdapat potensi otoritarian dalam setiap partai-partai ini, tetapi seharusnya sebagian dari pemimpin partai itu akan enggan mendukung pemimpin yang berpotensi memunculkan kembali politik bergaya Orde Baru, karena sebagian dari pemimpin mereka (terutama dari PAN dan PKS) terlibat langsung dalam gerakan menjatuhkan Suharto.
Lebih lanjut, mungkin pada akhirnya, Prabowo akan mengancam sistem demokratis yang telah menguntungkan partai-partai ini. Dia sudah berhasil memperdaya mereka, tentu saja, dengan tawaran posisi menteri dan posisi lain di pemerintahannya. (Bakrie misalnya, dengan bangga mengatakan bahwa Prabowo telah menawarinya ‘menteri utama’, posisi yang tidak dikenal sebelumnya). Pendeknya, Prabowo telah membangun koalisi menggunakan politik dagang sapi yang dihujatnya sendiri. Sebaliknya, Jokowi menolak menggunakan cara tawar-menawar untuk membangun koalisi politik dengan partner potensial sehingga dia kehilangan dukungan dari PAN dan Golkar.
Hal ini hanyalah salah satu dari ironi-ironi lainnya—bahkan sebagian orang akan menyebutnya sebagai kemunafikan—dalam tantangan demokrasi yang diajukan Prabowo. Prabowo telah berhasil mengatur mobilisasi koalisi besar, termasuk di dalamnya kekuatan politik yang mendapatkan manfaat besar dari reformasi demokratis dan dari iklim politik dagang sapi serta korupsi yang dikutuknya dengan sangat keras. Sebagai contoh, jika kita memberi perhatian mendalam kepada calon legislatif dan tim sukses dari Partai Gerindra di daerah, dapat dengan mudah terlihat bahwa sebagian besar dari mereka bukanlah pendukung ide populis atau ideologi yang digembar-gemborkan Prabowo tentang Indonesia yang kuat dan bersih. Sebagian besar dari mereka hanya menjadikan Gerindra sebagai kendaraan politik terbaru setelah perjalanan politik yang panjang melalui berbagai partai politik. Pengalaman tersebut menjadikan mereka menjadi ahli dalam politik uang, sama seperti politisi lainnya. (Dalam penelitian saya di salah satu Daerah Pemilihan di Jawa Tengah di awal tahun ini, caleg lokal dari Gerindra adalah yang paling masif melakukan serangan fajar). Jika Prabowo adalah versi modern dari Hitler atau Mussolini–sebagaimana meme yang tersirkulasi di media sosial kaum liberal di Indonesia dan dijadikan sebagai bahan guyonan—dialah satu-satunya yang memperoleh kekuasaan tanpa adanya dukungan dari partai pendukung yang memiliki ideologi kuat.
Hal tersebut adalah kontradiksi besar dalam inti sari tantangan demokrasi yang diajukan Prabowo. Kampanyenya sangat kuat membawa semangat populisme, anti-sistem dan anti-elite, disampaikan dengan gaya pidato yang menggebu-gebu. Namun, kampanye Prabowo muncul dari jantung sistem dan elite Indonesia. Kontradiksi ini adalah puncak dari seluruh kelemahan Prabowo. Ketika dia mengutuk ‘elite politik’ dalam kampanyenya, berbaris di belakangnya deretan pemimpin partai politik yang paling tepat memersonifikasikan elite politik yang dikutuknya itu. Di dalamnya, termasuk perwakilan yang paling tidak popular, seperti ketua Partai Golkar, Aburizal Bakrie. Ketika Prabowo mengutuk korupsi, mereka yang mengikuti politik akan dengan sekejap tahu bahwa partai atau ketua partai yang saat ini berada di belakangnya adalah mereka yang terkena implikasi dari kasus korupsi yang paling buruk di Indonesia. Dalam debat calon presiden yang pertama, Prabowo mengatakan bahwa ekonomi Indonesia ‘salah urus’: berdiri persis di sampingnya cawapresnya Hatta Rajasa, Menteri Koordinator bidang Perekonomian dalam pemerintahan SBY. Pendukung Jokowi sangat cepat melihat kontradiksi tersebut, yang secara cepat bersirkulasi di media sosial dalam bentuk gambar dan sindiran terhadap Prabowo dan aliansi barunya.
Masih jauh dari pasti bahwa Prabowo akan memenangi pilpres. Dalam setiap pemilih yang terkesima dengan pidato penuh amarah Prabowo dan janji pemerintahan yang kuat, masih terdapat setidaknya satu pemilih yang lebih tertarik dengan gaya Jokowi yang merakyat. Namun, pertarungan masih berlangsung dan akan menjadi momentum sangat penting. Di Indonesia 2014, penggunaan kata-kata seperti ‘turning point’ atau ‘titik putar’ yang sering digunakan dalam diskusi politik sepertinya sangat sesuai. Apa pun pilihan yang dilakukan oleh pemilih Indonesia akan memiliki konsekuensi yang sangat besar. Kemenangan Jokowi akan meneruskan proses pelan dalam konsolidasi sistem demokrasi dan akan memberikan pengaruh signifikan dalam peningkatan kualitas institusi demokratis. Kemenangan Prabowo akan membawa risiko besar kembalinya pemeritahan otoriter. Dunia luar harus khawatir dengan kemunduran ini, tetapi pada akhirnya, kerugian terbesar akan ditanggung oleh rakyat Indonesia sendiri.***
Ralat (25 Juni 2014)
Di artikel di atas, saya menyebutkan bahwa program dan gaya politik Prabowo kemungkinan paling menarik bagi kaum miskin. Interpretasi ini perlu dikoreksi mengingat bahwa beberapa hasil survei akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kenaikan elektabilitas Prabowo terjadi paling pesat di kalangan urban, terdidik, dan makmur–dalam kata lain, di kalangan menengah ke atas. Hal ini mengingatkan penulis pada perdebatan ilmiah yang terjadi menjelang akhir periode Orde Baru mengenai konservatisme dan otoritarianisme di kelas menengah Indonesia.
Penulis adalah dosen dan peneliti politik Indonesia di Australian National University dan penerima Australian Research Council Future Fellow.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di laman New Mandala, dengan judul Demokrasi Indonesia Dalam Bahaya. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.