AKHIRNYA Jokowi terpilih memegang amanah menjadi presiden republik ini. Darinya ada harapan untuk wajah dan isi Indonesia yang baru, khususnya mengikis jejak-jejak Orde Baru. Rakyat pun berpesta, karena kali ini mereka bisa turut aktif berpartisipasi menghadirkan harapan besar tentang proyeksi Indonesia ke depan. Namun euforia kemenangan tidak bisa berlarut-larut. Perjuangan justru baru dimulai. Semangat rakyat harus tetap dirawat, kegembiraan-kegembiraan partisipasi aktif beberapa bulan ini perlu dilanjutkan. Posisi ‘oposisi kreatif’bisa menjadi pilihan untuk mengawal dan terus mengoreksi langkah-langkah yang dilakukan sang pemimpin terpilih. Jokowi bukan Mesiah, ia tak bisa sendiri. Apalagi dengan kondisi pihak oposisi Prabowo dan kawan-kawannya masih memiliki kesempatan untuk melakukan segala cara. Maka dari itu, membangun gerakan alternatif dari bawah tetap digalakan.
Salah satu aksi membangun gerakan alternatif adalah mengkreasi ekonomi berbasis manusia. Hal ini merupakan antitesis dari praktik ekonomi yang berbasis relasi kapital. Mengenai ini ada beberapa catatan penting tentang Jokowi. Saat proses kampanye, Jokowi selalu menekankan tentang pentingnya membangun manusia dan kemandirian ekonomi. Dua hal ini tentu tak bisa dilepaskan satu sama lain. Dengan ini manusia Indonesia akan menjadi subjek, tak lagi sekedar objek kebijakan-kebijakan sentralistik. Maka dari itu agenda besar yang perlu digalakkan untuk mencapai dua tujuan tersebut adalah demokratisasi ekonomi.
Disparitas ekonomi Indonesia begitu menganga. Sampai saat ini indeks gini mencapai 0,413. Hal ini jelas memperlihatkan tentang ketimpangan yang tajam. Perlu diketahui, perhitungan indeks gini untuk Indonesia berdasarkan pengeluaran, bukan pendapatan. Jika berdasarkan pendapatan, hampir bisa dipastikan Indeks Gini Indonesia lebih buruk lagi, boleh jadi telah masuk kategori ketimpangan tinggi.1 Perlu upaya serius yang tak sekedar jargonistik, karena ada sedikit kekhawatiran rezim pilihan rakyat ini akan kembali membuat kebijakan-kebijakan yang tidak ada bedanya dengan rezim sebelumnya. Hal ini diperlihatkan dengan cara pandang Jokowi yang, hemat penulis, masih melihat gerakan ekonomi rakyat, khususnya koperasi, sebagai entitas ekonomi semata. Statemen Jokowi tipikal dengan paradigma lama yang memposisikan koperasi berada di bawah intervensi pemerintah. Padahal problem koperasi tidak bisa diselesaikan dengan membuat kebijakan koperasi harus ini-itu atau program bagi-bagi dana hibah dan semacamnya.
Jokowi perlu mengambil hikmah dari momentum ditolaknya UU No. 17 Tahun 2012 tentang perkoperasian, hal itu karena adanya kekeliruan langkah negara dalam memandang koperasi. Undang-undang yang ditolak MK Bulan Mei 2014 lalu memiliki kontradiksi internal, ruh dan logika kapitalisme coba disematkan dalam tubuh koperasi. Beruntunglah para pegiat, aktivis, dan praktisi koperasi berhasil memperjuangkan jatidiri koperasi. Oleh karena itu, jangan sampai energi terbuang percuma hanya berkutat dalam problem yang sama. Yang jelas ke depan ‘salah langkah’ jangan sampai terulang oleh pemerintahan Jokowi.
Ekonomi Milik Rakyat: Menakar Koperasi
Dalam salah satu penjabaran TRISAKTI-nya,visi Jokowi menjelaskan, “berdikari dalam ekonomi diwujudkan dalam pembangunan demokrasi ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan di dalam pengelolaan keuangan negara dan pelaku utama dalam pembentukan produksi dan distribusi nasional.” Titik rakyat sebagai pemegang kedaultan lah yang menjadi fundamen, oleh karenanya rakyat harus memiliki akses terhadap kebutuhan riil ekonomi secara demokratis. Konsekuensinya, segala sumber daya yang saat ini dimiliki segelintir elit perlu didistribusikan secara merata kepada rakyat sang pemegang kedaulatan dengan melakukan restrukturisasi basis perkenomian kita. Pertanyaannya, mungkinkah hal tersebut dilakukan? Jawabnya: mungkin!
Untuk mendukung demokrasi ekonomi maka yang perlu dibangun adalah kerangka yang sejalan. Tentang hal ini, Hilmar Farid pernah menyinggungnya.2 Dalam catatan kecilnya ia membahas ihwal agenda nasionalisasi dan pengelolaan ekonomi secara demokratis tak semuanya harus dikuasai negara. Ada banyak kemungkinan. Untuk benar-benar menjadi kepemilikan publik maka, dalam contoh yang ditawarkan Hilmar Farid yaitu Pelni, direksinya perlu diubah dengan menempatkan unsur pekerja, perwakilan pemerintah, dan para penumpang. Hal ini sebenarnya senada dengan perkembangan pengetahuan koperasi kontemporer. Konsep ini dikenal dengan multistakeholder cooperative.
Multistakeholder cooperative3 berbeda dengan model koperasi konvensional yang berbasis singlestakeholder. Pada gambar di atas adalah model koperasi yang biasa dikenal umum, keanggotaanya lebih bersifat homogen. Koperasi pekerja (worker coop) yang anggotanya adalah para pekerja digambarkan seperti model 1. Karena koperasi pekerja, otomatis pengurus atau member boardnya adalah para pekerja itu sendiri, dan rapat-rapat anggotanya 100 persen suara dimiliki oleh pekerja. Begitupula dalam model 2, yaitu koperasi konsumen (cunsomer coop) yang anggotanya adalah para konsumen atau para pengguna barang/jasa yang disediakan koperasi. Pengelolaan kedua model ini dilakukan demokratis. Jumlah kepemilikan modal di dalam sistem koperasi ini tidak dijadikan sebagai penentu. Berbeda dengan korporasi yang menekan pada pentingnya kapital, maka ‘hukum’ yang berlaku dalam koperasi bukan one share one vote, tapi one man one vote. Model koperasi konsumen ini penting untuk memperkuat jejaring pertokoan yang dimiliki langsung oleh publik atau untuk distribusi produk yang dibuat sang anggota. Sedangkan model koperasi pekerja berfungsi untuk membangun fondasi mode of production yang berbasis kerjasama.
Ekonomi politik selalu berjalan dialektis, begitula perkembangan koperasi. Dalam beberapa tahun ini hadir generasi baru multistakeholder cooperative. Di antaranya ada koperasi-koperasi di Amerika, Prancis, Italia, Spanyol, dan Kanada sudah menggunakan model ini dalam pengembangan praktik koperasinya.4 Pada modelini keanggotaan semakin diperluas, tidak lagi berbasis pada satu jenis model koperasi pekerja dan koperasi konsumen. Model koperasi ini melibatkan seluruh komponen baik perwakilan pemerintah, para pekerja, masyarakat pengguna jasa yang dijamin dalam fungsi demokrasi yang setara. Hal ini tentu dapat memperluas cakupan tujuan koperasi, penguatan karakter publik darilayanan yang diberikan koperasi. Seperti yang digambarkan pada model 3, model koperasi ini menggabungkan langsung antara pekerja dan konsumen. Dalam hal hak demokrasinya, para pekerja memilki 50 persen suara, dan konsumen pun 50 persen suara. Model 4 dalam gambar di atas pun merupakan model multistakeholder cooperative, namun tersusun atas tiga stakeholder, finansial, pekerja, dan juga konsumen. Unsur finansial di sini bisa berarti koperasi kredit, atau bentuk lain dari supporter member classes yang membantu support finansial aktivitas ekonomi koperasi. Dengan logika suara yang proposional demokratis serta penghargaan pada manusia bukan pada modal yang ditanamkan, maka tidak akan terjadi tirani minoritas ataupun diktator mayoritas.
Penjelasan di muka menunjukkan bila bangunan koperasi sesuai dengan agenda demokrasi ekonomi. Maka dari itu, bila hendak konsisten dengan visi, dalam hal ini Jokowi perlu menggunakan paradigma baru dalam membaca koperasi. Koperasi bukan soal bina membina dari pemerintah, yang justru malah memaksa dan memperkosa koperasi menjadi sub-ordinat dari BUMN atau perusahaan swasta. Jokowi perlu ke luar dari kotak warisan cara pandang lama ini. Untuk memberikan kedaulatan ekonomi pada rakyat, maka berikanlah prioritas tersebut kepada rakyat. Kelak bukan lagi mimpi siang bolong, bisnis koperasi di Indonesia mulai merambah sumber daya alam yang mana saat ini masih dikuasai oleh segelintir borjuis. Atau mungkin menjadi alternatif dalam pelaksanaan layanan publik seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, layanan transportasi, sampai listrik. Mengapa tidak?***
Penulis adalah pegiat koperasi, tinggal di Purwokerto. Saat ini sedang studi di Pasca Sarjana Prodi Ilmu Administrasi Publik Universitas Jenderal Soedirman. Beredar di twitland dengan akun @Dodi_Fdh
———
1Lihat Faisal Basri, dalam “Mengapa Saya Memilih Jokowi” diakses dari http://faisalbasri01.wordpress.com/2014/07/05/mengapa-saya-memilih-jokowi/
2Lihat Hilmar Farid dalam ‘Soal Nasionalisasi Aset ’, diakses dari https://indoprogress.com/2014/05/soal-nasionalisasi-aset/
3Dalam hal ini saya berterimakasih kepada Aktivis Koperasi, Kawan Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Indonesia yang dalam beberapa kesempatan pernah menyampaikan diskursus multistakeholders cooperative ini. Gambar model koperasi yang ada dalam artikel ini adalah skema penyederhanaan hasil corat-coret diskusi. Bacaan lebih lanjut bisa membaca karya Caroline Gijselinckx yang berjudul Co-operative Stakeholders. Who Counts in Co-operatives, and How?
4Di antaranya Boisaco, Quebec (Kanada), Weaver Street Market, North Carolina, (Amerika), Picturetank, Paris (Prancis), Producers & Buyers Co-op, Wisconsin (Amerika), Eroski, Mondragon (Spanyol), The Penticton and Area Cooperative Enterprise (PACE), British Columbia (Kanada), East Carolina Organics (ECO), North Carolina, (Amerika) dll. Lihat Ashelys Hernandez dan kawan-kawan dalam Solidarity as a Business Model hal. 27-44.