KENAPA tidak menunggu real count KPU saja? Banyak pihak, termasuk akademisi, mengimbau kita semua untuk tidak mengindahkan hasil Quick Count (QC) dan menunggu ‘Real Count’ (RC) dari KPU pada tanggal 22 Juli nanti. Apakah imbauan ini tepat dan bijak? Ini tanggapan saya.
Tentang Real Count (RC)
Sebetulnya tidak ada yang namanya real count, jika ‘real’ dianggap sebagai hitungan yang ‘betul-betul benar’ yang merujuk pada keabsolutan kebenaran empiris. Walaupun data diambil dari semua TPS (yang jumlahnya setengah juta), tidak ada pihak yang bisa memastikan bahwa hitungan-hitungan yang mengklaim ‘real count’ tidak luput dari kesalahan, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Di sinilah letak pentingnya penjelasan tentang peran Quick Count (QC) dalam proses penghitungan suara. Namun, sebelum membahas QC, saya ingin sedikit mengklarifikasi bagaimana sebenarnya penghitungan KPU harus dilihat.
Apakah penghitungan KPU adalah RC?
Hasil KPU adalah Official Count (OC), yakni hasil hitung resmi. Tentunya kita semua mengharapkan bahwa OC dari KPU akan sangat dekat dengan realita empiris. Namun, dengan perjalanan panjang sebuah suara dari TPS ke kantor KPU yang dihitung manual dengan rantai penghitungan yang cukup panjang (TPS, kelurahan, kecamatan, kabupaten hingga nasional), OC sangat rentan dengan masalah dan kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.
Dalam sejarah-sejarah pemilu di dunia, terbukti bahwa OC bisa dimanipulasi menjadi keputusan politis (lihat contoh di bawah). Proses penghitungan bisa dibebani muatan politis sehingga OC bisa bergeser (sedikit atau banyak) dari kebenaran empiris. Maraknya kasus-kasus sengketa Pilkada di Indonesia (misal: di Jawa Timur, Palembang, Kabupaten Gunung Mas Kalteng, Kabupaten Lebak Banten) merupakan bukti bahwa OC seringkali merupakan keputusan politis.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa di jaman Orde Baru, hasil Pemilu bukanlah cerminan kebenaran empiris yang terjadi di TPS-TPS. Namun, patut diakui bahwa sejak Pemilu tahun 1999, KPU sudah lebih baik menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pesta demokrasi. Bahkan di Pilpres 2014, KPU melakukan satu terobosan baru, yakni transparansi-nya data formulir suara. Oleh karena itu, kita berharap bahwa OC kali ini netral, bebas dari kepentingan politis, dan terutama bebas dari permasalahan teknis perhitungan.
Namun berharap saja tidak cukup. Jadi bagaimana caranya agar OC ini mendekati kebenaran empiris? Tidak ada jalan lain selain memonitor dan mengawalproses penghitungan tersebut.
Penerbitan formulir C1 di website KPU dan keikutsertaan para relawan mengecek formulir-formulir tersebut, merupakan salah satu upaya untuk memastikan tidak ada kesalahan maupun intervensi politik dalam proses penghitungan dari TPS ke KPU. Hingga saat ini, para relawan sudah menemukan kesalahan-kesalahan ‘teknis’ seperti C1 yg kosong, pengunggahan C1 yang salah, dan hitungan yang bermasalah (lihat contoh di sini). Ini termasuk ditemukannya rekap C1 asli yang diambil para relawan di TPS yang ternyata sudah berubah angkanya ketika tiba di website KPU (lihat contoh di sini). Berdasarkan pengamatan saya, ternyata kesalahan-kesalahan banyak terjadi di tingkat lokal ketimbang di pusat data KPU. Di sini terlihat bahwa kombinasi antara transparan-nya KPU dan keterlibatan masyarakat merupakan salah satu soko guru terselenggaranya Pilpres yang jujur.
Selain mass monitoring seperti itu, ada hal lain yang bisa dilakukan secara ilmiah. Di sinilah gunanya Quick Count (QC).
Apakah Quick Count (QC) itu?
QC adalah metoda ilmiah untuk memverifikasi hasil pemilihan dengan memproyeksikan dari sampel yang diambil di TPS-TPS. Dengan menggunakan azas random sampling dari ilmu statistik, metoda ini terukur dan teruji secara ilmiah dan dapat memberikan perkiraan hasil akhir yang terpercaya (reliable).
Random sampling ini ibarat mencicipi sop sepanci. Cukup dengan 1-2 sendok makan saja kita bisa mengira-ngira rasa keseluruhan sop.
QC biasanya menggunakan Stratified Random Sampling yakni cara mengambil sampel dengan memperhatikan strata di dalam populasi. Data dari seluruh populasi dikelompokkan ke dalam tingkatan-tingkatan tertentu, misalnya: tingkatan tinggi, rendah, dan sedang, berdasarkan populasi, pendapatan, jenjang pendidikan, dll. Setelah data dikelompokkan, baru sampel diambil dari tiap tingkatan tersebut. Maka dari itu, 2000 TPS bisa menjadi acuan dalam pengambilan sampling.
Hasil QC tentunya bukan RC. QC menyodorkan kisaran dimana RC akan jatuh. Untuk menjadi alat yang efektif, harus ada lebih dari satu QC yang dijadikan acuan. Jika dilakukan dengan metoda yang benar, hasil-hasil dari beberapa QC ini akan berada pada kisaran yang mirip. Apabila berada jauh dari kisaran, berarti ada permasalahan dalam metoda yang digunakan.
Tentang QC Pilpres2014— bagaimana membaca hasilnya?
Di Pilpres 2014, ada 12 pollsters (atau lembaga survey) yang terlacak melakukan QC (lihat tabel di bawah).
Nilai persentase yg dicantumkan di QC bukanlah perkiraan absolut. Toleransi kesalahan atau margin of error (MoE) mengukur seberapa jauh hasil QC mungkin meleset, dengan tingkat kepercayaan (confidence level) tertentu (misal 95% atau 99%). Sehingga, Margin of Error (MoE) atau tingkat kesalahan dari QC seharusnya tidak lebih dari 1%.
Catatan: MoE yang tidak diketahui (n/a) dihitung 1%
Mari kita mengambil contoh hasil QC Radio Republik Indonesia (RRI). Dengan angka 47.48% (Prabowo-Hatta) vs. 52.52% (Jokowi-JK), bukan berarti angka riil persentase suara Jokowi-JK adalah 52.52%, tetapi persentasenya ada dalam selang 52.52% +/- 1%, yakni antara 51.52% – 53.52%. Jadi, menurut QC RRI, Jokowi-JK menang.
Apakah kemudian kesimpulan dari 12 hasil QC yang ada? Apakah benar 8 lembaga survey memenangkan Jokowi-JK dan 4 memenangkan Prabowo-Hatta? Tidak benar.
Dari bagan di atas terlihat bahwa setelah MoE diperhitungkan, yang bisa kita simpulkan justru adalah:
- hasil QC 8 lembaga survey menunjukkan kemenangan Jokowi-JK dengan perolehan suara Jokowi-JK lebih dari 50% (bisa dilihat bahwa bar biru melebihi 50%) dengan overlapped bandwidth 51-53%.
- hasil QC 4 lembaga survey memberikan peluang 50%-50% pada Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Namun, perlu diingat bahwa 3 dari 4 QC ini terindikasi bermasalah (karena MoE >1% atau tidak jelas MoE-nya).
- hanya ada 1 QC yang memenangkan Prabowo-Hatta, yaitu Puskaptis.
Seperti sudah diungkap di atas, QC hanya akan berguna jika ada beberapa hasil yang dilakukan oleh pelbagai pihak. QC-QC yang selaras dengan kaidah ilmiah akan berada pada kisaran persentase yang mirip dan bertumpang-tindih (overlapped). QC yang dimanipulasi sesuai dengan kehendak tertentu (misalnya dengan sengaja memilih sampling yang berpihak, tidak stratified dan tidak random) tentunya bisa menghasilkan kisaranyang berbeda.
Kembali ke masalah monitoring OC, jadi apa fungsi QC?
QC adalah metoda yang sangat penting untuk memonitor proses pemilihan dan penghitungan suara. QC bisa dipakai untuk mengevaluasi kualitas sebuah pemilihan dan memproyeksikan serta memverifikasi OC (Official Count). Tujuan QC adalah untuk menghalangi penipuan; mendeteksi kecurangan; menawarkan perkiraan hasil yang tepat; menanamkan kepercayaan dalam proses pemilihan dan OC; serta, mengukur kualitas proses pemilihan umum secara menyeluruh. Dengan kata lain, QC adalah kontribusi keilmuan terhadap penyelenggaraan negara agar pesta demokrasi dapat dilakukan dengan jujur, adil, dan bertanggungjawab.
Jika dilakukan dengan benar dan bertanggung jawab, QC dapat:
a. memberdayakan masyarakat karena lewat QC masyarakat bisa mengkritisi jalannya sebuah prosedur demokrasi dan mengecek akuntabilitas para penyelenggara negara;
b. membangun kapasitas masyarakat lokal lewat partisipasi masyarakat secara aktif dalam proses demokratisasi;
c. memberi informasi yang terpercaya karena masyarakat berhak memiliki akses terhadap informasi yang akurat.
Ada banyak bukti kegunaan QC. Tahun 1986 di Filipina, “Operation Quick Count” dari NAMFREL (the National Citizens Movement for Free Elections) berhasil mengungkap kecurangan besar (massive fraud) yang dilakukan oleh Presiden Marcos dan pendukung-pendukungnya. QC juga menolong masyarakat Chili untuk melawan kecurangan Pinochet di tahun 1988 dan masyarakat Peru di putaran pertama pemilu tahun 2000. Ada banyak lagi contoh kecurangan pemilu lain di banyak negara yang bisa diungkap dan diperangi karena adanya QC.
Dalam kebanyakan kasus di atas OC seringkali jatuh di luar kisaran mayoritas hasil-hasil QC. Jadi bisa disimpulkan jika OC lembaga penyelenggara pemilu (misal KPU) jatuh di luar kisaran yang diperkirakan mayoritas QC, OC tersebut terindikasi bermasalah. Kalau OC jatuh tepat di kisaran tersebut, kita bisa berbangga bahwa lembaga penyelenggara bersih dan terpercaya.
Jadi, jika dilakukan dengan mengindahkan kaidah ilmiah, QC adalah alat yang netral, terpercaya, dan diperlukan untuk mengawal suara rakyat, supaya satu suara dihitung satu suara. One vote, one count!
Kembali ke pertanyaan awal: Kenapa kita tidak menunggu real count KPU saja? Tentu sekarang anda sudah tahu jawabannya.
Kita memang tidak punya pilihan selain menunggu karena hasil akhir Pilpres 2014 ini ditentukan oleh KPU. Transparansi KPU di Pilpres ini dan keterlibatan masyarakat merupakan indikasi positif. Tetapi bukan berarti QC tidak kita indahkan. Justru QC bisa dan harus kita manfaatkan dengan bertanggung jawab dan kritis. Dan jangan lupa, hitungan KPU bukan real count tetapi official count sehingga dalam prosesnya harus ketat dikawal oleh kita bersama. Mari bantu KPU untuk menyelenggarakan Pilpres yang jujur dan bersih!***
Merlyna Lim adalah peneliti berkebangsaan Indonesia dan profesor serta Canada Research Chair in Digital Media and Network Society di Carleton University, Ottawa, Canada.