SELAMA kurang lebih dua ratus tahun, masyarakat industri kapitalis telah berkembang melalui berbagai aksi penjarahan dan penghancuran terhadap sumber daya alam yang ada di bumi ini. Imperialisme—yang dalam pengertian Lennin merupakan tahap tertinggi dari Kapitalisme—telah berhasil menciptakan jalan bagi kapitalisme ke seluruh penjuru dunia (Tornquist, 2010: 18). Proses imperialisme yang dilakukan oleh negara-negara Barat dengan menjarah Sumber Daya Alam (SDA) dari negeri jajahan, telah membuat ekonomi negara mereka maju seperti sekarang ini. Tak salah kalau Mahatma Gandhi mengungkapkan bahwa jika negeri yang dulu terjajah ingin menyamai ekonomi dari negara Barat, negeri terjajah itu harus melakukan imperialisme selama seratus tahun dulu ke negara Barat tersebut.
Salah seorang mahasiswa pertambangan dari institut teknologi ternama di Indonesia pernah mengungkapkan bahwa bumi ini diibaratkan sebagai seekor kambing gemuk, yang kalau dibiarkan, pasti akan mati percuma. Bumi, jika dibiarkan dan tidak dieksploitasi secara membabi-buta, juga pasti akan menjadi hancur sia-sia (Wacana, edisi 26 tahun XXI: 02). Frame berpikir tersebut sangat selaras dengan logika kapitalisme kontemporer. Artinya, roda produksi harus terus bergerak, ekspansi modal harus terus diputar, dan ekploitasi terhadap bahan mentah pun harus terus dilakukan. Ketika proses tersebut berhenti, maka terompet krisis kapitalisme pun ditiupkan.
Pola produksi kapitalisme yang bersifat anarkis memang telah membuat dunia berada pada titik nadir. Potret kelangkaan bahan-bahan sumber daya alam yang tak terbaharukan, seperti minyak, batu bara, logam, dan bahan tambang lain telah semakin mendekat di kala pola kehidupan tetap seperti ini. Akibatnya, para generasi penerus kita nantinya hanya akan menggigit jari karena tak dapat menikmati manfaat dari sumber-sumber kehidupan yang diciptakan gratis oleh bumi kita. Itu semua karena keserakahan di balik selimut kompetisi kapitalisme. Dan, hal yang tak pernah terlepas dari proses moda produksi kapitalisme, selain kerusakan ekologi, adalah sebuah proses proletarisasi dengan cara penyingkiran masyarakat terhadap alat-alat produksinya (primitive accumulation), perampasan hak-hak dasar hidup masyarakat yang hasil akhirnya adalah kemiskinan, penderitaan, dan penindasan.
Logika Kapitalisme dan Pembukaan Ruang-Ruang Baru
Di dalam setiap produksi, pasti akan menimbulkan destruksi (Gorz, 2005). Seperti ketika suatu perusahaan memproduksi kertas, prasyarat agar komoditas kertas itu terbentuk, perusahaan tersebut harus menebang ribuan pohon sebagai bahan baku kertas serta memerlukan minyak sebagai penggerak mesin-mesin produksinya. Kenyataan tersebut membuat kapitalisme sangat memerlukan ruang-ruang baru sebagai penyokong terlaksananya akumulasi kapital, selain sebagai cara untuk mengatasi krisis over-akumulasi akibat dari badai resesi atau depresi yang deflasioner.
Sosiolog-cum filsuf Prancis Henri Levebvre, dalam teorinya tentang produksi ruang (production of space), mengungkapkan bahwa keberhasilan kapitalisme untuk memperpanjang napasnya agar tak hancur akibat kontradiksi internal, seperti yang diramalkan Marx, adalah melalui cara produksi dan reproduksi ruang-ruang ekonomi secara terus-menerus dalam skala global. Menurutnya, melalui cara tersebutlah kapitalisme mampu untuk bangkit dari setiap krisis terberat sekalipun yang terus terhimpun di dalam setiap proses moda produksinya. Namun, Lavebre gagal menjelaskan secara tepat bagaimana atau mengapa kapitalisme mampu bangkit dari krisis (Setyaka, 2013).
Adalah David Harvey yang kemudian berusaha menjelaskan hubungan antara kapitalisme dengan produksi ruang melalui teori ’spatio-temporal fix’ yang dikembangkannya (Harvey, 2010: 128—138). Spatio-temporal fix merupakan suatu metafora bagi suatu jenis solusi terhadap krisis-krisis dari kapitalis melalui penangguhan secara temporal dan ekspansi geografis. Langkah yang dilakukannya adalah melalui produksi ruang, mengorganisasi pembagian-pembagian tenaga kerja yang sepenuhnya baru secara teritorial, membuka kompleks-kompleks sumber daya baru dan lebih murah, membuka kawasan-kawasan baru sebagai ruang akumulasi kapital yang dinamis, dan memenetrasi formasi-formasi social. Selain itu, pengaturan-pengaturan institusional yang kapitalis menjadi salah satu cara penting untuk menyerap surplus kapital dan tenaga kerja. Menurut Harvey, proses sirkulasi kapital di dalam kapitalisme ini harus terus bergerak. Jika kapital tidak bergerak keluar, kapital akan mengalami kehancuran dan devaluasi.
Upaya Perebutan Ruang Hidup di Kendeng Utara
Memahami cara kerja kapitalisme yang sangat membutuhkan kontinuitas ketersediaan ruang-ruang baru, kita tak perlu heran dengan apa yang terjadi di kawasan Pegunungan Kendeng Utara, tepatnya di daerah Pati Selatan, selama kurang lebih delapan tahun ini. Rencana pembangunan pabrik semen di daerah Karst, Pegunungan Kendeng Utara ini merupakan bagian dari logika kapitalisme ruang yang dapat terlihat dari berbagai pola yang dilakukan oleh para kapitalis pertambangan bersama negara di dalam memaksakan terjadinya proses industrialisasi pertambangan semen ini.
Secara geografis, kawasan Kabupaten Pati daerah selatan, tepatnya di Kecamatan Sukolilo, Tambakromo, dan Kayen ini memang menyimpan banyak kandungan sumber daya alam yang melimpah, salah satunya adalah batuan gamping yang membentang di Pegunungan Kendeng Utara. Tak pelak, bersimbah ruahnya batuan gamping di kawasan tersebut telah membuat para kapitalis pertambangan semen menjadi keranjingan, karena batuan gamping merupakan bahan baku produksi mereka. Hal tersebutlah yang kemudian membuat perusahaan semen di Indonesia, seperti PT Semen Gresik, PT Indocement, dan PT Holcim saling memperebutkannya.
Rencana pembangunan pabrik semen di kawasan Pati dimulai ketika pada 2005, PT Semen Gresik (dengan 40 persen saham milik asing) menawarkan investasi modal sebesar Rp3,5 triliun kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Pati untuk mendirikan pabrik semen baru di wilayah Jawa Tengah. Rencana pendirian pabrik semen tersebut, secara administratif, meliputi empat kecamatan, yaitu Sukolilo, Kayen, Gabus, dan Margorejo, yang tarbagi dalam empat belas desa dengan total luas kebutuhan lahan 1.350 hektare. Lahan seluas 1.350 hektare tersebut nantinya akan digunakan oleh PT Semen Gresik sebagai lahan penambangan batu kapur (700 hektare), lahan penambangan tanah liat (250 hektare), pabrik untuk produksi semen (85 hektare), dan infrastruktur transportasi/jalan (85 hektare) serta penunjang kegiatan (230 hektare) (Laksana, 2013). Pemkab Pati pun merespons positif penawaran investasi tersebut, lalu mengeluarkan surat izin penambangan oleh Kantor Pelayanan dan Perizinan Terpadu (Kayandu) Kabupaten Pati, yang menandakan dimulainya sosialisasi kebijakan pendirian pabrik semen ini (Wawancara dengan Gunretno, 14/06/13).
Hal yang tak pernah terlepas sebelum terjadinya proses akumulasi kapital adalah sebuah proses akumulasi primitif (primitive accumulation). Akumulasi primitif merupakan proses penciptaan hubungan-kapital dengan cara penceraiberaian pekerja dari kepemilikan kondisi-kondisi kerjanya sendiri, yang kemudian mentransformasikan kebutuhan-kebutuhan hidup dan produksi sosial diubah menjadi kapital dan para produsen langsung diubah menjadi kaum pekerja upahan (Marx, 2004: 796–799).
Proses akumulati primitif pada kasus di Pegunungan Kendeng Utara, Pati, ini pun dilakukan dengan cara melakukan berbagai intervensi dan tindakan koersif demi dapat merebut tanah-tanah yang merupakan sumber hidup dan penghidupan masyarakat yang mayoritas petani di sana. Bukit Karst, yang menyimpan berbagai limpahan sumber daya alam dan merupakan topangan kehidupan masyarakat di sana pun sudah siap untuk dijarah oleh sebuah moda produksi yang bersifat kanibalisme ini (accumulation by dispossession). Kenyataan tersebut membuat proses kontra-hegemoni terjadi, yaitu terciptakan gerakan perlawanan rakyat menentang berbagai upaya pelucutan-pelucutan ruang hidup rakyat. Seperti yang diungkapkan Gunretno (Wawancara, 14/06/13), salah seorang tokoh pergerakan di sana yang menganggap bahwa pembangunan pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng Utara tersebut dapat mengancam faktor ekologi lingkungan hidup yang menjadi basis kehidupan mereka. Selain itu, juga karena pembangunan tersebut tidak akan membuat mereka beranjak dari keadaan sosial-ekonomi yang mereka alami sekarang ini, pembangunan tersebut justru akan membuat hilangnya mata pencarian mereka, tergusurnya kehidupan lokal di daerah tersebut, serta rusaknya tatanan sosial dan budaya akibat dari proses industrialisasi itu sendiri.
Negara—yang harusnya memiliki tanggung jawab untuk dapat melindungi dan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (bonumpublicum, common good, common wealth)—di dalam relasi dengan kekuatan kapital, posisinya tak lebih sebagai alat yang digunakan oleh para kapitalis untuk melegitimasi aksi predatori dan penipuan yang dijalankannya. Marx pun jauh-jauh hari telah mengungkapkan bahwa di bawah sistem kapitalisme, negara tak ubahnya menjadi sekadar kaki tangan para borjuis (para kaum pemilik modal). Di dalam relasi kapitalisme kontemporer sekarang ini, negara memang sangat diperlukan oleh para kapitalis untuk dapat memberantas berbagai penghalang di dalam membuka ruang-ruang baru melalui kekuatan monopoli atas kekerasan dan aturan hukum yang dimiliki oleh negara.
Perselingkuhan antara negara dan para kapitalis (PT Semen Gresik) itu dapat terlihat dalam proses penyusunan AMDAL yang merupakan prasyarat utama bagi proses pelaksanaan pertambangan. Dengan ilmu bunglonnya. ‘Simsalabim-Abrakadabra,’ tiba-tiba AMDAL sudah terbuat tanpa melibatkan, bahkan tanpa sepengetahuan masyarakat setempat. Hasil AMDAL yang telah dilakukan dengan menggandeng Lembaga Penelitian Lingkungan UNDIP tersebut pada kenyataannya bertentangan dengan Hasil AMDAL yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Pembangunan Yogyakarta, yang intinya menyatakan bahwa kawasan Pegunungan Kendeng Utara ini adalah kawasan Karst. Itu berarti kawasan tersebut tak layak untuk dilakukan pertambangan karena merupakan topangan kehidupan masyarakat setempat. Selain itu, berbagai aturan hukum yang dibuat oleh negara pun dengan seenaknya diinjak-injak sendiri, seperti pemberian izin pertambangan semen ini yang sangat jelas bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, PP No. 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional dan keputusan Menteri ESDM Nomor:1456 K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars.
Proses perlawanan dari rakyat untuk tetap menjaga ruang-ruang hidup mereka dari kebuasan predator kapitalis ini terus dilakukan lewat aksi jalanan dan melalui jalur formal. Upaya melalui gugatan di jalur hukum pun menuai keberhasilan ketika pada 2010, MA (Mahkamah Agung) membatalkan dokumen perizinan pertambangan yang dikeluarkan oleh Kayandu Kabupaten Pati, setelah sebelumnya terjadi pergulatan di jalur hukum di bawahnya. Keputusan dari MA ini telah membatalkan berbagai upaya dari PT Semen Gresik selama ini untuk melakukan ekplorasinya di Pegunungan Kendeng Utara Pati ini.
Namun, keberhasilan yang berhasil ditorehkan oleh masyarakat Pati ini tak berlangsung lama, ketika perusahaan tambang yang ingin melakukan pembangunan pabrik semen di sana datang kembali. Kali ini, adalah PT SMS (Sahabat Mulia Sakti), yang merupakan anak perusahan dari PT Indocement Tunggal Perkasa (ITP). Wilayah rencana pertambangannya pun digeser dari yang sebelumnya di kawasan Kecamatan Sukolilo (oleh PT Semen Gresik) menjadi di kawasan Kecamaten Tambakromo dan Kayen. Hal tersebut membuat perlawanan rakyat pun kembali dilakukan secara masif, salah satunya melalui wadah JMPPK Pati (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) bersama gabungan LSM atau Ornop yang peduli Kendeng Utara.
Penutup
Untuk memahami pergulatan rakyat di Pegunungan Kendeng Utara Pati, jalan terbaik adalah dengan memahami geneologi krisis dan logika dari kapitalisme yang sangat membutuhkan ruang-ruang baru untuk menopang akumulasi kapital dan menghindarkan sistem ini dari krisis overakumulasi. Kawasan yang merupakan surga dari batuan gamping itu telah membuat para kapitalis pertambangan semen memperebutkannya. Berbagai upaya dengan menggunakan segala cara terus dilakukan agar dapat merealisasikan eksplorasi pertambangan semen di kawasan ini. Negara yang termanifestasikan oleh Pemkab Pati dan Pemprov Jawa Tengah, tak lebih sebagai alat untuk melegitimasi tindakan predator dan penipuan dari para kapitalis ini dengan hegemoni yang dimilikinya. Berbagai janji-janji surgawi pun ditebarkan untuk merayu rakyat agar mau disingkirkan dari ruang hidup mereka. CSR yang digadang-gadang dapat memberikan timbal balik positif bagi rakyat tak ubahnya secuil kue agar rakyat tetap bisa terus diisap darahnya. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi dan laju investasi di dalam arus kapitalisme ini maka semakin membabi-buta berbagai pendestruksian yang terjadi.
Namun, selama ini rakyat telah banyak belajar dari anarki yang dilakukan kapitalisme. Mereka tak lagi mudah dirayu, ditipu, dan dibohongi. Gerakan kesadaran yang telah terbentuk di benak rakyat Pati sampai sekarang ini telah mampu untuk mengendorkan dan menahan laju neoliberalisme yang siap menerjang apa saja yang masih terbebas dari komodifikasi.
Sekali lagi, kebutuhan akan ruang-ruang baru bagi kapitalisme telah membuatnya melakukan berbagai cara. Upaya perebutan ruang hidup masyarakat Pegunungan Kendeng Utara Pati ini pasti akan terus terjadi karena limpahan surga batuan gamping yang ada di dalamnya. Artinya, selama kapitalisme masih berdiri tegak di dunia ini, selama itu pula rakyat di kawasan Pegunungan Kendeng Utara Pati harus siap bertempur demi mempertahankan ruang-ruang hidup mereka.
Gerakan kesadaran rakyat yang tersirat di dalam konsep hidup Jawa ‘sadumuk batuk sanyari bumi dibelani nganti mati,’ dapat menjadi ideologi perlawanan lokal demi menentang proses proletarisasi terhadap rakyat. Itu artinya bahwa apabila ‘sejengkal’ saja tanah yang merupakan sumber hidup dan penghidupan para rakyat ini direbut oleh para predator kapitalis, maka mereka (rakyat) akan tetap memperjuangkan tanah ini bahkan sampai titik darah penghabisan. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.***
Penulis adalah Warga di kaki bukit kendeng utara tepatnya di Dusun Lemahbang-Sinomwidodo, Kecamatan Tambakromo–Pati, saat ini tengah menjalankan studi di Manajemen & Kebijakan Publik FISIPOL UGM. Beredar di twitterland dengan id@@arifnovianto92
Daftar Pustaka
Gorz, andre. 2005. Anarki Kapitalisme. Yogyakarta: Resist Book.
Harvey, david. 2010. Imperialisme Baru: Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. Yogyakarta: Resist Book.
Hasil Wawancara dengan Gunretno di Sukolilo–Pati pada 14 Juni 2013.
Laksana, Lutfi Untung Anggara. 2013. Srawung: Strategi Advokasi Masyarakat Sedulur Sikep Terhadap Rencana Pendirian Pabrik Semen. Yogyakarta: Skripsi S-1 Fisipol UGM.
Marx, Karl. 2004. Kapital 1: Sebuah Kritik Ekonomi Politik Proses Produksi Kapitalis. Hasta Mitra.
Styaka, Virtuous. Ruang dan Waktu dalam Pemikiran Harvey. Diunduh dari https://indoprogress.com/2013/05/ruang-dan-waktu-dalam-pemikiran-david-harvey/ pada 15 Maret 2014 pukul 15.00 wib.
Tornquist, Olle. 2011. Penghancuran PKI. Jakarta: Komunitas Bambu.
Wacana. Penataan Ruang dan Pengelolaan Sumber Daya. Yogyakarta: InsistPress, Edisi 26 Tahun XIII 2011.