Jokowow dan Komidi Putar Gerakan Kiri

Print Friendly, PDF & Email

LAGI-LAGI kita tidak punya pilihan. Sebagaimana pemilu 2004 dan 2009, kita berhadapan dengan ketiadaan pilihan dalam pemilu 2014 ini. Sejak kekalahan memalukan yang dialami Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalam Pemilu 1999, gerakan kiri tidak lagi punya pilihan untuk disodorkan kepada rakyat selain seruan untuk ‘tidak memilih partai borjuis.’ Yang artinya sama dengan seruan untuk tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu. Kita membusungkan dada dan mengumandangkan pekik revolusioner, sementara kita tinggal di rumah dan tidak berpartisipasi. Persis ketika rakyat pekerja menetapkan pilihan berdasarkan paket sembako siapa yang paling besar dan lengkap. Kita mencaci-maki para wakil terbaik kelas borjuasi yang bertarung dalam pemilu, bersikap mendua terhadap para aktivis yang kini bergabung dengan para penjajah—tapi kita tidak berbuat apa-apa.

 

Golput—seruan pelipur lara

Bagiku, perbedaan antara golongan putih (Golput) dan boikot pemilu, dapat disetarakan dengan perbedaan antara sikap kaum pasifis dan kaum hipies di Amerika Serikat sekitar masa Perang Vietnam. Golput dapat dianggap pilihan yang tiada ubahnya pilihan para pasifis Amerika yang kabur dari wajib militer untuk Perang Vietnam, bersembunyi di hutan-hutan dan pedesaan terpencil demi prinsip mereka. Sejarah mencatat, mereka tidak berperan apa-apa dalam menghentikan Perang Vietnam. Yang berperan adalah aktivis mahasiswa, buruh dan kaum hippies yang berbaris di jalanan dalam demonstrasi anti-perang. Seperti inilah gerakan boikot pemilu yang sejati: ribuan orang turun ke jalan untuk menentang dilakukannya pemilu dan secara aktif mengupayakan agar pemilu batal dilaksanakan.

Jadi, ketika ada orang berseru: ‘boikot pemilu!’ tapi hanya tinggal di rumah/sekret dan saling memberi ucapan selamat karena telah bersikap revolusioner, kita bisa memahami kondisi mental mereka.

Sebelum ada yang berteriak: ‘reformis!,’ mari kita pertimbangkan dengan kepala dingin: selain hak untuk menepuk dada dan mendapuk diri sebagai ‘revolusioner sejati,’ apa sebenarnya keuntungan dari seruan untuk golput? Baik yang terang-terangan menyerukan golput atau yang dibungkus dengan slogan revolusioner ‘boikot pemilu?’

Mari kita berhitung. Apakah ‘gerakan’ golput pernah terorganisir dan menjadi kekuatan tandingan yang signifikan? Um… kurasa tidak. Apakah gerakan golput sanggup meningkatkan kesadaran kelas di tengah massa yang tidak memilih? Ugh… sepertinya tidak. Apakah gerakan golput membuahkan peningkatan keanggotaan pada organisasi-organisasi kiri? Sejauh yang aku tahu, tidak.

Sepertinya, seruan golput tidak memberi keuntungan apa-apa pada gerakan kiri; selain memberi kelegaan dan kebebasan dari rasa tidak berdaya karena tidak sanggup berbuat apa-apa–ketika kelas borjuasi berpesta menghabiskan uang rakyat pekerja untuk terus memelihara penindasan kelas.

Aku bisa mendengar ada yang berteriak di belakang sana: ‘angka golput yang tinggi adalah tanda ketidakpercayaan pada pemerintah, akan memudahkan tumbuhnya gerakan revolusioner!’ Tingkat golput di Amerika Serikat sejak 1972 berkisar pada angka 50 persen. Dan sampai sekarang tak ada gerakan revolusioner yang signifikan di sana. Tidak ada korelasi (hubungan sebab-akibat) langsung antara angka golput dan kadar revolusioner rakyatnya.

Kalau seruan golput tidak memberi keuntungan apa-apa bagi gerakan kiri, kenapa mereka yang mengaku menggenggam ‘cara berpikir ilmiah’ terus melakukannya selama 15 tahun? Apakah kita mengharapkan hasil yang berbeda sekalipun mengulang hal yang itu-itu saja?

Lima belas tahun itu waktu yang cukup lama. Cukup lama untuk membuat banyak di antara ’orang-orang kiri’ ini putus asa; tidak tahan lagi hanya berteriak dari pinggir lapangan dan memutuskan untuk….

 

Menyeberang ke kubu lawan

Kecanduan narkoba biasanya dimulai dengan sesuatu yang nampaknya tidak berbahaya. Coba-coba, biar kelihatan keren, segaris saja. Tapi kita semua tahu bagaimana akhir ceritanya. Begitu pula dengan fenomena maraknya aktivis kiri yang kini berjibaku atas nama partai-partai borjuis (sekalipun ditaruh pada posisi yang tidak akan sampai ke parlemen). Semua dimulai dengan tindakan yang nampaknya tidak berbahaya: bergabung dengan PDI-P. Bukankah PDI-P adalah sekutu lama ketika memerangi Suharto? Tapi di mana batas antara ‘tidak berbahaya’ dan ‘kecanduan?” Apakah batasannya adalah ‘bukan partai tentara,’ atau ‘bukan partai pelanggar Hak Asasi Manusia?’

Tapi, sekali lagi kita menipu diri sendiri. Dengan membatasi definisi pelanggaran Hak Asasi Manusia pada pelanggaran Hak Sipol semata, kita mengabaikan hak ekonomi, sosial, budaya rakyat Indonesia. Bahkan, dalam tataran hak yang diakui oleh borjuasi sebagai kelas global, semua partai  borjuasi Indonesia dapat digolongkan sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia.

Dan kita musti bertanya lagi baik-baik pada diri kita sendiri: apakah yang sebenarnya kita harap bisa kita berikan pada rakyat kita? Kesejahteran? Sungguhkah kita ingin memberi rakyat kita kesejahteraan? Jika hanya itu yang ingin kita berikan pada rakyat Indonesia, maka kita harus setuju pada slogan-slogan yang tertera pada pantat truk Antar Kota Antar Propinsi: ‘Penak jamanku, tho?’ Karena, betapapun kita membenci Suharto dan Orde Barunya, rakyat Indonesia pernah menikmati harga murah dan kedamaian—walau semua itu semu adanya.

Tidak. Kita tidak menginginkan rakyat kita sekedar sejahtera. Kita menginginkan rakyat kita berkuasa. Aku masih ingat pendidikan politik yang aku terima saat masih menjadi aktivis anyar yang sok tahu: kesejahteraan sejati hanya dapat dicapai dengan kemerdekaan sejati. Tapi apa artinya itu? Jika rakyat kita bertanya: ‘bagaimana cara mencapai kekuasaan itu?’, teladan apa yang dapat kita tunjukkan pada mereka? Apakah kita akan menjawab: cara mencapai kekuasaan adalah dengan mendaftar pada partai-partai borjuis?

Teladan selalu bicara lebih lantang ketimbang kata-kata yang manapun juga. Terutama ketika rakyat melihat bahwa mereka yang mengabdi pada partai borjuis dapat menikmati ketenaran, kemakmuran dan kenyamanan hidup. Apa yang sekarang dilakukan oleh para aktivis kiri akan diteladani oleh para pemimpin organisasi rakyat. Jangan heran kalau di tahun 2019, akan terjadi banjir aktivis buruh, tani, nelayan ke dalam haribaan partai-partai borjuis.

Apa pilihan yang kita punya? Apakah kita harus bersikap ‘minus maklum’ (pelesetan dari minus mallum, agar dimaklumi) dan memilih yang terbaik dari dua pilihan yang buruk? Ke mana perginya mimpi membangun partai revolusioner untuk merebut kekuasaan bagi rakyat pekerja?

 

Partai revolusioner?

Inilah sebenarnya pertanyaan yang tidak pernah kita jawab dengan tuntas. Mudah bagi kita untuk berkoar: bentuk partai revolusioner! Tapi kita tidak pernah mendapat jawaban memuaskan tentang bentuk partai revolusioner macam apa yang paling tepat untuk kondisi Indonesia saat ini. Jangankan perdebatan, konsep yang menyeluruh saja tidak pernah muncul ke permukaan.

Satu pertanyaan terpenting yang sudah kerap diajukan, tapi tidak pernah mendapat pembahasan memadai adalah: berapa besar kuantitas yang kita butuhkan agar partai revolusioner ini efektif? Konon, kita percaya bahwa kuantitas menentukan kualitas—tapi pembahasan tentang kuantitas ini tidak pernah sampai pada kesimpulan yang memadai sebagai panduan.

Sebagai ilustrasi (maaf harus kembali tampil sebagai ortodoks), jumlah anggota Bolsheviks di sekitar terjadinya Revolusi Demokratik 1905 adalah 737 (Tony Cliff, Lenin: Building the Party). Praktis Bolsheviks tidak memainkan peran berarti dalam revolusi ini. Menjelang Revolusi Oktober 1917 keadaannya sangat berbeda. Jumlah anggota Bolsheviks adalah 200 ribu orang di tengah 2,4 juta kaum buruh Rusia. Tentu jumlah ini bukan murni rumus matematik—tapi Bolsheviks saja membutuhkan kuantitas keanggotaan yang begitu besar (nyaris 10 persen dari total jumlah buruh) untuk dapat melancarkan revolusi yang berhasil.

Tentu saja, masih ada yang percaya bahwa bentuk terbaik bagi sebuah partai revolusioner adalah dengan membangun kekuatan bersenjata. Sayangnya, Revolusi Kuba yang sering dijadikan teladan, di mana 300 gerilya bisa mengalahkan garnisun kota berkekuatan 4000 orang, membutuhkan kondisi khusus: rendahnya semangat tempur tentara pemerintah, yang menggunakan senjata kadaluwarsa. Dalam kasus lainnya, di mana gerilya bersenjata memenangkan revolusi, kuantitas besar tetaplah dibutuhkan. Jumlah gerilyawan Sandinista adalah 3000 orang pasukan inti dan sekitar 7000 milisia. Kekuatan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok menjelang kemenangan Revolusi Tiongkok adalah 1 juta pasukan inti dan 2 juta milisia.

Ke manapun kita berpaling, kuantitas menjadi faktor penentu dalam keberhasilan membangun kekuatan revolusioner yang menang—bukan yang sekedar bisa berpuas diri dengan poster-poster dan kaus Che Guevara. Tapi, apakah kita pernah mempertimbangkan bagaimana memperoleh setidaknya 200 ribu anggota bagi organisasi kita? Terlebih kita perlu ingat, bahwa jumlah ini adalah keanggotaan partai, yang tentunya didukung oleh ratusan ribu lagi keanggotaan serikat buruh, tani, nelayan.

Dan sekarang, ini pertanyaan hanya buat yang di organisasi politik: berapa jumlah anggota kalian? Ada yang bisa mencapai 1000 orang? Ada? Tidak ada? Sejauh pengetahuanku yang terbatas, hanya PRD yang pernah mencapai angka ini, sesaat menjelang Pemilu 1999. Sayangnya, organisasi politik sayap kiri tidak pernah mempublikasi jumlah keanggotaan mereka. Mungkin karena takut direpresi, tapi mungkin juga karena terlalu sedikit sehingga malah bikin malu jika dipublikasi.

Namun kuantitas yang dicapai PRD itupun tidak bertahan lama. Hanya butuh beberapa tahun sebelum jumlah itu menyusut, dan PRD pun menyusul layu. Mengapa bisa begitu? Aku kira, penyakit berikut ini tak dapat dibantah adalah penyebabnya:

 

jokowiSindrom komite aksi

Jangan salah: Komite Aksi adalah pondasi bagi semua organisasi pergerakan yang revolusioner. Tanpa kemampuan melancarkan aksi massa yang efektif, sebuah organisasi yang menyebut diri ‘revolusioner’ hanyalah macan ompong. Tapi sebuah rumah tidak hanya terdiri dari pondasi belaka. Dan mentalitas Komite Aksi inilah yang menjadi penghalang nomer satu bagi terbentuknya organisasi politik sayap kiri yang memiliki kuantitas memadai.

Sebuah Komite Aksi harus cukup kecil sehingga memiliki mobilitas tinggi, memiliki hubungan batin cukup erat sehingga bisa bekerja secara efisien di tengah represi, dan memiliki hirarki sosial yang ketat agar dapat menjaga harmoni ketika ketegangan terbangun dalam kelompok. Jika kita coba lihat Komite Aksi yang ada di sekitar kita, kita akan temui ciri-ciri ini.

Hirarki sosial ini menjadi sangat penting mengingat kebanyakan anggota organisasi sayap kiri adalah orang-orang yang pada dasarnya berani melawan otoritas. Sebagian besar dari mereka yang bergabung ke sayap kiri adalah orang berjiwa pemimpin—yang dalam penggolongan sosial disebut individu  alpha. Sebagai mahluk sosial, masyarakat manusia sangat tergantung pada terciptanya kombinasi hirarki yang efektif: cukup ketat sehingga kelompok dapat bekerja efektif, tapi juga cukup memberi rasa nyaman sehingga orang tidak merasa perlu kabur dari kelompok. Kombinasi ini sulit terbangun dalam kelompok yang dipenuhi alpha. Salah kombinasi, perebutan kekuasaan terjadi terus-menerus atau orang kabur karena merasa tidak nyaman.

Sial bagi kita, aspek kepemimpinan dan hirarki ini diabaikan oleh organisasi-organisasi sayap kiri kita. Coba kita lihat baik-baik, dan kita akan temui bahwa hanya ada dua strategi penciptaan hirarki dalam organisasi kiri Indonesia: senioritas dan sumber daya. Siapa yang senior, atau punya banyak sumber daya untuk dibagi-bagi (apalagi jika punya keduanya sekaligus), niscaya menjadi pemimpin de facto dalam organisasi. Biasanya pemimpin de facto memegang kekuasaan formal. Jika tidak, pemegang kuasa formal biasanya harus ‘minta restu’ dari penguasa de facto sebelum bisa menjalankan programnya.

Sebagaimana semua hal lain di dunia ini, apa yang membuat sebuah Komite Aksi begitu kompak dan lugas adalah juga urat Achilles, titik matinya. Terutama soal ukuran itu tadi. Komite Aksi tidak bisa membesar karena kehadiran orang baru, terutama jika terjadi banjir pendaftaran, akan melunturkan relasi ‘kekerabatan’ yang selama ini terbangun. Tapi yang terburuk adalah ketika hirarki dalam Komite Aksi dibangun dengan prinsip patron-klien: patron tidak akan bisa mencurahkan sumber daya pada semua orang baru tanpa kehabisan napas. Masuknya orang baru dalam jumlah besar mengancam basis kuasa dari relasi patron-klien.

Perhatikan organisasi politik sayap di kanan-kiri kita. Apakah mereka bersikap ogah-ogahan menerima anggota baru? Atau menerapkan sistem perekrutan yang berbasiskan penilaian individu dari para agen perekrut? Apakah rekrutmen dilakukan dengan pendekatan individu yang mendahulukan kedekatan emosional? Jika salah satu dari pertanyaan ini dijawab dengan ‘ya,’ maka organisasi sayap kiri di depan hidung kita itu mengidap Sindrom Komite Aksi.

Aku punya kecurigaan kuat bahwa sindroma Komite Aksi inilah biang keladi penyakit split yang tidak pernah gagal menulari setiap organisasi kiri yang pernah ada di Indonesia. Dan itu berarti, kegagalan untuk menemukan sistem yang sanggup mengumpulkan sejumlah besar orang-orang yang kritis dan melawan, membangun hirarki yang cukup adil dan memungkinkan rotasi kepemimpinan de facto di tiap tingkatan—tanpa mengganggu struktur hirarki formal yang menjadi kerangka organisasi.

Tapi, katakanlah kita bisa menemukan dan membangun sistem semacam itu, dari mana kita akan memperoleh anggota ribuan, bahkan ratusan ribu?

 

Partai dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat

Kalau kita ingin menghadirkan kekuasaan bagi rakyat, siapa target rekrutmen paling masuk akal bagi partai kita? Tentu rakyat itu sendiri! Buruh, tani, nelayan berpartai, berpolitik, mengurusi hukum dan perundang-undangan dan belajar mengurus kebutuhan masyarakat.

Solusi yang kedengarannya sangat sederhana. Aku rasa tidak seorang pun yang akan secara terbuka menolak pembangunan sebuah partai yang berbasiskan rakyat pekerja. Tapi lain soalnya ketika konsep ini dilaksanakan. Aku tidak akan membahas analisis terhadap keberatan yang aku temui, tapi alasan yang dikemukakan sebagai keberatan utama adalah kekurangan sumber daya abadi di tengah serikat. ‘Serikat masih belum bisa ditinggal.’ Kita akan membutuhkan satu tulisan tersendiri yang dikhususkan bagi pembahasan alasan ini.

Tapi, sementara itu, ada problem obyektif yang menghalangi partisipasi massa serikat ke dalam organisasi politik sayap kiri: regenerasi yang parah di kalangan serikat, beban kerja tertumpuk pada satu atau dua ‘pakar’ advokasi, serta kelelahan fisik akibat kerja berlipat ganda untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Buruh harus lembur, petani harus kerja sampingan di pabrik batu bata, nelayan kerja jaga malam di tambak Wak Haji. Bagi kaum perempuan, pekerjaan ini masih ditambah lagi dengan kerja domestik.

Pembahasan mengenai persoalan ideologis yang melatarbelakangi keengganan pemimpin serikat, untuk mengambil tanggung jawab sebagai pemimpin politik gerakan kelas pekerja, masih bisa ditunda. Pembahasan ini akan berlangsung panjang dan menyakitkan. Tapi kita bisa mulai bekerja untuk menemukan solusi bagi kondisi obyektif yang menghalangi keterlibatan massa rakyat pekerja dalam kerja-kerja politik praktis. Solusi terhadap masalah-masalah yang disebut di atas akan sangat membantu serikat, baik pada akhirnya mereka setuju terlibat dalam partai politik sayap kiri ataupun tidak.

Dan, sebelum kita beralih pada tujuan pembuatan tulisan ini (yang terbayang dari judulnya), aku mau mengingatkan bahwa komposisi ideal yang harus kita capai dalam partai sayap kiri adalah 90 persen rakyat pekerja dan 10 persen intelektual—sebagaimana yang berhasil dicapai Bolsheviks di tahun 1914 (Lenin, Disruption of Unity Under Cover of Outcries for Unity) setelah diupayakan sejak 1905 (Lenin, Speech on the Question of the Relations Between Workers and Intellectuals within the Social-Democratic Organisation; Reorganization of the Party). Konsepsi dan praktek ini begitu penting sehingga membutuhkan pembahasan tersendiri.

Sementara menunggu pembahasan itu selesai, satu point layak disinggung di sini: penempatan rakyat pekerja pada jabatan-jabatan partai bukan hanya merupakan bagian dari pendidikan, melainkan sebuah tugas politik. Rakyat pekerja harus berlatih untuk menetapkan pilihan mana yang sesuai bagi kepentingan kelasnya: kredit motor/mobil yang murah, atau angkutan umum yang memadai walaupun belum aman/nyaman; acara joget yang heboh dan banyak kuisnya, atau acara ilmu pengetahuan populer; apakah perempuan akan lebih terlindung jika berpakaian tertutup, atau jika hukuman berat diberlakukan bagi para peleceh seksual; mempertahankan harga BBM tetap murah, atau investasi untuk pembangkit listrik dengan energi terbarukan, dll.

‘With great power comes great responsibility,’ (bersama kuasa yang besar, datang pula tanggung jawab yang besar) demikian kalimat favoritku dari komik Spiderman. Jika rakyat pekerja ingin berkuasa, ia harus belajar mengambil tanggung jawab yang besar atas masyarakat. Jika tidak demikian, kekuasaan yang akan diraihnya akan menjadi bumerang—hanya menghasilkan penguasa yang tidak bertanggung jawab.

Dan jika rakyat pekerja tidak dilatih untuk mengambil tanggung jawab atas prikehidupan masyarakat, ia akan selalu terjebak pada pilihan yang disediakan oleh kelas borjuasi yang saat ini berkuasa. Karena siapapun yang terpilih, Jokowi atau Prabowo atau calon lainnya, mereka tetaplah….

 

Solusi terbaik bagi kelas borjuasi

Jokowi dan Prabowo barangkali nampak bertolak belakang dalam banyak hal. Namun, tak peduli berapa besar perbedaan di antara mereka, keduanya hanyalah hasil dari opsi strategis yang dimiliki kelas borjuasi untuk mempertahankan kekuasaan kelas mereka atas rakyat pekerja. Apakah kapitalisme Indonesia akan bisa survive dengan kepemimpinan yang represif, atau justru populis? Apa strategi terbaik untuk meredam kegelisahan yang sekarang ini membara di hampir semua tempat di negeri ini: penculikan aktivis atau penyuapan aktivis?

Fakta bahwa masih ada rakya pekerja yang menyatakan dukungan pada Prabowo menunjukkan masih rendahnya tingkat kesadaran rakyat pekerja. Jauh lebih mudah untuk menunjukkan bahwa terpilihnya Prabowo akan sangat merugikan bagi gerakan rakyat pekerja. Sikap sang Jenderal yang bersikeras bahwa penculikan adalah hal yang perlu dilakukan menyiratkan bahwa jika perlu dia akan kembali melakukannya. Aliansi resmi yang sekarang dibangunnya dengan kekuatan fundamentalis juga mengisyaratkan bahwa gerakan rakyat pekerja kemungkinan akan banyak dihadapi oleh para preman berkedok agama. Apalagi jika koalisi Prabowo-Aburizal Bakrie benar-benar terwujud. Habis sudah.

Pendeknya, situasi gerakan rakyat pekerja akan menghadapi masa suram di bawah kepemimpinan Prabowo.

Namun demikian, tentunya masih ada aktivis sayap kiri yang berpandangan bahwa akan lebih mudah membangun militansi jika situasinya represif. Aku tidak akan membahas pandangan tersebut dalam kesempatan ini, hanya mau bertanya: bagaimana bisa merekrut ratusan ribu anggota dalam situasi semacam itu? Jika ada jawaban memuaskan terhadap pertanyaan ini, aku tidak akan keberatan dengan pendekatan ironis ini.

Upaya menunjukkan bahwa Jokowi adalah wakil dari kelas borjuasi akan jauh lebih sulit. Pendekatannya yang populis menyenangkan banyak rakyat pekerja. Sekalipun janji Jokowi tidak selalu ditepati dan pelaksanaannya tidak selalu sesuai target, rakyat pekerja banyak memiliki harapan. Di tengah kebobrokan yang merajalela, sosok seperti Jokowi dan beberapa pemimpin borjuis populis lainnya tampak mencolok. ‘Di negeri orang buta, orang bermata satu menjadi raja’—begitu kata pepatah Eropa yang lahir sekitar masa perang Salib, karena kebiasaan dari kedua pasukan yang konon sama-sama berperang atas nama Tuhan, untuk membutakan mata tawanan mereka.

Namun demikian, apapun yang dilakukan oleh tokoh-tokoh populis ini, mereka tidak akan pernah mengubah relasi kuasa antara rakyat pekerja ketika berhadapan dengan kelas borjuasi—terutama perusahaan multi-nasional (MNC). Negosiasi dan pelunakan sikap MNC barangkali akan dicapai, tapi jangan mimpi rakyat pekerja akan memperoleh tingkat kesejahteraan sebagaimana didambakan.

Perbandingan antara Jokowi dan Prabowo layak disandingkan dengan Politik Etis van Deventer dengan Tangan Besi Daendels. Baik van Deventer maupun Daendels adalah wakil terbaik dari kepentingan ekonomi-politik Kerajaan Belanda. Keduanya memberi keuntungan besar bagi kekuasaan kolonial Belanda, memangkas korupsi dan meningkatkan efisiensi birokrasi—dan mengurangi perlawanan dari kaoem boemipoetra. Kapitalisme adalah pewaris sah kolonialisme, dan memiliki kemampuan beradaptasi yang luar biasa terhadap situasi. Keras atau lunak cuma cara, hasilnya yang penting.

Bagi kita di sayap kiri, perbandingan ini berlaku pula: di masa yang mana gerakan kemerdekaan bisa berkembang lebih baik—di masa Politik Etis atau Politik Tangan Besi? Sekalipun tidak lagi terjadi pemberontakan yang militan dan radikal (kecuali upaya prematur PKI di tahun 1926), justru di bawah Politik Etislah pengorganisiran untuk meraih kemerdekaan mendapat kesempatan untuk berkembang. ‘Jaman Bergerak,’ begitu kata Takashi Shiraishi.

Pemahaman terhadap situasi ini menjadi sangat penting untuk menentukan….

 

Sikap kita dalam pilihan terjepit

Kita sekarang dijepit. Pilihan yang ada di hadapan kita jelas: tangan besi atau politik etis. Sikap kita harus disesuaikan dengan kepentingan kita sendiri, dengan rencana strategi, dengan game plan kita sendiri. Kalau rencana strategi kita adalah menempa militansi sayap kiri lewat api represi, maka Prabowo adalah pilihan kita. Namun, rencana strategi yang aku uraikan sepanjang tulisan ini membutuhkan terpilihnya Jokowi sebagai presiden.

Tentu pilihan untuk tidak memilih masih sah untuk diambil. Aku hanya mau mengingatkan bahwa kita sudah membuang waktu 15 tahun, menyia-nyiakan ruang yang terbuka untuk berdirinya kembali partai sayap kiri yang kuat, partainya rakyat pekerja/jelata/miskin, apapun istilahnya. Dan sudah 15 tahun juga kita bersikeras menggunakan cara yang itu-itu saja (baca:golput) dan berharap ada hasil berbeda walaupun cara tidak diubah. Inilah maksudku ketika menulis frasa ‘komidi putar gerakan kiri.’ Karena kita memang bak tengah menunggang komidi putar. Menyenangkan, bisa teriak-teriak, suasana nyaman terbangun, tapi tak ke mana-mana.

Sudah waktunya kita turun dari komidi putar. Sudah waktunya kita punya game plan kita sendiri. Sudah waktunya kita melakukan intervensi terhadap proses pemilu yang tengah menarik perhatian rakyat pekerja, dan mengupayakan kondisi yang memungkinkan bagi rencana strategis kita sendiri. Tawaran rencana strategisku akan aku uraikan lebih jauh dalam tulisan lain. Yang terpenting bagi kita adalah menjaga agar mimpi kekuasaan rakyat pekerja tetap hidup, dan pada akhirnya terpenuhi.***

 

Pinggiran Jakarta, Mayday 2014

 

Penulis adalah anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.