Judul buku: What the Market does to People: Privatization, Globalization, and Poverty
Penulis: David Macarov
Kota terbit, penerbit: London, Zed Books
Tahun terbit : 2003
Tebal buku : 183 halaman
1 MEI 2014 yang lalu menjadi ruang dengan banyak kaca besar berjejeran di sepanjang jalan, yang memantulkan kesadaran banyak lulusan universitas produk privatisasi, mengenai buruh dan kemiskinan. Banyak mahasiswa dan mereka yang merupakan jebolan dari universitas-universiats ternama di ibukota nyinyir1 dan cenderung kesal terhadap aksi-aksi buruh dalam memperingati May Day atau hari buruh internasional.
Intinya, ‘kaum terpelajar’ yang tengah menempuh pendidikan tinggi maupun yang telah menjadi sarjana itu tidak rela jika buruh punya gaya hidup yang ‘mewah’ seperti mereka dan bukannya bersyukur dengan kebutuhan-kebutuhan pokok/primer saja, padahal mereka (para buruh) sudah selayaknya hidup miskin karena buruh hanyalah lulusan SMA dan bukan lulusan S1 atau D3.2
Saya jadi teringat sebuah momen di masa lalu ketika salah satu dosen saya, pengajar mata kuliah Politik di Amerika Latin, menanyakan sebuah pertanyaan kepada seluruh peserta mata kuliah di kelas itu ‘Apa penyebab kemiskinan?’ Banyak yang terdiam, hingga salah seorang teman saya mengacungkan jarinya dan kemudian menjawab dengan cukup ngasal dan (sayangnya) juga lantang ‘Mereka miskin karena mereka malas, Mas.’ Dosen saya tersebut langsung meninggikan intonasinya dan berkata ‘Coba nanti kamu bangun jam 2 pagi dan langsung ke pasar tradisional, ya. Bisa pasar minggu atau yang lainnya. Lihat para kuli panggul yang hidup miskin di lorong-lorong pasar di sana sudah memanggul banyak sayur-sayuran berkuintal-kuintal di jam segitu, persis ketika kebanyakan orang masih tertidur lelap. Mereka sungguh pemalas, kan!’
Perdebatan mengenai definisi kemiskinan, ukuran-ukurannya, penyebab-penyebabnya serta upaya untuk mengatasi persoalan kemiskinan, tak pelak lagi merupakan salah satu perdebatan paling abadi sepanjang masa. Lebih-lebih di Indonesia, dimana kemiskinan seringkali dianggap sebagai hasil dari perbuatan perseorangan, individu yang malas, tidak punya jiwa entrepreneurship, dan sama sekali jauh dari problem yang sifatnya lebih struktural. Pertanyaannya, apa pentingnya membahas kemiskinan? Bukankah kemiskinan itu bersifat sangat relatif? Tergantung dari kemampuan tiap individu mensyukuri apa yang telah dianugerahkan padanya? Bukannya memang sudah sunatullah atau sudah seharusnya ada yang kaya dan ada yang miskin? Buku yang ditulis oleh David Macarov ini dengan cukup baik memetakan berbagai pertanyaan dan argumentasi yang mungkin terbayang di benak khalayak ketika mendengar kata kemiskinan.
Apa yang Dimaksud dengan Kemiskinan?
Kemiskinan adalah sebuah masalah, mungkin semua orang bisa bersetuju. Hanya saja, masalah yang seperti apa dan dari sudut pandang/perspektif yang seperti apa, tentu akan sangat berbeda-beda dan beragam. Pada titik inilah, pendefinisian mengenai kemiskinan dapat dilihat signifikansinya. Pendefinisian kemiskinan dapat menjadi pintu awal untuk membantu kita menganalisis berbagai pertanyaan yang menyertai kemiskinan: apa yang menjadi penyebab kemiskinan, serta posisi dan masukan kita terhadap permasalahan kemiskinan.
Perdebatan mengenai definisi kemiskinan hampir bisa dipastikan selalu terjadi sepanjang waktu. Jejak kemiskinan sendiri sudah dapat dikenali semenjak ribuan tahun yang lalu yang ditandai dengan peninggalan berbagai agama dalam menangani kemiskinan. Seperti misalnya konsep zakat dalam Islam yang menjadi ‘jawaban’ paling dikenal dalam mengatasi problem kemiskinan. Namun, apa yang dimaksud dengan kemiskinan, hingga kini masih banyak yang memperdebatkan definisinya. Dalam buku ‘What the Market does to People: Privatization, Globalization, and Poverty’ ini, Macarov mengidentifikasi bahwa terdapat beberapa pendapat umum yang berkembang seputar definisi kemiskinan.
Dalam hal ini, definisi kemiskinan seringkali ditetapkan sebuah pemerintahan suatu negara melalui penggambaran apa yang dikenal sebagai ‘garis kemiskinan’. Penggambaran mengenai ‘garis kemiskinan’ ini cenderung berbeda-beda dan tidak sama di setiap negara. Menurut Macarov, perbedaan ini sangat bergantung pada tujuan negara menetapkan ‘garis kemiskinan’ itu sendiri. Macarov menjelaskan bahwa beberapa negara menetapkan ‘garis kemiskinan’ dengan menggunakan ukuran-ukuran kemiskinan absolut, yakni berdasarkan pendapatan dan asset yang dimiliki seorang warga negara. Sementara itu, ada juga negara yang menetapkan ‘garis kemiskinan’ berdasarkan ukuran-ukuran yang bersifat relatif.
Macarov melakukan kritik terhadap berbagai metode penetapan ‘garis kemiskinan’ yang banyak dilakukan di berbagai negara di dunia. Penetapan ‘garis kemiskinan’ yang didasarkan pada rata-rata pendapatan minimum yang dapat diraih setiap warga negara per bulannya tanpa memperhatikan hal-hal yang lain, merupakan hal yang bermasalah. Dalam hal ini, mereka yang termasuk ke dalam kategori orang yang berada di atas ‘garis kemiskinan’ tersebut, meskipun hanya dengan perbedaan yang sangat sedikit, tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang miskin. Selain itu, penetapan ‘garis kemiskinan’ yang didasarkan pada pendapatan rata-rata yang terendah dan tertinggi juga memiliki masalah. Pengukuran semacam ini bermasalah karena gap/kesenjangan yang besar antara pendapatan yang terendah dan tertinggi tidak dieperhitungkan.
Lalu, apa implikasi dari penetapan ‘garis kemiskinan’ ini? Selain berimplikasi pada berbagai kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah, penetapan ‘garis kemiskinan’ ini juga sedikit banyak mempengaruhi pendapat umum atau common sense mengenai kemiskinan. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang disepakati dalam mendefinisikan kemiskinan. Yakni sejauh mana orang dapat mengakses berbagai kebutuhan yang merupakan kebutuhan pokok, termasuk pendidikan, kesehatan, dan rumah yang layak, maka ia dapat dikatakan tidak hidup dalam kemiskinan.
Pendapat bahwa kemiskinan itu bersifat sangat relatif dan bergantung pada masing-masing individu juga banyak berkembang. Hanya saja, pendapat mengenai hal ini memiliki banyak kekurangan. Pendapat ini dapat membuat negara mengabaikan kewajiban mereka dalam memenuhi semua kebutuhan warganya. Macarov dalam bukunya ini memang tidak menyebutkan mana pendapat yang lebih masuk akal atau menyatakan dengan tegas dimana posisinya. Namun, Macarov lebih banyak menekankan definisi kemiskinan pada kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural didefinisikan Macarov sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh sistem ekonomi yang berkembang di sebuah negara yang kemudian menyebabkan kemiskinan terhadap warga negaranya.
Selain berbagai definisi kemiskinan tersebut, ada hal diungkapkan Macarov dalam buku ini, yakni mengenai dampak atau implikasi yang terjadi akibat kemiskinan. Selain kelaparan, menurut Macarov, prostitusi, kekerasan, dan kerusakan lingkungan menjadi beberapa dampak lain yang ditimbulkan akibat kemiskinan. Menurut Macarov, kerusakan lingkungan terjadi misalnya diakibatkan oleh mereka yang hidup dalam kemiskinan terpaksa membakar hutan atau mengambil ikan di sungai dan memburu binatang dihutan tanpa memperhatikan keberlangsungan lingkungan demi mempertahankan hidup mereka. Bahkan, Macarov mengamini pernyataan Indira Gandhi yang terkenal yang menyatakan bahwa kemiskinan ialah the greatest polluter.3
Saya sendiri kurang sependapat dengan pendapat Macarov tersebut. Prostitusi dan kekerasan akan selalu ada selama kapital masih menghendaki hal itu. Meski tingkat kemiskinan berkurang, kedua hal itu akan selalu ada sejauh kapitalisme masih menjadi fondasi utama masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Beatrix Campbell, bahwa kapitalisme yang berkelindan dengan patriarki akan selalu menghasilkan erotic capital yang memungkinkan tumbuh suburnya bisnis prostitusi dan kekerasan.4 Selain itu, menurut saya, kemiskinan tidak dapat dinyatakan sebagai the greatest polluter demikian juga dengan mengatakan bahwa mereka yang miskin sebagai the greatest polluter. Fakta bahwa banyak orang miskin hidup di lingkungan yang kumuh memang tidak dapat dielakkan. Namun, menyebut mereka sebagai the greatest polluter saya rasa masih terlalu terburu-buru. Terlebih, kerusakan lingkungan yang dihasilkan kapitalisme, yang dihasilkan kaum pemilik modal (para pengusaha tambang, para pengusaha kayu dan kertas, dan sebaginya) tentunya jauh lebih besar dan lebih hebat!5
Apa Penyebab Kemiskinan?
Dalam buku ini, Macarov menjelaskan dengan sangat baik berbagai pendapat umum atau “common sense” yang berkembang di seputar perdebatan mengenai penyebab kemiskinan. Macarov menyatakan bahwa banyak pendapat yang menyatakan bahwa persoalan kemiskinan disebabkan oleh problem/masalah yang ada di dalam personal seorang manusia. Kemiskinan diakibatkan oleh mental individu manusia yang malas, yang tidak memiliki motivasi untuk berjuang hidup dengan layak dan sebagainya. Dengan demikian, solusinya selalu diletakkan pada bagaimana mengubah manusia tersebut. Entah apakah agar dia tidak malas, dan sebagainya. Kemiskinan yang seringkali dikaitkan dengan problem mental perseorangan ini mengandung masalah karena pengandaian manusia sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan selalu tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan struktur sosial politik yang melingkupinya.
Persoalan mengenai kemiskinan yang sering dikaitkan dengan problem mental perseorangan ini, pernah diujikan dan coba dibuktikan kebenarannya oleh Macarov. Pada bagian awal buku ini, Macarov menceritakan pengalamannya dalam membuktikan bahwa pendapat mengenai kemiskinan akibat problem mental perseorangan (malas, tidak punya motivasi, dan sebagainya) adalah tidak benar adanya. Pada sebuah kelas mata kuliah yang ia ajar di salah satu universitas, Macarov menceritakan hasil observasi yang dilakukan para mahasiswanya atas kemiskinan. Para mahasiswa tersebut dibolehkan hidup hanya dengan sejumlah uang berdasarkan standar garis kemiskinan yang ada. Mereka kemudian diminta menuliskan apa saja yang mereka makan dengan menggunakan sedikit uang tersebut, apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka rasakan dalam kondisi seperti itu.
Hasilnya, sebagian besar mahasiswa Macarov tersebut mengungkapkan bahwa bahwa mereka merasa malas, tidak punya motivasi dalam hidup, ingin melakukan kejahatan atau tindakan kriminal karena atau akibat kondisi kemiskinan yang mereka alami. Beberapa dari mahasiswa tersebut bahkan bercerita bahwa ingin mengakhiri hidup mereka dan melakukan bunuh diri demi mengakhiri hidup yang sengsara itu. Hasil observasi tersebut kemudian mematahkan argumen mengenai kemalasan individu sebagai penyebab kemiskinan. Sebaliknya, kemalasan individu, tidak adanya motivasi dalam hidup, dan keinginan untuk berbuat jahat, justru merupakan akibat dari kemiskinan!
Pendapat lain yang banyak berkembang di seputar penyebab kemiskinan ialah pendapat bahwa kemiskinan disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya lebih struktural. Macarov membagi pendapat ini kedalam beberapa hal dimana diantaranya berkaitan dengan kelompok-kelompok minoritas sebagai pihak yang paling rentan dan banyak berada dalam kemiskinan. Dalam hal ini, kemiskinan yang terjadi pada kelompok minoritas diakibatkan diskriminasi yang seringkali menimpa mereka. Kelompok-kelompok minoritas seringkali mendapatkan diskrimasi dalam berbagai hal termasuk dalam hal ekonomi. Hal ini yang menyebabkan banyak kelompok minoritas menjadi mereka yang hidup dalam kemiskinan akibat dihambatnya akses mereka terhadap ekonomi. Selain itu, kemiskinan juga banyak disebabkan oleh seksisme. Pemiskinan perempuan seringkali terjadi akibat perempuan lebih banyak mendapat banyak hambatan dalam berbagai hal termasuk dalam hal ekonomi. Terkait hal ini, perempuan seringkali mengalami kemiskinan yang lebih besar daripada laki-laki. Sebagai contoh, di banyak tempat, perempuan yang bekerja dengan beban kerja yang sama dengan laki-laki mendapatkan upah yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki.6
Terakhir, Macarov menyebutkan bahwa penyebab kemiskinan secara struktural tidak lain tentunya ialah sistem ekonomi kapitalisme laizess faire7 dimana sekelompok kecil orang berkuasa sepenuhnya atas akses dan berbagai aset ekonomi dibandingkan dengan sebagian besar lainnya.
Globalisasi dan Privatisasi sebagai Penyebab Kemiskinan
Dalam buku ini, kemiskinan struktural menjadi sorotan utama Macarov. Terkait hal ini, Macarov mengidentifikasi bahwa anak-anak, orang lanjut usia, mereka yang tidak bekerja/pengangguran, para pekerja yang miskin, menjadi orang-orang yang paling dimiskinkan secara struktural. Penyebab kemiskinan secara struktural yakni sistem eknonomi yang berbasis pada sistem ekonomi pasar dijadikan sorotan atau fokus utama Macarov. Hal ini banyak menjadi bagian terbesar tulisannya, terutama mengenai globalisasi sebagai konsekuensi sistem ekonomi neoliberal yang hampir tidak bisa lagi dihindari oleh sebagian besar negara di dunia. Dijadikannya pasar sebagai mesin ekonomi membuat semua harus dilakukan berdasarkan pada ukuran-ukuran itu. Konsekuensi tak terpisahkan dari globalisasi neoliberal diantaranya ialah privatisasi. Privatisasi merupakan ciri yang tak dapat dipisahkan dari neoliberalisme yang berkelindan dengan globalisasi. Privatisasi yang sering juga disebut dengan penjualan aset negara merupakan sebuah proses pengalihan hak kepemilikan dari kepemilikan publik (negara) ke pemilikan pribadi/perusahaan swasta.8 Dalam hal ini, pada tulisan Revrisond Baswir yang berjudul ‘Privatisasi BUMN: Menggugat Model Ekonomi Neoliberalisme IMF‘, dapat dilihat bahwa privatisasi ditujukan untuk menata ulang struktur perekonomian suatu negara demi kelancaran agenda-agenda neoliberal secara internasional.9
Macarov mengemukakan bahwa negara biasanya melakukan privatisasi dengan berbagai alasan. Macarov mengidentifikasi bahwa setidaknya terdapat delapan alasan yang secara umum digunakan berbagai negara dalam melakukan privatisasi. Dalam hal ini, fleksibilitas pasar tenaga kerja dan pemangkasan pengeluaran atas nama efisiensi menjadi dalih yang paling sering digunakan negara dalam melancarkan privatisasi. Selain itu, kurangnya kepercayaan kepada pemerintah juga sering menjadi alasan dibalik privatisasi. Rumitnya prosedur birokrasi pun menjadi alasan lain yang sering digunakan demi membenarkan privatisasi. Hanya saja, yang dihasilkan dari privatisasi dengan berbagai alasan tersebut tetaplah sama, yakni terjadinya peningkatan jumlah pekerja kontrak dan outsourcing, inefisiensi, dan bahkan korupsi. Menurut Macarov, privatisasi selalu berjalan beriringan dengan meluasnya korupsi di berbagai negara, khususnya pada negara-negara yang dikatergorikan sebagai negara ‘transisional’ yang mengalihkan pelayanan publik menjadi milik privat.10 Maka dari itu, globalisasi, menurut Macarov, menghasilkan kurangnya akuntabilitas, rendahnya tingkat upah/penurunan upah, korupsi dan meningkatkan ketidaksetaraan.
Selain terjadi pada korporasi/perusahaan-perusahaan swasta, privatisasi juga terjadi pada sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan hal-hal lain yang menjadi komponen penting dari kesejahteraan rakyat seperti perumahan, dan sebagainya Dalam buku ini, Macarov memang lebih banyak menjelaskan apa yang terjadi di negara-negara Eropa dan Amerika. Namun, praktik privatisasi dengan dalih efisiensi ini juga banyak terjadi di Indonesia. Privatisasi Perusahaan Listrik Negara (PLN) salah satunya.11 Listrik yang jelas menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak pun (sektor publik) diprivatisasi atas nama efisiensi. Hasilnya, sistem outsourcing kini menjadi sistem kerja utama di PLN saat ini.
Selain listrik, sektor publik lain seperti pendidikan dan kesehatan pun diprivatisasi. Di Indonesia, privatisasi pendidikan tinggi ditandai dengan kemunculan Undang-Undang Badan Hukum Milik Negara (UU BHMN) pada awal tahun 2000. Skema privatisasi pendidikan tinggi ini kemudian terus berlanjut dengan dikeluarkannya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 17 Desember 2008. UU BHP merupakan skenario World Bank/Bank Dunia yang tercantum dengan jelas dalam dokumen Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE).12 Meskipun UU BHP dibatalkan secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 30 Maret 2010, privatisasi pendidikan tinggi pun terus berlanjut dan terus menghambat akses rakyat miskin terhadap pendidikan tinggi.
Pada tahun 2011, DPR mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) yang memiliki isi serupa dengan UU BHP. Bedanya, kali ini privatisasi pendidikan dibalut dalam nama lain yang lebih soft, yakni “otonomi”. RUU PT ini pun kemudian disahkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 13 Juli 2012. Gerakan sosial yang anti dengan privatisasi pendidikan pun kemudian kembali melakukan judicial review terhadap UU PT tersebut. Sayangnya, kali ini MK tidak mengabulkan tuntutan pembatalan UU PT dan dengan demikian melegalkan privatisasi pendidikan tinggi terhitung sejak 29 April 2014.13
(Lalu Apa?) Solusi Kemiskinan
Dalam buku ini, Macarov memang menunjukkan posisinya dimana ia berpendapat globalisasi neoliberal menjadi penyebab utama dari kemiskinan dan kemiskinan memang diciptakan secara struktural. Namun, menurut saya, secara umum solusi yang ditawarkan Macarov (untuk mengatasi kemiskinan dan berbagai problem yang dihasilkan globalisasi dan privatisasi tersebut) dalam buku ini tidak begitu mempesona. Solusi yang diungkapkan Macarov, menurut saya, cenderung bersifat reformis ketimbang revolusioner, seperti subsidi, kemudahan kredit bagi usaha mikro, dan peningkatan pajak bagi orang kaya. Solusi-solusi itu, menurut saya, sangatlah tidak mencukupi, jika kita memang menginginkan terwujudnya tatanan masyarakat yang setara, dan terbebas dari pemiskinan dan kemiskinan itu sendiri.
Dalam buku ini, Macarov terlihat tidak mengajukan sebuah solusi yang menawarkan perubahan secara struktural. Saya sendiri berpendapat bahwa karena kemiskinan diciptakan oleh globalisasi neoliberal yang sangat bersifat struktural, maka solusi untuk mengatasi permasalahan kemiskinan pun perlu diletakkan pada dimensi yang juga bersifat struktural. Perubahan mode ekonomi kapitalisme dalam wajah globalisasi neoliberal seperti yang berlangsung saat ini menjadi mode ekonomi yang sosialis, menurut saya, harus terus diusahakan. Selain itu, penguasaan aset-aset publik secara privat hanya dapat dihentikan melalui struktur kekuasaan politik yang diisi oleh mereka yang tidak bersetuju terhadap kapitalisme. Dalam perjalanannya, tentu saja semua usaha-usaha untuk mengubah struktur ekonomi politik kapitalisme yang memiskinkan sebagian besar rakyat ini tidak akan berlangsung dengan “aman-aman saja”. Akan tetapi, kapitalisme dalam wajah globalisasi neoliberal ini akan terus bertahan selama tidak ada upaya untuk mengubahnya dan dengan demikian, maka kemiskinan pun juga tidak akan pernah dapat diakhiri.***
Penulis adalah anggota redaksi Left Book Review (LBR) Indoprogress dan beredar di twitterland dengan ID : @ffildzahizz
1Ke-nyinyir-an mahasiswa dan lulusan-lulusan universitas Ibukota terhadap aksi May Day kaum buruh ini dapat dilihat di berbagai media sosial seperti twitter,facebook, path, dan sebagainya.
2Mereka lupa bahwa banyak buruh yang bekerja di pabrik-pabrik kini merupakan lulusan D3 dan bahkan S1. Selain itu, pendapat semacam ini juga dapat dilihat misalnya pada tautan (http://www.merdeka.com/uang/upah-buruh-lulusan-s1-haruskah-sama-dengan-lulusan-sma.html).
3David Macarov. 2003. What the Market does to People : Privatization, Globalization, and Poverty. London, Zed Books.,hlm. 52.
4Beatrix Campbell. 2013. End of Equality. Calcutta : Seagull Books.
5Berdasarkan data yang didapat dari Kompas, Sekitar 70 persen kerusakan lingkungan di Indonesia disebabkan oleh operasi pertambangan (http://regional.kompas.com/read/2012/09/28/17313375/70.Persen.Kerusakan.Lingkungan.akibat.Operasi.Tambang)
6Hal tersebut tidak terlepas dari konstruksi patriarkal yang menempatkan perempuan bukan sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah utama. Lihat Silvia Federici. 2012. Revolution at Point Zero : Housework, Reproduction, and Feminist Struggle. PM Press.
7Sistem ekonomi laizess faire dikenal juga dengan istilah sistem ekonomi pasar bebas. Sistem ekonomi ini menekankan kebebasan yang sepenuhnya pada pihak swasta dalam ekonomi dan menekankan minimnya campur tangan pemerintah dalam ekonomi.
8Pernyataan Sikap KSN ‘Privatisasi PLN Sebuah Skenario Penghancuran Bangsa oleh Kekuatan Kapitalis’
9Dalam buku I. Wibowo dan Francis Wahono (ed.). 2003. Neoliberalisme. Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas., hlm. 206-207.
10David Macarov. 2003. What the Market does to People : Privatization, Globalization, and Poverty. Op.Cit., hlm. 79.
11Dalam pernyataan sikap resmi dari KSN “Privatisasi PLN Sebuah Skenario Penghancuran Bangsa oleh Kekuatan Kapitalis” (http://ksn.or.id/2012/04/privatisasi-pln-sebuah-skenario-penghancuran-bangsa-oleh-kekuatan-kapitalis/ ) dinyatakan bahwa “Privatisasi PLN dimulai dengan ditandatanganinya LOI yang pertama oleh Presiden Soeharto pada tanggal 31 Oktober 1997, dimana pada butir 41 Pemerintah Indonesia akan mengevaluasi lagi belanja negara berkaitan dengan pelayanan publik (seperti listrik, air, minyak dll), dan berjanji bahwa sektor pelayanan publik tersebut akan di privatisasi, agar tercipta pasar yang effisien, kompetitif dan transparan (ini adalah “adagium” klasik dari Kapitalis agar perusahaan negara dapat dikuasainya).”
13Putusan dapat dilihat di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1.