EMPAT puluh delapan jam terjaga, pembuluh darah dijejali kafein dan nikotin, terdampar di warung waralaba di ketiak jalan Raden Saleh sambil sesekali mengecup bibir pilsener yang menggigil, aku terkenang Sukoharjo tahun 1997.
Umurku belum sampai 10 tahun ketika itu, tapi aku ingat betul memborong atribut tiga macam partai dari lapak Kasim, tetanggaku yang juragan sablon. Slayer, kecu dan kaos oblong berwarna pelangi—merah, kuning, hijau—telah kupersiapkan sebagai senjata. Tiga hari berikutnya aku ikut dalam rombongan pawai dari Solo sampai Wonogiri bersama temanku yang sudah duduk di kelas 2 SMP. Aku tak tahu urutan pawai; yang jelas aku ikut ketiganya. Golkar, PPP, dan PDI. Semuanya sama di mataku: keren. Aku membonceng motor GL Pro (Genjot Langsung Protol) milik tetanggaku yang lain lagi, yang knalpotnya di-korsa demikian rupa sehingga bersuara sember dan nyaring bagai falsetto Etta James yang gosipnya bisa memecahkan gelas. Kami mengendara dalam arakan amburadul, dalam kerumunan. Hilang ditelan warna kaos dan bendera. Tanpa alasan. Tanpa aturan.
Ingatan itu yang pertama muncul dalam kepalaku ketika berhadapan dengan Pemilu.
Tujuh belas tahun kemudian, tentu aku memahami Pemilu dengan cara dan kompleksitas yang sama sekali berbeda. Namun kekosongan, kesia-siaan itu masih tersisa di sana. Tentu, menulis untuk terbitan Kiri, aku bakal kena damprat kalau memaknai ketakberalasan itu secara eksistensial, sebagai keadaan yang ada di sana dengan sendirinya—keterlemparan di dunia—dan aku memang tidak berniat untuk demikian. Tak terlalu lama setelah Soeharto turun dan Reformasi bergulir, harapan-harapan yang sempat bangkit kini tergelincir dan menemukan kakinya terkilir. Aku merasa iba pada harapan, tapi memang sudah wataknya begitu. Kesan kesia-siaan dalam politik ini barangkali disebabkan oleh harapan yang sering alpa kalau kenyataan itu lebih dingin ketimbang hati mantan pacar.
Hari ini, banyak anak-anak muda yang berhasil luput dari segala macam propaganda TVRI dan film G30S/PKI, tapi tidak lantas berarti politik mendapat antusiasme baru. Malah sebaliknya. Pada sisi lain, jumlah pemilih pemula mencapai 30% dari keseluruhan pemilih; 50 juta kepala lebih. Kalau gaya propaganda ala Orde Baru sudah tidak lagi mempan, maka partai politik mesti pergi ke konsultan periklanan yang mana lagi?
Beberapa jam sebelum catatan ini ditulis, seseorang mengirim surel. Pangeran Siahaan, salah seorang penggiat Ayovote!, gerakan penyuluhan Pemilu yang diinisiasi publik. Ia menulis demikian, “Secara umum, anak muda dan politik bukanlah dua kata yang sering ditempatkan dalam satu kalimat yang sama. Anak muda, terlebih di lingkungan perkotaan, jelas punya hal untuk dipikirkan selain politik. Pengertian anak muda terhadap politik sebatas media exposure terhadap subjek itu saja. Maka tak heran, yang identik dengan politik bagi anak muda adalah korupsi, anggota DPR jalan-jalan ke luar negeri, dan lain-lain. Hampir dipastikan bahwa stigma politik bagi anak muda adalah negatif. Tentu saja tidak semua anak muda menganggap politik demikian, tapi rasanya mayoritas anak muda enggan untuk peduli mengenai masalah-masalah politik.”
Aku manggut-manggut. Kisah lama. Angkatan muda apolitis yang asyik masyuk dengan kemasygulan dirinya sendiri. Pangeran kemudian memberi perspektif: “Saya rasa, dari metode pendekatan yang dilakukan partai politik, mereka belum menganggap serius segmen pemilih muda. Bahkan kalau mau dibilang sekadar pundi-pundi suara juga tidak, karena para pemilih muda cenderung diabaikan oleh partai politik. Inisiatif pendidikan politik untuk pemilih muda justru datang dari masyarakat sendiri, bukan dari partai politik sebagai pihak yang paling berkepentingan akan suara mereka.”
Masalah pendidikan jadi genting di sini. Pangeran, yang seumur hidupnya mengenyam pendidikan di Indonesia, mendaku bahwa, “Kita tidak pernah diberikan pendidikan politik. Hal yang paling dekat dengan pendidikan politik yang kita terima adalah pelajaran PPKn/PMP/Kewarganegaraan, dan kita tahu bahwa apa yang diajarkan di pelajaran tersebut adalah hal-hal normatif tanpa substansi. Jadi memang tak pernah diajarkan politik sama sekali dari kecil, lalu saat sudah sampai pada usia yang legal untuk memilih, kita mengharapkan anak-anak muda ini untuk tiba-tiba jadi politically conscious and exercise their rights to vote?”
Aku teringat obrolan dengan Coy—A.K.A Roysepta Abimanyu—alumnus Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang kini menjadi koordinator advokasi Oxfam, pada suatu siang yang malas di bilangan Cikini. Coy dengan sederhana menempatkan masalahnya demikian: “Memang kenapa kalau ada pemuda yang 50 juta itu? Itu omong kosong. Begini sajalah. Paling gampang ya, berapa sih aktivis di kampus sekarang? Sedikit dan susah. Umur aktivis kampus paling 2 tahun. Tahun pertama masih blo’on. Baru belajar politik. Tahun kedua mulai jadi anggota. Tahun 3, jadi pimpinan massa. Begitu selesai, kalah Pemilu. Ganti kepengurusan. Habis itu skripsi.”
Pangeran, dalam surelnya, menulis begini, “Bentuk partisipasi politik anak muda yang paling minimal menurut saya adalah ikut Pemilu. That’s the least they can do. Untuk mengharapkan sesuatu yang lebih saya rasa masih sulit karena memang para anak muda usia 17-30 tahun bukanlah golongan yang di-encourage untuk melek politik. Anak muda Jakarta yang tak terlalu mengikuti perkembangan dunia politik akan lebih concern pada hal-hal yang cenderung praktis dan berhubungan dengan daily life, seperti masalah subsidi BBM atau soal UU ITE yang menyangkut sensor.” Kalau keduanya berhadapan, mungkin Coy akan memilih mengatakan ini, “Untungnya anak muda nyoblos itu, kalau yang dicoblos bener dan pemerintah jalan baik, ya masa depan mereka sedikit cerah. Tapi itu kan perjudian, dan Pemilu memang perjudian.”
Sementara Pangeran ngotot pemilu adalah hal terkecil yang bisa dilakukan anak muda, Coy bahkan berpendapat bahwa membicarakan pemuda dalam politik tidak relevan. “Pemuda itu mitos yang diperpanjang. Gara-gara dansa-dansi di Menteng itu, terus kita harus kasih nama dansa-dansi ini. Jadilah Sumpah Pemuda. Dua tahun sebelumnya PKI sudah angkat senjata, men, meskipun gagal. Puncak pemuda setelah 1966 ya 1998. Sudah, cuma begitu doang. Pemuda cuma jadi prajurit—cuma jadi pion saja. Setinggi apapun cita-cita lo, lo cuma jadi pion dalam pertarungan politik. Sekarang apa yang keluar dari gerakan mahasiswa? Gak ada. Paling banter bakar diri. Itu juga gak jadi apa-apa.”
Tak heran kalau Coy menganggap Golput (golongan putih, tidak berpartisipasi dalam Pemilu) sebagai sesuatu yang tidak problematis. “Menurut gue sih, pemilu lo mau coblos ato gak itu soal selera lo aja. Kalo lo kiri mentok, ultra-left gitu ya, lo bisa bilang, ‘Oh jangan coblos, lo bertanggung jawab terhadap pilihan lo sampe 5 tahun ke depan.’ Boleh. Lo mau coblos ya terserah juga. Gak ada kontradiksinya sebenernya. Sama aja.”
Coy bukan apatis terhadap politik. Menurutnya, diskursus politik itu sendiri adalah kosong. “Semua orang ngomong elektabilitas elektoral, siapa korupsi siapa nggak. Jadi tidak ada pemikiran yang lebih substantif. Ngomongnya doang demokrasi substantif. Apa itu demokrasi substantif? Kosong juga itu.” Ia menyuluhkan agenda politik yang lebih konkret untuk anak muda. “isunya apa? Pekerjaan. Lapangan pekerjaan gak ada yang ngomongin,” ujarnya. “Kalo di kampus, lo bisa berserikat untuk memperjuangkan kesejahteraan, atau jaminan pekerjaan. Misal, protes uang SPP, pelayanan kampus, itu kan hal dasar. Daripada lo ke jalanan, ke petani, yang ada pusing nanti. Atau masuk ke STM-STM. Bilang, jangan mau masuk outsourcing, atau outsourcing harus gerilya.”
Ini berlawanan 180 derajat dari Pangeran yang menganggap Golput sebagai biang kerok. Golput hari ini bersumber dari ketidaktahuan, berbeda dari era Orde Baru yang menjadikan Golput sebagai pernyataan sikap politik. “Pemilih muda yang mengatakan bahwa mereka ingin Golput, bahkan tidak paham betul bagaimana struktur politik di negara ini dan apa sebenarnya kerja dari para anggota parlemen. Mereka memilih Golput sebagai jalan pintas karena ketidaktahuan dan tentu saja ini bukan salah mereka. Memang mereka tak pernah di-encourage untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik.”
Buat Pangeran, ada satu solusi: pendidikan politik. Baginya, pendidikan bisa mengusir hantu NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang diterapkan Orde Baru. Ia merindukan percakapan politik masuk ke dalam kehidupan anak muda sehari-hari, sehingga topik-topik politik tidak lagi menjadi bahan omongan yang membuat dahi berkerut karena beban kerja otak berlebih.
Di tengah jalan, korespondensi surelku dengan Pangeran terhenti. Mungkin sedang sibuk. Maklum, Pemilu sudah dekat. Kerja penyuluhan mesti semakin giat. Aku pun kelimpungan mencari materi untuk mengejar tenggat tulisan yang sedang kau baca sekarang. Ajur!
*
Memang benar, basis menentukan suprastruktur. Materi tulisan menentukan gaya tulisan. Dalam kasus tulisan ini, jadi makin ugal-ugalan. Mungkin judul tulisan di atas mesti diganti jadi Suatu Siang, Payung-Payung Toilet Terbesar se-Asia Tenggara. Yang aku maksud adalah Taman Ismail Marzuki. Predikat itu dicetuskan kawanku, setelah sesi obrolan yang akan aku ceritakan nanti selesai, aku dan seorang kawan makan sate di bawah baliho acara besar di dekat gerbang keluar mobil tempat hajat kesenian itu. Sedang asik menyantap makanan, tiba-tiba seseorang menyelinap di belakang kami, nyusruk di pepehonan, dan buang hajat di sana. Bau pesing itu, entah kenapa, cocok dengan aroma sambel kacang sate ayam yang sedang aku gigit.
Krisis buang hajat ini sebenarnya sudah aku rasakan sejak lama. Ketika berbincang dengan Coy pun aku cukup jengah. Tiap kali kebelet, kami harus pergi ke bioskop XXI. Ini membuatku jumawa. Orang masuk ke sana untuk nonton film, tapi buatku, XXI hanyalah jamban tempat buang urin. I piss on the movie theatre monopoly!, begitu kiranya jerit kemenangan naluri kekiri-kirianku. Heran. Bisa-bisanya tidak ada toilet di tempat umum seperti TIM. Mungkin karena tidak ada yang nyeni dalam air seni. Aku sempat terpikir untuk mengorganisasi demonstrasi pada Pusat Kesenian Jakarta (PKJ-TIM) untuk menyediakan toilet umum, tapi tak ada perjuangan kelas dalam perjuangan buang hajat ini.
“Orba berusaha mematikan Soekarno dari memori rakyat,” ujar Coy. Aku sudah menyerah sebelum sempat melempar topik toilet ke atas meja. “Tapi ada warisan Soekarno yang tidak mati. Alam populis. Kalau yang liberal pasti ngeliatnya negatif—ekonomi harus rasional karena memilih harus rasional. Biarkan pasar bekerja. Tapi orang tetap butuh hubungan elit-massa dalam populisme. Alam itu kadang-kadang manifes; dalam bentuk amuk massa `74, `78, trus Kedung Ombo. Kalau orang bilang perjuangan kelas, ya ada dalam populisme. Waktu reformasi, jasa PRD bukan menjatuhkan Soeharto, perannya cuma kecil di situ. Peran PRD adalah mengembalikan memori tentang aksi massa. Max Lane pernah nulis itu dalam Bangsa Yang Belum Selesai. Itu berlaku sampai sekarang. Contohnya, aksi massa bisa dijual. Sangat berhasil. Dan jangan salah. Waktu `98, mahasiswa juga dibayar. Tapi ada konteks yang menguntungkan. Banyak aktivis yang kaya gara-gara jual bus. Isinya 50, 100 orang,” selorohnya ditutup dengan tawa.
Kami sudah tidak terlalu fokus memperbincangkan soal anak muda dan politik. Coy sudah mengetuk palu dengan menganggapnya sebagai tidak relevan. Alih-alih, kami membicarakan soal populisme yang berhembus kencang dalam jagad politik kita hari ini.
Memang, semua wajah presiden Indonesia adalah wajah populis. Wajah mereka adalah jembatan antara elit dengan massa dalam beraneka rupa. Segala macam pencitraan yang dituduhkan pada Soesilo Bambang Yudhoyono, sang calon mantan, hanya bisa bekerja dalam alam populis. Melalui Laclau, Coy bertanya retoris, “Memangnya ada politik yang gak pakai populist device? Empty signifier sebutannya. Sesuatu yang kosong, tapi harus ada. Kalau gak, politik gak jalan. Contoh: korupsi, demokrasi, keadilan sosial. Itu kan susah didefinisikan. Tapi kalau gak ada istilah itu, program sosial gak bisa jalan. Itu hidup dalam alam yang selalu mandeg antara elit dengan massa.”
Varian terbaru dalam populisme ini mengejawantah dalam wajah Joko Widodo. Menurutnya, “PDIP, waktu 1999, memakai money politics juga. PDIP ngasih 20 ribu, golkar 40 ribu. Tapi, karena ada harapan, orang ambil dua-duanya dan milih PDIP. Sekarang kan gak bisa lagi dengan ibu yang gak bisa banyak bicara itu. Yang satgas PDIP ditembakin malah memilih tidur. Maka elit menciptakan populis device yang baru: jokowi. Pemimpin populis harus punya humble begining, kesan bahwa gue bagian dari lo semua, bukan elit. Jokowi bisa mainin itu. Populisme gak mengenal tuntutan spesifik; ia gabungan dari berbagai tuntutan, buruh minta upah, tani minta tanah, dst, dan itu terhubung dalam wadah empty signifier itu.”
“Bagaimana itu soal money politics?” seseorang bertanya, sedikit melenceng dari pembicaraan.
“Sekarang politik uangnya cash on delivery,” jawaban ini mengundang tawa. “Rakyat bilang gini, ‘kalau lo mau gue dengerin lo, bagi dulu dong duitnya. Kalau lo mau gue memilih lo, semen buat aspal jalan.’ Gantian elitnya, ‘Kalau lo mau duit gue, foto dulu, buktikan lo nyoblos gue.’ Sekarang bahkan ada surat kontrak hitam di atas putih. Dan gue menyarankan itu. Lebih baik. Demokrasi memang butuh duit, men. Teorinya kan kontrak sosial. Terserah, mau Rousseau atau Hobbes. Modelnya memang transaksi dagang. Nah, ketika itu diejawantahkan dalam bentuk praktek riil ya wajar aja. ‘Saya kasih mandat untuk Anda selama Anda melakukannya untuk kepentingan saya. Tapi karena dari beberapa kali pemilu janji Anda tidak konkret, ya saya minta yang konkret sekalian.’”
“Lalu bagaimana orang-orang Kiri dalam Pemilu ini?” tanya seorang kawan lain.
“Gue rasa kiri kena jebakan yang sama dengan LSM nasional. Yakni terjebak dengan kasus-kasus dan mobilisasi advokasi kasus. Merkea gak siap dengan alam demokrasi. Belum banyak mengelaborasi apa yang harus dilakukan dalam alam demokrasi. Kecuali membentuk partai elektoral—ya semua orang juga tahu itu.”
“Sebenarnya ada beban sejarah di partai Kiri lama. Misalnya taktik PKI untuk menempatkan orang-orang di kementrian. Itu kan dikritik Sudisman, dalam Pledoi-nya, bahwa ini keblinger. Memborjuiskan partai. Tapi pertanyaan utamanya, kalo lo gak punya tokoh yang dikenal masyarakat untuk ngomong, dan tokoh ini mesti hidup di lingkungan elit sehingga dia punya akses untuk bicara, ya elo bakal kesusahan. Kecuali saat krisis. Cuma 2 jenis organisasi yang berkembang di saat krisis: Kiri dan Kanan. PRD dan PKS. Cuma PRD mandeg. Kalo PKS modal politiknya tinggi. Dari tahun 80an udah masuk struktur negara.”
“Begitu lo gak siap dan gak elaborate dalam memasuki sistem demokrasi, ya elo selesai. Elo gak punya device untuk memanfaatkan situasi, untuk perekrutan. Lo gak bisa make jenis propaganda tahun 60-an, ketika mitos rakyat masih kuat. Sekarang kan istilah “rakyat” bisa di-counter: rakyat yang mana? Kelemahan populisme di situ. Dia menciptakan identitas “rakyat” yang hebat, tapi sebenernya kosong. Kalo lo nyaplok doang, tapi gak nyiptain nilai di dalamnya, lo hilang.”
Coy kemudian memperlebar pembahasannya dalam dunia NGO/LSM, dunia yang memang sudah lama ia geluti.
“Suka gak suka, demokrasi di Indonesia itu tergantung pada NGO. NGO ini kan bukan sesuatu yang bisa diteruskan di masa mendatang, tapi kita gak punya alternatif lain. Alternatif lain dalam mencari nafkah, maksudnya,” omongannya diselip tawa. “Itu gak akan berkembang banyak karena bergantung pada donasi asing. Dan seiring Indonesia naik jadi middle income country, gak ada lagi justifikasi yang kuat untuk menggelontorkan duit ke Indonesia. Jadi mesti memikirkan bagaimana ada bibit gerakan sosial yang self-sufficient, yang duitnya dari dia sendiri.”
“Misalnya, model gerakan/organisasi advokasi yang duitnya dari koperasi. Koperasi gede sekarang. Koperasi buruh pekerja Hero, dana pihak ketiga yang dia pegang itu 50 milyar. Gede itu. Saking bingungnya duit itu mau diapain, karena simpan pinjam tidak bisa menghabiskan itu, akhirnya bikin koperasi-koperasi di luar untuk menyerap dana. Kalau kita bicara dalam menghadapi pasar bebas, dengan pasar bebas yang regulated—gak ada pasar bebas yang gak ada regulasi—maka kepentingan organisasi yang punya duit semacam ini adalah mempertahankan hidup mereka. Harus ada advokasi. Maka itu jadi celah untuk bicara, ‘Oke, lo ada duit berapa?’ Satu-dua milyar kan cukup untuk organisasi advokasi. Termasuk menghidupi pekerja buruh NGO-nya. Menurut gue itu penting, memperkenalkan sejak awal konsep self-sufficiency.”
Sebelum akhirnya pembicaraan disudahi, Coy menegaskan, “Kalau banyak kawan-kawan yang masuk Seknas Jokowi, buat gue baguslah. Soalnya mereka punya kesempatan untuk memanfaatkan itu. Ya mungkin beberapa masuk parlemen. Minimal mereka punya target ada di posisi bisa menentukan siapa yang bisa jadi menteri, dan punya deal politik dengan orang-orang itu. Tapi kalo ga bisa manfaatin, ya kembali lo cuma pion.”
***