SETELAH menonton klip-klip seknas Jokowi mempromosikan PDIP, saya pergi menyetrika. Sepanjang melakukannya pikiran melanglang buana. Pemilu 2014 ini saat yang langka, bukan karena Jokowi maju capres saja, tetapi karena harapan rakyat luar biasa besar untuk perubahan Indonesia. Perubahan paling konkrit yang diinginkan dan mengemuka hingga membuat banyak aktivis tak lagi mau golput adalah: Prabowo tak boleh jadi presiden!
Namun menurut sebagian mereka, oleh karena itu, Jokowi harus menghadangnya. Dan oleh karena itu, lebih mudah jika PDIP menang bahkan mayoritas. Maka slogannya: PDIP menang Jokowi presiden. Nah lho? Apa PDIP dan Jokowi pernah bilang mau mengadili para Jenderal pelanggar HAM? Tidak? Belum? Tidak akan? Lebih besar kemungkinan dengan PDIP? Engga tau juga. Wong Mega dan Prabowo maju bareng kok di pemilu 2009.
Baiklah, terlepas dari jebakan pemilu, sebetulnya ini juga kesempatan yang harus kita ambil untuk tak saja hadang Prabowo, namun para jenderal pelanggar HAM harus dipenjara! Ini momentumnya yang hanya bisa dijaga bukan dengan memarahi orang yang golput dan tak mau pilih siapa-siapa, tetapi dengan mengajaknya untuk menghadang, melawan, dan menjebloskan para Jenderal ke penjara. Ngeri juga ya melawan para Jenderal?
Melawan lupa
Tanpa gerakan melawan lupa dengan berbagai kreativitasnya, termasuk aksi Kamisan dengan segenap keteguhannya, rakyat Indonesia akan semakin kekurangan sarana mengembalikan ingatan sejarahnya.
Celakanya, ingatan itu semakin lama semakin pendek karena serangan neoliberalisme membuat semakin banyak orang tak saja makin miskin, tetapi semakin tercerai berai oleh persoalannya masing-masing, sehingga mereka harus sibuk menyelamatkan hidupnya sendiri-sendiri. Dan serangan itu, sedikit banyak, membuat makin pendeknya militansi perjuangan para aktivis, yang dahulu anti Orba, melawan hambatan paling pokok berkembang majunya demokrasi Indonesia: sisa-sisa Orde Baru.
Sisa-sisa Orde Baru ini adalah istilah yang—tampaknya—diformulasikan oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD) di masa awal reformasi dalam rangka mengajak rakyat tidak terlena karena reformasi belum tuntas, belum total. Sisa-sisa Orde baru yang dimaksud adalah Golkar yang masih berdiri tegak, para jenderal pelanggar HAM dan institusi militer penegak dwi fungsi ABRI, seperti berbagai komando territorial, serta para figur elit pendukung langsung kekuasaan orde baru.
Satu-satunya kesempatan emas untuk melokalisasi sisa orde baru adalah ketika Gus Dur dan para pendukungnya sempat melawan sengit Golkar dan para jenderal di tahun 2000-2001. Namun gagal, baik karena Gusdur tak berani lebih jauh beresiko melawan para jenderal, walaupun banyak gerakan sosial mendukungnya, terlebih-lebih PRD, juga karena Megawati (PDIP) yang bergabung dengan Golkar, para reformis gadungan khususnya PKS, serta tentara, untuk menjatuhkan Gus Dur. Jadilah Megawati presiden.
Sejak saat itu batas tegas elit yang anti dan pro-orde baru hampir-hampir tak ada. Para capres dan cawapres dan presiden serta wapresnya semua berkombinasi antara figur yang dekat dengan orba dan yang tidak. Mereka semua bersahabat, mereka semua tampak satu kepentingan. Pada tahun 2004 kita ingat Hamzah Haz (PPP)-Agum Gumelar (Jenderal purnawirawan), Amien Rais (PAN)-Siswono Yudohusodo (pengusaha), Megawati Soekarnoputri (PDIP)-Hasyim Muzadi (NU), Wiranto (Jenderal purnawirawan)-Salahuddin Wahid (NU) dan Soesilo Bambang Yudhoyono (Jenderal Purnawirawan)-Jusuf Kalla (pengusaha). Pada pemilu 2009 lebih kentara lagi perpaduan tentara sisa orde baru dengan sipil ketika Megawati-Prabowo (Jenderal purnawirawan), SBY-Budiono (teknokrat), dan Wiranto-JK maju pilpres.
Ditambah lagi PRD, si pencetus perjuangan melawan sisa Orba, justru tak lagi punya nyali mempertahankan perlawanan terhadap sisa orba itu; banyak di antara mereka bergabung atau mendukung politiknya para Jenderal. Bersamaan dengan itu, semakin banyak pula para aktivis yang cari makan, maupun yang ingin berjuang, di berbagai partai—milik dan buatan figur-figur Orba, maupun tidak. Pemilu 2004 dan 2009 adalah dua pemilu yang terus membuka jalan terserapnya aktivis-aktivis semacam ini ke partai-partai buatan elit dan politik mainstream. Batas ini memang makin setipis kulit bawang.
Satu-satunya penyelamat melawan kelupaan yang disengaja ini adalah perjuangan menuntut penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Dan, untungnya, terus mengalami kemajuan karena militansi perjuangan para penyintas terus terjaga. Walau belum berwujud kemajuan hingga diadili dan dipenjaranya para pelaku kejahatan HAM, namun ia dapat menjadi tonggak ingatan sejarah bahkan berhasil meluaskannya pada generasi-generasi baru.
Potensi tersebut harus dipelihara di tengah derasnya serangan hantu Soeharto yang masih bergentayangan karena dibawa kembali oleh para figur dan alat-alat politik Orde Baru yang masih kokoh berkuasa. Sampai-sampai tokoh se’reformis’ Anis Matta saja menziarahi makamnya? Astagfirullahal’azim. ‘Enak jamanku toh?’ begitu kata mereka. Entah siapa yang memulai kampanye itu, dan celakanya mendulang kesuksesan pula. Kampanye yang gampang kita temukan di sepanjang jalanan Pulau Jawa, jauh sebelum pemilu ini.
Siapa yang bisa menjebloskan mereka ke penjara?
Agenda melawan sisa orde baru dalam situasi saat ini menjadi lebih kongkrit dalam perjuangan menuntut pengadilan terhadap para Jenderal pelanggar HAM. Mereka bertanggung jawab dari genosida 1965—tonggak berdirinya Orde Baru—sampai pembunuhan Munir 2004. Ideologi militerisme mereka bertanggung jawab membunuh banyak rakyat dari Aceh-Papua, merepresi semua rakyat yang sedang melawan untuk lebih sejahtera.
Kini, khususnya karena kehadiran Jokowi, para aktivis yang kemudian pro PDIP memberi banyak rasionalisasi bahwa PDIP tetap saja bukan anak kandung Orba dan lebih terbuka untuk melawan Prabowo dan atau sisa Orde baru atau mengadili para pelanggar HAM. Apa iya PDIP terbuka untuk menjauhi Orba, dan lebih kongkrit lagi menjebloskan para jenderal pelanggar HAM pendukung Orba ke penjara?
Kalau iya, mengapa bisa Megawati dan PDIP tidak memburu keadilan bagi peristiwa 27 Juli? Mengapa ia mau maju dengan Prabowo di pemilu 2009? Apa karena kurang dukungan rakyat sehingga tidak berani? Kurang banyak aktivis yang ‘membantu PDIP’ menjadi berani? Ah… kok saya ya engga tega mencoba merasionalisasi ketidakberdayaan PDIP ini. Terserahlah, itu urusan Megawati dan pendukung PDIP.
Lalu apakah kita harus marah-marah sama Jokowi yang memang tak ada kaitan langsung dengan orba itu? Ya tidak juga. Tapi kita juga tak perlu memuja dan memujinya dengan lebay. Jokowi harus diperhadapkan dengan peta persoalan paling penting yang rakyat harapkan ia bantu untuk selesaikan. Sekali lagi ia bantu untuk selesaikan. Kenapa ia bantu? Karena bukan dia penentunya. Rakyat sudah lama berjuang untuk keadilan itu, dia tinggal meneruskan. Tentu saja kalau mau dan berani. Kalau dia berani, maka Prabowo yang tegas dan kejam itu akan lewat.
Rakyat akan ingat dan mencintai para pemimpin yang berani. Para pemimpin bersih yang dekat dengan rakyat memang bisa mengambil hati mayoritas rakyat Indonesia yang masih lugu, tetapi pemimpin yang berani bela HAM dan kesejahteraan akan diingat dan dipertahankan rakyat mati-matian. Apakah Jokowi berani? Ya terserah dia. Kalau memang dia pingin memimpin dan ‘membawa’ Indonesia menjadi hebat seperti klaim PDIP, maka satu-satunya jalan hanya bersama rakyat, bukan tunduk dengan elite PDIP. Tetapi kalau tidak berani, rakyat akan melupakannya dengan mudah, hanya memberinya satu kali pemilu saja. Rakyat mungkin tidak banyak mengingat hal-hal yang susah-susah, tetapi mereka ingat siapa-siapa yang pernah berkuasa, berbohong dan buat mereka sengsara.
Kembali pada agenda sebagian rakyat yang saat ini marah sama Prabowo: adili para Jenderal penjahat HAM, jebloskan mereka ke penjara! Siapa yang bisa melakukannya? Bukan Jokowi apalagi PDIP, tetapi pergerakan politik semua orang-orang (baik terlibat maupun tak terlibat pemilu) untuk menuntut dan menekan semua pihak (apalagi Jokowi yang disukai sebagian rakyat) agar (di antara yang paling berbahaya) Prabowo, Wiranto, Syafrie Samsudin, Soebagjo HS, Hendropriyono, Tri Sutrisno, Benni Moerdani, bahkan Soeharto (sekalipun sudah meninggal), juga SBY, diadili dan jangan sampai berani-beraninya mencalonkan diri lagi jadi Presiden. Kalau semuanya terlalu sulit, satu saja sudah lumayan sebagai contoh keadilan, hingga berkemungkinan membuka peluang pengadilan bagi semuanya.
Lalu apakah dengan demikian rakyat harus pilih Jokowi? Saya sih terserah saja. Karena bagi saya lebih penting terus meluaskan konsolidasi, perlawanan dan panggung-panggung melawan Prabowo (sebagai simbol pelanggar HAM yang paling ambisius).***
Penulis adalah anggota Politik Rakyat.