SEPERTINYA, perseteruan antara Nahdlatul Ulama (NU)—yang direpresentasikan dengan kiai-kiai khittah 1926—dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) —baik kiai yang—dalam frasa sinis Azyumardi Azra— ‘political oriented’ maupun para politisi dan aktivis kepartaian– semakin memanas. Karena sampai sekarang, kedua belah pihak yang berada dalam satu lingkup keluarga itu masih belum menemukan mufakat; apakah NU bersedia mem-back up PKB dalam perpolitikan atau tidak? (lih. ‘Kegagalan Islam Politik: Kasus PKB-NU’).
Hingga mendekati hari pesta demokrasi, bukannya bermuara pada satu visi, NU malah terbelah menjadi dua kubu. Pendukung dan penentang. Jangan salah, para kiai juga mengisi dua konstelasi tersebut. Bahkan, beberapa dari mereka mengeluarkan fatwa yang berbau politis. Jadi, makin ramai sajalah ‘pertengkaran’ antara ‘ibu’ dan ‘anak semata wayangnya’ ini.
Sebenarnya, persoalannya sederhana. Jika saja dalam kampanyenya, PKB tidak mencantumkan (baca: mencatut) NU, dan tentunya jika tak ada fatwa yang lebih terlihat sebagai orasi kepartaian, keributan seperti ini tidak akan terjadi. Karena, sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan berserikat bagi warganya, kewajiban untuk memilih satu partai yang mempengaruhi kehidupan akhirat, tentu akan menjadi bahan guyonan.
Akan tetapi persoalan tidak berhenti pada sekedar urusan fatwa atau kewajiban lainnya. Dengan maraknya praktik radikalisasi hingga pemurnian Islam yang didukung oleh kekuatan aktivis militan, NU tentu layak gelisah. Bagaimana keberlangsungan ‘amaliyah yang selama ini telah menjadi denyut nadi organisasi (yang bernafaskan) Islam ini? Bagaimana jika kelompok yang menggaungkan ‘Khilafah solusinya’ tersebut masuk dalam pemerintahan, kemudian membuat undang-undang yang meminggirkan tahlil, dziba` dan para pengamalnya?
Pada titik inilah, NU dihadapkan pada dilema. Memperkuat barisan tentu tak mudah. Kebanyakan anggota ‘ideologis’ NU berasal dari kalangan menengah ke bawah. Pengkoordinasiannya akan memakan waktu yang lama. Salah satu jalan yang dapat ditempuh tentu dengan berpartisipasi dalam politik praktis. Masalahnya, hal ini pastinya akan menyalahi khittah NU yang telah dicetuskan dalam Muktamar di Situbondo. Pertanyaan yang muncul kemudian, mungkinkah ada manuver-manuver yang memenangkan kedua belah pihak?
PKB-NU: Anak Polah, Ibu Kepradah
Selama ini, yang menjadi pertanyaan dalam kasus sengketa rumahtangga NU adalah pola hubungan antara NU dengan PKB. Bukankah PKB muncul setelah khittah di Situbondo dicetuskan? Kalau PKB memang lahir dari rahim NU, itu jelas-jelas mengingkari mufakat nahdliyyin (sebutan untuk warga NU). Maka, tak aneh jika di kemudian hari muncul dua pendapat ekstrim; NU boleh dan harus mendukung PKB, dan PKB harus bersikap independen tanpa perlu membawa nama NU.
Dalam buku terbitan Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PKB Jawa Tengah yang berjudul Partai untuk Rakyat, dijelaskan bahwa ada tiga macam hubungan antar keduanya. Historis, kultural dan aspiratif. Hubungan historis berarti setiap anggota dan aktivis partai menyadari bahwa PKB lahir dari aspirasi warga NU yang menginginkan perubahan masa depan bangsa dan NU ke arah yang lebih baik. Sedangkan hubungan kultural berarti setiap elemen PKB menyadari bahwa partai ini lahir dari lingkungan kebudayaan dan keagamaan yang berasaskan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja). Adapun hubungan aspiratif bermakna setiap warga nahdliyyin yang menjadi anggota atau aktivis PKB, ia harus memperjuangkan landasan, pandangan dan sikap politik NU dalam keseluruhan gerak dan langkah partai (DPW PKB Jawa Tengah: 2003, 130).
Namun, penjelasan tersebut belum menjawab pertanyaan yang substansial; bagaimana posisi PKB dan NU di hadapan khittah? Sebelum menjawabnya, kita lihat dulu khittah yang dideklarasikan di Situbondo, khususnya poin NU dan Kehidupan Bernegara (lih. ‘Naskah Khittah NU 1984’):
‘… Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga. Setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warga Negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh undang-undang. Didalam hal warga Nahdlatul Ulama menggunakan hak-hak politiknya harus melakukan secara bertanggung jawab, sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hukum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah, dan mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama..’
Di poin tersebut, secara jelas tercantum bahwa NU ‘…secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan manapun juga.’ Kendati demikian, NU tidak memasung kebebasan berserikat anggotanya untuk bergabung atau menjadi aktivis organisasi politik manapun. Bahkan, NU mewanti-wanti anggotanya agar selalu menaati hukum dan konstitusi yang berlaku. Lalu penggalan kalimat manakah yang digunakan untuk justifikasi pendirian PKB, yang nyata-nyatanya tak ada redaksi yang mengizinkan NU untuk mem-back up, alih-alih mendirikan partai politik?
Ada tiga pendapat mengenai tafsir khittah bab ‘berpolitik’ ini. Muhaimin Iskandar, yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PKB, diwawancarai oleh Achmad Mukafi Ni’am, reporter NU Online, tentang posisi PKB di hadapan khittah. Menurut Muhaimin, khittah bisa dilihat dari dua sisi, normatif dan praktis. Secara normatif, NU netral, tidak terikat oleh organisasi politik manapun. Namun dalam tataran praktis, NU dapat bekerjasama dengan PKB dalam konteks kepemerintahan. Misalnya, dalam kepesantrenan, NU bisa mengusulkan bantuan kepada pemerintah lewat PKB. Jadi, kerja NU bisa fokus pada bidang dakwah, pendidikan dan ekonomi. Sedangkan urusan politik, dipegang oleh PKB (NU Online, ‘Muhaimin: Khittah Harus Dimaknai sebagai Kerja yang Lebih Produktif’, 16/09/2009).
Sedangkan KH. Said Aqil Siradj mengatakan bahwa ajakannya kepada nahdliyyin untuk ikut PKB, tidak melanggar khittah NU. Bahkan dia menegaskannya dengan menyitir keputusan muktamar di Lirboyo masih belum berubah, bahwa Pengurus Besar NU (PBNU) mendukung PKB (Saifullah Ma’shum dan Umaruddin Masdar, 2012).
Ada juga pendapat lain yang memakai teori hermeneutika untuk menyikapi khittah di muktamar 1984 tersebut (Azis Anwar Fachruddin, ‘Khittah Abu-abu NU’, azisaf.wordpress.com). Wacana khittah lahir dalam situasi politik yang berbeda dengan masa kini. Pada 1980-an, NU melepaskan diri dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dilatarbelakangi, antara lain, oleh perlakuan rezim Orde Baru (Orba) yang represif terhadap PPP, sehingga NU tidak leluasa menjalankan sikap oposisionalnya dan kehilangan vitalitasnya sebagai organisasi civil society (Greg Barton, 2011, 175-176, Martin van Bruinessen: 1994, 146).
Bahkan, selain ketiga pendapat di atas, ada juga suara yang ingin merestrukturisasi khittah, agar NU bisa khidmat ke kancah politik praktis. Ini terjadi ketika 21 organ NU meminta Pengurus Wilayah (PW) NU Jateng untuk memberikan dukungan kepada pasangan Capres-Cawapres Mega-Hasyim (Ahmad Nurhasim dan Nur Khalik Ridwan: 2004, 2).
Dengan demikian, terlepas adanya wacana rekosntruksi kredo NU, pada dasarnya kelahiran PKB tidak menyalahi khittah ibu kandungnya. Dus, PBNU jugalah yang memberikan mandat kepada Tim Lima yang diketuai oleh KH. Ma’ruf Amin dan dibantu oleh Tim Asistensi yang berjumlah sembilan personil dan diketuai oleh H. Arifin Junaidi, untuk membidani lahirnya PKB (KH. Ushfuri Anshor, 2012, 44).
Surat tugas yang dikeluarkan oleh PBNU,
menjadi artefak berdirinya PKB (KH. Ushfuri Anshor, 2014, 44).
Maka, jika PKB memang sudah legal di mata NU dan juga para warganya, kenapa sekarang mulai muncul gerakan makar menentang manuver politik PKB yang bersanding (baca: menyandingkan dirinya) dengan NU? Bahkan dengan membawa-bawa khittah segala.
Ternyata, sejarah kelam hubungan PKB-NU yang tidak harmonis bermula dari pasca lengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan. Walaupun meneguhkan sebagai partai yang inklusif, yang tidak hanya menampung nahdliyyin tapi juga non-nahdliyyin bahkan non muslim, namun dalam praktiknya, warga NU tetap memiliki sentimen kepemilikan terhadap PKB. Ini terlihat dari ketidaksamaan visi antar keduanya. PKB memecat Matori Abdul Jalil, yang sebenarnya tidak disetujui NU. Di saat lain, NU yang bersusah payah menggerakkan warganya dari tingkat ranting sampai wilayah untuk mensukseskan pasangan Mega-Hasyim, tapi PKB malah mendukung Wiranto-Wahid pada pemilu 2004.
Tak hanya itu, untuk persiapan pemilihan umum mendatang, PKB juga dengan latah merekrut para artis yang diusung untuk pencalonan legislatif dan presiden. Bukan bermaksud antipati atau pesimis terhadap mereka, namun menjadi wakil rakyat yang kemudian ‘ongkang-ongkang kaki’ di Senayan, membutuhkan pribadi dan kemampuan yang mumpuni. Terlebih menjadi presiden, popularitas tentu tidak memadai. Maka, cukup sudah kekecewaan NU pada PKB.
Karena semakin lunturnya kepercayaan nahdliyyin pada PKB, menjadi maklum, jika kemudian dalam pemilu 1999-2009, angka perolehan PKB menurun. Yang awalnya berjumlah 13.336.982 suara/ 51 kursi di tahun 1999, menjadi 5.146.302 suara/ 28 kursi (DPW PKB Jawa Tengah: 2003, 9-10). Atas dasar inilah kemudian, marak iklan dan baliho PKB yang bersanding dengan NU. Dan tak main-main, KH. Said Aqil Siradj, Ketua PBNU saat ini, juga memberikan endorsement. Walau kemudian, sempat menuai kekecewaan dari Gus Sholahuddin Wahid di akun twitter-nya (berita8.com, ‘Cucu Pendiri NU, Sesalkan Ketua PBNU Beriklan untuk PKB’, 07/02/2014).
Melihat manuver politik PKB yang semakin nyata ingin menjadikan NU sebagai ‘kambing putih’ kampanyenya, para penentang—yang lagi-lagi kembali membawa bendera khittah—pun bermunculan,. Dengan menamai aksi mereka ‘Gerakan NU Kultural’, mereka menggugat iklan yang membawa nama NU. Karena hal itu menyalahi khittah.
Salah satu spanduk ‘Gerakan NU Kultural’,
bertuliskan ‘TOLAK IKLAN YANG MENYERET NU KE PARTAI POLITIK’
yang terdapat di jalan dekat alun-alun Tayu, Pati
Akan tetapi, ada yang lucu dari aksi pemberontakan ini. Jika mereka beranggapan bahwa ‘koalisi’ antara NU dan PKB menyalahi khittah, kenapa mereka tidak berteriak tatkala PBNU mengeluarkan dekrit untuk pendirian PKB? Apakah euforia kebebasan demokrasi membuat mereka tak sadarkan diri? Peristiwa inilah yang menjadikan posisi khittah kian abu-abu. Atau sebaliknya, nahdliyyin bersikap ambivalen pada khittah.
Sebenarnya orasi kepartaian yang mengatasnamakan NU sudah digaungkan sejak lama. Pertama, ketika bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), saat Orba masih berkuasa. Kedua, awal perjuangan PKB yang kemudian berujung pada kemunculan partai ‘sempalan’, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), hingga ketiga, PKB yang ingin mengulang kembali kejayaannya pada masa Gus Dur.
Khusus yang ketiga, dengan menyoroti buku dan selebaran yang diterbitkan oleh Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKB, tertera tahun 2006, menjadi penanda tersebarnya fatwa tegas oleh ulama terkenal, KH. Ushfuri Anshor. Dengan bersandar pada fatwa ulama mu`assis (pendiri) PKB, beliau berfatwa, ‘Barang siapa tidak mencoblos PKB, partai politik yang didirikan oleh PBNU tahun 1998, maka orang NU itu jika wafat dipastikan tidak akan masuk surga’. Tapi apakah umat, khususnya warga nahdliyyin, mau mengikuti fatwa tersebut? Menilik kondisi hari ini, banyak ulama yang mengumbar syahwatnya untuk berfatwa, yang ironisnya seringkali berdampak madlarat (Saidiman Ahmad dkk.: 2012, 3). Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan tindak kekerasan yang diterima oleh pemeluk Ahmadiyah (lih. ‘9 Berkas Perkara Insiden Ahmadiyah di Cikeusik Dinyatakan Lengkap’, 01/04/2011), pasca terbitnya fatwa sesat dari institusi yang mengatasnamakan dirinya sebagai kumpulan ulama (lih. ‘Salinan Fatwa MUI Tentang Kesesatan Ahmadiyah’, 30/04/2008).
Spanduk ‘Gerakan NU Kultural’
bertuliskan ‘JANGAN NISTAKAN KHITTAH NU 1926
DENGAN MENJUAL NU KE PARTAI POLITIK’
yang terdapat di jalan Kajen, Pati.
Simpang-siur Legitimasi
Untuk mendongkrak suara, PKB melakukan gebrakan yang fenomenal. Tak hanya jalur media, jalur agama pun ditempuh. Khusus soal fatwa ini, KH. Ushfuri Anshor bahkan telah merangkumnya dalam sebuah buku yang selain berisi fatwa-fatwa keharusan ikut PKB, namun juga beragam argumen yang menguatkan fatwa tersebut.
Penulis buku saku Belum Terlambat Sebelum Kiamat ini menguatkan posisi fatwanya dengan menyitir fatwa-fatwa dari beberapa ulama pada zaman Orba, saat NU bersatu di tubuh PPP. Di antaranya adalah fatwa KH. Mustahdi Abbas, ‘Seluruh warga NU wajib pilih PPP, jika warga NU tidak pilih PPP lalu dia meninggal dunia, maka tidak diampuni dosanya oleh Allah SWT. Kecuali umurnya panjang sampai pemilu yang akan datang, lalu dia bertaubat dengan memilih PPP’ (KH. Ushfuri Anshor, 2012, 34). Pernyataan yang bernada politis-agamis juga dilontarkan para ulama lain; KH. Said Aqil Siradj (Saifullah Ma’shum dan Umaruddin Masdar, 2012) dan KH. Ma’ruf Amin (Saifullah Ma’shum, 2012).
Melihat gegap-gempita fatwa yang menyokong partai politik, mengingatkan saya pada anekdot yang berlatar Orba dan kuningisasinya saat masih berkuasa. Seorang kiai, karena begitu bencinya pada tiran yang murah senyum itu, pada saat berkhutbah, ia memaknai kata ‘pohon’ dari penggalan ayat Alquran di surat al-Baqarah ayat 45, ‘Kalian berdua janganlah mendekati pohon ini. Karena jika itu terjadi, kalian akan menjadi orang yang lalim’, sebagai ‘pohon beringin’ milik partai Golkar.
Masyarakat tentu sudah amat kenyang dengan berbagai macam fatwa yang musiman seperti ini. Beberapa di antaranya mungkin berpikiran, nasib di kehidupan lain adalah hak prerogatif Tuhan. Dan tak ada seorang ulama pun yang mampu mengubahnya. Jadi, secara otomatis masyarakat telah menganggap fatwa sama tingkatannya dengan pendapat biasa. Walau tak bisa dipungkiri, suatu kelompok akan menjalankan fatwa secara intens, ketika ada keuntungan darinya.
Namun, guna menyangkal fatwa tersebut, beberapa kiai juga menyatakan wacana tandingan. Salah satunya adalah KH. Abdul Qoyyum, kiai dari Lasem. Kiai yang akrab disapa Gus Qoyyum ini, pada peringatan 40 hari wafatnya Kiai Sahal Mahfuzh, menyindir para kiai yang lebih intens berkecimpung di politik. Padahal, menurut beliau, seseorang ‘… disebut ulama jika meluangkan waktunya untuk mengkaji dan mengajar kitab’ (lih. ‘Disebut Ulama Jika Meluangkan Waktu untuk Mengajar Kitab’, 06/03/2014).
‘Fusi’ Idealistis, Mungkinkah?
Walau demikian, secara pribadi, saya masih berharap agar NU dan PKB dapat akur kembali dan menjadi pembawa panji Aswaja. Karena, sebagaimana yang telah diutarakan di awal, apakah mungkin menghambat laju kaum Islam Reformis ‘hanya’ dengan penguatan dari bawah?
Sebenarnya, NU menempati posisi kuat dalam soal ‘amaliyah. Pembaruan agama yang diusung oleh kelompok-kelompok itu beroposisi pada budaya setempat. Padahal, jika agama tidak bersikap akomodatif terhadap budaya, semurni apapun ajarannya, akan sulit diterima masyarakat. Selain itu, NU juga memiliki banyak anggota ideologis. Yaitu anggota yang tidak terdaftar sebagai nahdliyyin, namun mempraktikkan ‘amaliyah-nya.
Kendati demikian, NU tetap patut cemas. Karena sekarang, banyak anak-anak muda yang dikader menjadi aktivis islam garis keras tersebut. Jika para generasi mudah terkibuli, lantas bagaimana nasib NU di masa depan? Selain itu, jika kubu oposisi-ideologis tersebut masuk dalam politik praktis dan berhasil menduduki kursi di Senayan, tentu akan mudah untuk membuat peraturan yang mendukung agenda fundamentalis. Atau mungkin juga akan menyusupkan ideologinya dalam buku ajar pendidikan.
Kita pasti akan merasa ngeri, jika paham fundamentalis mereka berhasil menyusup di ruang legislatif. Karena paham tersebut sangat anti pada pluralitas, khususnya agama. Untuk soal perbedaan ideologi dan ajaran dengan NU, sebenarnya tidak masalah. Namun, jika dalam penyebaran dan implementasinya mereka menggunakan kekerasan, tentu harus segera ditangani (KH. Abdurrahman Wahid: 2009). Maka, dengan demikian, memasuki kancah politik praktis memang diperlukan. Namun, langkah seperti apakah yang memungkinkan keselarasan bagi NU dan PKB?
Ada beberapa tawaran. Pertama, khittah harus direstrukturisasi. Ini berfungsi untuk menegaskan lini apa saja yang ingin diperjuangkan oleh NU. Karena jika tidak direstrukturisasi, nahdliyyin akan memakainya sebagai ‘pelarian’. Bahkan dalam waktu tertentu, khittah bisa menjadi bumerang bagi NU.
Kedua, PKB dan NU harus mulai berbenah, mendata apa saja yang menjadi program bersama, merumuskan ‘wilayah kekuasaan’ masing-masing dan kemudian membuat Memorandum of Understanding (MoU). Ini agar kedua belah pihak tidak saling mengintervensi apa yang tidak menjadi bagiannya. Selain itu, jika sejak awal PKB ingin profesional sebagai partai yang inklusif, tentunya ia harus melepas bayang-bayang partai Islam, alih-alih partai NU. Begitu pula NU; ia pun harus mulai mengurangi sentimen yang berlebih pada PKB.
Dan ketiga, sebagai pembawa panji Aswaja (Ahlusunnah wal jamaah), yang sejatinya toleran terhadap perbedaan, NU dan PKB harus mulai merapatkan barisan, membuat ‘barikade’ penghadang paham. Karena gerak kelompok Islam garis keras mulai membuat kewalahan pemerintah. Bahkan aparat hukum pun dibuat tidak berkutik.
Sebagai penutup, mungkin kita perlu menoleh pada kondisi partai politik di negara lain, Jerman misalnya. Walaupun pada awalnya, kondisi negara tersebut terpuruk, dengan kesenjangan sosial yang amat tinggi antara Barat dan Timur, namun sekarang, nama-nama ‘partai politik’-nya malah bertebaran di Indonesia. Friedrich-Naumann-Stiftung Fur Die Freiheit (FNF) adalah salah satunya. Organisasi tersebut malah sudah beroperasi di 62 negara dengan agenda kemanusiaan yang tidak bisa diremehkan (Vaclav Klaus, 2012, 152). Tentunya, jika PKB, yang dalam hal ini sebagai tangan panjang NU, ingin bermanfaat bagi manusia, pastinya tidak akan berbuat kebaikan yang hanya musiman, bukan?***
Penulis adalah wakil sekretaris Remaja Masjid Baitussalam Sambiroto-Tayu
Referensi:
Ahmad, Saidiman dkk., Pembaruan Tanpa Apologia?: Esai-esai Tentang Ahmad Wahib, Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2012
Anshor, Ushfuri, Belum Terlambat Sebelum Kiamat, Jakarta Pusat: Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa, 2012
Azis Anwar Fachruddin, ‘Khittah Abu-abu NU’, 9 September 2013, dapat diaksses di http://azisaf.wordpress.com/2013/09/09/khittah-abu-abu-nu/
Azra, Azyumardi ‘Kegagalan Islam Politik: Kasus PKB-NU’, dapat diakses di http://islamlib.com/?site=1&aid=222&cat=content&cid=11&title=kegagalan-islam-politik-kasus-pkb-nu
Barton, Greg, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKiS, 2011
Bruinessen, Martin van, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994
DPW PKB Jawa Tengah,. Partai untuk Rakyat, Semarang: Aneka Ilmu, 2003
Klaus, Vaclav, Kebebasan dan Politik Perubahan Iklim, Jakarta: Freedom Institute dan Friedrich Naumann Foundation (FNF), 2012
Ma’shum, Saifullah dan Umaruddin Masdar, Partai NU Ya PKB: Pernyataan dan Sikap Politik KH. Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU, Jakarta Pusat: Lembaga Pemenangan Pemilu Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa, 2012
Ma’shum, Saifullah, Arruju’ Warruju’ Ilarruju’ KH. Ma’ruf Amin: Warga NU Kembalilah ke PKB, Jakarta Pusat: Lembaga Pemenangan Pemilu Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa, 2012
‘Naskah Khittah NU 1984’, dapat diakses di channel-nahdliyyin.blogspot.com/2012/11/naskah-khittah-nu-1984.html
Nurhasim, Ahmad dan Nur Khalik Ridwan, Demoralisasi Khittah NU dan Pembaruan, Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004
Wahid, Abdurrahman, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika dan Maarif Institute, 2009
Sumber berita
‘9 Berkas Perkara Insiden Ahmadiyah di Cikeusik Dinyatakan Lengkap’, 1 April 2011, news.detik.com/read/2011/04/01/091313/1606250/10/9-berkas-perkara-insiden-ahmadiyah-di-cikeusik-dinyatakan-lengkap?nd771104bcj
‘Cucu Pendiri NU, Sesalkan Ketua PBNU Beriklan untuk PKB’, 7 Februari 2014, berita8.com/m8/berita/2014/02/putra-pendiri-nu-sesalkan-ketua-pbnu-beriklan-untuk-pkb.
NU Online, ‘Disebut Ulama Jika Meluangkan Waktu untuk Mengajar Kitab’, 6 Maret 2014, nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,50619-lang,id-c,nasional-t,Disebut+Ulama+Jika++Meluangkan+Waktu+untuk+Mengajar+Kitab+-.phpx
‘Muhaimin: Khittah Harus Dimaknai sebagai Kerja yang Lebih Produktif’, 16 September 2014, nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,5-id,19011-lang,id-c,halaqoh-t,Muhaimin++Khittah+Harus+Dimaknai+Sebagai+Kerja+yang+Lebih+Produktif-.phpx
‘Salinan Fatwa MUI Tentang Kesesatan Ahmadiyah’, 30 April 2008, nahimunkar.com/salinan-fatwa-mui-ttg-kesesatan-ahmadiyah/