SEJENAK mari kita menengok sejumlah kabar di negeri orang. Margaret Thatcher, mantan Perdana Menteri Inggris, meninggal dunia April tahun lalu. Kemudian, belum lama ini, di bulan Januari Ariel Sharon, mantan Perdana Menteri Israel, meninggal dunia setelah koma selama delapan tahun. Dua-duanya berhaluan konservatif mentok. Dua-duanya dikenal sebagai contoh tipikal musuh utama gerakan Kiri. Pertanyaannya, bagaimana kita harus menyikapi kabar kematian mereka?
Tanpa bermaksud menggurui dan menjadi pendakwa, tidak ada salahnya untuk melihat warisan politik mereka, terutama dikala mereka berkuasa. Upaya ini bukan bermaksud untuk membuat semacam ‘daftar dosa’ sejumlah kesalahan dan langkah-langkah politik anti-Kiri dari dua tokoh tersebut. Tentu, sejumlah implikasi fatal dari taktik politik mereka akan kita kemukakan di sini. Namun, hal tersebut kita lakukan sebagai sebuah upaya refleksi – karena untuk mengetahui kawan kita dan strategi kita ke depan, kita juga perlu mengetahui lawan kita dan pergerakan mereka.
Mari kita mulai dari Thatcher. Film biografis tentang dirinya The Iron Lady (2011) mungkin bisa memberikan gambaran umum mengenai perkembangan karir politik seorang Thatcher. Lahir dari keluarga kelas menengah bawah, sedari kecil Thatcher terinspirasi oleh ayahnya, seorang Liberal klasik yang berpegang pada prinsip-prinsip kemandirian individual dan pengaturan keuangan. Dalam konteks inilah, seorang Thatcher tumbuh dan berkembang dan mematangkan posisi politiknya sebagai seorang Konservatif. Memasuki bangku kuliah, ia mendapatkan beasiswa untuk belajar di jurusan kimia di Universitas Oxford. Sisanya adalah cerita klasik mengenai seorang Thatcher: bergabung dengan Partai Konservatif Inggris, menikahi seorang pebisnis yang juga kader konservatif, Denis, dan kemudian bergumul dalam dunia politik yang mencapai puncaknya dengan menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris untuk periode 1979-1990.
Kaum sayap Kanan dari bermacam-macam haluan – diantaranya Konservatif, Liberal dan Libertarian – menganggap Thatcher sebagai salah satu pahlawan terkemuka bagi mereka. Thatcher menjadi semacam representasi terbaik atas politik sayap Kanan modern. Nigel Lawson (1992), seorang politisi Konservatif, mengidentifikasi sejumlah ide utama ‘Thatcherisme,’ antara lain ‘pasar bebas, disiplin finansial, kontrol ketat atas belanja publik, pemotongan pajak, nasionalisme, nilai-nilai Victorian, privatisasi, dan sedikit populisme.’ Tak lupa, semua itu didukung oleh kesempatan merebut negara dan dikemas dalam pencitraan tegas khas Sang Wanita Besi. Namun mereka lupa bahwa di tiap-tiap upaya glorifikasi dan narasi-narasi kepahlawanan, terdapat sisi-sisi kelam yang biasanya terlupakan – atau mungkin lebih tepatnya dilupakan.
Dari tiap-tiap ‘prestasi’ yang disebut-sebut itu, ada ‘dosa-dosa’ yang disapu dari pandangan untuk kemudian ditutupi oleh karpet yang berisi puja-puji. Gaya pemerintahannya bisa dirangkum dalam frase yang digunakan oleh Tariq Ali: neoliberalisme di dalam negeri dan perang di luar negeri. Di dalam negeri, berbagai subsidi dicabut, serikat buruh dan aksi-aksi independen kelas pekerja dihadang-hadang, dan yang lebih parahnya lagi, resep kebijakan seperti itu juga menjangkiti Partai Buruh Inggris sebagaimana dapat kita lihat dalam tendensi ‘Jalan ketiga’ ala Tony Blair dan konco-konconya. Tak heran apabila di masa jabatannya, kesenjangan ekonomi dan sosial meningkat. Thatcher juga menyiapkan landasan yang kokoh bagi lepas landasnya ekspansi neoliberalisme di Inggris dan berbagai penjuru dunia, satu hal yang tidak mengejutkan dari seseorang yang mengadvokasi ide negara minimal dan berpendapat ‘tidak ada yang namanya masyarakat.’ Seakan belum cukup, di luar negeri, Thatcher memiliki hobi yang ajaib: memusuhi berbagai gerakan rakyat – sampai-sampai menjuluki Mandela dan ANC sebagai ‘teroris’ – dan berkawan dengan sejumlah diktator terkemuka dan mungkin juga terkeji – Pinochet di Chile (yang dinilainya ‘membawa demokrasi di Chile’), Suharto di Indonesia (yang disebutnya sebagai ‘salah satu sahabat kita’), Zia ul-Haq di Pakistan, rejim Apartheid di Afrika Selatan, hingga Pol Pot dan Khmer Merah di Kamboja. Yang terakhir saya tidak mengada-ngada: laporan jurnalis investigatif John Pilger menguak keterlibatan badan intelijen Inggris, SAS, dalam mendukung pemberontak Khmer Merah melalui pelatihan intelijen yang dilakukan di masa administrasi Thatcher. Bahkan, baru-baru ini laporan Ishaan Tharoor, editor senior majalah TIME, juga menyinggung mengenai ‘pakta Fausian’ antara administrasi Thatcher dan Khmer Merah. Jikalau masih tidak percaya, mungkin Anda bisa lihat sendiri rekaman wawancara Thatcher mengenai hal tersebut dan silahkan menilai sendiri.
Dan jangan lupa, semua ini dilakukan atas nama ‘kebebasan.’
Bagaimana dengan Ariel Sharon? Meskipun warisannya mungkin tidak seheboh Thatcher, kiprahnya juga akan membuat kita menggelengkan kepala. Sharon lahir dari sebuah keluarga Yahudi yang memutuskan untuk bermigrasi ke Israel – atau lebih tepatnya Mandat Britania atas Palestina, pada waktu itu. Di usia 14 tahun, dia sudah bergabung dengan sejumlah kelompok paramiliter Gadna dan Haganah yang merupakan cikal bakal militer Israel modern. Tahun 1953, catatan hitam militernya dimulai. Sebuah unit militer yang dipimpin oleh Sharon membantai setidaknya 69 warga Arab Palestina di desa Qibya, yang sebagian besar diantaranya adalah perempuan dan anak-anak. Peristiwa yang dikenal sebagai Pembantaian Qibya ini adalah ‘dosa asal’ Sharon. ‘Neraca’ korbannya belum selesai di situ. Dalam jabatannya sebagai menteri pertahanan, di tahun 1982, ia memerintahkan sebuah invasi ke Lebanon untuk memburu unsur-unsur Organisasi Pembebasan Palestina, PLO, di negara tersebut. Dalam aksi jingoismenya, Sharon tanpa ragu memburu PLO hingga ke pemukiman di daerah Sabra dan kamp pengungsian Shatila yang terletak tidak jauh dari situ. Hasilnya? Sekitar lebih dari 3000 warga sipil, kebanyakan kaum Syi’ah Palestina dan Lebanon, meregang nyawa – dan Sharon mendapatkan julukan baru yaitu ‘Tukang Jagal dari Beirut.’ Tahun 2001, ia kemudian menjadi Perdana Menteri Israel, jabatan yang dipegangnya sampai dengan 2006. Memang, di tahun 2005, ia memerintahkan penarikan mundur pasukan Israel dari Jalur Gaza dan pembubaran pemukiman Yahudi di daerah tersebut. Namun, perlu diingat bahwa Sharon juga sempat memberlakukan tahanan rumah bagi mendiang Yasser Arafat, mantan pemimpin terkemuka Palestina. Bagi Barat dan konco-konconya, Sharon mungkin adalah sesosok politisi ‘moderat’ yang telah berkontribusi banyak bagi negara Israel dalam karir militer dan politiknya dan mampu berkompromi, meskipun dikenal sebagai pemimpin hawkish yang tegas. Namun, rakyat Palestina dan orang-orang Arab tidak akan pernah lupa: semasa karirnya sampai dengan terkena serangan stroke dan kemudian koma di tahun 2006, Sharon berpartisipasi secara aktif dalam operasi-operasi militer yang memakan banyak korban jiwa dan penindasan atas rakyat Palestina dalam konteks yang lebih luas.
Mungkin saya berlebihan. Bagaimanapun, ‘merayakan’ kematian seorang perempuan sepuh yang mulai pikun, atau seorang kakek yang koma selama delapan tahun, mungkin bukan hal yang pantas dilakukan dari kacamata kemanusiaan, sekalipun mereka adalah lawan-lawan terbesar kita. Tetapi, saya tidak bermaksud untuk melakukan hal tersebut. Bagi saya, kematian Thatcher dan Sharon justru memberikan sejumlah bahan refleksi dan pelajaran yang berharga, terutama bagi gerakan Rakyat di berbagai belahan dunia.
Pertama, apabila ada satu hal yang perlu kita contoh dari Thatcher dan Sharon, maka itu adalah keteguhan, konsistensi dan perencanaan jangka panjang mereka. Terkadang kita lupa bahwa musuh bekerja secara jangka panjang. Begitupun Thatcher dan Sharon, yang memulai proses konsolidasi politik sayap Kanan mereka sedari dulu. Ini baru di level agensi – bisa kita bayangkan bagaimana hasil agregasinya di tataran struktural. Tak heran apabila Gramsci jauh-jauh hari mengingatkan bagaimana kelas yang berkuasa selalu lebih unggul dalam berbagai lini – istilahnya mulai dari fondasi ‘basis’ (uang, organisasi dan gudang senjata) hingga pemanfaatan ‘superstruktur’-nya (politik, diplomasi, media dan dukungan ‘intelektual’). Thatcher dan Sharon, dan tentunya kapitalisme neoliberal dan apartheid baru, bekerja secara matang dan penuh perencanaan. Gerakan Rakyat harusnya lebih sadar mengenai hal itu dan ‘mencuri’ ilmu mereka. Toh, keeping-keping kebenaran terkadang bisa ditemukan di mana saja, termasuk di kubu lawan.
Kedua, warisan Thatcher dan Sharon adalah kesempatan bagi gerakan Rakyat untuk bermuhasabah baik dalam ranah teoretik maupun praksis perjuangan. Strategi ‘banting harga’ ala partai-partai Kiri-tengah melalui jualan ‘jalan ketiga’nya yang beresonansi dengan perlawanan nanggung ala ‘Gerakan Sosial Baru’ sesungguhnya mengamini dan mengafirmasi logika neoliberal ala kaum Kanan ekstrim seperti Thatcher. Ini juga diperparah dengan dukungan sejumlah elemen kelompok Kiri, atau mantan eksponen gerakan Kiri, dalam aksi-aksi jingoisme baru yang dicetuskan oleh kaum Kanan akhir-akhir ini. Di Indonesia, strategi akomodasionis ini bahkan mengambil bentuk yang lebih vulgar: sejumlah mantan ‘aktivis’ bergabung dengan partai-partai asuhan sejumlah tokoh militer pelanggar HAM dan kapitalis, dengan alasan membentuk ‘front bersama’ – sebuah justifikasi yang tidak kalah absurd dan keblinger.
Ketiga, dan yang terakhir, keberpulangan Thatcher dan Sharon juga menjadi momentum yang tepat bagi gerakan Kiri untuk segera menyudahi kecenderungan ‘melankolis’nya. Penyakit ‘Melankolia Kiri’ (Left Melancholy) yang dicirikan dengan perasaan kalah melulu, akomodasionis, tidak percaya diri, dan lain sebagainya, mengutip Walter Benjamin dan Wendy Brown, haruslah segera disembuhkan dengan sebuah penegasan: bahwa posisi teoretik dan politik gerakan Kiri masih menawarkan alternatif yang paling mungkin dan mumpuni atas sejumlah persoalan yang disebabkan oleh warisan Thatcher dan Sharon.
Lagipula, bukan tanpa alasan banyak orang Inggris dan Palestina ‘merayakan’ kematian Thatcher dan Sharon***
Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik, Northern Illinois University, AS. Penulis beredar di twitland dengan id @libloc