Tanggapan untuk Amin Mudzakkir
SAYA mengapresiasi tulisan Amin Mudzakkir yang mencoba mulai menanggapi kecenderungan artikulasi beberapa kelompok feminis yang lebih banyak melayani kepentingan neoliberalisme, dengan menempatkan Islamic state ibuism sebagai hambatan utama dalam merayakan tubuh ke-perempuanan-nya. Sayangnya, tuntutan Amin di akhir tulisannya, menurut saya, masih terjebak dalam perspektif yang menempatkan segala persoalan pengasuhan anak dan keluarga kepada institusi keluarga (keluarga inti), yang terisolir dari masyarakat atau kolektifnya. Saya tidak dapat bersepakat dengan asumsi Amin mengenai krisis di dalam institusi keluarga, yang menurutnya, dikarenakan gugatan kaum feminisme yang ‘terlalu jauh:’ perempuan bekerja upahan di luar rumah; meningkatnya otonomi alat-alat reproduksi (biologis) perempuan; banyak perempuan menuntut haknya, termasuk kelompok homoseksual; bergantung pada langkah-langkah hidup yang mereka ambil sendiri (tertulis di paper Amin halaman 10). Setidaknya begitu saya membaca tulisannya.
Pembacaan Amin mengenai ‘diperlukannya tanggung jawab publik yang lebih berarti untuk merekonstruksi keluarga, termasuk fungsi-fungsinya, di era baru ini agar masa depan anak-anak khususnya tetap terjamin dalam suasana psikososial yang sehat’ ini seperti membahayakan masa depan gerakan feminis (sosialis). Kalau Amin lebih cermat, ia berpotensi menemukan jalan keluarnya. Secara langsung Amin menerjemahkan potensi usulan jalan keluar tersebut dengan mengutip Castells, bahwa sebaiknya kaum feminis dan kaum agamawan berdialog untuk merumuskan keluarga yang lebih egaliter. Dalam hal ini, Amin mengasumsikan ada keseimbangan relasi kuasa di antara kaum feminis dan kaum agamawan pada konteks Indonesia. Seolah pembentukan keluarga yang lebih egaliter harus menunggu persetujuan dari kaum agamawan yang lebih banyak misoginisnya daripada feminisnya. Baru di paragraf terakhir tulisannya, Amin, dengan mengutip Castells dan tanpa penjelasan apa-apa, mengusulkan agar negara menyelamatkan anak-anak yang menjadi korban dari gerakan anti-patriarki yang ‘terlalu jauh’ dan tidak bisa lagi ditangani oleh institusi keluarga yang sedang krisis. Ini yang dimaksud sebagai politik re-distribusi oleh Amin.
Tanggapan saya ini hanya tanggapan cepat, dan belum bermaksud memberikan tanggapan teoretik. Karena eksperimentasi di lapangan butuh waktu sangat lama untuk abstraksi lebih jauh lagi dari teori-teori yang sudah tersedia sekarang.
Beberapa keberatan
Namun, cara membaca masalah dan usulan jalan keluar dari Amin, bagi beberapa kelompok feminis sosialis, terbaca seperti ini: 1) memojokkan usaha-usaha emansipasi kaum perempuan, dengan menyiratkan bahwa feminisme bergerak ‘terlalu jauh’ dan hanya akan menghasilkan krisis pada institusi keluarga; 2) menundukkan kembali kaum feminis ke bawah kuasa kaum agamawan (sepanjang tulisannya hanya menyebutkan resistensi dari kaum fundamentalis agama), untuk merumuskan keluarga yang lebih egaliter. Asumsinya adalah kaum feminis telah berbuat hal-hal buruk, meninggalkan tugas utama mereka sebagai pengasuh anak-anak dengan sering meninggalkan rumah, perbaikilah dengan berkonsultasi pada otoritas dominan di masyarakat, yakni kaum agamawan.
Tidak ada penjelasan mengenai bagaimana terjadinya krisis pada institusi keluarga (keluarga inti); mengapa yang disebut sebagai korban hanyalah anak-anak ,sementara mengabaikan fakta bahwa kaum perempuan yang bekerja upahan di luar rumah sekaligus dibebani tugas pengasuhan anak; tidak membuka kemungkinan akan terbentuknya keluarga yang lebih egaliter dalam bentuk selain keluarga inti (yang tertutup) yang kita kenal saat ini; 3) karakter negara seperti apa yang harus dipertahankan di era, yang menurut Amin, pasca-patriarki, agar dapat ikut ‘menyelamatkan’ anak-anak yang terlantar dari institusi keluarga tersebut.
Dalam hal kritik Amin terhadap kelompok-kelompok feminis yang terjebak dan hanyut dalam politik neoliberal, saya sangat setuju. Mereka merayakan tubuhnya sebagai perempuan, namun melupakan dalam konteks apa perayaan tubuh itu diselenggarakan. Apakah dalam konteks perempuan harus bekerja ke luar rumah, atau berorganisasi politik sebagai feminis, dan merasakan situasi di jalanan perkotaan yang tidak aman bagi perempuan yang harus bepergian sendiri. Mereka tidak mempertanyakan lebih jauh mengapa kaum laki-laki dengan mudah memutuskan untuk memperkosa tubuh perempuan. Alih-alih menjadikan perempuan sebagai kawan berjuangnya, faktanya banyak perempuan hidup ketakutan akan pukulan-pukulan suami atau keluarga laki-laki. Mereka juga tidak mempertanyakan darimana perilaku represif terhadap perempuan ini bersumber, dari sejarah sosial-politik Indonesia. Dan dengan begitu, tidak mempertanyakan secara serius ideologi gender yang sejak lama dibangun oleh negara.
Bisakah itu semua dihadapi secara individual oleh feminis? Lantas mengapa tuntutan-tuntutan kaum feminis (liberal) terlalu memberi prioritas pada pembebasan tubuh atau seksualitas perempuan yang berakar pada hegemoni konstruksi ibuisme dari negara yang didominasi kelompok fundamentalis agama? Tepat di sini perbedaan cara membaca akar masalah antara kaum feminis liberal (yang beruntung memiliki banyak akses pada media perempuan dan komunitas kebudayaan) dan feminis sosialis.
Membaca masalah seksualitas secara historis: penaklukan kehidupan berpolitik kaum perempuan progresif pasca-1965
Bagi kaum feminis sosialis, pembebasan tubuh atau seksualitas perempuan juga diperlukan, dan dilakukan dengan keterlibatan kaum perempuan (maupun laki-laki) secara sosial-politik. Karena yang dihadapi tidak hanya ketimpangan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki dalam hubungan seksual, tapi juga hegemoni yang hampir sempurna dari ideologi gender negara neoliberal: seksualitas perempuan dijadikan komodifikasi dan simbol penaklukan oleh negara. Seksualitas perempuan dipilih oleh negara (yang kemudian dipraktekkan secara luas di ranah masing-masing rumah tangga oleh para lelaki patriarkh) sebagai objek politik penundukan kaum perempuan dari sejarah gerakan perempuan yang sangat progresif pada masa pra-1965. Selain itu, perempuan miskin diperjualbelikan dalam industri prostitusi, pabrik jilbab dan mode fashion baju muslimah yang menjamur.
Jadi, tetap saja pembebasan perempuan sebagai manusia yang sama bermartabatnya tidak hadir. Secara sosial-politik direpresi kebebasan berpolitiknya, salah satunya juga melalui politik seksualitas. Sehingga, pada generasi yang asing dengan sejarah tragedi 1965, mereka tidak punya gambaran lain bagaimana menjadi perempuan selain menjadi ibu yang baik ala PKK dan ibu yang sholehah ala kelompok fundamentalis agama.
Hilang sudah gambaran (identitas) kehidupan kaum perempuan pasca-kemerdekaan hingga pra-pembantaian 1965, yang begitu berdaya memajukan masyarakatnya. Kaum perempuan terlibat aktif menyelesaikan persoalan-persoalan riil di masyarakat demi membangun kemandirian ekonomi nasional, termasuk saling berkumpul sesama kaum perempuan untuk membicarakan persoalan ke-perempuan-an yang juga ditekan dihadapan rekan laki-laki seperjuangannya (perceraian dan pengabaian istri dan anak, poligami, perkosaan, pemaksaan pernikahan, pernikahan usia dini, kedudukan perempuan dalam rumah tangga diatur secara timpang dalam UU Perkawinan 1974, pengasuhan anak kolektif, dsb). Karena potret keberdayaan kaum perempuan di jaman itu telah distigma sebagai perempuan lacur nan kotor, yang lantas ditertibkan dengan gempuran konstruksi negara Orde Baru tentang perempuan ideal seperti PKK, dan pasca-Reformasi 1998, dilanjutkan dengan konstruksi perempuan yang sholehah dan mengayomi keluarga ala kelompok fundamentalis agama.
Tidak ada lagi gambaran kehidupan perempuan yang aktif berpolitik. Satu-satunya gambaran emansipasi perempuan yang populer di masyarakat adalah bagaimana caranya perempuan dapat berkarir dengan sukses, dan tidak melupakan tugas-tugasnya di rumah. Menurut kaum feminis sosialis, ini juga konstruksi perempuan ala negara neoliberal, yang sayangnya, hanya bisa dicapai secara eksklusif oleh kelompok perempuan kelas ekonomi menengah-atas. Bagi kelompok perempuan ekonomi bawah, hal itu tidak berlaku. ‘Salah sendiri miskin,’ kira-kira begitu jawaban negara neoliberal.
Apa daya, kelompok feminis liberal tidak menantang kuasa negara neoliberal yang semacam itu, bahkan semenjak masa pergerakan menjelang Reformasi 1998. Yang ada hanya kegiatan charity menuntut penurunan harga susu bayi, dan tidak dimaksudkan terlibat lebih jauh secara politik dalam gerakan melawan rezim otoriter-kapitalistik saat itu, untuk menentang ideologi gender konstruksi negara. Inilah salah satu keberhasilan politik seksual Orde Baru sejak 1965. Jadi tidak heran jika hingga era pasca-1998, bahkan hingga kini, tuntutan gerakan perempuan yang dapat mengarusutama dan muncul ke permukaan mayoritas berasal dari kelompok-kelompok liberal, yang memprioritaskan tuntutan pembebasan perempuan secara individual dan parsial, serta terpisah dari pembacaan akar masalah yang bersumber dari eksploitasi oleh negara neoliberal. Akibatnya, apa yang diperjuangkan (merayakan tubuh perempuan) jauh dari kebutuhan mendasar kalangan perempuan ekonomi menengah-bawah. Apakah ini yang diperjuangkan kelompok feminis liberal? Untuk mengeksklusi sesama perempuan dari lapisan sosial-ekonomi yang berbeda? Kalau begitu, bagi kami itu bukan pembebasan yang sejati.
Beberapa klarifikasi: minus keterlibatan laki-laki dan masyarakat
Terhadap beberapa keberatan yang saya ajukan di atas, berikut penjelasannya. Keberatan pertama, terkait asumsi Amin yang mengandaikan terjadinya krisis institusi keluarga karena perempuan lebih asyik dengan kehidupannya sendiri, seperti yang saya sebutkan di atas. Itu berarti Amin tidak berusaha melibatkan peranan kaum laki-laki ke dalam kerja-kerja rumah tangga (termasuk pengasuhan anak). Kenapa? Padahal perempuan berjuang untuk bisa mengemansipasi dirinya di ranah publik, dengan bekerja atau mengenyam pendidikan lebih tinggi; akan tetapi satu kakinya tetap terikat di ranah domestik. Sebaliknya, itu tidak berlaku bagi kaum laki-laki, yang juga bekerja dan belajar di ranah publik. Amin tidak mempertanyakan ulang hubungan kuasa yang terjadi antara perempuan dan laki-laki, di ranah publik dan domestik.
Alih-alih, justru (masuk ke keberatan kedua) menundukkan perjuangan kaum feminis dengan mengusulkan agar kaum feminis berkonsultasi dengan kaum agamawan (fundamentalis agama) tentang bagaimana membentuk keluarga yang egaliter. Karena apa yang terjadi sekarang ini, dalam pembacaan Amin, krisis institusi keluarga yang telah mengorbankan pengasuhan anak-anak, disebabkan tuntutan kaum feminis yang ‘terlalu jauh,’ dengan menuntut berbagai otonomi atas dirinya; lalu melupakan tugas-tugas pengasuhan anak, yang (masih) tidak melibatkan kaum laki-laki ataupun masyarakat yang lebih besar. Kecuali kesimpulan di akhir paragraf tulisan yang datang tiba-tiba, dan tanpa penjelasan keterkaitannya (halaman 11) tentang negara yang menyelamatkan anak-anak sebagai korban krisis institusi keluarga.
Mempertajam manifestasi krisis institusi keluarga: eksploitasi kerja reproduksi oleh politik neoliberal
Bagi kelompok feminis sosialis, krisis institusi keluarga itu sama sekali bukan karena mobilitas kaum feminis yang hilir mudik keluar-masuk rumah dan ruang publik, lalu mengabaikan tugas-tugas pengasuhan anak oleh perempuan. Yang terabaikan bukan hanya pengasuhan anak-anak, melainkan seluruh kerja-kerja reproduksi sosial maupun reproduksi biologis oleh masyarakat (negara, tempat kerja, komunitas). Persoalan ini tidak terpisah dari pembacaan masalah eksploitasi di ranah produksi, karena saling berkaitan satu sama lain. Proses reproduksi sosial adalah proses mempertahankan keberlangsungan sistem sosial agar dapat terus berproduksi, menggantikan hal-hal yang habis digunakan dalam berproduksi (seperti seharian bekerja dan tenaga habis, baju kotor, butuh makanan, butuh istirahat di tempat yang layak dan bersih, perusahaan atau tempat bekerja butuh tenaga-tenaga kerja baru di masa depan, anak-anak butuh pendidikan dan pengasuhan yang baik agar nantinya dapat siap bekerja, dsb).
Proses reproduksi yang dalam sejarahnya dijalankan bersama-sama oleh masyarakat, pada masa sekarang dibebankan kepada perempuan secara individual. Banyak literatur sejarah perempuan di dunia, sejak dari perempuan hidup egaliter berdampingan dengan laki-laki dalam sistem sosial masyarakat yang berbeda dari sekarang, dan belum ada kepemilikan pribadi. Saya tidak hendak mengurai panjang lebar tentang itu, karena pasti akan butuh space lebih besar. Singkatnya, yang ingin saya tunjukkan adalah krisis institusi keluarga yang diajukan Amin adalah karena tidak pernah dinegosiasikannya pembagian kerja secara seksual antara laki-laki dan perempuan, khususnya di rumah tangga.
Atas ketiadaan waktu laki-laki dan perempuan yang harus bekerja seharian di luar rumah, kenapa kepada perempuan seorang diri tugas pengasuhan anak dibebankan? Bukankah itu tugas sosial dari masyarakat secara kolektif? Dan kemudian pertanyaan lain mengikutinya, jika memang institusi keluarga berbentuk nucleus family yang diidealkan oleh neoliberalisme (yang muncul di perkotaan industrial atau sebagai konsekuensi datangnya masa industrialisasi ke Indonesia), dan proses industrialisasi ala kapitalisme mengeksploitasi laki-laki dan perempuan dengan jam kerja yang panjang, mengapa mereka cuci tangan tidak ikut bertanggung jawab atas kebutuhan masing-masing keluarga untuk tugas reproduksi tersebut? Melarang kaum perempuan bekerja ke luar rumah bukanlah solusi bagi pembebasan perempuan.
Di sini letak perbedaan argumennya. Sejauh saya berdialog dengan teman-teman aktivis pro-demokrasi laki-laki, saya menemukan mereka lebih memilih menempatkan istri mereka sebagai pengasuh anak dan penanggungjawab tugas reproduksi lainnya, di rumah, daripada harus dieksploitasi kapitalisme dengan bekerja ke luar rumah. Saya jadi mafhum kenapa Amin menulis tentang feminisme dengan cara demikian. Saya tidak menuduh, melainkan ingin memberikan perspektif secara lebih tidak berjarak dari persoalan-persoalan yang dialami sehari-hari kaum perempuan, dan menstimulasi adanya eksplorasi lanjutan terhadap kemungkinan lain bentuk-bentuk keluarga dalam sejarah sosial masyarakat dalam menanggung tugas-tugas pengasuhan anak dan tugas reproduksi lainnya.
Dalam sejarah masyarakat, tugas-tugas pengasuhan anak dan tugas reproduksi lainnya dikerjakan secara lebih egaliter antara laki-laki dan perempuan dalam suku-suku (yang komunal) pada masa berburu dan mengumpul. Jaman itu disebut dengan jaman Matrifokus, dimana patriarki belum ada, kepemilikan pribadi juga belum ada. Hal ini saya tuliskan untuk sekedar memberi inspirasi dan merangsang pembentukan komunitas-komunitas yang membagi pekerjaan lebih egaliter secara seksual di masa depan. Kembali berpijak pada realitas masyarakat saat ini, tugas-tugas pengasuhan anak dan kerja reproduksi lainnya disediakan oleh swasta, tentu dengan harga mahal tak terjangkau kalangan keluarga kelas menengah-bawah.
Disinilah peran negara non-neoliberal harus turun tangan, memasukkan biaya reproduksi (biologis maupun sosial) dalam tanggungan negara, atau meregulasi kewajiban perusahaan-perusahaan, birokrasi negara, dan tempat kerja lainnya untuk menanggung biaya reproduksi. Atau sebagai eksplorasi pilihan lain, kalau masyarakat berhasil menyadari kedaulatan kolektifnya dan hendak turun tangan membangun pusat-pusat pengasuhan anak; pendidikan murah dan layak; unit kesehatan keluarga murah, layak, dapat diakses; mengatur pusat-pusat produksi komunitas (produksi barang di pabrik maupun pertanian); dapur-dapur umum; kesenian rakyat; yang semuanya dilakukan secara kolektif oleh masyarakat, bukan oleh keluarga nucleus yang tertutup dan terisolir dari komunitasnya.
Tidak disediakannya perlindungan sosial berupa ditanggungnya hak-hak pekerja dalam kerja-kerja produksi maupun reproduksi; itu masalah yang menyebabkan krisis institusi keluarga dalam bentuk terabaikannya tugas pengasuhan dan reproduksi lainnya. Dalam hal memberikan solusi, kita sangat butuh mendiskusikannya lebih jauh untuk dapat mengimplementasikannya di masyarakat. Problem mendasarnya adalah privatisasi kerja-kerja reproduksi biologis maupun sosial! Bahkan privatisasi yang terjadi pada masa sekarang terjadi jauh lebih masif eksploitasinya dibandingkan tahun-tahun sebelumnya di Indonesia. Mulai dari jual beli tenaga kerja domestik, baik di dalam maupun luar negeri, tanpa peraturan yang menjamin rasa aman, dan hak-hak standar pekerja domestik. Menjamurnya industri ‘jasa reproduksi’ seperti laundry, restoran dan warung makan, PAUD, day care, kontrakan atau penjualan rumah yang mayoritas diselenggarakan oleh swasta, serta menghabiskan jatah upah para pekerja kelas menengah-bawah untuk mampu bertahan hidup. Bukankah kerja reproduksi adalah tugas masyarakat bersama (negara, tempat kerja, komunitas)?
Lalu muncul pertanyaan lain lagi, yang bukan porsi saya menjawabnya: apakah perjuangan pembebasan perempuan yang semacam itu hanya akan ditanggung sendirian oleh kaum feminis (sosialis)? Bagaimana dengan kawan-kawan laki-laki di gerakan pro-demokrasi, atau bahkan gerakan sosialis (brosialis) itu sendiri? Bagi saya, politik rekognisi itu masih dibutuhkan, sampai tingkat tertentu.***
*) Penulis adalah kader PRP Komite Kota Jakarta Pusat