Judul buku : Liberalism: A Counter-History
Penulis : Domenico Losurdo
Penerbit: Verso
Kota terbit: London
Tahun Terbit: 2011
Tebal: viii + 375
APA yang langsung terbayang ketika anda mendengar kata ‘liberal’ atau ‘liberalisme?’ Apakah Anda langsung mengidentikkannya dengan sesuatu yang berhubungan dengan kebebasan? Atau sesuatu yang berhubungan dengan pluralisme? Atau mungkin dengan kelompok tertentu? Apakah anda juga langsung mempertentangkannya dengan hal lain?
Akhir-akhir ini, hal-hal, baik yang ada hubungannya secara langsung maupun yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan liberal, liberalisme, kelompok liberal, dan seterusnya, kembali ramai dibicarakan (setidaknya ini yang saya jumpai di media sosial). Khususnya, semenjak mengemukanya kasus perkosaan seorang sastrawan bernama Sitok Srengenge – yang berasal dari komunitas sastra yang mendaku liberal- terhadap seorang perempuan muda. Kita juga dikejutkan oleh kehadiran buku yang ditulis oleh Wijaya Herlambang berjudul Kekerasan Budaya pasca 1965 : Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, yang mengungkapkan pelanggengan ideologi anti-komunisme semasa Orde Baru melalui sastra dan film. Dalm hal ini, sastra dan film yang dimaksud adalah sastra dan film yang juga berkaitan dengan topik-topik mengenai liberalisme. Kemudian, tidak berhenti di situ, gugatan terhadap liberalisme pun kembali mengemuka, seperti yang dapat kita jumpai pada tulisan Martin Suryajaya[1] yang menggugat Goenawan Mohamad, seorang budayawan pengusung liberalisme.
Mendengar liberalisme dan berbagai fenomena yang terjadi berkaitan dengan itu, pertanyaan yang muncul dibenak khalayak, mungkin saja yang pertama-tama ialah ‘Memangnya apa sih liberalisme itu?’ ‘Liberal itu bebas kan ya?’ Atau pernyataan ‘Liberalisme kan keren. Menjunjung kebebasan. Kenapa digugat sih?’ Dalam review kali ini, saya akan mengangkat topik mengenai liberalisme dan sejarahnya, dan kemudian menunjukkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan liberalisme itu.
Apa itu Liberalisme?
Pertanyaan ini bisa kita temukan, misalnya, dalam buku The Future of Liberalism, karya Alan Wolfe. Wolfe mengatakan bahwa liberalisme bicara soal kesetaraan, komitmen pada toleransi dan penghargaan terhadap keterbukaan.[2] Sebagai sebuah filosofi politik, liberalisme dapat dipahami dalam dua prinsip utamanya, yakni individualisme sebagaimana yang diusung bapak filsuf liberalisme, John Locke, dan liberty atau kebebasan. Liberalisme, dalam makna ini menempatkan individu sebagai pusat dari masyarakat dan menganggap nilai-nilai sosial dibangun oleh individu-individu dalam masyarakat. Menurut John Grey, terdapat empat hal penting dalam liberalisme, yakni individualisme, egalitarianisme, universalisme, dan meliorisme.[3]
John Locke (1632-1704), filsuf liberalisme asal Inggris, meyakini bahwa setiap manusia memiliki kemampuan untuk menggunakan akal pikiran mereka untuk membuat keputusan dan atau menyatakan ketidaksetujuan terhadap kekuasan Gereja atas masyarakat. Ia juga mendukung ide mengenai kepemilikan alat produksi pada individu dan percaya bahwa kontrak sosial dapat mengatur masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang pada dasarnya bersifat egois. Dalam bukunya yang berjudul Second Treatise of Government, Locke menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak atas kepemilikan pribadi.
‘Every Man has a Property in his own Person. This no Body has any Right to but himself. The Labour of his Body, and the Work of his Hands, we may say, are properly his.’
‘Setiap manusia memiliki kepemilikan pribadi. Tidak ada yang memiliki hak selain dirinya sendiri. Tenaga kerja dirinya, dan kerja yang dilakukan tangannya, kita dapat menyebutnya, semuanya adalah miliknya sendiri.’
Ide-ide liberalisme yang mengedepankan asas ‘kebebasan’ dan ‘individu’ menjadi hal yang menarik ketika itu, masa ketika Eropa masih dikuasai Gereja dan tak ada satupun yang bisa menentang kekuasaan Gereja. Dalam politik, liberalisme bisa dilihat implikasinya pada perimbangan kekuasaan dalam pemerintahan, parlemen, dan sebagainya. Implikasi yang cukup signifikan dari liberalisme ini juga dibuktikan atau ditunjukkan, misalnya, dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (1776) yang memuat nilai-nilai dari liberalisme[4] :
‘We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty and the pursuit of Happiness.—That to secure these rights, Governments are instituted among Men, deriving their just powers from the consent of the governed,—That whenever any Form of Government becomes destructive of these ends, it is the Right of the People to alter or to abolish it, and to institute new Government… .’
‘Kami memegang kebenaran ini sebagai sebuah bukti, bahwa semua manusia diciptakan sama, bahwa mereka diberkati oleh Pencipta mereka dengan hak-hak asasi tertentu, bahwa di antara hak-hak tersebut ialah hak untuk Hidup, Kebebasan, dan Life, mengejar kebahagiaan. – Bahwa untuk mengamankan hak-hak ini, Pemerintah berperan sebagai institusi bagi manusia, kekuatan mereka berasal dari persetujuan rakyat, – Bahwa setiap kali ada bentuk pemerintahan yang malah merusak tujuan ini, adalah hak rakyat untuk mengubah atau menghapuskannya, dan melembagakan pemerintahan baru … . ‘
Mengenai liberalisme abad 19, kita dapat melihatnya dalam pemikiran tokoh liberalisme lainnya, seperti David Hume dan Jeremy Bentham pada pertengahan akhir abad 18. Bentham, misalnya, melakukan kritik terhadap Declaration of the Rights of Man tahun 1789. Ia menyangsingkan isi deklarasi itu bisa berlaku bagi semua manusia karena ia tidak yakin egalite bisa berlaku di antara semua manusia.[5] Sementara itu, menurut ekonom liberal abad 20, Milton Friedman, liberalisme yang berkembang pada abad ke-17, 18, dan 19, menempatkan perhatiannya pada individu sebagai unit dasar dari masyarakat dan kebebasan sebagai tujuan utama dalam hubungan-hubungan yang terjadi di antara individu. Selain itu, liberalisme juga membatasi hak-hak penguasa, mendirikan institusi parlemen yang demokratis, dan sebagainya. Dalam bidang ekonomi, model ‘Laissez-faire’ menjadi model ekonomi yang paling cocok dengan liberalisme, dimana free trade atau perdagangan bebas dipandang sebagai cara untuk menghilangkan sumber-sumber konflik di antara negara-negara dan mempromosikan sebuah dunia yang bebas.[6]
Dalam perkembangannya, liberalisme mengalami banyak sekali perkembangan, namun masih dengan pokok/inti yang sama, yakni kebebasan individu sebagai tujuan utama. Filsuf liberalisme dari Harvard University, Robert Nozick, misalnya, dalam pembukaan bukunya yang diterbitkan pada tahun 1974 berjudul Anarchy, State, and Utopia, menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak-hak dan tidak ada satu orang pun atau bahkan satu kelompok pun yang dapat mengganggunya.[7] Liberalisme, pada intinya mengusung kebebasan individu sebagai proyek emansipasi tertinggi mereka.
Domenico Losurdo sendiri, dalam wawancaranya dengan Pam C. Nogales C. and Ross Wolfe dari Platypus Review[8] menyatakan bahwa ia memandang sejarah liberalisme pada dialektika antara emansipasi dan de-emansipasi. Berikut petikan pernyataan Losurdo mengenai pandangannya terhadap sejarah liberalisme :
‘I believe that this dialectic between emancipation and de-emancipation is the key to understanding the history of liberalism. The class struggle Marx speaks about is a confrontation between these forces. What I stress is that sometimes emancipation and de-emancipation are strongly connected to one another. Of course we can see in the history of liberalism an aspect of emancipation. For instance, Locke polemicizes against the absolute power of the king. He asserts the necessity of defending the liberty of citizens against the absolute power of the monarchy. But on the other hand, Locke is a great champion of slavery. And in this case, he acts as a representative of de-emancipation.’
‘Saya percaya bahwa dialektika antara emansipasi dan de-emansipasi adalah kunci untuk memahami sejarah liberalisme. Perjuangan Kelas menurut Marx berbicara tentang konfrontasi di antara kekuatan-kekuatan ini. Apa yang saya tekankan adalah bahwa terkadang emansipasi dan de-emansipasi sangat terhubung satu sama lain. Tentu saja kita bisa melihat aspek emansipasi dalam sejarah liberalisme. Misalnya, Locke yang mempermasalahkan kekuasaan absolut raja. Ia menegaskan perlunya membela kebebasan warga negara terhadap kekuasaan absolut monarki. Namun di sisi lain, Locke juga adalah juara besar perbudakan. Dan dalam hal ini, ia bertindak sebagai wakil dari de-emansipasi.’
Liberalisme, Perbudakan, dan Kolonialisme : Sebuah Fakta Sejarah
Seperti yang telah dijelaskan di atas, liberalisme yang mengedepankan ide-ide mengenai kebebasan manusia sebagai individu yang rasional berkembang pesat pada abad ke-17 hingga 19. Berbagai revolusi yang terjadi di Eropa (Perancis, dan Inggris), serta di Amerika Serikat mendapat pengaruh yang cukup besar dari liberalisme. Slogan revolusi Perancis ‘liberte, egalite, fraternite’ yang sangat terkenal itu mendapatkan pengaruh yang sangat kuat dari liberalisme.
Lalu, bagaimana prinsip-prinsip dasar liberalisme ini ketika diterapkan dalam praktek? Di sini, Domenico Losurdo dalam bukunya Liberalism: A Counter History, menyajikan sebuah versi lain dari sejarah liberalisme, yang ternyata sama sekali tidak mengandung nilai-nilai kebebasan manusia.
Dalam bukunya ini, dengan runut tetapi dengan bahasa yang cukup rumit, Losurdo menjelaskan sejarah perbudakan yang lahir justru di era berkembangnya liberalisme. Para tokoh besar liberalisme seperti Calhoun dan Locke, memang menentang segala bentuk absolutisme termasuk penyelewengan kekuasaan dan intervensi negara. Bahkan, menurut Lord Acton, Calhoun adalah seorang yang memenangkan perjuangan melawan segala bentuk absolutisme, termasuk absolutisme dalam demokrasi. Namun, kedua tokoh besar liberalisme ini adalah juga pendukung perbudakan. Calhoun, yang merupakan seorang pendukung ide-ide liberalisme untuk minoritas, menerima perbudakan dan mendeklarasikan perbudakan sebagai ‘sesuatu yang positif.’ Sementara itu, Locke, menurut ahli sejarah perbudakan bernama David Brion Davis, membuat rancangan atau men-draft atau menyusun konstitusi yang memuat ketentuan bahwa setiap orang Carolina (Amerika Serikat) harus punya kekuasaan dan kewenangan absolut atas para budak negronya. Tidak hanya itu, seorang pemimpin revolusi Amerika Serikat bernama James Madison, juga memiliki budak. Begitu pun dengan George Washington, atau Francis Lieber yang memiliki budak untuk dipekerjakan dalam pekerjaan-pekerjaan domestik.
Mereka meyakini bahwa orang berkulit hitam hanya bisa bertahan sebagai budak. Bahkan, ada klub untuk para pemilik budak. Sementara itu, seorang liberalis Inggris terkemuka lainnya, Francis Hutcheson, berpandangan bahwa perbudakan dapat dijadikan sebagai sebuah hukuman yang berguna. Menurut Hugo Grotious, beberapa individu adalah budak secara alami. Dari fakta-fakta ini tampak bahwa para liberalis tersebut tidak menentang perbudakan, mereka hanya menentang kekuatan absolut tuan/majikan/pemilik budak atas budaknya. Adalah Jean Bodin, setelah menelusuri sejarah perbudakan di dunia Barat, kemudian mempertanyakan kekuasaan absolut dari tuan/majikan/pemilik budak atas budaknya. Setelah terjadi ekspansi kolonial, perbudakan mengalami restorasi. Locke yang menentang monarki absolut, di sisi lain, justru menjustifikasi kekuasaan absolut tuan/majikan/pemilik budak atas budaknya. Terkait dengan itu, Losurdo kemudian membandingkan Locke dengan Bodin, dimana Locke –seperti yang telah dijelaskan- melawan kekuasaan absolut dari raja, tapi di sisi lain sangat mendukung perbudakan. Sebaliknya, Bodin yang mempertahankan atau menjadi pembela dari kekuasan absolut monarki, merupakan seorang yang melakukan kritik terhadap perbudakan dan kolonialisme.
Losurdo juga menekankan pentingnya melihat peristiwa ‘Glorious Revolution’ pada 1688–1689, yang oleh Marx didefinisikan sebagai sebuah coup d’état, dalam membaca sejarah liberalisme. Ceritanya, setelah ‘Glorious Revolution’ ini, hukuman mati menjadi sangat populer dan setiap tindakan kriminal yang dianggap mengganggu kepemilikan pribadi, dapat dikenakan hukuman mati. Pada masa itu, pencuri didefinisikan sebagai mereka yang mengganggu kepemilikan privat. Oleh karenanya, dalam buku ini, digambarkan bahwa peran penguasa pasca ‘Glorious Revolution’ ini menjadi sangat menakutkan. Sieyès, seorang liberal Perancis yang memainkan peranan penting pada revolusi Perancis, bahkan juga membayangkan kemungkinan adanya hubungan seksual antara orang berkulit hitam dengan orang utan, untuk menciptakan sebuah ras budak baru, yang dapat mengabdi dan patuh sepenuhnya kepada tuannya. Kelas pemilik budak ini, pada satu waktu menghendaki kebebasan dari kontrol pemerintah, tapi di sisi lain mendorong kontrol yang kuat atas para budak mereka. Wujud dari kontrol itu, misalnya dapat dilihat pada seorang liberal lain bernama Bernard de Mandeville, yang menyatakan bahwa para pekerja harus menghadiri pelayanan-pelayanan religius.
Menurut Andrew Feltcher, seorang dengan pemikiran seperti Locke dalam versi kontemporer, mereka yang tidak bisa menyediakan kebutuhan subsistennya sebaiknya dijadikan budak saja. Dunia liberal yang membicarakan kebebasan individu, mengritik kekuatan absolut seseorang atas orang lain, nyatanya tidak memiliki kepentingan mengenai kebebasan manusia secara keseluruhan. Fakta bahwa perbudakan kian merajalela justru setelah terjadinya tiga revolusi liberal (di Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris). Populasi budak di Amerika Serikat pada tahun 1700an misalnya, bahkan mencapai 330.000 orang, kemudian meningkat menjadi tiga juta orang pada 1800an dan menjadi enam juta orang pada tahun 1850. Populasi budak terbesar berada di Inggris, yakni sebesar 878.000 orang. Di Portugal, populasi budak mencapai 700.000 orang. Pada masa semi-kolonial di Inggris, budak-budak Brazil menambang emas dimana hasilnya dinikmati para pemilik budak di Inggris. Menurut Josiah Tucker, kemenangan dari kaum Republikan a la Amerika tidak lain ialah menciptakan sebuah absurd tirani, yakni tirani atas budak.
Pada tahun 1839, perwakilan penting dari Virginia, menemukan bahwa posisi para pemilik budak membuat mereka (para pemilik budak) berada pada tingkat yang lebih liberal. Pada abad 17 pertengahan, terdapat sanksi yang melanggengkan impunitas bagi tuan/majikan/pemilik budak, bahkan ketika mereka membunuh budaknya. Bahkan pada awal abad 19, hakim George Tucker menyatakan bahwa posisi budak berada di bawah manusia, bukan hanya secara politik, tapi juga secara fisik dan mental. Pernikahan budak pun dianggap tidak sakral dan kematiannya bukanlah hal yang harus dianggap sebagai sebuah kesedihan. Menurut Grotious, budak yang sempurna adalah mereka yang melayani tuannya seumur hidupnya. Budak cenderung kehilangan karakternya sebagai manusia. Dalam Capital, Marx menyatakan bahwa para pemilik budak menganggap ketika mereka membeli budak sama dengan ketika mereka membeli seekor kuda.
Losurdo, dalam bukunya ini juga mengemukakan fakta sejarah dengan cukup detail mengenai para filsuf liberal Inggris, yang melegitimasi perbudakan rasial, dimana hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh para filsuf Perancis. Dalam liberalisme, kebebasan manusia ditentukan dengan prasyarat ada yang tidak bebas. Mereka bebas karena mereka bukan budak dan tanpa budak mereka tidak punya kebebasan. Liberalisme bukan hanya melegalkan dan mengesahkan perbudakan, tapi juga prasangka tentang rasial. Dalam karya Montesquieu yang sangat terkenal The Spirit of the Law, bahkan terdapat segala hal yang mencakup tentang perbudakan, termasuk tentang eksploitasi seksual pada budak perempuan. Dalam liberalisme, relasi antara majikan dan budak merupakan relasi hebat di dalam dunia privat, dimana otoritas politik tidak punya hak untuk melakukan intervensi.
Dalam bukunya yang berjudul Lectures on Jurisprudence, filsuf liberal Inggris Adam Smith, bahkan menyatakan bahwa majikan/tuan/pemilik budak berhak menghukum budaknya sekalipun budaknya harus mati akibat hukuman tersebut, hal itu bukan merupakan suatu masalah. Prinsipnya, kehidupan para budak ditentukan oleh tuannya. Sementara itu, tokoh liberal Inggris lainnya, Benjamin Disraeli, menyatakan bahwa penghapusan perbudakan adalah bentuk ketidakadilan. Di sisi lain, seorang berkebangsaan Inggris, David Ramsay, melakukan observasi perbudakan di Inggris dan menemukan bahwa institusi perbudakan dilegalkan pada tahun 1772 dan seorang budak bernama James Sommerset, berhasil membebaskan diri dari tuannya.[9]
Sementara itu, yang terjadi di Amerika Serikat, ketika perbudakan di wilayah Utara dihapuskan, pada saat bersamaan perbudakan di wilayah Selatan dilegalkan. Terkait dengan itu, Losurdo memaparkan pembahasannya mengenai ‘community of the free’ yang merujuk pada masyarakat liberal, dimana ia menyatakan bahwa ‘community of the free’ merupakan ‘sacred space’ bagi para liberal. Sementara itu, ideolog liberal Virginia, Thomas R. Dew, juga bicara mengenai keuntungan perbudakan. Dua tokoh besar Amerika Serikat, yang juga pengusung liberalisme, Thomas Jafferson dan George Washington, juga mendukung perbudakan dan sama-sama memiliki budak. Losurdo juga membahas Abraham Lincoln yang mengusung ide mengenai supremasi kulit putih atas kulit hitam dan menekankan bahwa tak ada urusannya untuk memberikan kesetaraan baik secara politik di antara kedua ras tersebut. Kasus Lincoln ini menarik karena selama Perang Sipil, ia mendorong emansipasi bagi para kaum budak.
Fakta perbudakan yang terjadi pada abad 18 dan 19 tersebut, membuat kita sulit membedakan antara individualisme dan liberalisme. Kepemilikan properti secara individu berakhir dengan memberikan kredit kepada kesadaran diri yang tiba dalam bentuk kekuasaan di Amerika Serikat dan Inggris melalui slogan ‘liberty’ dan hak milik pribadi. Bahkan, saking cintanya dengan doktrin ‘liberty,’ hal yang bertolak belakang pun terjadi. Dalam bukunya ini, Losurdo menggambarkan, orang-orang Amerika rela tidak memiliki rumah asalkan ‘liberty’ mereka tidak hilang. Adanya pasar budak dan pengaruh politik dari institusi perbudakan, memberikan pengaruh terhadap penghapusan perbudakan di Inggris yang terjadi lebih cepat 30 tahun sebelum emansipasi budak di Amerika Serikat. Dalam buku ini, Losurdo juga banyak menjelaskan intervensi De Tocqueville dalam mempengaruhi platform ideologi liberal yang baru. De Tocqueville membandingkan kondisi mereka dalam bekerja (di dunia industri) dengan kondisi kehidupan di penjara, dimana kondisi yang dialami pekerja menempatkan pekerja pada sebuah ketergantungan pada institusi tempat kerja yang seperti penjara.
The love of liberty nyatanya tidak membuat para filsuf liberalis menaruh kepentingan untuk membuat semua orang bisa merasakan kebebasan yang mereka cintai itu. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa diskursus yang dibangun oleh liberalisme ditandai oleh represi pada masyarakat kolonial. Dalam hal ini, Losurdo menyatakan bahwa kemenangan dari ekspansi kolonialisme telah menjadikan liberalisme sebagai ideologi dari perang, dimana kekuasaan kolonial telah melakukan apa yang disebut Losurdo sebagai ‘civilizing wars.’[10]
Liberalisme dan Kebebasan (Hanya Bagi Segelintir) Manusia
Berbagai rentetan fakta sejarah mengenai liberalisme dan perbudakan, termasuk juga kolonialisme dan imperialisme yang terjadi pada masa perkembangan liberalisme, khususnya di Eropa, menunjukkan bahwa tidak sepenuhnya benar untuk menyatakan bahwa liberalisme merupakan ideologi yang mengusung kebebasan manusia. Fakta sejarah yang diungkap dalam buku Losurdo ini membuktikan bahwa liberalisme tidak mengusung kebebasan manusia, ia hanya berurusan dengan kebebasan segelintir individu. Perbudakan yang dilegalkan dan bahkan didukung dengan kuat oleh para tokoh liberalisme, kian menunjukkan bahwa liberalisme, sebagai sebuah ideologi politik, merupakan ideologi yang penuh dengan hipokrisi. Fakta sejarah tersebut juga menunjukkan bahwa kebebasan manusia adalah slogan kosong dalam liberalisme
Bagaimana mungkin kebebasan manusia sebagai seorang individu bisa diwujudkan ketika ada individu manusia lainnya hidup dalam penindasan yang menghilangkan karakter dirinya sebagai manusia seperti perbudakan? Mungkin itulah bedanya liberalisme dengan komunisme atau sosialisme. Seperti yang diungkapkan Losurdo, dalam buku yang sangat padat ini, para kuli di negara-negara kolonial dipekerjakan (secara tidak manusiawi) oleh mereka yang mendukung liberalisme dan dibebaskan oleh para sosialis yang sering dianggap menghalang-halangi kebebasan individu. Liberalisme sepertinya memang tidak mengurusi dan tidak ada urusan dengan pembebasan manusia secara lebih luas, melainkan hanya mengurusi dan berurusan dengan kebebasan segelintir individu manusia. Dalam hal ini, tentu saja, adalah segelintir individu yang mempunyai akses terhadap sumber-sumber daya ekonomi dan kekuasaan dibandingkan dengan mayoritas atau kebanyakan individu manusia yang hidup di dalam masyarakat. Dalam termin Marxian, segelintir individu yang dimaksud adalah kelas borjuasi. Bukan individu-individu kelas pekerja yang, bahkan, basis dari kebebasan dirinya sebagai manusia, yakni keberlangsungan hidup, masih terus berusaha dihilangkan oleh kelas borjuasi, pengusung liberalisme.
Kesimpulan
‘Tidak bebas seseorang selama masih ada orang lain yang hidup dalam penderitaan.’
-Karl Marx-
Kita tidak bisa melepaskan ide-ide liberalisme dari konteks historis kemunculannya. Liberalisme merupakan respon dari keruntuhan masyarakat feodal, dimana relasi sosial manusia tak lagi dapat dikungkung dan dibatasi oleh kuasa para tuan tanah. Kebebasan manusia, dalam hal ini adalah kebebasan yang berada di luar kuasa feodal itu sendiri. Namun, di sinilah letak dari keterbatasan liberalisme.
Proposisi mengenai kebebasan manusia dalam liberalism tidak memperhatikan tahapan masyarakat selanjutnya yang dikenal sebagai kapitalisme. Dalam kapitalisme, kuasa kapital sangat jelas membatasi dan mengungkung kebebasan manusia secara luas. Di sini, liberalisme tidak melihat secara lebih luas mengenai kebebasan manusia dari relasi sosial yang sebenarnya sempat menjadi pertanyaan umum dari liberalisme, ketika ide ini memiliki posisi yang berlawanan dengan feodalisme. Keterbatasan cara pandang ini menyebabkan liberalisme akan selalu dihantui sikap hipokrit dalam memahami kebebasan manusia seutuhnya, karena ia gagal dalam menjelaskan dimensi sosial dari kebebasan itu sendiri. Dalam hal inilah, satu-satunya cara untuk mengatasi keterbatasan, serta kehipokritan yang menjangkitinya, ialah dengan mengakui problem kolektif-sosial dalam kebebasan manusia, yang dalam sejarah pemikiran modern dikenal sebagai Marxisme. Dengan kata lain, adalah Marxisme dan bukan Liberalisme yang merupakan jawaban atas krisis kebebasan manusia yang diakibakan oleh eksploitasi kapitalisme.***
Fathimah Fildzah Izzati, anggota redaksi Left Book Review Indoprogress. Penulis beredar di twitterland dengan id @ffildzahizz
Bacaan tambahan:
Chau, Ronald. “Liberalism : A Political Philosophy. Diakses dari internet, sumber : www.mannkal.org/downloads/scholars/liberalism.pdf
Milton Friedman, The Basic Principles of Liberalism, Lecture, Wabash College, 21 June 1956. Diakses dari: http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:4RwCX0NbYs8J:0055d26.netsolhost.com/friedman/pdfs/other_av/MFlecture.06.21.1956.pdf+&cd=3&hl=en&ct=clnk.
Nozick, Robert. Anarchy, State, and Utopia. Oxford : Blackwell Publishers. 1974.
Paul, Ellen Frankel, Fred D. Miller, Jr., and Jeffrey Paul (ed.). Natural Rights Liberalism: from Locke to Nozick. New York : Cambridge University Press, 2005, hlm. viii.
Pitts, Jennifer. Free for All. Diakses dari internet, sumber: http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:FXXnwwexdpwJ:political-science.uchicago.edu/faculty-articles/Pitts%2520Losurdo%2520Article.pdf+&cd=1&hl=en&ct=clnk
http://platypus1917.org/2012/05/01/liberalism-and-marx-domenico-losurdo/
[1] Judulnya : “Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965” Juga dimuat di IndoPROGRESS rubrik LOGIKA : https://indoprogress.com/logika/?p=437
[2] Jennifer Pitts. “Free for All.” Diakses dari internet, sumber : http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:FXXnwwexdpwJ:political-science.uchicago.edu/faculty-articles/Pitts%2520Losurdo%2520Article.pdf+&cd=1&hl=en&ct=clnk
[3] Ronal Chau. “Liberalism : A Political Philosophy.” Diakses dari internet, sumber : www.mannkal.org/downloads/scholars/liberalism.pdf
[4] Ellen Frankel Paul, Fred D. Miller, Jr., and Jeffrey Paul (ed.). Natural Rights Liberalism : from Locke to Nozick. New York : Cambridge University Press, 2005, hlm. viii.
[5] Domenico Losurdo. Liberalism : A Counter History. London : Verso, 2011, hlm. 182.
[6] Milton Friedman, “The Basic Principles of Liberalism” Lecture, Wabash College, 21 June 1956. Didapat dari : http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:4RwCX0NbYs8J:0055d26.netsolhost.com/friedman/pdfs/other_av/MFlecture.06.21.1956.pdf+&cd=3&hl=en&ct=clnk.
[7] Robet Nozick. Anarchy, State, and Utopia. Oxford : Blackwell Publishers. 1974.
[8] Diakses dari internet. Sumber : http://platypus1917.org/2012/05/01/liberalism-and-marx-domenico-losurdo/
[9]Domenico Losurdo, Op.Cit., hlm. 47-48.
[10]Domenico Losurdo, Ibid., hlm. 318.