Kenaikan Upah: Perjuangan Buruh atau Perjuangan Kelas Pekerja?

Print Friendly, PDF & Email

PADA tanggal 28 Oktober hingga 1 November lalu, kaum buruh dari segala penjuru Indonesia bersatu untuk melakukan aksi solidaritas Mogok Nasional, dengan tiga tuntutan: tolak upah murah, hapuskan outsourcing, dan wujudkan jaminan sosial bagi pekerja. Tentu saja, kegigihan dan kekompakkan kaum buruh dalam memperjuangkan perbaikan nasibnya harus diapresiasi oleh segenap kalangan yang berpikiran progresif. Namun ada hal yang terasa mengganjal setiap kali mendengar berita seputar terjadinya aksi buruh, terutama dari media-media mainstream. Hal itu tersurat pada judul tulisan ini, yang tentu membuat setiap pembaca bertanya-tanya: Bukankah buruh adalah kelas pekerja? Bukankah perjuangan kawan-kawan buruh lewat aksi solidaritas untuk menuntut kenaikkan upah itu adalah contoh nyata perjuangan kelas pekerja?

Miskonsepsi

Meskipun rutin membaca aneka artikel IndoPROGRESS, saya bukanlah termasuk orang yang sudah lama berkecimpung dalam dunia Kiri. Saya malah lebih akrab dengan ide-ide ekonomi, politik, dan sosial konvensional yang sebenarnya merupakan produk dari penerapan kapitalisme di Indonesia, dimana akhirnya pola-pola yang dibawa oleh kapitalisme tersebut secara historis termanifestasi sebagai ‘budaya’ yang umum dan lazim bagi segenap masyarakatnya. Mungkin ‘budaya’ ini pula lah yang menjadi penyebab salah satu ganjalan penulis dalam mengamati dan memahami perjuangan buruh, yaitu sebuah miskonsepsi tentang buruh oleh berbagai kalangan.

Sebagai orang yang tumbuh dalam latar belakang ‘budaya’ tersebut, ternyata hampir tak ada satupun kolega, rekan eks-mahasiswa, maupun saudara saya yang mampu mengorelasikan perjuangan buruh dengan status mereka yang notabene adalah pekerja juga – meskipun dengan tingkat kesejahteraan yang jauh lebih tinggi dari buruh kasar. Mereka selalu menganggap, bahwa buruh kasar itu berbeda dari pekerja kantoran. Bagi mereka (termasuk juga bagi penulis di masa lalu), perjuangan buruh itu hanyalah perjuangan ego sejumlah pekerja kasar atau pekerja rendahan yang sekedar menuntut gaji lebih tinggi dan tidak ada korelasinya sama sekali dengan golongan pekerja lainnya. Malahan, tak sedikit yang menganggap UMR (upah minimum regional) itu hanya berlaku untuk ‘buruh’ versi mereka (pekerja kasar) dan tidak berlaku atas diri mereka sendiri sebagai pekerja terdidik. Semua kesalahpahaman ini, ditambah dengan opini pengusaha dan oknum pemerintah di media mainstream yang pada umumnya memojokkan buruh, membuat orang-orang ini bisa dengan enteng membela pengusaha dan menjelek-jelekkan kaum buruh dengan umpatan standar: ‘Gak tau diri! Minta gaji gede-gede entar juga di PHK! Udah bagus masih bisa kerja!’ Atau: ‘Gila! Cuma buruh aja minta upah 4 juta! Yang S1 aja masih banyak yang gajinya di bawah 3 juta!’

Pada akhirnya, kesalahpahaman tentang ‘buruh’ membuat rendahnya apresiasi kalangan pekerja menengah ke atas terhadap perjuangan buruh. Mereka gagal melihat diri mereka sebagai bagian dari kelas pekerja yang diwakilkan oleh ‘buruh.’ Tapi apakah miskonsepsi ini semata-mata disebabkan oleh ‘budaya’ kapitalisme yang menyebabkan stratifikasi dalam kelas pekerja itu sendiri? Ataukah memang ada ‘sesuatu’ yang kurang dari perjuangan buruh?

Upah sebagai instrumen kapitalisme

Salah satu topik sentral perjuangan buruh adalah soal upah. Bahwasanya upah yang dibayarkan kepada mereka tidaklah wajar dan adil. Karena itu mereka menuntut peningkatan upah demi perbaikan nasib. Tentu saja, alasan ini dapat dengan mudah diterima dan dipahami oleh aktivis perburuhan atau intelektual Marxis, tapi apakah alasan sini dapat diterima atau sekedar diketahui orang awam dan anggota kelas pekerja lainnya yang merasa sudah makmur? Apakah kriteria dari ‘wajar dan adil’ itu?

Kata kunci di sini adalah upah. Upah (wage) adalah instrumen dalam kapitalisme dimana pekerja tidak dibayar berdasarkan nilai tambah yang mereka hasilkan melalui kerja, namun berdasarkan suatu ‘harga’ yang ditetapkan kapitalis atas tenaga kerja (tenaga, pendidikan, keterampilan, penampilan, dll) itu sendiri. Diskursus mengenai upah akan selalu dipandang dengan kacamata kapitalisme karena upah sendiri eksis karena kapitalisme. Permintaan menaikkan upah akan dipandang sebagai penurunan produktivitas, efisiensi, dan laba – ketiga hal ini akan selalu direspon negatif oleh masyarakat yang ber’budaya’ dan berkacamata kapitalisme. Sebaliknya, dalam kacamata kapitalisme upah yang murah adalah tanda kemajuan dan kesuksesan suatu negara.

Inilah alasan kedua kenapa masyarakat gagal melihat perjuangan buruh sebagai perjuangan yang mewakili kelas pekerja. Mereka gagal disadarkan tentang natur menghisap dari kapitalisme dan sistem upah itu sendiri, karena merasa sudah menerima upah yang ‘wajar dan adil.’ Pekerja yang merasa terdidik pun tidak menyadari bahwa bukan hanya ‘buruh’ yang mengalami eksploitasi kerja, namun mereka juga – mungkin saja pada skala yang jauh lebih besar. Dan sekadar menuntut kenaikkan upah tidak cukup untuk menyadarkan mereka atas kenyataan kapitalisme yang menghisap segenap kalangan pekerja.

Kembali ke dasar

Dasar dari perjuangan kelas pekerja adalah pengentasan kapitalisme yang menghisap pekerja lewat sistem upah. Oleh karenanya, alangkah baiknya apabila kaum buruh melakukan refleksi dalam perjuangannya selama ini: Apakah hanya dengan meminta kenaikan upah, kapitalisme dapat dikalahkan? Ataukah dalam rangka menggerakan segenap kelas pekerja – bukan cuma ‘buruh’- harus dilakukan tuntutan yang lebih fundamental? Propaganda pada seluruh masyarakat tentang kapitalisme, nilai tambah, serta penghisapan kerja oleh kapitalis; perlawanan terhadap sistem upah dengan menuntut sistem bagi hasil sesuai nilai tambah yang dihasilkan atau kooperasi; serta tuntutan pemenuhan kebutuhan sosial seperti kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan transportasi yang layak untuk semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

Perjuangan buruh baru dapat disebut sebagai perjuangan kelas pekerja sepenuhnya, apabila dapat membuat segenap kelas pekerja – atau bahkan segenap lapisan masyarakat – mau mulai menanggalkan ‘budaya’ dan kacamata kapitalisme. ***

Timothy Radhitya, pembaca IndoPROGRESS

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.