Daftar Isi Edisi Ini:
- Bachtiar Siagian Dan Misteri Realisme Sosialis Dalam Film Indonesia
- Mendengar Musik
- Maju Kena, Mundur Kena
- Estetika dan Kritik Sosial dalam Karya-karya Oscar Wilde (Bagian 2)
- Dari Pemilukada sampai Dicokok: Memaknai Bahasa Masa Kini
- Puisi-puisi T. D. Ginting
- Puisi-puisi Andy Sri Wahyudi
- Tujuh Hari Mematahkan Ledre
- Catatan Kaki
Apa yang patut kita catat dalam pengantar ini: buruh yang dihajar paramiliter sampai babak belur, ajakan para pembesar negara untuk bekerja sama dengan paramiliter, mogok nasional dan #KelasMenengahNgehek, korban 65 yang dipukuli FAKI, atau anak jenderal polisi yang menabrak 11 orang dengan mobil barunya? Saking banyaknya yang perlu dicatat, penulis pengantar ini hanya bisa memparafrasekan penyair Anantaguna, terlalu banyak kulihat dan terlalu sedikit waktu untuk mencatat.
Jika semua tercatat dan jika kita punya banyak waktu untuk membaca catatan-catatan itu barangkali sumpah serapah tak pernah muncul dari mulut kita. Sebaliknya kita pasti memeriksa diri dan bertanya-tanya, apa yang salah dengan kita saat ini? Apalah lagi yang perlu dimaki dari kekerasan paramiliter atas buruh yang berdemonstrasi dan apalah perlu menertawakan ajakan penguasa untuk bekerja sama dengan paramiliter? Bukankah Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht bahkan sebelum Perang Dunia II sudah kenah getahnya? Ah, terlalu jauh kita mencari referensi. Bulan September, bulan penuh gegap gempita kutukan atas peristiwa 1965, belum lama berlalu. Tetapi kita masih saja menertawakan Menteri Dalam Negeri yang menjabat erat tangan FPI sebagai sebuah kekonyolan; tetapi kita masih saja memaki-maki Pemuda Pancasila yang memukuli buruh lantaran tak menghargai Hak Asasi Manusia. Dan Hak Asasi Manusia kawanku, katanya sudah ada sejak zaman Musa, tetapi selalu bagai layang-layang tanpa benang yang melingkar, alias mainan yang sudah kehilangan keasyikannya. Kawan, jika Anda masih mengakui sejarah adalah perjuangan antara kelas tertindas dan kelas penindas—jika Anda tak mengakuinya maka Anda pun menjelma layang-layang putus—ada baiknya letakkan HAM dan kebodohan Pemerintah, sederhananya mereka pasti punya nilai tertentu sehingga mampu menjadi yang memerintah, lantas makilah mereka melalui jalan yang berbeda. Dari dulu kita menyebut mereka sebagai pelanggar HAM dan juga kita memAndang sebelah mata, kerapnya, pada mereka, dan dunia tetap begini-begini saja. Ah, kita terus mengkumAndangkan #menolaklupa, barangkali kita harus memeriksa ulang apa yang tak hendak kita lupakan itu.
Di tengah situasi itulah kami mengantarkan Lembar Kebudayaan IndoPROGRESS #11 November 2013 kepada Anda. Tentu saja yang tersaji tak mengomentari segala karut marut yang memenuhi dua paragraf pertama di atas. Namun, cobalah tengok puisi-puisi dari F. Daus R, Lauh Sutan Kusnandar, Andy SW, dan T. D. Ginting di Rubrik Apresiasi. Puisi-puisi mereka dengan cara mereka masing-masing menggambarkan pada kita keadaan hidup di negeri ini. Joss Wibisono kembali menyumbangkan buah pikirannya untuk kami dalam Rubrik Essai. Dalam tulisannya bertajuk Dari Pemilukada sampai Dicokok: Memaknai Bahasa Masa Kini, Joss sedikit banyak menunjukkan bahwa perkembangan berbahasa, mencakup perubahan-perubahan diksi, dilatarbelakangi keadaan sosial politik dan juga teknologi. Dewasa ini, salah satu poin Joss yang patut kita perhatikan, di dalam berbahasa kita menemukan fenomena kembalinya Orde Baru.
Jika pembaca banyak tersenyam-senyum dan pusing kepala membaca puisi dalam bahasa kalkulus predikat di tulisan Martin Suryajaya pada edisi bulan lalu, pada edisi ini Dirdho Adithyo berusaha dengan serius menunjukkan hubungan antara seni (dalam hal ini seni musik) dengan matematika. Yang terpenting dari musik adalah melihat unsur logika, dalam hal ini matematika, dari musik itu sendiri ketimbang bermasyuk ria dengan pemaknaan-pemaknaan hermeneutis atasnya. Demikian kira-kira salah satu point dari Mendengar Musik di Rubrik Teori edisi ini. Pembahasan tentang Oscar Wilde dilanjutan oleh Iqra Anugrah di edisi ini, melanjutkan kajiannya atas tokoh serupa pada edisi bulan Juli 2013 yang lalu. Kali ini Iqra berbicara tentang konteks zaman di mana Wilde menulis, yakni zaman Victoria Inggris. Merampungkan edisi ini, Yovantra Arief menuliskan pAndangannya atas pertunjukan multimonolog Teater Sastra, FIB, UI beberapa waktu lalu. Yovantra berkutat dengan perihal gender dan komoditas dalam uraiannya tersebut. Kedua tulisan ini, tulisan Iqra dan Yovantra, mengisi Rubrik Kritik edisi ini. Terakhir, untuk rubrik kliping kami menyuguhan ‘Catatan Mengenai Hubunganku dengan Teater’ dari Bachtiar Siagian, seorang sutradara Lekra dengan filmografi yang sesak namun ironisnya, tak satu pun bisa ditemukan lantaran dimusnahkan tentara.
Selamat 1 Muharam dan selamat membaca. Anda tentu tahu, sebuah kenyataan aneh selalu mengemuka, komoditas yang diciptakan paling terakhir biasanya dikonsumsi lebih dahulu. Bukan kacang yang lupa kulit tetapi memang takdirnya kulitlah untuk lebih dahulu menjadi sampah, lebih dahulu dilupakan.