MINGGU, 20 Oktober, di media sosial Twitter, ramai beredar kasus pencekalan intelektual Islam Ulil Abshar Abdalla, sebagai pembicara di kampus UIN Sultan Syarif Kasim (Suska), Pekanbaru, Riau. Pencekalan ini disebabkan karena adanya tekanan sekelompok orang terhadap pihak universitas, yang tidak setuju dengan pemikiran Ulil. Kasus ini tentu saja kian menodai dan menciderai kebebasan akademik yang semestinya dijunjung tinggi oleh sebuah lembaga akademik. Karena hanya adanya pengakuan akan kebebasan akademik itulah, sebuah lembaga pendidikan secara esensial berbeda dengan sebuah pabrik, birokrasi, atau militer. Karena itu, pencekalan terhadap kasus Ulil ini sepantasnya dilawan.
Tetapi mengapa sebuah lembaga pendidikan seperti UIN Suska ini melakukan pencekalan? Apakah mereka tidak paham bahwa pencekalan itu merupakan sebuah tindakan tercela? Kenapa mereka tunduk pada tekanan sekelompok orang yang berbeda pemikiran? Kenapa mereka tidak berani menolak tekanan tersebut, dan dengan gagahnya bilang ‘kami adalah lembaga akademik, di tempat ini semua perbedaan pemikiran dijamin kebebasannya.’ Tentu saja bisa banyak jawabannya. Namun saya ingin melihatnya dalam perspektif sejarah dunia akademis Indonesia.
Kita mesti kembali ke masa-masa awal rejim Orde Baru ketika mulai membangun dan mengonsolidasikan kekuasaannya. Ketika itu, atas nama keamanan nasional rezim barbar itu mengeluarkan sebuah Tap MPRS/XXV/1966 tentang pelarangan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme Leninisme. Pada 2003, TAP MPRS ini kemudian oleh MPR dinyatakan tetap berlaku melalui Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. Hanya di sini ditambahkan kalimat yang bahlul alias moron, ‘ke depan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.’ Kenapa saya katakan bahwa kalimat tambahan ini bahlul alias moron? Bagi yang berpikiran waras dan beradab, sudah jelas bahwa pelarangan akan kebebasan berpikir adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang paling mendasar. Nah, bagaimana bisa sebuah keputusan yang melanggar HAM akan diatur dengan rambu-rambu tertentu agar bersifat adil dan tidak melanggar HAM? Hanya orang bahlul dan sontoloyo yang bisa memahami keputusan ini, dan saya beruntung tidak termasuk ke dalam golongan ini.
Dengan diberlakukannya Tap MPRS XXV/1969, sejak saat itu dunia pendidikan dan iklim akademik di Indonesia sebenarnya telah hancur berantakan. Universitas telah berubah menjadi ‘pabrik krupuk,’ meminjam istilah wartawan dan budayawan senior Goenawan Mohamad. Para intelektual Marxis di usir dari kampus-kampus mereka, lalu ditangkap, dibuang ke Pulau Buru, dan bahkan di bunuh. Mereka yang berpikiran radikal atau ke-kiri-kirian juga disingkirkan dari kampus walaupun tidak sampai di PKI-kan. Gairah akademik hanya jadi lelucon belaka, para insan akademik lebih suka adu otot ketimbang adu otak. Ada banyak sekali cerita mengerikan bagaimana para akademisi ini menjadi intel tentara dan turut menyiksa sejawatnya yang berpikiran Marxis. Buku-buku dan jurnal-jurnal yang berbau Marxis atau Kiri atau yang memuat pemikiran dan kajian Marxis, kemudian disingkirkan dari rak-rak perpustakaan universitas, dirampas, dan dibakar. Literatur-literatur ini mungkin juga berpindah tempat ke perpustakaan milik tentara atau lembaga-lembaga kajian yang bekerja sama atau mendukung rezim Orba. Tradisi bakar membakar buku ini bahkan masih berlangsung hingga rezim Orba jatuh. Dan penjagalan terakhir terhadap pemikiran Marxis dan Kiri itu secara sistematis dilakukan melalui peniadaannya dalam silabus pendidikan di Indonesia.
Lalu apa dampak dari Tap MPRS/XXV/1966 itu? Sudah jelas jawabannya, dunia akademis di Indonesia mengalami kemandegan berpikir yang luar biasa parah. Dibandingkan dengan anak benua India dan kawasan Amerika Latin yang sama-sama miskin, dunia akademik kita tertinggal begitu jauhnya. Mencari akademisi-akademisi Indonesia yang karyanya dimuat di jurnal-jurnal akademis internasional, begitu sulitnya. Bahkan, mencari jurnal akademik yang berkualitas peer-review di Indonesia pun sama sulitnya. Bagaimana tidak mandeg jika tidak ada kebebasan berpikir di dunia kampus? Ambil contoh, dengan dilarangnya pengajaran dan penyebaran Marxisme/Leninisme, tentu Anda tidak bisa belajar teori dengan benar dan menyeluruh. Misalnya, ketika pengajar mengatakan, Marxisme itu berbahaya, teori kelas itu tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia, para murid tidak bisa bertanya ‘kenapa berbahaya dan kenapa tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia?’ Sekali murid bertanya, maka pengajar langsung curiga, ‘jangan-jangan si murid ini dari keluarga atau ada hubungan keluarga dengan orang-orang PKI.’ Gila kan? Katakanlah, si pengajar orang yang bijaksana dan terbuka pada pertanyaan seperti itu, lalu ia kemudian mendiskusikannya di ruang kelas, apa yang terjadi? Si pengajar dipanggil oleh atasannya, di cek ‘kebersihan dirinya,’ lalu di wanti-wanti. Gila juga kan?
Celakanya, larangan itu masih berlaku hingga kini, masa dimana orang berbusa-busa bicara demokrasi dan keterbukaan. Dan kita dapati para intelektual yang menghujat Marxisme dan teori kelas, tanpa memperjuangkan secara sungguh-sungguh demokratisasi dunia pendidikan. Dan sangat lucu, bagaimana mereka bisa menghujat Marxisme dan teori kelas, tanpa sungguh-sungguh memahami apa itu Marxisme dan teori kelas, mendiskusikannya secara terbuka dan bebas dari rasa takut? Lantas, darimana mereka belajar Marxisme? Sembunyi-sembunyi di malam gelap? Pantas, jika ada joke, ‘salah satu tanda seorang intelektual, adalah dia berkacamata.’ Hah?
Tetapi ini yang esensial. Pelarangan mata ajaran Marxisme membuat para intelektual dan calon intelektual di Indonesia, terputus dari akar tradisi akademik yang sangat panjang dan kaya di dunia ini. Bagaimana Anda bisa memahami teori Weberian, Parsonian, Schumpeterian, Keynesian, Dahlian, atau bahkan Hayekian, tanpa memahami Marxian? Bagaimana Anda bisa memahami pandangan dunianya Ali Syari’ati, Murtadha Mutahhari atau Sayyid Qutb, tanpa memahami pandangan dunianya ilmuwan sekuler? Dalam kasus Ulil, bagaimana Anda bisa menolak pemikirannya jika Anda tidak belajar apa itu liberalisme secara sungguh-sungguh? Perkembangan ilmu itu berlangsung secara dialektis, yang satu tidak mungkin berkembang tanpa yang lain. Ilmu adalah hasil pergumulan tanpa henti, saling serang, saling kritik, yang satu mengafirmasi atau juga menegasi yang lain. Setiap ilmuwan besar pasti berdiri di atas pundaknya ilmuwan besar yang lain. Karena itu, ilmu pengetahuan tak bisa berkembang atas nama yang suci, atau atas nama doktrin-doktrin yang turun dari langit, apalagi atas nama sebuah kekuasaan politik sekuler. Ilmu hanya bisa berkembang melalui jaminan akan adanya kebebasan berpikir.
Kembali ke kasus Ulil, maka kita bisa melihat bahwa kasusnya ini hanyalah puncak gunung es dari sebuah persoalan maha serius dalam dunia pendidikan di Indonesia: tidak adanya demokratisasi pendidikan. Kebiasaan mencekal ini, tidak bisa secara sederhana kita anggap sebagai refleksi dari ketakutan pihak universitas terhadap tekanan kelompok anti kebebasan berpikir, tetapi sesungguhnya telah berakar dan tertanam dalam jantung sanubari kalangan akademis Indonesia. Dan semua itu memiliki legitimasi hukum.
Ini berarti, jika kita ingin memperjuangkan kebebasan akademik, kebebasan berpikir di dunia pendidikan, kita harus memperjuangkan penolakan terhadap Tap MPR/XXV/1966 yang kemudian diperkuat oleh Tap MPR Nomor I/MPR/2003. Hanya melalui cara itu kita berharap bahwa dunia akademis di Indonesia menjadi lebih sehat dan berani, sehingga bisa melahirkan karya-karya akademis yang bermutu. Sebab sudah ada kepercayaan diri yang lebih besar, ‘Marxisme aja kita ajarkan di kelas-kelas kok, masak kita masih takut pada pemikiran liberal?***
Coen Husain Pontoh, editor IndoPROGRESS