Sastra kerap dianggap sebagai salah satu agen perubahan zaman. Di tengah gegap gempita kemajuan teknologi informasi sekarang ini, sastra terkadang dibebani pula harapan untuk mampu memberi nilai-nilai bagi masyarakat dalam menghadapi perubahan tersebut. Harapannya, dengan nilai-nilai yang dikandung sastra, masyarakat tidak gagap menghadapi kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi dewasa ini.
Tentu pendapat-pendapat di atas masuk akal. Kita bisa tambahkan lebih jauh lagi: dalam konjungtur-konjungtur sejarah tertentu, sastra bahkan mendahului atau menyumbangkan imajinasi untuk kemajuan teknologi dan sains. Jauh sebelum kapal selam dibuat, Jules Verne sudah berimajinasi tentang petualangan ribuan kaki di bawah permukaan laut. Jauh sebelum manusia menemukan pesawat, Ikarus sudah mengalami kecelakaan penerbangan yang pertama kali.
***
Membaca sejarah Indonesia, keterhubungan antara sastra dan perubahan sosial memang jelas sudah. Sebelum imajinasi penindasan oleh penjajah benar-benar mendorong perjuangan, sastra sudah mengutukinya, misalnya oleh Multatuli. Chairil Anwar dengan sajak-sajaknya bisa juga kita lihat sebagai daya ubah kebudayaan masyarakat paguyuban tradisional Indonesia menuju masyarakat modern yang individualistik. Artinya, sastra kita hadir untuk menyiapkan dan atau mengiringi masyarakatnya untuk masuk dalam sebuah perubahan zaman tertentu.
Sastra, tentu saja, tidak bergerak sendiri. Gerak sastra beriringan dengan gerak tubuh sosial. Sastra yang terlibat dalam perubahan adalah sastra yang juga menyadari bahwa lempengan sejarah sedang bergeser; yang punya kepekaan dan insting terhadap perubahan gambar-besar yang tengah terjadi. Kesadaran akan perubahan ini tidak hanya diekspresikan dalam isi suatu karya sastra—dalam arti aspirasi yang disuarakan oleh suatu karya—tapi juga dalam bentuk. Perlawanan Chairil terhadap kebudayaan feodal menemukan bentuk estetisnya dalam peluluhlantakkan struktur puisi lama serta glorifikasi ketepatan diksi dalam mengekspresikan suasana jiwa tertentu. Tindak melawan dengan mengubah konfigurasi bentuk sastra secara radikal ini adalah salah satu monumen perubahan kesadaran sosial. Dalam kesunyian puisi-puisinya, Chairil sebenarnya tidak sedang berbicara tentang kemasygulan relung hatinya yang paling dalam, melainkan sedang mengekspresikan kemasygulan sosial yang tengah dirundung pergolakan.
Pertanyaannya kemudian, apabila masyarakat kita sedang bergerak menuju perubahan radikal, atau setidaknya mengharapkan perubahan radikal tersebut, apakah kesusasteraan kita dewasa ini bisa menampungnya?”.
***
Secara umum, sastrawan kita dewasa ini setidaknya terganjal oleh tiga masalah besar: atau malas membaca sastra/sejarah sastra, atau tidak peka dengan moda produksi dan reproduksi kehidupan masyarakat hari ini, atau memahami sastra/sejarah sastra dan memahami moda produksi serta reproduksi kehidupan masyarakat, tapi menganggap bahwa kedua hal tersebut tidak relevan dalam produksi sastra.
Implikasi dari tiga problem itu bisa kita temukan dalam toko-toko buku terdekat. Sastra kita masih bicara tentang “angin lembayung senja yang menampar pipi dengan nikmatnya”, ketika udara itu kini secara tak kasat mata dimaknai sebagai sarana lalu lintas sinyal elektromagnetik. Ketika di dasar-dasar laut kita ditanamkan kabel-kabel serat optik untuk membangun jaringan Internet, sastra kita masih bercerita tentang “desiran angin di daun kelapa serta belaian gelombang pada kaki kita”. Sastra kita masih saja berbicara tentang udara, angin, dan laut dengan persepsi atasnya yang tak jauh beda dari era Pujangga Baru.
Sastra kita seolah-olah berjalan di tempat; tetap dekaden sekalipun isinya menyerukan revolusi. Sementara, realitas sosial kita sudah berubah secara drastis akibat kehadiran teknologi, pemahaman kita tentang realisme sosialis layaknya antivirus yang tak pernah diperbaharui sejak pertama kali diunduh dari Sovyet. Kita hidup di sebuah masa yang sudah sama sekali berbeda dengan masa ketika Pramoedya menulis tetralogi Pulau Buru. Tentu, realitas keindahan dan penindasan masih ada, tapi bentuknya sudah sangat berbeda.
Dalam Archeologies of the Future, Frederich Jameson mati-matian mengadvokasikan utopia—serta turunannya dalam bidang kesusasteraan, fiksi ilmiah—sebagai salah satu daya revolusioner. Seorang Marxis tentu akan membantah: utopia adalah pola pikir dekaden yang menjual mimpi tentang masa depan sampai manusia lupa dengan penderitaannya hari ini. Itu salah satu pembacaan yang mungkin atas utopia/fiksi ilmiah. Namun, di Sovyet, proyek politik gigantis yang pertama kali menunjukkan bahwasanya Marxisme adalah benar adanya, punya investasi besar dalam utopia—atau fiksi ilmiah pada umumnya—dalam pembentukan kesadaran massa.
Bahkan Lenin punya kedekatan secara intelektual maupun personal pada penulis utopia/fiksi ilmiah: Nikolai Chernyshevsky dan Alexander Bogdanov. Chernychevsky pernah menulis sebuah novel propaganda yang, pada bab terakhir, menggambarkan kondisi masyarakat komunis bertajuk What has to be Done. Seorang Marxis yang baik tentu bisa menarik kesimpulan bahwa pamflet politik Lenin yang termasyhur itu banyak dipengaruhi oleh novel utopis Chernychevsky hanya melalui judulnya. Lenin pun dekat dengan Bogdanov pada awal perjuangan Bolshevik—meskipun akhirnya pecah kongsi akibat perbedaan pandangan politik/filsafat. Meskipun demikian, novel Red Planet Bogdanov punya pengaruh kuat dalam era Sovyet. Novel tersebut mengisahkan perjuangan aktivis-aktivis Sovyet dalam memulai revolusi di planet Mars (dalam hal ini, kita bisa melihat bahwa teori Revolusi Permanen Trotsky tidak terbatas pada satu planet saja). Novel tersebut juga berjasa dalam memperkenalkan tema feminisme dalam fiksi ilmiah serta kesusasteraan pada umumnya.
Di luar kedua nama itu, Sovyet juga punya tradisi fiksi ilmiah yang kuat. Kita bisa menyebut Kir Bulychov novelis terkenal di Sovyet yang menulis serial novel anak yang dibalut utopia/fiksi ilmiah berjudul Alisa Selezva (Petualangan Alisa). Melalui novel itu, anak-anak Sovyet diberitahu bahwa uang bukanlah keniscayaan sosial dan oleh karenanya, dalam tahap perkembangan masyarakat tertentu, uang sudah tidak punya fungsi lagi. Novel itu juga mengajarkan bahwa untuk menjadi komunis yang baik, seorang anak harus menghargai lingkungan hidup, dan berusaha untuk menjadikan setiap tindakannya berguna bagi komune (novel ini mungkin bisa jadi novel motivasi alternatif dari Mario Teguh dengan definisi “sukses” yang sangat komunis). Di luar sastra, kita juga bisa menunjuk Aelita, film fiksi ilmiah besutan Yakov Protazanov yang, selain merupakan monumen perfilman sosialisme, juga merupakan salah satu tonggak estetik modern era film bisu.
Utopia dalam kesenian Sovyet memiliki dua fungsi: pertama, sebagai alat untuk membentuk kesadaran baru, kesadaran sosialis; serta kedua, untuk menunjukkan bahwa ada alternatif dari kondisi sosial kapitalisme/feodalisme, dan untuk menunjukkan hal itu, kita mesti punya imajinasi. Kenapa pengarang Sovyet menggunakan fiksi ilmiah? Karena yang membedakan Marxisme dengan sosialisme utopis adalah bahwasanya Marxisme mencanangkan sebuah sosialisme ilmiah. Begitupun dalam khazanah kesusasteraan: imajinasi tentang masyarakat tanpa kelas pun perlu menggunakan cara berpikir ilmiah. Dalam menulis sebuah utopia, kita perlu juga berpikir, apa syarat kemungkinan bagi terciptanya kondisi tersebut?.
Persis dalam hal imajinasi inilah kesusasteraan kita tertinggal. Genre fiksi ilmiah pernah dirintis oleh Djokolelono sejak akhir tahun 1970-an, namun gagal berkembang. Sastrawan-sastrawan kiri bahkan tidak sekalipun menaruh perhatian pada genre ini dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat kapitalis (mungkin karena pengetahuan kita tentang fiksi ilmiah selalu dimediasi oleh Hollywood yang, tentu saja, kapitalis. Dewasa ini memang muncul beberapa pengarang yang menulis fiksi ilmiah, seperti Eliza V. Handayani (Area X: Angkasa Raya, 2003), Yonathan Rahardjo (Lanang, 2006), Mad Soleh (Seribu Tahun Cahaya, 2009), atau Donny Anggoro (Chimera, 2008). Namun demikian, penulis-penulis tersebut belum bisa dipastikan konsistensi maupun kualitasnya, dan, tentu saja, bukan kiri.
***
Demikianlah. Barangkali umbaran di atas semacam kasak-kusuk di kepala yang skeptis melihat karya yang bergelimpangan tanpa tulang yang kokoh di sekitar kita. Namun demikian, semoga saja bisa menjadi pemicu untuk kita berupaya melengkapi bolong-bolong dan cacat pengetahuan kita. Pramoedya pernah berpesan pada kita, “kita harus adil sejak dari pikiran”. Kepada sastrawan yang masih percaya akan perubahan sosial secara radikal, tapi masih saja enggan untuk keluar dari idioma sastra pra-1965, petuah itu bisa dimodifikasi sedikit, “kita harus berubah sejak dari pikiran”.