Dear IndoPROGRESS,
MELIHAT perkembangan gerakan Kiri saat ini, tampak sekali bahwa kekuatan kelompok ini sangat lemah. Satu hal yang saya perhatikan, kelompok Kiri begitu sulit untuk bersatu, walaupun bahasa dan jargon-jargonnya sebenarnya sama. Apakah perpecahan di kalangan Kiri ini sebuah takdir sejarah?
Salam pergerakan,
Lucky A.
———
Kawan Lucky,
Terima kasih banyak atas suratnya. Pertama, mungkin kita perlu terlebih dahulu mengklarifikasi istilah ’takdir sejarah.’ Sejauh yang saya ketahui, istilah ’takdir sejarah’ biasa digunakan untuk merujuk pada fenomena yang kemunculannya merupakan konsekuensi logis dari gerak struktural dimana fenomena itu muncul. Misalnya, krisis bisa dianggap sebagai ’takdir sejarah’ kapitalisme, karena gerak struktural dalam kapitalisme akan berkonsekuensi logis pada krisis. Namun, gerak struktural perlu dipahami sebagai kecenderungan atau tendensi yang bisa memiliki kontra-tendensinya sendiri. Krisis, misalnya, bisa tertunda, atau teratasi setelah muncul, karena bekerjanya kontra-tendensi dari faktor-faktor pendorong krisis dalam kapitalisme.
Kedua, untuk menjawab pertanyaan Kawan Lucky, saya pikir perlu membedakan antara persatuan kelas dan persatuan Kiri. Pasalnya, tidak semua kelas pekerja itu Kiri dan tidak semua kalangan Kiri itu berasal dari atau mengartikulasikan kepentingan kelas pekerja. Terkait persatuan kelas, Marx dalam Manifesto Komunis bersikap optimis. Meski tidak secara eksplisit menyatakan persatuan kelas sebagai ’takdir sejarah,’ tetapi dari narasinya, ia menggambarkan persatuan kelas proletariat sebagai sebuah kecenderungan dalam kapitalisme.
Di sini, ia menyebutkan beberapa faktor pendorong persatuan itu, seperti mekanisasi dalam kapitalisme yang mendorong bermacam jenis pekerja menjadi simple labor, sehingga menyamakan kondisi hidup serta kepentingan mereka. Begitu pula, munculnya alat-alat komunikasi dan transportasi modern dalam kapitalisme, yang membuat pekerja di tempat yang berbeda-beda bisa saling berkontak, sehingga memungkinkan penyatuan antar-berbagai perjuangan lokal. Ini bukan berarti tidak ada kontra-tendensi bagi kecenderungan persatuan. Marx, misalnya, menyebut persaingan antar-pekerja akibat watak mereka sebagai penjual komoditi tenaga-kerja, dan keberadaan mereka yang berserakan di berbagai tempat tanpa ada kontak (pada awal kemunculannya) sebagai hambatan bagi persatuan. Namun, Marx optimis bahwa hambatan ini akan teratasi.
Jika kelas proletariat memiliki tendensi untuk bersatu, bagaimana dengan persatuan Kiri? Pertama-tama, Kiri bukanlah sebuah posisi sosial dalam struktur kapitalisme. Kiri merujuk pada sekumpulan gagasan, yang biasanya dibarengi dengan praktek-praktek politik tertentu. Kalangan Kiri, dengan demikian, adalah para penganut gagasan tertentu. Nah, tidak semua gagasan Kiri berkorespondensi dengan kepentingan kelas pekerja. Dalam Kiri, ada gagasan-gagasan yang berkorespondensi dengan kepentingan atau prasangka kelas non-pekerja. Dalam Bab III Manifesto, misalnya, Marx mengritik beberapa aliran sosialisme di zamannya yang berkorespondensi dengan prasangka kelas-kelas non-pekerja, seperti kelas aristokrasi, borjuasi dan borjuasi kecil.
Di sini, kita sudah bisa menjawab pertanyaan Kawan Lucky. Karena yang memiliki tendensi untuk bersatu dan berkontradiksi itu adalah kelas, maka yang mana yang menjadi ’takdir sejarah’ dari kalangan Kiri, apakah persatuan atau perpecahan, itu tergantung pada kepentingan atau prasangka kelas mana kalangan Kiri tersebut berkorespondensi. Persatuan menjadi ’takdir sejarah’ dari dua atau lebih kelompok Kiri, jika kelompok-kelompok Kiri itu berkorespondensi dengan kepentingan dan prasangka dari kelas tertentu yang memang memiliki tendensi untuk bersatu. Sementara perpecahan menjadi ’takdir sejarah’ dari dua atau lebih kelompok Kiri, jika kelompok-kelompok Kiri tersebut berkorespondensi dengan kepentingan dan prasangka dari kelas-kelas yang berkontradiksi.
Ini bukan berarti bahwa kelompok-kelompok yang berkorespondensi dengan kepentingan dan prasangka dari kelas-kelas yang berkontradiksi atau tidak punya tendensi untuk bersatu, tidak akan pernah bisa mengalami persatuan. Pasalnya, kelas-kelas yang watak dasarnya berkontradiksi bisa saja mengalami konvergensi ’kepentingan jangka pendek’ untuk sementara waktu. Di bawah ancaman fasisme, misalnya, kelas pekerja bisa saja memiliki kovergensi kepentingan jangka pendek dengan kelas ’borjuasi demokratik’ untuk menghadang fasisme, karena situasi negara yang demokratis akan lebih kondusif bagi perkembangan politik kelas pekerja dibandingkan dengan negara fasis. Dalam situasi di mana ’aliansi kelas’ semacam ini dimungkinkan, maka ’persatuan taktis’ antara kelompok-kelompok yang berkorespondensi dengan kelas-kelas yang mengalami konvergensi kepentingan jangka pendek tersebut, juga dimungkinkan.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia saat ini? Apakah kelompok Kirinya begitu sulit untuk bersatu, karena mereka berkorespondensi dengan kepentingan dan prasangka dari kelas-kelas yang berkontradiksi atau tidak memiliki tendensi untuk bersatu? Pertanyaan ini tentu hanya bisa dijawab dengan penelusuran empiris. Namun, bahasa dan jargon-jargon serupa, yang diungkapkan Kawan Lucky, tidak otomatis berarti mereka sama-sama berkorespondensi dengan kepentingan dan prasangka dari sebuah kelas yang memiliki tendensi untuk bersatu. Begitu pula, tidak semua perpecahan atau situasi non-persatuan disebabkan oleh karena kelompok-kelompok yang pecah dan tidak bersatu itu berkorespondensi dengan kelas-kelas yang berkontradiksi atau tidak punya tendensi untuk bersatu. Seperti yang telah disebutkan di atas, sebuah tendensi bisa memiliki kontra-tendensinya sendiri. Perpecahan di antara kelompok-kelompok yang berkorespondensi dengan kelas yang punya tendensi untuk bersatu, bisa saja terjadi, karena bekerjanya kontra-tendensi dari faktor-faktor yang mendorong persatuan.
Semoga jawaban saya membantu.***
Mohamad Zaki Hussein
Redaktur Pelaksana Left Book Review (LBR)
Beredar di Twitterland dengan id @mzakih