FILEP JACOB SEMUEL KARMA tak pernah bisa melupakan peristiwa 14 tahun silam pada suatu pagi di bulan Juli, di tempat kelahirannya sendiri, Biak, Papua. Bersama ratusan demonstran lainnya, dia mulai dikepung dan ditembaki aparat keamanan gabungan di sebuah tempat Tower Air, tak jauh dari pelabuhan kota tersebut.
Mereka telah bertahan selama empat hari untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora, lambang kemerdekaan bangsa Papua, di menara tersebut. Kejadian 6 Juli 1998 itu kelak dikenal dengan peristiwa Biak Berdarah.
Filep sendiri ditendang kepalanya lebih dari sepuluh kali. Kedua kakinya ditembak peluru karet. Kepalanya dipopor dengan gagang senjata hingga pingsan sampai sadar kembali. Filep diseret, sebelum diangkut ke mobil truk bersama demonstran lainnya.
‘Saya bersiap-siap karena akan dilempar ke lantai yang keras. Tapi, mengapa justru empuk?’ kata Filep pada akhir September lalu. ‘Ternyata, tubuh saya jatuh di tumpukan manusia.’
Selama dua pekan pula, Filep tak mendapatkan perawatan medis yang serius akibat luka tembak itu. Ketika dia bercerita, saya melihat kedua bekas itu ada di bagian kiri dan kanan kedua kakinya. Dia hanya mendapatkan obat antiseptik dan meminum obat antibiotik saat berada di tahanan Kepolisian Resor Biak Numfor. Ini tentunya, sebelum dibawa ke rumah sakit Angkatan Laut, di kawasan LANAL, kota tersebut. Menurut Filep, luka yang membusuk itu membuat penjaga yang membawanya ke rumah sakit, lebih banyak menghirup udara dari luar mobil.
‘Peristiwa Biak adalah kejadian yang juga dikenal dengan pusara tanpa nama, nama tanpa pusara,’ ujar Filep. ‘Sampai sekarang tidak ada yang hukuman bagi para pelaku penembakan dan kekerasan. Ini yang tetap saya perjuangkan.’
Saya bertemu Filep, seorang tahanan politik sekaligus tokoh Papua yang berpengaruh, untuk pertama kalinya pada September 2012. Kami bertemu di ruang Anggrek nomor 12, Rumah Sakit PGI, Cikini, Jakarta Pusat, guna menjalani perawatan atas dugaan tumor usus. Selama ini, saya hanya memperhatikan pemberitaannya di pelbagai media maupun hasil riset pelbagai organisasi pemantau hak asasi manusia (HAM).
Saya melihat sosok yang sederhana. Janggut dan rambutnya dibiarkan memanjang. Dia mencucinya saat mandi, menguncir dan melilitkan rambutnya ke batang leher agar terlihat rapi. Filep, kesan saya, adalah orang yang hangat dan bersahabat.
Filep dilahirkan di Biak, 53 tahun silam dari keluarga elit. Ayahnya, Andreas Karma, adalah mantan Bupati Wamena pada awal 1970 hingga menjelang akhir 1980. Dia juga adalah alumnus Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah dan mulai bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada sekitar 1989.
Namun, ketidakadilan pemerintah Indonesia terhadap orang- orang Papua, membuatnya gerah. Karena peristiwa Biak Berdarah, pengadilan akhirnya menghukumnya 6,5 tahun pada awal 1999 setelah dianggap makar. Namun dirinya bebas demi hukum setelah mengajukan banding pada November di tahun yang sama.
Empat tahun berselang, Filep kembali mengorganisir peringatan kedaulatan Papua pada 1 Desember 2004. Dia kembali ditangkap dan dijatuhi hukuman 15 tahun pada Oktober 2005 karena tuduhan yang sama. Dia dipenjara hingga hari ini.
‘Penjagaan sekarang tidak terlampau ketat. Tidak seperti dulu, intelijen dan kepolisian berjaga-jaga di taman depan kamar,’ ujarnya pada saya. ‘Dulu kalau jalan-jalan di seputar rumah sakit, suster harus menelepon satpam dahulu.’
Ini adalah kali kedua bagi Filep untuk dirawat di Jakarta. Pada Juli 2010, dia juga dirawat di rumah sakit yang sama untuk menjalani pengobatan dan bedah prostat. Sementara pada Maret lalu, dokter di Jayapura merekomendasikannya untuk segera berobat ke Jakarta karena dugaan inflamasi usus hingga tumor.
Namun, mengurus izin berobat ke luar penjara juga bukanlah perkara gampang. Lembaga Pemasyarakatan (LP) Abepura, Papua, awalnya ingin Filep dipindahkan ke LP Cipinang, Jakarta Timur, selama berada di ibukota. Tapi usulan itu ditolaknya. Seorang kawan, kata dia, juga menyarankannya untuk menolak keinginan tersebut karena berurusan macam-macam di Cipinang harus memakai uang pelicin.
Masalah lainnya adalah biaya pengobatan. Filep bersama keluarganya harus membiayai sendiri ongkos transportasi bolak-balik Jakarta-Jayapura- bahkan untuk dua penjaga LP yang ditugaskan menjaganya – hingga perawatan medis di rumah sakit.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, tak mau menggelontorkan uang sedikit pun untuk perawatan tahanan politik tersebut. Dalam surat terbukanya di akun Facebook, Filep mengatakan pemerintah mengklaim tak memiliki uang untuk pengobatannya sehingga membutuhkan dana untuk berobat. Hasil penggalangan dana dari pelbagai pihak akhirnya mencapai sekitar Rp115 juta.
‘Ketika tahu rekomendasi itu, Kementerian Hukum dan HAM menolak untuk membiayai perawatan di Jakarta karena dianggap terlalu mahal,’ ujarnya pada Juni lalu. ‘Itu mengapa saya memohon bantuan.’
Saya pun bertemu anggota keluarga dan kerabat Filep selama berada di rumah sakit pada September lalu. Dari anak sulungnya, Audryne Karma, Margaretha Karma, adik kandungnya, hingga Soleman Aroma, kerabat yang membantu keluarga Karma.
Margaretha adalah pegawai negeri sipil di Jayapura, sedangkan Audryne baru magang setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran, Bandung pada 2010. Soleman sendiri bekerja lepas. Keluarga itu juga dibantu oleh Ruth Ogetay, perempuan muda asal Paniai, Papua yang kini tinggal di Jakarta.
Dari ruangan itu, saya juga mengenal gaya gurau orang-orang Papua. Mereka menyebutnya cerita Mop.
Ini bermula dari isi SMS Ruth untuk meminta saya datang lebih cepat ke rumah sakit. ‘Kami tunggu ka tempo,’ tulis Ruth dalam pesannya. Bodohnya, saya berpikir ada wartawan Koran Tempo yang ingin wawancara Filep.
Sesampainya di kamar, tak ada satu reporter pun. Saya baru tahu setelahnya, arti tempo adalah untuk bersegera atau menyuruh untuk cepat. Semua orang di ruangan terbahak dan lumayan bikin muka merah padam. Saya pun menjadi bahan olok-olok setelahnya. “Ayo, Nugi tempo.” Setelah itu mereka tertawa. Nugi adalah nama panggilan saya.
‘Ada orang Jawa naik kapal untuk transmigrasi ke Papua dan bertemu orang Papua. Ketika ingin makan bekalnya di kapal, orang Jawa bilang: mari mas, makan,” ujar Filep menimpali. “Orang Papua langsung balas: ah kebetulan, saya juga lapar.’
http://www.papuansbehindbars.org
KALA MENEMUI FILEP KARMA, kami tentu tak hanya berbincang soal gurauan dari Papua. Masalah lainnya, adalah hukuman yang dijalani Filep karena aspirasi politiknya sendiri hingga soal Otonomi Khusus di Papua. Masing-masing punya kritik.
Filep mengatakan tantangan orang-orang Papua akan lebih berat di masa mendatang akibat adanya Otonomi Khusus. Masalah bermunculan dari korupsi, mental pejabat yang mementingkan kekuasaan, hingga mental mengemis masyarakat, tanpa mau berusaha lebih keras.
Jika Papua merdeka, katanya, mereka kemungkinan besar akan membandingkan mana yang lebih sejahtera: menjadi bagian dari Indonesia atau terpisah sama sekali. Kesimpulan Filep, program otonomi justru menghancurkan psikologi orang-orang Papua secara sistematis. Di tingkat elite hingga lapisan paling bawah.
Dua organisasi pemantau HAM internasional, yakni Amnesty International (AI) dan Human Rights Watch (HRW) secara berkesinambungan telah meminta pemerintah Indonesia agar membebaskan Filep tanpa syarat sesegera mungkin. Mereka juga mendesak pemerintah menyetop semua prosekusi terhadap ekspresi politik yang dipaparkan secara damai, baik di Papua maupun Maluku. Khusus masalah Filep, advokasi dua organisasi tersebut telah dimulai sedikitnya sejak 7-12 tahun terakhir.
‘Memenjarakan aktivis yang menyuarakan pandangan politik secara damai adalah noda untuk Indonesia,’ kata Phil Robertson, Deputi Direktur HRW Asia terkait dengan laporan Prosecuting Political Aspiration: Indonesia’s Political Prisoners pada Juni 2010. ‘Ini tidak sejalan dengan aspirasi Indonesia sebagai negara demokratis.’
‘Masyarakat dari lebih 80 negara di dunia meminta pembebasan tahanan nurani Filep Karma,’ kata Donna Guest, Deputi Direktur Asia AI terkait dengan kampanye Writing for Rights, pada Desember 2011. ‘Ratusan ribu orang dari seluruh dunia mengirim pesan yang jelas kepada pemerintah Indonesia untuk menjunjung tinggi hak kebebasan berbicara.’
Soal tahanan politik, Filep Karma tak sendirian. National Papua Solidarity (Napas) dan Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua (SKPHP) mencatat jumlah tahanan politik Papua periode 2005-2012 pada masing-masing lembaga pemasyarakatan di provinsi tersebut. Masing-masing adalah Abepura (lima orang); Biak (tiga orang); Fakfak (enam orang); Nabire (dua orang); Serui (dua orang); Timika (tiga orang); dan Wamena (delapan orang).
Kedua organisasi itu juga mencatat sedikitnya empat tahanan politik mengalami penyiksaan luar biasa dalam penjara, yakni Ferdinand Pakage (mengalami penyiksaan hingga buta permanen), Filep Karma (masalah dengan prostat), Jefrai Murip (menderita stroke), serta Kanisius Murip (hilang ingatan).
Mereka mengatakan negara selama ini membiarkan para tahanan menderita, sekaligus tak memberikan fasilitas kesehatan yang memadai.
‘Negara abai dari tanggung jawab untuk memulihkan hak-hak kesehatan dan tak mengakui adanya tahanan politik di Papua,’ kata Marthen Goo, Koordinator Napas, dalam sebuah diskusi mengenai kontroversi tahanan politik, Agustus lalu. ‘Pemerintah membiarkan mereka menderita.’
Aktivitas Filep juga menekan kondisi keuangan keluarga Karma.
Audryne Karma-yang memberikan pidatonya pada acara Mid-Atlantic Regional Conference di Washington D.C. atas undangan Amnesty International Amerika Serikat-memaparkan persoalan tersebut di hadapan peserta konferensi, November 2011. Dia juga meminta bantuan segala pihak untuk membebaskan ayahnya dari penjara. Audryne memiliki adik bernama Andrefina, yang baru lulus Fakultas Farmasi, Universitas Padjajaran, kala itu. Mereka hanya dua bersaudara.
‘Pendapatan ibu sebagai pegawai negeri tak mencukupi untuk pendidikan dan kebutuhan kami. Sehingga keluarga besar lainnya menyediakan tambahan,’ katanya. ‘Ketika kami mendengar kabar bapak dihukum 15 tahun, saya merasakan ketidakpastian di masa depan.’
‘Kami sering iri karena teman-teman memiliki keluarga yang berkunjung ketika ulang tahun atau Hari Natal. Kami tak merasakan itu,’ papar Audryne lagi. ‘[Namun] Kami tetap memperjuangkan pembebasan tanpa syarat untuk bapak, dan kami sendiri agar bersatu sebagai keluarga yang bahagia.’
Sebulan setelahnya, the United Nations Working Group on Arbitrary Detention menyampaikan opini legalnya bahwa pemerintah Indonesia telah melanggar hukum internasional dengan menahan Filep Karma. Kelompok kerja Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) itu meminta agar tahanan politik tersebut dibebaskan segera.
Namun, pemerintah Indonesia dalam jawaban resminya menyatakan bahwa hukuman Karma adalah untuk kepentingan lebih luas. Di sisi lain, pemerintah, melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto, sebelumnya juga menolak terminologi tahanan politik di Indonesia. Dalam pelbagai pemberitaan, Djoko menyatakan yang ada hanyalah para pelaku kriminal.
‘Hukuman terhadap dirinya, menurut pemerintah, adalah untuk keamanan nasional yang lebih luas di seluruh kepulauan,’ demikian laporan resmi kelompok kerja tersebut, mengutip jawaban pemerintah Indonesia. ‘Karma juga menikmati akses ke fasilitas kesehatan dan hak menerima kunjungan pengacaranya dan keluarganya.’
Namun, keterangan Margaretha Karma membantah soal akses fasilitas kesehatan. Mulai dari penjara pada 1998 silam hingga yang terakhir sejak 2004. Menurutnya, pemerintah sama sekali tak mau menanggung biaya dua petugas, masing-masing dari kepolisian dan lembaga pemasyarakatan, untuk mengawal Filep ke Jakarta.
Akhirnya kesepakatan pun tercapai: keluarga akan hanya membiayai petugas kepolisian. Masalahnya, dua petugas tersebut-masing-masing dari LP Abepura, Capung Wiguna dan polisi dari Kepolisian Sektor Abepura, Leo Turnip-tak bertugas dengan baik. Keduanya masing-masing meninggalkan Rumah Sakit PGI Cikini untuk kembali ke kampung halamannya setelah mendarat di Jakarta. Capung ke Jawa Tengah dan Leo ke Sumatra Utara.
Hanya ada satu petugas LP Cipinang baru yang berjaga-jaga. Masalah keuangan lainnya, kembali muncul. Otoritas LP Abepura kemudian mengirimkan salah satu petugasnya, Mattheus Awi, ke Jakarta untuk menggantikan rekannya. Menurut Margaretha, keluarga akan kembali mengeluarkan biaya makan dan ongkos tiket pesawat ke Jakarta-Jayapura, setelah perawatan selesai dilakukan.
‘Filep itu tahanan negara, jadi negara yang seharusnya mengobati ketika sakit,’ kata Margaretha kepada saya. ‘Tetapi kalau seperti ini, negara bilang tidak ada uang, sebaiknya negara bubar saja. Masak mengobati satu orang saja tidak sanggup?’
‘Pak Filep orang yang keras. Keluarga mendukung perjuangannya, karena kami tahu dia melakukannya bukan untuk jabatan, ‘ kata Margaretha lagi. ‘Harapan saya, pemerintah NKRI membebaskan Filep Karma tanpa syarat.’
Sokongan internasional untuk pembebasan Filep juga datang dari organisasi Freedom Now yang berbasis di Washington D.C. Freedom Now bekerja untuk membebaskan para tahanan politik, termasuk Filep, melalui upaya hukum, politik dan advokasi. Organisasi itu juga menyatakan Filep adalah klien pro bono mereka.
Sementara itu, laporan terakhir Komisi untuk Orang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) berjudul Mempertimbangkan Amnesti bagi Tahanan Politik Papua, juga menyerukan diberikannya amnesti kepada para tahanan politik di provinsi tersebut.
Lembaga itu mengungkapkan langkah-langkah pemberian mekanisme pembebasan tersebut di antaranya adalah mengidentifikasi para tahanan politik, melakukan dialog intensif pelbagai pihak serta melakukan lobi kepada Presiden dan kalangan DPR RI.
Pihak-pihak yang dimaksud, demikian Kontras, di antaranya adalah Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat, Kementerian Hukum dan HAM, Dewan Pertimbangan Presiden, Komnas HAM dan organisasi sipil.
‘Pemberian amnesti akan memulihkan kepercayaan publik, khususnya bagian dari masyarakat yang memiliki ketidakpercayaan terhadap pihak penguasa,’ demikian laporan Kontras. ‘Juga bisa menjadi insentif bagi otoritas nasional untuk menegaskan kedaulatannya dalam menyelesaikan suatu konflik domestik yang mendapat sorotan komunitas internasional.’
Dukungan maupun simpati kemanusiaan juga datang dari pelbagai belahan dunia. Dari Amerika Serikat, Australia, Kanada, Perancis hingga Swedia. Dari taman kanak-kanak hingga orang dewasa. Filep mendapatkan ribuan surat yang mengalir melalui pos ataupun yang diantarkan langsung oleh koleganya.
Filep juga tahu benar arti penting sokongan keluarga untuk perjuangannya yang belum selesai.
Dia menceritakan ketika Audryne masih duduk di SMA, gadis itu sempat menanyakan mengapa dirinya-dan adiknya Andrefina- tak mendapatkan perhatian penuh, seperti tugas ayah pada umumnya. Audryne juga mempertanyakan mengapa pikiran bapaknya tercurah pada masalah orang-orang lain di Papua.
‘Saya menjawabnya dengan meminta maaf pada Audryne,’ kata Filep kepada saya pada suatu pagi, pertengahan September lalu. ‘Tetapi, ketika saya memikirkan orang banyak di Papua, mereka berdua selalu ada di dalamnya.’***
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Anugerah Perkasa. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
Anugerah Perkasa, wartawan harian Bisnis Indonesia