Surat Pembaca

Print Friendly, PDF & Email

SALAM kenal, saya hendak menanyakan pada rekan-rekan IndoPROGRESS,

Apakah buruh sebagai kelas masih dapat dipercaya untuk menjadi garda depan dalam revolusi jika melihat kondisi saat ini? Sepenglihatan saya, gerakan buruh terlalu mementingkan isu jangka pendek seperti kenaikan upah, setelah tuntutan dipenuhi mereka mereda dan tidak pernah berpikir melakukan revolusi, bahkan mereka nampaknya tidak berminat sama sekali karena sudah nyaman dengan kondisi yang ada.

Terimakasih

Fikiri Disyacitta

———

Halo bung Fikiri,

Sebelumnya saya sampaikan terima kasih banyak atas pertanyaannya ini. Apa yang bung pertanyakan ini sangat esensial dalam hubungannya dengan pembangunan gerakan anti kapitalisme-neoliberal di Indonesia. Sebelumnya, pengamatan yang bung kemukakan ini pernah diajukan oleh sosiolog terkemuka AS, Wright C. Mills pada dekade 1950an. Ketika itu Mills, berdasarkan temuan-temuan riset kuantatif dalam studi ilmu sosial di AS, berpendapat bahwa gerakan buruh sebenarnya kurang memberikan pengaruh yang signifikan dalam sistem politik AS. Mills menyimpulkan bahwa politik AS justru lebih ditentukan dan dominasi oleh para elit yang berasal dari kalangan intelektual kampus, industrialis, serta militer.

Kemudian, pada dekade 1970an, gugatan terhadap posisi kelas buruh sebagai motor revolusi sosial kembali bergema, terutama dari kalangan post-Marxis seperti Chantal Mouffe, Ernesto Laclau, André Gorz, serta dari kalangan Posmodernis dan cultural studies. Mereka berpendapat, bahwa dalam sejarah sebenarnya  gerakan buruh bukanlah satu-satunya gerakan revolusioner dalam proses revolusi sosial. Ada banyak kelompok yang juga memainkan peran revolusionernya. Ketika rezim Stalinis mengalami kebangkrutan, lengkap sudah keraguan itu, apalagi di Polandia, gerakan buruh justru melawan pemerintahan yang mengklaim dirinya sosialis.

Kini, gugatan terhadap kelas buruh sebagai garda depan revolusi sosial itu didasarkan pada fakta-fakta mengenai makin lemahnya kekuatan serikat buruh secara khusus, dan buruh pada umumnya, di hadapan kelas kapitalis akibat dominasi rezim kapitalisme-neoliberal. Melalui kebijakan relokasi industri ke tempat-tempat dimana tersedia buruh murah, PHK atas alasan rasionalisasi atau efisiensi, pasar kerja fleksibel dalam wujud sistem kerja kontrak outsourcing, dan juga represi negara, kelas kapitalis sanggup mengobrak-abrik kekuatan kelas buruh di seluruh dunia. Akibatnya, posisi kelas buruh di hadapan kelas kapitalis bersifat defensive, dimana perjuangannya kemudian menjadi lebih terfokus pada tuntutan-tuntutan yang bersifat ekonomis, jangka pendek, anti politik, yang hanya berkutat pada permasalahan-permasalahan perburuhan.

Lalu, bagaimana kita merespon analisa dan fakta-fakta yang sepertinya mengonfirmasi kondisi bahwa memang gerakan buruh bukan lagi kekuatan revolusioner, apalagi menjadi motor revolusi sosial? Di sini saya coba melihatnya dari dua sisi yang tampak berbeda tapi sesungguhnya tak terpisahkan. Pertama, sesuai hukum perkembangan kapitalisme yang tidak merata di berbagai belahan dunia, maka kelas buruh memang tidak selalu merupakan motor gerakan anti kapitalisme-neoliberal. Misalnya, di beberapa negara Amerika Latin, setelah penerapan neoliberalisme yang massif, serikat-serikat buruh mengalami pelemahan luar biasa akibat banyaknya anggota serikat yang dipecat, atau akibat pemberlakuan kebijakan pasar kerja fleksibel, sehingga motor perjuangan terutama berasal dari kalangan petani dan masyarakat adat. Namun, dalam kasus Korea Selatan, dengan tingkat perkembangan industri yang pesat, maka yang menjadi motor perjuangan adalah gerakan buruh. Hal ini tidak terlepas dari faktor kondisi khusus di sana, dimana mahasiswa memiliki keterikatan yang kuat dengan kelas buruh sehingga gerakan mahasiswa di Korea Selatan, cenderung menyatu secara organik dengan gerkan buruh. Kondisi ini kemudian menjadi salah satu faktor penting terkait kesadaran buruh. Di Indonesia, kita bisa lihat bahwa di beberapa daerah, seperti di Bima, NTB, Medan, Sumatera Utara, atau Palu, Sulawesi Tengah, motor gerakan adalah petani dan masyarakat adat. Namun di beberapa daerah lainnya seperti Bekasi, Tangerang, Batam, Karawang, dan Surabaya, gerakan buruh merupakan gerakan yang paling maju.

Kedua, dalam kasus Indonesia, gerakan buruh yang berkesadaran kelas, yang terorganisasi secara rapi, memang baru berkembang. 32 tahun di bawah represi brutal rezim Orde Baru Soeharto, membuat gerakan buruh lama terkunci dalam perjuangan yang bersifat ekonomistik dan jangka pendek. Berbagai bentuk depolitisasi buruh semasa Orde Baru, termasuk melalui doktrin Hubungan Industrial Pancasila (HIP), yang hingga kini masih menjadi jiwa dari politik perburuhan di Indonesia, juga merupakan faktor penting yang menentukan karakter gerakan buruh Indonesia. Meningkatnya pasar kerja fleksibel yang dilegalkan melalui berbagai regulasi pun kian melemahkan gerakan buruh. Sistem kerja kontrak outsourcing yang menjadi kunci dalam pasar kerja fleksibel telah menghilangkan solidaritas di antara buruh. Kesadaran politik buruh pun baru muncul ketika rezim Orde Baru sudah diambang kejatuhannya, tapi itupun tidak berlangsung lama. Hantaman neoliberalisme, konflik-konflik internal yang terus berlangsung, membuat gerakan buruh secara politik belum begitu diperhitungkan pengaruhnya dalam politik nasional.

Namun demikian, jika kita bertolak dari analisa terhadap kapitalisme, maka tak terbantahkan bahwa kelas buruh merupakan satu-satunya kelas yang paling revolusioner. Sebabnya, kapitalisme sebagai sebuah sistem yang dicirikan oleh adanya relasi kerja upahan, yang mensyaratkan adanya kelas borjuasi dan kelas proletar yang saling bertentangan. Tanpa adanya kedua kelas ini atau salah-satu dari keduanya absen, maka sistem tersebut tidak bisa disebut sebagai sistem kapitalis. Artinya, walaupun kelas buruh tidak selalu menjadi motor perjuangan anti-kapitalisme neoliberal, walaupun kelas buruh  kesadarannya masih bersifat kesadaran buruhisme, namun posisinya dalam hubungan sosial kapitalisme tak tergantikan oleh kelas-kelas lainnya, seperti petani atau borjuis kecil. Tugas pergerakan kemudian adalah mendorong kelas buruh agar tidak membatasi dirinya hanya pada perjuangan ekonomis semata,  melainkan bergerak maju pada perjuangan politik. Jika buruh telah sanggup menyadari bahwa sebagai sebuah kelas kepentingannya berbeda secara diametral dengan kepentingan kelas kapitalis, maka saya optimis mereka bisa mengemban tugas-tugas revolusioner tersebut.

Semoga jawaban saya ini bisa membantu.***

Salam,
Fildzah Izzati, Anggota Redaksi Left Book Review (LBR).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.