SEJAK akhir Mei, dunia menyaksikan Turki yang mengalami pergolakan di Alun-alun Taksim dan Gezi. Kasus yang kini masih memanas itu, mulanya dipicu penolakan publik terhadap rencana pemerintah Recep Tayyip Erdogan untuk merombak kawasan hijau Alun-alun Gezi menjadi kompleks pertokoan.
Mengapa persoalan yang ‘tampak sepele’ ini memicu reaksi besar, sampai-sampai ada yang secara berlebihan menyebutnya Musim Semi Turki?
Memanasnya situasi Turki, oleh sebagian dinilai karena terlalu eksesifnya pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dalam merespons situasi. Sosok Erdogan juga dianggap sebagai faktor penting. Figur Perdana Menteri Turki itu, oleh Mustafa Akyol dianggap terlalu sering menggunakan teknik konfrontasi guna mengonsolidasi dukungan politik di basis pendukungnya. Namun, ini hanya menjelaskan pemicu, bukan penyebab dari pergoalakan Turki terkini.
Dari beberapa ulasan yang saya baca, setidaknya ada tiga penjelasan tentang mengapa Turki bergolak. Pertama, isu ketimpangan sosial sebagai buah dari sistem ekonomi neoliberal yang diterapkan secara agresif oleh AKP. Kedua, semakin kuatnya tendensi Turki ke arah versi demokrasi yang illiberal. Ketiga, perjalanan demokrasi Turki sendiri kini telah melahirkan rezim tanpa oposisi dan kompetisi berarti.
Sosial-Ekonomi Timpang?
Sekalipun banyak dipuji dunia, kini kesuskesan ekonomi Turki juga mendapat banyak sorotan. Sejak memimpin Turki di tahun 2002, AKP dinilai telah menerapkan sistem ekonomi neoliberal yang agresif dengan kombinasi dukungan politik kelas menengah ke bawah yang kuat.
Namun, pencapaian ekonomi dan peningkatan kesejahteraan warga Turki kini juga dinilai telah memicu berbagai ketimpangan. Sebagian rakyat Turki memang menikmati buah kesuksuksan ekonomi, namun kekhawatiran akan keberlangsungan dan dampak ketimpangannya juga cukup luas.
Kekhawatiran itu, misalnya, tersimpulkan dari kenyataan bahwa berbagai dana investasi Turki lebih banyak ditanamkan di proyek-proyek yang bersifat spekulatif dan mercusur seperti real estate. Dalam satu dekade terakhir, jumlah mall di Turki juga meningkat tajam dari 46 di tahun 2000 menjadi 300 di tahun 2012. Di Istanbul sendiri, kini sedang dibangun setidaknya mega proyek mall seluas tak kurang dari 2 juta meter persegi.
Konsekuensi megaproyek seperti ini, antara lain, adalah makin tergusurnya fasilitas-fasilitas publik seperti Alun-alun Gezi dan Taksim demi memanjakan investasi ke pusat-pusat perbelanjaan yang prestisius. Proyek-proyek ini dinilai hanya menguntungkan kelompok berkapital besar sembari membuat buruh berpendapatan menengah semakin tertekan. Cerdiknya, untuk mempertahankan populisme, AKP pandai mengonsentrasikan tunjangan-tunjangan sosial kepada kelas terbawah yang merupakan basis pendukung mereka.
Dengan bacaan seperti ini, perlawanan Gezi dan Taksim dianggap sebagai perlawanan terhadap ekspansi sistem ekonomi neoliberal yang semakin agresif diterapkan AKP. Ozan Tekin, salah seorang aktivis kiri Turki, menyebut aksi ini bukanlah perlawanan terhadap rezim Islamis AKP yang kian intensif mempromosikan norma-norma sosial yang mereka yakini, tapi melawan performa ekonomi neoliberal yang mereka amalkan (al-Ahram English, 4 Juni).
Tapi analisis ini kurang populer dan masih belum mampu mengimbangi berbagai sanjungan tentang prestasi ekonomi Turki terkini. Namun yang pantas dicatat, Turki yang kini menjadi kekuatan ekonomi ke-17 dunia, telah melahirkan kelas-kelas menengah baru yang tak lagi menyukai kultur patronase sosial-politik ala Erdogan dan mulai menuntut lebih banyak kebebasan.
Demokrasi Illiberal
Sayangnya, tuntutan lebih banyak kebebasan sipil itu kini semakin dikecewakan. Sekalipun Turki menerapkan sistem demokrasi yang relatif stabil dalam satu dekade terakhir, kaum muda Turki kini tetap menuntut demokrasi plus, yakni demokrasi yang liberal. Menurut Whit Mason (Foreign Policy, 5 Juni 2013), problem AKP saat ini bukanlah fakta bahwa mereka rezim Islamis, tapi lebih karena—sebagaimana partai-partai Turki umumnya—mereka illiberal dan kurang menghargai kebebasan sipil.
Mustafa Akyol lebih spesifik lagi menggambarkan kondisi demokrasi Turki terkini. Menurutnya, yang menjadi problem pada Erdogan dan para suporter fanatiknya adalah: mereka lebih percaya prinsip mayoritarianisme berdemokrasi ketimbang demokrasi yang liberal dan partisipatoris.
Dengan pendekatan demikian, mereka berkeyakinan bahwa pemenang pemilu sudah sewajarnya punya hak untuk menggunakan kekuasaan sembari mengabaikan kritik dan protes-protes kecil. Pendekatan ini, menurut Akyol, sering memicu kekhawatiran di berbagai kelompok sosial Turki yang ditaklukkan AKP. Di luar pemilu yang 5 tahun sekali, mereka ingin aspirasi mereka tetap didengar dan gaya hidup mereka juga dihormati (al-Monitor.com, 6 Juni).
Jika diringkas, problem mendasar demokrasi dunia Muslim saat ini, tak terkecuali Turki, adalah ‘ketidaksesuaian antara hal-hal yang sama-sama baiknya’ (the incompatibility of equal goods). Dalam rumusan filsuf Inggris, Isaiah Berlin di atas, hal-hal baik tak selamanya akan datang bersamaan dan beriring tangan. Adakalanya, hal yang sama-sama baik, misalnya sistem demokrasi dan kebebasan sipil, justru mengalami bentrokan. Di negara-negara baru berdemokrasi di Timur Tengah, juga di Turki, lebih banyak demokrasi bisa berarti semakin sedikitnya kebebasan sipil dan toleransi (Ian Buruma, 7 Juni 2013, www.project-syndicate.org).
Tanpa Kompetisi
Yang mungkin terlewatkan dari analisis tentang Turki mutakhir adalah soal begitu kuatnya partai berkuasa dan begitu lemahnya oposisi dan pesaing mereka. Turki kini sudah semakin mengarah seperti negara berpartai tunggal (single-party state), yang dinilai kurang sehat bagi kehidupan berdemokrasi. Munculnya partai penguasa yang terlalu dominan dalam waktu agak lama—sembari menghadapi oposisi yang terbelah dan tidak terkelola—adalah kurang sehat bagi sistem berdemokrasi (Thomas Carothers dan Nathan J. Brown, 12 November 2012, dalam www.carnegieendowment.org).
Fenomena ini dapat kita sebut sebagai gejala demokrasi tanpa kompetisi. Di Turki, gejala ini hadir dari 3 kali pemilu yang dimenangkan AKP secara gemilang dan beruntun (2002, 2007, 2012). Dengan itu, perpolitikan Turki seakan tidak lagi menyisakan pesaing dan oposisi yang berarti.
Fakta ini telah membuat Erdogan dan AKP tergoda untuk menunjukkan tendensi-tendensi otoritarian dalam mengelola pemerintahan dan cenderung arogan dalam merespons kritik. Namun gejala ini bukanlah khas Turki, tapi merupakan pola umum partai yang sudah terlalu dominan di mana-mana, apapun ideologi dan pandangan keagamaan mereka.
Lalu apa pelajarannya untuk Indonesia? Berkaca dari kasus Turki, Indonesia mungkin lebih beruntung karena proses transisi demokrasi kita belum melahirkan satu partai paling dominan dalam waktu lama. Berganti-gantinya pemenang pemilu kita sejak 1998 mungkin jauh lebih sehat bagi proses check and balance dalam berdemokrasi.
Iklim demokrasi dalam suatu sistem multipartai, mungkin lebih menyehatkan bila pemenangnya tidak itu-itu saja: dulu Banteng, besok Gajah, lusa Rusa, dan kelak—siapa tahu—dikuasai Sapi.***
Artikel ini sebelumnya telah dimuat harian Kompas, 16 Juni 2013. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
Novriantoni Kahar, Dosen Paramadina, Pengamat Timur Tengah