ADA BAIKNYA saya membagikan sebuah tautan (http://www.youtube.com/watch?v=KyLLlgdY2aQ) di kalimat pertama tulisan ini.
Demikian ‘One Drop’ dari Bob Marley yang belakangan saya putar berkali-kali tanpa berganti ke lagu yang lain. Dengan kekhasannya, ia bernyanyi seperti menahan sesuatu yang mendesak-desak hendak ke luar dari dalam diri; Now feel this drumbeat / As it beats within, / Playin’ a riddim, / Resisting against the system, ooh-wee!
Ah, rupanya anda kini benar-benar perlu membuka laman tautan di atas untuk bisa memahami maksud saya. Rasakan beat-beat yang ada di lagu itu. Pahami lirik-liriknya. Robert Nesta Marley (1945-1981) tengah berbisik: ‘resisting against the system.’
Uncle Bob memang begitu. Ia bahkan pernah berkata bawa ia adalah seorang revolusioner yang berjuang melalui musik; musik yang dapat didengarkan di rumah siapa pun dan dapat membebaskan dari rantai yang mengikat serta penindasan (Jan DeCosmo, tanpa tahun). Sistem yang bikin sengsara—itulah yang dibicarakannya. Ia perkuat lagi di bagian reffrain lagu ini:
They made their world so hard (so hard): / Every day we got to keep on fighting (fighting);
They made their world so hard (so hard): / Every day the people are dyin’ (dying), yeah!
It dread, dread) For hunger (dread, dread) and starvation /(dread, dread, dread, dread),
Lamentation (dread dread), / But read it in Revelation (dread, dread, dread, dread):
You’ll find your redemption / And then you give us the teachings of His Majesty ,
For we no want no devil philosophy; / A you fe give us the teachings of His Majesty,
A we no want no devil philosophy
Bebaskanlah keinginan untuk menghentak-hentakkan kaki, tangan yang bergerak bebas menari, serta kepala yang bergoyang tak tentu arah. Lantas, rasakan dan resapi lirik-lirik yang terkutipkan di atas. Lapangkan pikiran dan sambutlah realitas penindasan. Di sana Marley bicara tentang perjuangan kelas.
Tak perlu membayangkan Jamaika periode 1950-an hingga 1970-an, untuk memahami perjuangan melawan penindasan dan ketakadilan dalam ‘One Drop.’ Ketika itu Inggris baru saja hengkang dari Jamaika (1962), meninggalkan kaum hitam Jamaika dengan rumah-rumah tak layak huni, tingkat pengangguran yang tinggi, kekerasan jalanan yang akut ditambah perang saudara, diskriminasi, dan penindasan terhadap kaum rastafaria (Stephen A. King, 2002). Anda cukup mendengarka ‘One Drop’ sambil memalingkan mata pada pintu rumah tetangga yang diketuk-ketuk kreditur kampung dengan buku tulis panjang di tangan; cukup mendengarkan di earphone ketika melewati sebuah gang sempit dan beberapa anak kecil menendang bola dengan senyum tersungging di mulut mereka; cukup mendengarkan sambil menyantap makan siang dengan kuah sayuran yang sedikit dicelupi jempol ibu tua pemilik warteg di depan mata anda.
Sebagai pelengkap, ada baiknya pula kita tengok Rockers (Theodoros Bafaloukos, 1978), sebuah film dokumenter panjang tentang reggae dan kehidupan kaum Afro-Amerika di Jamaika. Ada gubuk-gubuk miskin dan kehidupan yang getir, berdampingan dengan turis-turis londo Eropa-Amerika, dan pebisnis lokal yang sewenang-wenang—namun hal-hal ini tak tergambarkan dengan ratap tangis dan kertak gigi. Tidak. Rockers justru menceritakan kisah muram itu sambil lalu, di tengah rancaknya kendang khas reggae, di antara kaum dreadlock yang santai bermain musik sambil mabuk, di hamparan pasir pantai Jamaika yang deru ombak malamnya pas dengan satu-dua gelas rum dan beberapa hisapan marijuana. Tak ada ratap tangis mengiba-iba, semuanya dalam kenormalan, kegembiraan, dan kepala yang setengah melayang.
Ketika Leroy ‘Horsemouth’ Wallace, tokoh film itu, dicuri motornya oleh sebuah jejaring mafia Jamaika, ia pun tak berlebihan bersedih hati. Tak ada close up wajah penguras air mata. Sang tokoh kita justru berjalan keliling kampung dengan gayanya yang khas, mencari motornya ke mana-mana, mengeluh ke teman-temannya. Akhirnya Horsemouth pun mengumpulkan semua ‘anak rasta’ dan merencanakan balas dendam. Pada sebuah malam, pawai kendaraan yang dikemudikan para rasta mendatangi rumah-rumah orang kaya, para pemimpin jejaring mafia, lantas mengambil semua yang ada di sana. Mereka menjarah membabi buta. Tak beda jauh dengan Robin Hood, tapi bukan itu pokoknya. Yang ingin mereka nyatakan: di balik sebuah keindahan, di balik sebuah kesenangan dan keadaan yang terlihat ‘biasa-biasa saja,’ ketakadilan itu ada dan mendekam. Ketakadilan tak perlu mereka munculkan dengan dramatisasi bak via dolorosa; cukup dinikmati bersama hentakan-hentakan musik pemancing dansa, hingga perlahan-lahan terbersitlah kesadaran akan sesuatu yang lain tersembunyi di baliknya. Setidaknya, itulah yang dilakukan Rockers dan ‘One Drop’.
Bagi Marley, di antara lagu dan liriknya, yang terpenting adalah liriknya. Musiknya adalah musik rakyat, yang membawa pesan tentang sejarah rakyat, serta cerita-cerita lain yang tidak diajarkan di bangku sekolah. Namun ‘One Drop’ masih menyimpan tendensi messianisme. Baiklah kita membacanya dalam kerangka Walter Benjamin; messianisme atau Keselamatan tak bisa diharapkan dari hal yang ada di luar diri manusia—dari sesuatu yang Ilahiah. Ia harus diusahakan sekarang dan di sini oleh manusia itu sendiri. Tentu, ini berarti mengesampingkan kepercayaan Marley terhadap Jah Rastafari dan Haile Sellasie yang sedikit banyak merasuki lirik-lirik gubahannya. Pasalnya, ketika lagu itu dibaca dalam kerangka ‘messianisme minus penantian’ yang demikian, ia justru menjadi lagu yang lebih mendorong dan lebih membakar, lebih revolusioner—kalau boleh dikatakan demikian.
Tetapi, seandainya pun semangat perjuangan dan pemberontakan atas penindasan dan ketidak-adilan didapatkan Bob Marley dari Haile Sellasie, itu pun tak masalah. Ada banyak jalan menuju Roma. Haile Sellasie dalam pidatonya pada 1968 pernah berujar bahwa perang akan terus terjadi di mana-mana, selama masih ada kelas pertama dan kelas kedua, selama warna kulit masih menjadi masalah, selama kebutuhan pokok manusia belum dijamin secara merata tanpa perbedaan ras, selama rezim-rezim penindas masih saja berkuasa.***
Jakarta, 15 Juni 2013
Berto Tukan