Tanggapan dan Tambahan untuk Airlangga Pribadi
APA KABAR kaum Muslim Demokrat Indonesia? Dinamika diskursus dan aktivisme kaum Muslim Demokrat dengan berbagai tendensi dan variannya di Indonesia, telah membawa mereka dan juga gerakan sosial serta gerakan Islam di Indonesia pada persimpangan jalan: apakah kaum Muslim Demokrat akan terjebak di dalam logika kuasa yang oligarkis, ataukah mereka akan konsisten terhadap cita-cita pergerakan mereka dengan memperjuangkan politik demokratis yang lebih radikal?
Menanggapi gugatan kawan Airlangga Pribadi atas problematika dan dilema kaum Muslim Demokrat di Indonesia, kali ini saya ingin mengamini argumen Airlangga, sekaligus menambahkan beberapa kritik terhadap tesis Muslim Demokrat di Indonesia. Kritik ini meliputi kritik epistemologis, metodologis, dan praxis. Melalui tulisan ini, saya berharap bahwa kaum Muslim Demokrat dan gerakan sosial di Indonesia pada umumnya, dapat melakukan refleksi yang lebih dialektis atas kiprahnya selama ini.
Pentingnya Realisme dalam Membaca Masyarakat Islam
Sebagaimana pernah saya sampaikan sebelumnya dalam tulisan saya tentang metode Marxis dalam studi Islam, kali ini saya ingin memaparkan kembali tentang kegunaan metode Marxis dalam memahami masyarakat Islam. Sedikit banyak, saya terinspirasi oleh karya-karya Maxime Rodinson (1973; 1980; 1981). Dalam karya-karyanya, Rodinson mencoba mengalihkan fokus studi Islam dan Orientalisme secara keseluruhan dari pembacaan yang simplistis atas masyarakat Islam, menuju sebuah pembacaan yang lebih komprehensif dan kritis, yaitu dengan memperhatikan aspek-aspek kesejarahan, kuasa, dan ekonomi-politik yang membentuk budaya dan tatanan nilai masyarakat Islam. Namun, dalam menanggapi tuduhan ‘determinisme basis ekonomi’ atau ‘determinisme ekonomi-politik’ dalam analisa Marxis atas masyarakat Islam, Rodinson sendiri menegaskan bahwa faktor-faktor ideasional dan kultural atau kebudayaan, bukanlah sekedar cerminan epifenomenal superstruktur atas basis material suatu masyarakat, suatu argumen yang juga ditegaskan oleh Georg Lukács (1971). Ada dinamika dan pertautan antara faktor-faktor material dan ideasional dalam perkembangan sejarah suatu masyarakat. Lebih lanjut lagi, aspek-aspek ideasional seperti perkembangan diskursus keagamaan dalam suatu masyarakat dapat muncul dalam berbagai bentuknya yang terkadang dapat berbenturan atau berkonflik satu sama lain.
Berangkat dari argumen inilah, kita dapat memahami dinamika Islam dan politik di Indonesia serta kelemahan argumen-argumen kaum Muslim Demokrat.
Beberapa Kritik tambahan atas Kaum Muslim Demokrat di Indonesia
Beberapa kelemahan argumen kaum Muslim Demokrat dalam dinamika demokratisasi di Indonesia, dijelaskan secara gamblang oleh Airlangga dalam artikelnya. Pertama, argumen kaum Muslim Demokrat sebagai salah satu lokomotif demokratisasi di Indonesia terlampau menekankan pada aspek agensi, namun abai pada kondisi dan hambatan struktural di mana agensi itu bekerja. Kedua, kemunculan gagasan-gagasan progresif, terutama dalam varian liberal ala kaum Muslim Demokrat, juga tidak lepas dari faktor-faktor material yang memungkinkan gagasan tersebut muncul – seperti ketersediaan dana untuk berbagai lembaga non-pemerintah (LSM) baik dari dalam maupun luar negeri. Ketiga, kaum Muslim Demokrat abai akan fakta bahwa perspektif modal sosial (social capital) yang sering menjadi landasan bagi argumen mereka, merupakan ‘kuda troya’ (trojan horse) atas agenda-agenda developmentalisme ala institusi-institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank dan Lembaga Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF), dan juga merupakan bagian dari agenda kapitalisme neoliberal (Carroll, 2009; 2010; Sommers, 2008).
Selain kritik-kritik tersebut di atas, beberapa tambahan kritik lain perlu disebut. Pertama, kaum Muslim Demokrat abai terhadap kesenjangan basis material dan aspek-aspek ekonomi-politik lain antara para ‘intelektual Islam’ dengan realitas objektif umat dan masyarakat yang mereka perjuangkan. Tatkala kaum Muslim Demokrat sibuk berdiskusi dan melakukan kegiatan-kegiatan ‘produksi intelektual,’ di saat yang bersamaan berbagai kelompok masyarakat yang tertindas dan termarginalisasi masih saja tereksploitasi. Sesekali, kaum Muslim Demokrat ‘turun gunung’ dan turut aktif dalam berbagai agenda politik progresif, seperti perlindungan terhadap hak-hak minoritas, namun komitmen dan partisipasi mereka berhenti hanya di situ.
Kedua, kesenjangan ekonomi-politik ini juga tercemin dalam kesenjangan diskursif antara para intelektual dan umat yang katanya diwakilkan oleh mereka. Sebagaimana saya sampaikan sebelumnya, aspek diskursif dari transmisi suatu pengetahuan keagamaan penting untuk diperhatikan, karena aspek ini dapat dipahami secara berbeda oleh berbagai kelompok masyarakat dan menimbulkan berbagai interpretasi (Kendhammer, 2013). Sebelum agenda-agenda pembaharuan Islam dan keagamaan secara umum dapat disebarkan, yang tidak kalah penting adalah mengetahui bagaimana persepsi dan pemahaman publik atas diskursus keagamaan secara umum. Hemat saya, untuk mengetahui kecakapan diskursif publik atas agenda-agenda pembaruan keagamaan dan ide-ide progresif lainnya, barangkali yang diperlukan bukan hanya kecakapan membaca dan memahami teks-teks keagamaan dan perdebatan paling mutakhir dalam kajian ilmu sosial dan humaniora. Tak kalah penting adalah adanya kepekaan atas faktor-faktor material yang membentuk pemahaman masyarakat, sekaligus kerelaan untuk belajar bersama berbagai elemen masyarakat, terutama mereka yang tertindas, dalam hubungan yang setara, pedagogis dan dialektis (Freire, 2006).
Tentu saya mengapresiasi komitmen berbagai kalangan kaum Muslim Demokrat Indonesia atas agenda-agenda politik progresifnya, seperti pembelaan terhadap kelompok minoritas keagamaan dan isu-isu sosial dan politik yang mendesak. Namun, menurut saya, mereka telah gagal dalam menganalisa permasalahan yang lebih besar dari berbagai permasalahan yang terkait dengan diskursus keagamaan di Indonesia, serta dalam memperjuangkan agenda demokrasi yang lebih luas, mendalam dan partisipatoris. Fenomena munculnya kelompok-kelompok vigilantis yang bernuansa kegamaan dan etnis, misalnya, tidak dapat disimplifikasi menjadi sekedar masalah ‘fundamentalisme versus moderatisme dan liberalisme Islam.’ Kita perlu melihat bagaimana sejarah dari berbagai kelompok tersebut, dampak transisi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi, serta perubahan pola politik kuasa dan patronase, serta aliran dana yang memungkinkan kelompok-kelompok tersebut terus aktif (Wilson, 2006; 2010). Begitupun persoalan munculnya berbagai perda bernuansa syari’ah, yang tidak lepas dari dorongan akumulasi kapital dan populisme politik dalam konteks politik lokal yang terdesentralisasi (Buehler, 2008). Tentu faktor-faktor yang bersifat ideologis, seperti pemahaman fundamentalis atas agama berperan dalam penyebaran fenomena seperti ini. Namun, bukankah diseminasi ide-ide seperti itu lebih mudah terjadi di dalam konteks masyarakat perkotaan dengan praktek-praktek politik yang koruptif dan kesenjangan sosio-ekonomi yang makin meningkat? (Kendhammer, 2013). Kemudian, diseminasi ide-ide pembaharuan keagamaan dan agenda-agenda sosial progresif ala kaum Muslim Demokrat juga terkesan elitis. Akibatnya, ide-ide kaum Muslim Demokrat justru terdengar asing bagi umat Islam Indonesia itu sendiri. Kesenjangan ini juga diperparah dengan praktek politik dari berbagai tokoh kaum Muslim Demokrat yang memutuskan untuk merapat dengan kekuatan-kekuatan bisnis dan politik yang oligarkis atau bergabung dengan politik kepartaian tanpa kalkulasi yang matang atas berbagai dilema dalam politik elektoral. Secara mengherankan, beberapa tokoh terkemuka dari kaum Muslim Demokrat juga mengadvokasi keunggulan agenda-agenda ekonomi politik pasar bebas, namun tidak melangkah lebih jauh dengan membongkar berbagai ortodoksi asumsi dari agenda-agenda tersebut.
Akibatnya, kaum Muslim Demokrat Indonesia justru terjebak dalam praktek-praktek politik yang oligarkis dan anti-demokratik yang berlawanan dengan agenda yang mereka perjuangkan selama ini. Kemudian, asosiasi masyarakat antara kaum Muslim Demokrat dengan keterlibatan mereka dalam politik praktis – suatu asosiasi yang ingin ‘diceraikan’ oleh kaum Muslim Demokrat namun nampaknya tidak berhasil – akhirnya memberikan dampak negatif bagi agenda-agenda pembaruan Islam itu sendiri. Imajinasi kolektif berbagai kelompok masyarakat, termasuk beberapa kelompok kelas menengah, atas kaum Muslim Demokrat, sebagai penyebar pemahaman keagamaan yang ‘sesat’ atau ‘nyeleneh,’ sedikit banyak berakar dari abainya kaum Muslim Demokrat atas faktor-faktor material-struktural yang berkaitan dengan aktivitas dan agenda intelektual mereka. Pada akhirnya, hal ini menjadi hambatan bagi agenda-agenda progresif dari kaum Muslim Demokrat itu sendiri dan agenda-agenda pembaruan Islam yang lebih luas.
Refleksi dan Penutup
Berkaca dari kegagalan kaum Muslim Demokrat dalam memperjuangkan agenda-agenda politik yang lebih demokratik dan anti-oligarki, untuk kedepannya saya melihat setidaknya ada dua catatan yang perlu diperhatikan kaum Muslim Demokrat dan gerakan sosial di Indonesia.
Pertama, kita perlu melihat pada proses sejarah sosial (social history) dari pembentukan suatu diskursus. Dalam pemikiran politik Barat, analisa sejarah sosial ini pernah dilakukan oleh Wood (2008; 2012) secara bernas untuk melihat apa sesungguhnya ketegangan utama dalam sejarah filsafat politik Barat. Kaum Muslim Demokrat dan kita, bagian dari gerakan sosial yang lebih luas di Indonesia, perlu belajar dari karya intelektual tersebut. Sejarah sosial pembentukan suatu diskursus intelektual, termasuk diskursus tentang peranan utama kaum Muslim Demokrat, tidak terlepas dari berbagai faktor material yang berada di sekelilingnya. Khususnya faktor pembentukan elit (elite formation), yaitu proses perkembangan intelektual dari para cendekiawan Muslim Demokrat itu sendiri dan juga proses perkembangan elit-elit ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan yang secara potensial dapat membantu perkembangan dan diseminasi diskursus para kaum Muslim Demokrat, misalnya perkembangan kelompok diskusi, lembaga tangki pemikir (think tank), dan sumber dana yang dapat membantu keberlangsungan lembaga-lembaga semacam itu. Tujuan dari analisa sejarah sosial atas suatu diskursus intelektual, tidak terkecuali diskursus Muslim Demokrat, adalah untuk mengetahui bagaimana suatu diskursus intelektual dalam perkembangannya dapat terdistorsi dan alih-alih mewakili kepentingan kelompok yang tertindas, justru menjadi perwakilan dan perpanjangan tangan dari kelas yang berkuasa.
Kedua, kooptasi diskursif dan ekonomi-politik atas agenda kaum Muslim Demokrat juga tidak lepas dari internasionalisasi dan ekpansi kapitalisme neoliberal yang memungkinkan kooptasi itu terjadi. Kaum Muslim Demokrat di Indonesia, juga tidak lepas dari jeratan proses kooptasi ini.
Apakah kaum Muslim Demokrat hanya menjadi kaum Muslim ‘Demokrat,’ pandai bercakap dan berdebat dalam diskursus dan leksikon agenda-agenda sosial dan politik liberal, namun abai pada struktur oligarkis yang menopangnya? Apakah kaum Muslim Demokrat, sebagaimana banyak elemen dari gerakan sosial yang lain, pada akhirnya tunduk kepada oligarki? Mungkin, hanya kaum Muslim Demokrat sendirilah yang mampu menjawab pertanyaan tersebut.
Namun, seingat saya, bukankah sejarah menunjukkan, sebagaimana dapat kita lihat dalam perjuangan berbagai elemen progresif dalam Sarekat Islam (SI) melawan kolonialisme, bahwa Islam hanya dapat menjadi kekuatan pembebas apabila ia berpihak kepada mereka yang lemah dan tertindas?
Ah, lagi-lagi saya lupa. Agaknya sudah lama kita enggan membaca kembali sejarah kita.***
Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc.
Kepustakaan:
Buehler, M., 2008. ‘Shari’a By-Laws in Indonesian Districts: An Indication for Changing Patterns of Power Accumulation and Political Corruption.’ Southeast Asia Research, 16(2), pp. 165-195.
Carroll, T., 2009. ‘Social Development’ as Neoliberal Trojan Horse: The World Bank and the Kecamatan Development Program in Indonesia. Development and Change, 40(3), pp. 447-66.
Carroll, T., 2010. Delusions of Development: The World Bank and the Post-Washington Consensus in Southeast Asia. 1st ed. Basingstoke: Palgrave Macmillan.
Freire, P., 2006. Pedagogy of the Oppressed. 30th ed. New York: Continuum.
Kendhammer, B., 2013. ‘The Sharia Controversy in Northern Nigeria and the Politics of Islamic Law in New and Uncertain Democracies.’ Comparative Politics, 45(3), pp. xx-xx.
Lukacs, G., 1971. History and Class Consciousness. 1st ed. Cambridge: The MIT Press.
Rodinson, M., 1973. Islam and Capitalism. New York, NY: Pantheon Books.
Rodinson, M., 1980. Muhammad. New York: Pantheon Books.
Rodinson, M., 1981. Marxism and the Muslim World. New York, NY and London: Monthly Review Press.
Sommers, M., 2008. Genealogies of Citizenship: Markets, Statelessness, and the Right to Have Rights. 1st ed. New York: Cambridge University Press.
Wilson, I., 2010. ‘Reconfiguring Rackets: Racket Regimes, Protection and the State in Post-New Order Jakarta.’ In: E. Aspinall & G. van Klinken, eds. The State and Illegality in Indonesia. Leiden: KITLV Press, pp. 239-259.
Wilson, I. D., 2006. ‘Continuity and Change: The Changing Contours of Organized Violence in Post-New Order Indonesia.’ Critical Asian Studies, 38(2), pp. 265-297.
Wood, E. M., 2008. Citizens to Lords: A Social History of Western Political Thought from Antiquity to the Middle Ages. 1st ed. New York: Verso.
Wood, E. M., 2012. Liberty & Property: A Social History of Western Political Thought from Renaissance to Enlightenment. 1st ed. New York: Verso.