PASCA runtuhnya rezim Orde Baru Soeharto, Indonesia memasuki satu tahapan baru dari perkembangan kapitalisme, yakni tahap kapitalisme-neoliberal. Tahapan ini mensyaratkan pergeseran peran negara ke arah yang lebih melayani kepentingan produksi dan reproduksi kapital, ketimbang beperan sebagai pelayan kepentingan publik.
Dalam pergeseran fungsi negara itu, demokrasi lantas hanya menjadi kendaraan bagi elite untuk mengukuhkan kekuasaan oligarkisnya, dan membendung bangkitnya kekuatan rakyat yang independen, dengan memainkan isu-isu berlatar etnis dan keagamaan. Melalui isu-isu berbasis identitas ini, keresahan rakyat akibat penerapan kebijakan neoliberal yang dikemudikan oleh oligarki dikanalisasi ke jurusan sektarianisme sekaligus dibonsai perkembangan kesadaran kelasnya. Konflik yang berkembang lantas menjadi konflik horisontal.
Namun demikian, isu-isu sektarian ini secara perlahan gagal untuk membendung perlawanan rakyat terhadap penerapan kebijakan neoliberal. Di mana-mana rakyat bangkit berlawan, baik secara sektoral maupun teritorial. Tapi perlawanan adalah satu hal, memenangkan perjuangan adalah hal lain lagi. Untuk memenangkan perjuangan itu, Fildzah Izzati dari Left Book Review (LBR), mewawancarai Prof. Vedi R. Hadiz, Australian Research Council Future Fellow dan Profesor dari Asian Societies and Politics, Asia Research Centre, Murdoch University, Murdoch (Perth), Australia. Berikut petikannya:
Bagaimana anda melihat formasi perkembangan kapitalisme-neoliberalisme di Indonesia pasca bangkrutnya rezim Orde Baru?
Secara singkat, kapitalisme Indonesia bergerak ke arah integrasi yang lebih ketat dengan kapitalisme neoliberal global. Hal ini disertai oleh kemunculan kembali sebagian besar konglomerat era Soeharto yang sempat mengalami ‘shock‘ pada waktu krisis ekonomi Asia 1997-98 serta kehadiran segelintir kelompok usaha besar baru yang pada dasarnya juga berkaitan dengan kekuasaan. Setelah keambrukan lima belas tahun lalu, kekayaan alam Indonesia serta pasar domestik yang lumayan besar berbasis kelas menengah kota membuat kegiatan investasi sekarang begerak lagi, termasuk investasi asing, sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak hanya bertumpu pada konsumsi tetapi juga pada produksi. Namun, hal ini disertai pelebaran jurang kaya miskin, seperti terindikasi antara lain oleh meningkatnya Gini Ratio Indonesia secara ‘mengagumkan,’ kerusakan lingkungan yang semakin menghebat serta dislokasi sosial yang disebabkan oleh keserakahan pemodal dan penguasa.
Namun sebagai tambahan: menurut saya, yang masih kurang diteliti di Indonesia adalah ‘perekonomian gelap’ yang sangat besar tetapi datanya tidak bisa masuk dalam perhitungan GDP dan sebagainya. Sangat mungkin bahwa konsumsi di Indonesia – yang bisa saja sebagian didorong oleh efek ‘uang haram’ yang mengalir dari sektor gelap tersebut – berperan dalam menunjang angka pertumbuhan ekonomi, selain membiayai praktek money politics dalam industri pilkada (pemilihan kepala daerah), terutama pada masa investasi masih ‘loyo.’ Yang saya maksud dengan perekonomian gelap, termasuk berbagai kegiatan di bidang penebangan liar, perdagangan narkoba, penyelundupan barang dan manusia – serta industri macam perjudian dan prostitusi. Dalam sebagian besar kegiatan ekonomi ‘gelap’ ini, benar-benar berlaku prinsip pasar bebas!
Terkait dengan pertanyaan sebelumnya, bagaimana pendapat anda mengenai perkembangan desentralisasi di Indonesia saat ini?
Saya tidak akan menambahkan banyak hal untuk mengubah analisa yang sudah tertera dalam buku saya Localising Power In Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective (2010) – kecuali mungkin beberapa data baru yang memperkuatnya. Dalam buku itu, salah satu point yang saya kemukakan adalah desentralisasi sebenarnya berdampak ‘kenaikan kelas’ berbagai aparat dan ‘cecunguk’ lokal masa Orde Baru. Tentu ada peluang baru yang juga dibuka untuk gerakan sosial lokal – tetapi bahayanya mereka mudah terkooptasi dalam sistem predatoris yang dikuasai mantan cecunguk Orba tersebut. Kalau ada yang toh akan saya tambahkan, mungkin saya akan memberikan perhatian lebih banyak pada pola-pola reproduksi elite lokal – apakah memang semakin menuju bentuk oligarkis yang terpusat pada dominasi aliansi segelintir orang dan keluarga tertentu? Kalau ya, di mana saja hal itu terjadi secara paling gamblang (misal Banten) dan di mana terjadi secara kurang berarti? Apa yang mungkin menyebabkan perbedaan ini?
Apakah neoinstitusionalisme masih menjadi kunci penting dalam praktik politik di Indonesia saat ini?
Saya kira belum ada jurus yang betul-betul baru dari kaum teknokrat untuk menghadapi ‘politik’ yang secara menjengkelkan selalu mengganggu model-model ekonomi elegan yang telah dibuat tanpa banyak perhatian pada realitas sosial. Walaupun demikian, secara intelektual tampaknya ada usaha untuk mengerti secara lebih baik bagaimana politik berperan dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pembentukan institusi di kalangan beberapa lembaga pembangunan internasional. Namun, saya kira mereka tetap sulit menerima bahwa pasar itu secara inheren bersifat politis, artinya menyangkut konflik yang berurusan dengan kekuasaan dan disparitas kekuasaan.
Bagaimana anda memandang perkembangan gerakan anti-kapitalisme di
Indonesia saat ini?
Banyak hal baik yang dilakukan, tetapi persoalan utama adalah tiadanya pandangan ideologis, strategi dan kendaraan yang benar-benar efektif untuk menyatukan segala potensi yang ada dalam masyarakat. Hal ini mungkin tidak mengherankan karena gerakan anti-kapitalisme bisa saja ditunggangi, misalnya oleh kapitalis dan elite lokal atas nama
‘nilai-nilai’ bangsa, adat istiadat atau agama – bahkan ‘kepentingan nasional’ (yang tentunya didefinisi sendiri). Mungkin di tingkat pertama, hal yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi ranah-ranah yang memungkinkan pengembangan ideologi, strategi dan kendaraan yang lebih jitu. Sebetulnya suatu gerakan anti-korupsi yang independen (mungkin dikombinasikan dengan gerakan anti-utang luar negeri) bisa saja memainkan peranan seperti itu karena peluangnya untuk menyatukan berbagai elemen yang potensial serta untuk mendapatkan simpati dari masyarakat luas.
Apakah gerakan buruh masih relevan sebagai class yang paling konsisten dalam menentang kebijakan neoliberalisme?
Gerakan buruh masih relevan tetapi gerakan buruh dalam kenyataannya mesti menjadi bagian dari perjuangan yang lebih luas. Oleh karena itu aliansi antara gerakan buruh dan elemen-elemen lain diperlukan guna menentang keserakahan amat merusak yang bersumber dari kapitalisme neoliberal serta pihak yang kadang-kadang memakai jargon populis dan slogan anti-neoliberal untuk menutupi keserakahan mereka sendiri.
Menurut anda, siapa kawan aliansi yang paling potensial bagi gerakan buruh dalam melawan kapitalisme neoliberal?
Mau tidak mau aliansi biasanya muncul dengan sebagian kalangan kelas menengah/menengah bawah. Ini adalah golongan masyarakat yang mobilitas sosialnya terhambat oleh dominasi kekuatan oligarkis walaupun mereka sendiri mempunyai banyak ambisi dan angan-angan – sebab merasa berhak untuk kehidupan yang lebih baik berkat pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki. Dari kalangan ini pula biasanya muncul – terutama di antara sektor pemudanya – gabungan antara frustrasi dan kemarahan terhadap masa depan sendiri maupun ketidakadilan dalam masyarakat serta kemampuan berempati dengan yang lebih tertindas.
Perlu diingat bahwa salah satu ciri masyarakat Indonesia yang mirip dengan beberapa masyarakat di Timur Tengah adalah banyaknya orang yang secara statistik berada di kelas menengah (dari segi konvensional seperti jenis pekerjaaan serta tingkat pendidikan), tetapi sebenarnya betul-betul berada dalam perbatasan dengan ‘kelas bawah’ dari segi kondisi material kehidupan mereka. Suatu krisis dalam masyarakat atau dalam kehidupan pribadi dapat ‘menurunkan’ kelas mereka secara mendadak. Orang-orang (muda) seperti ini yang banyak bergerak di Medan Tahrir, Kairo, misalnya, pada tahun 2011. Sayangnya, di sana maupun di Indonesia, tidak ada aliansi antara elemen masyarakat seperti ini dengan gerakan buruh – untuk alasan yang serupa. Di Indonesia gerakan buruh dihancurakan dan dipisahkan dari politik pada tahun 1960an, di Mesir pada tahun 1970-an walaupun lewat proses yang kurang berdarah dibandingkan di Indonesia.
Akhir-akhir ini studi anda lebih memfokuskan pada Islam Politik, apa yang membuat Anda tertarik pada studi ini?
Secara intelektual, topik penelitian ini menyegarkan buat saya karena membuka lahan yang belum pernah saya jamah sebelumnya. Topik ini juga memberikan saya kemungkinan untuk ‘mencoba’ sejumlah alat analisa yang pernah saya pakai untuk memahami suatu gejala sosial yang sama sekali lain. Juga secara intelektual, topik ini menghantarkan saya pada kegiatan komparatif yang melampaui batas-batas Indonesia/Asia Tenggara, menuju wilayah-wilayah baru yang sebelumnya tidak saya pelajari secara serius – Timur Tengah-Afrika Utara.Secara politik, saya pikir Islam Politik adalah gejala sosial yang sangat penting untuk memahami tema-tema yang amat berkaitan: 1) resistensi sosial terhadap kapitalisme yang disuarakan lewat saluran ideologi non-Marxis dan 2) domestikasi terhadap resistensi pada kapitalisme tersebut dan kemungkinan akomodasinya dengan neoliberalisme global. Jadi perhatian saya sebetulnya berada agak jauh di luar perhatian banyak pengamat terhadap aspek terorisme dan hal-hal seperti itu.
Bagaimana posisi Islam Politik di Indonesia, baik yang moderat maupun radikal dalam formasi perkembangan kapitalisme-neoliberal di Indonesia?
Dua-duanya berada pada jalan yang agak buntu. Islam radikal membuat orang jenuh dan cenderung menjauhi. Para teroris-pun – setidak-tidaknya untuk generasi Bom Bali – untuk sebagian sudah menyadari bagaimana tindakan mereka tempo hari justru telah memukul diri mereka sendiri. Bahkan ada yang terkejut bahwa masyarakat tidak bangkit mendukung mereka. Di kalangan yang disebut moderat, yang cenderung memakai kendaraan parpol, masa depan juga tidak begitu cerah. PKS, yang selama ini paling berhasil, sekarang terjerat berbagai kasus yang mencoreng citra yang ingin dimunculkan sebagai partai yang jujur dan reformis. Prestasi partai-partai Islam secara keseluruhan dalam pemilu tidak pernah sebaik yang mereka harapkan dan tidak ada di antara mereka yang bisa meniru FJP-Ikhwanul Muslimin Mesir atau AKP di Turki. Tidak ada yang berpotensi menguasai Negara. Meskipun demikian, di tengah-tengah banyaknya kasus korupsi dan sebagainya, isu moralitas bisa dieksploitasi siapa saja untuk ‘mencuci/menyucikan diri’ .
Bagaimana sebaiknya kalangan Kiri memposisikan dirinya berhadapan dengan kelompok Islam Politik yang sangat anti-Kiri ini?
Sebetulnya Islam Politik tidak harus secara inheren bersifat anti-Kiri. Anti-Kiri itu disebabkan oleh basis kelas Islam Politik di masa lalu yang didominasi borjuasi kecil yang anti kapitalisme kolonial, tetapi takut kalau hak miliknya dirampas oleh komunis. Lagipula dalam sejarahnya, Islam Kiri juga banyak – kita biasa menyebut contoh Haji Misbach di Indonesia. Di Malaysia juga pernah ada politik Melayu yang pro-Kiri tetapi yang sudah lama hilang diterpa represi Negara maupun kebijaksanaan NEP. Di masa awalnya, PAS pun memakai banyak jargon sosialis. Di Iran, Mujahidin Khalq dan Tudeh juga pernah menggabungkan Islam dengan aspek-aspek dari ideologi Kiri sebelum dikucilkan atau lenyap dalam tahap lanjutan Revolusi Iran (ingat, mereka pernah
bergabung dengan Khomeini untuk menggulingkan Shah Iran).
Lebih jauh lagi, basis kelas Islam Politik sekarang sangat beragam, di Indonesia maupun di dunia, karena transformasi sosial yang dialami selama setengah abad terakhir. Oleh karena itu, kemungkinan kemajemukan politik juga ada. Hal-hal seperti ini harus dikaji secara lebih mendalam kalau memang kaum Kiri di Indonesia mau ‘bersikap’.
Terakhir, bolehkah anda jelaskan seperti apa aliran pemikiran yang disebut The Murdoch School itu?
Secara singkat, fokus ‘Murdoch School’ diarahkan pada sifat dan arti penting kapitalisme (terutama di Asia) sebagai suatu kekuatan yang telah menyebabkan transformasi sosial yang dahsyat. Secara konkrit, analisanya ditujukan pada perangkat kelembagaan ekonomi dan politik sebagai situs konflik mengenai distribusi kekuasaan secara luas dalam masyarakat kapitalis.
Aliran pemikiran ini berupaya melakukan identifikasi jenis kepentingan dan konflik yang menentukan arah perkembangan suatu masyarakat dari segi bagaimana kekuasaan ekonomi dan politik diselenggarakan atau diatur. Sumber-sumber inspirasinya adalah tradisi pemikiran Marxis secara luas, tetapi juga tradisi pemikiran sosial klasik lain sebagaimana ditemukan dalam Weber yang berbagai perpaduannya dikembangkan oleh penulis seperti Colin Leys dan Barrington Moore, Ralph Milliband dan Nicos Poulantzas, dan banyak lagi. Aliran ini sering bertabrakan dengan ortodoksi pendekatan pluralis dan neoliberal.
¶