APA KABAR Occupy Movement? Tidak terasa sudah berselang lebih dari setahun semenjak gerakan sosial Occupy Movement dicetuskan di Amerika Serikat (AS). Di tengah berbagai permasalahan ekonomi dan pertarungan politik menjelang pemilihan umum presiden, pesan-pesan yang disampaikan oleh Gerakan Occupy seperti ‘we are the 99%,’ ‘kitalah 99%!’ yang mewakili aspirasi banyak warga Amerika, mulai dari para pekerja hingga kelas menengah terasa begitu relevan – hingga kemudian pesan tersebut perlahan-lahan mulai terdengar pelan, ditelan oleh kesunyian dan kesenyapan. Gambaran ini seakan-akan membenarkan bahwa AS adalah bangsa yang ‘sentris,’ di mana berbagai konflik dapat teredam dan tersalurkan melalui berbagai wadah politik yang tersedia.
Tetapi, tunggu dulu, jangan-jangan klaim ini perlu pemeriksaan lebih lanjut – bagaimana dengan gejolak politik dan gerakan hak-hak sipil sekitaran 1960-an? Bagaimana dengan berbagai kebijakan luar negeri dan ekonomi internasional AS dengan Pax Americana-nya? Bagaimana dengan marginalisasi berbagai kaum minoritas di masa-masa awal pembentukan negara di AS? Sebuah telaah yang lebih kritis diperlukan untuk membongkar mitos-mitos di balik gambaran kita akan Amerika sang imperium dunia.
Membongkar Mitos-mitos Lockean dan Tocquevillean
‘Amerika adalah sebuah bangsa yang eksepsional (exceptional), yang berbeda secara kualitas (qualitatively different) dengan bangsa-bangsa lain.’ Demikian kata Alexis de Tocqueville, sang pengelana dan etnografer dari Perancis itu, yang menjelajahi Amerika untuk mencari jawaban atas sebuah pertanyaan: mengapa demokrasi berhasil di Amerika tetapi tidak di negaranya, Prancis? Dalam karya termasyhurnya, Demokrasi di Amerika (Democracy in America), Tocqueville menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan keberhasilan praktek-praktek demokrasi di Amerika, seperti ketiadaan feodalisme, kebebasan beragama, dan lain sebagainya – yang kemudian menjadi dasar atas sebuah konsep penting dalam diskursus politik Amerika, yaitu ‘Keistimewaan Amerika’ (American Exceptionalism).
Secara metode, penjelajahan yang dilakukan Tocqueville merupakan upaya kajian yang menarik dan bisa dibilang ilmiah. Yang menjadi persoalan adalah implikasi politik dari rumusan ‘Keistimewaan’ atas nilai-nilai Amerika itu. Ya, seperti yang sudah kita ketahui, mengutip ucapan sosiolog politik AS terkemuka, Seymour Martin Lipset, keistimewaan bisa bermakna ganda, lebih progresif, atau bahkan lebih konservatif dan reaksioner. Dan Amerika telah menunjukkan kepada dunia dua sisi dari ‘keistemewannya’ itu: ada Amerika yang menghargai kebebasan beragama, merayakan keberagaman dalam masyarakatnya, dan memiliki modal sosial yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi ada juga Amerika yang memiliki hasrat imperium dan ekspansionis: ke luar, dengan melakukan eksploitasi, perang dan agenda-agenda jingoisme lainnya lewat kebijakan-kebijakan luar negeri dan kepentingan geopolitik dan ekonomi internasionalnya dan ke dalam, dengan diabaikannya hak-hak warga negara Amerika dari akses terhadap layanan sosial dan sistem asuransi kesehatan universal atas nama ‘pasar,’ ‘kebebasan,’ dan ‘hak-hak individu’ dan marginalisasi multidimensi bagi berbagai kalangan minoritas sepanjang sejarah Amerika, mulai dari kelompok etnis Afro-Amerika, kaum minoritas seksual, hingga kaum Muslim Amerika.
Karenanya, untuk memahami kondisi Amerika dan juga politik global dewasa ini, sebuah upaya penyelidikan dan pembelajaran yang serius akan perkembangan masyarakat AS sungguh sangat diperlukan.
Mitos pertama, adalah tentang sejarah AS yang dianggap ‘berbeda’ dari banyak negara kapitalis maju lainnya. Tentu saja, dari sisi penulisan sejarah, tiap-tiap negara bisa dibilang berbeda, tidak sama, dan unik. Tetapi, sejarah AS juga memiliki banyak kesamaan dengan sejarah banyak negara lain dalam satu aspek, yaitu, sebuah kenyataan bahwa untuk mencapai kemajuan sejarahnya, Amerika harus membayar harga yang mahal dengan melewati episode sejarah yang berdarah-darah. Studi sejarah perbandingan dari sosiolog politik AS terkemuka, Barrington Moore (1966), dalam magnum opusnya, Asal-Usul Sosial Rejim-rejim Diktator dan Demokratis (Social Origins of Dictatorship and Democracy), menunjukkan bahwa demokrasi liberal di dunia Barat, termasuk di AS, yang seringkali dianggap sebagai jalur modernisasi yang lebih ‘aman’ dan ‘beradab’, rupa-rupanya tidak kalah berdarah dengan rejim Fasis dan Stalinis dalam hal korban jiwa dan pelanggaran hak-hak warga negara dalam proses modernisasinya. Kita tidak perlu membahas panjang lebar mengenai sejarah AS di sini: sejarah perang sipil dan perbudakan, gerakan hak-hak sipil dan Kiri Baru yang menuntut demokrasi yang lebih deliberatif dan keadilan ekonomi dan sosial, berbagai protes anti perang, hingga gerakan Occupy adalah bukti bahwa sejarah dan proses modernisasi Amerika tidaklah sebegitu berbedanya dalam banyak negara dan masyarakat lain.
Mitos kedua, adalah tentang masyarakat AS yang dinilai lebih ‘egaliter’ dibandingkan banyak negara-negara lain. Di sini, kita perlu memahami bahwa konsepsi ‘egaliter’ ala AS sendiri merupakan sebuah ide yang banyak diperdebatkan. Secara asal-usul pemikiran, egalitarianisme ala Amerika ini berakar dari filsafat politik individualisme Lockean (Lockean Individualism). Singkat kata, individualisme Lockean ini dapat dirumuskan sebagai sebuah pandangan hidup yang berasumsi bahwa manusia dan masyarakat adalah sebuah individu yang atomistis, yang hanya peduli dengan kepentingannya sendiri. Untuk mencapai tujuan masyarakat dan tujuan dari tiap-tiap individu tersebut tanpa harus memunculkan konflik di antara keduanya, maka ‘negara’ harus hadir, namun hanya dalam kapasitasnya yang minimalis, karena negara juga tidak boleh koersif agar tidak melanggar hak-hak individu.
Yang sering luput dari perhatian adalah, demokrasi ala individualisme Lockean ini hadir dalam konteks zaman di mana mereka yang bisa berpartisipasi dalam politik hanyalah White, Male, Land and Property-Owning majority – hanya laki-laki berkulit putih dan yang memiliki tanah dan properti yang dapat berpartisipasi dalam politik, ekonomi, dan segenap aktivitas bermasyarakat lainnya. Perempuan, para budak, kaum etnis minoritas, para pekerja, dan banyak kelompok masyarakat lainnya sesungguhnya termarginalisasi, hingga tahun 1960an, di mana berbagai gerakan sosial yang menuntut hak-hak warga negara dan demokrasi yang radikal dalam politik, ekonomi, budaya, dan sosial muncul ke permukaan.
Beberapa ilmuwan dan kritikus sosial terkemuka AS karenanya berpendapat bahwa masyarakat AS adalah masyarakat yang elitis. Studi dari Jeffrey Winters dan Benjamin Page (2009), dua ilmuwan politik terkemuka di Northwestern University, yang berjudul Oligarki di Amerika Serikat (Oligachy in the United States) menunjukkan bahwa sekalipun ada ruang demokrasi yang besar di bidang politik, namun terdapat kesenjangan yang juga besar di bidang ekonomi di AS. Kesenjangan ini dilanggengkan oleh sekelompok oligark, yaitu lapisan orang-orang super kaya yang berusaha melindungi dan mengembangkan kekayaannya dan karenanya mendukung politik pro-kesenjangan ekonomi dan sosial di masyarakat. Kajian klasik sosiolog dan kritikus sosial kenamaan di AS, C Wright Mills (1956) dalam bukunya The Power Elite menunjukkan bahwa aktivitas publik yang demokratis di Amerika telah ‘dibajak’ oleh lapisan elit di bidang politik, ekonomi, birokrasi, militer, hingga budaya yang memarginalkan suara dan aspirasi warga negara biasa dalam proses-proses politik di Amerika. Senada dengan Mills, Michael Parenti dalam bukunya Power and the Powerless (1977) juga menunjukkan kecenderungan pemerintahan teknokratis-elitis dalam politik AS, yang seringkali menganggap elit politik dan para teknokrat maupun ilmuwan sebagai domain yang ‘bebas kepentingan,’ seraya mengabaikan berbagai aspirasi dan pertarungan gagasan yang terjadi di level masyarakat. Karenanya, Parenti berpendapat bahwa demokrasi tidak terlepas dari usaha dan tujuan perjuangan kelas. Visi politik AS yang ‘pluralis’ yang menggambarkan bahwa pertarungan ide, gagasan, dan kepentingan yang pada akhirnya akan saling menyeimbangkan satu sama lain, mengurangi dominasi kelompok tertentu, dan memajukan kepentingan umum dalam masyarakat, bisa jadi hanya sebuah pepesan kosong.
Mitos ketiga, dan yang terakhir, adalah sebuah imajinasi bahwa AS memiliki ‘kewajiban moral’ untuk menyelamatkan dunia dan mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil. Hanya ada dua jenis manusia yang menganggap bahwa klaim ini benar: pertama, kaum Neokonservatif; dan kedua, mereka yang tidak pernah dan tidak mau membaca sejarah. Bukan rahasia umum bahwa ini dapat dibilang sebagai sisi paling paradoksial dari Amerika. Perang Vietnam, Perang Teluk, Invasi Iraq, penyiksaan para napi di teluk Guantanamo yang menggunakan metode-metode ala rejim otoriter, dukungan terhadap rejim-rejim otoriter di negara-negara dunia ketiga demi ‘kepentingan nasional’ AS, semua ini hanyalah sedikit contoh dari daftar panjang dari jingoisme yang seringkali melanggar hukum internasional dan hak-hak asasi manusia dengan dalih ‘kepentingan global’ dan bahkan ironisnya, ‘demokrasi.’ Lebih parahnya lagi, proyek-proyek imperialisme baru ini terkadang juga mendapat sokongan intelektual dari para pemikir dan akademisi seperti Ayaan Hirsi Ali (yang sekarang berafiliasi dengan sebuah think-tank konservatif, pro-pasar bebas terkemuka, American Enterprise Institute), Irshad Manji, dan Fouad Ajami yang mendukung invasi Amerika ke tanah kelahiran mereka sendiri untuk ‘membebaskan’ masyarakat mereka dari rejim diktatorial dan membawa ‘peradaban’ bagi masyarakat tersebut. Faktanya, alih-alih disambut bunga, pasukan Amerika di berbagai tempat di belahan dunia kerepotan karena terjebak dalam sebuah kondisi Hobbesian, sebuah masyarakat di mana rasa aman seringkali terusik dan fasilitas umum seringkali nihil, yang ‘dibebaskan’ oleh AS.
Tapi, ini baru dua pertiga dari analisa dan cerita kita. Kritik tentu saja akan lebih berguna apabila disertai dengan solusi dan upaya untuk mewujudkan visi dari kritik tersebut.
Perkembangan Terkini, Kritik, dan Penutup
Sejenak, mari kita menengok gerakan Occupy. Rupa-rupanya, mereka masih bertahan, dan terus bergerak, meski luput dari liputan media-media besar seperti The New York Times maupun CNN. Taman Zucotti di New York boleh jadi sudah sepi dari para pemrotes dan demonstran yang mendudukinya, tetapi gerakan Occupy dan berbagai organisasi dan inisiatif-inisiatif yang mendukungnya masih terus bergerak, dengan caranya sendiri.
Berbagai upaya seperti forum diskusi rutin, lokakarya gerakan dan perubahan sosial, aksi solidaritas terhadap aksi mogok buruh dan pekerja di berbagai sektor industri, masih terus berlangsung di berbagai kota di AS. Baru-baru ini, di kota Chicago dan daerah sekitarnya, para guru juga melakukan aksi mogok kerja atas ketidakadilan dalam hal pengupahan dan intervensi atas kebebasan dan kreativitas akademik di sekolah-sekolah, yang juga didukung oleh berbagai kelompok sosial progresif lainnya.
Perlu juga diketahui bahwa beberapa daerah di AS, seperti Chicago, beberapa tempat di negara bagian Ohio dan Wisconsin, dan New York merupakan basis-basis tradisional berbagai pergerakan buruh dan gerakan sosial progresif lainnya. Salah satu serikat buruh paling progresif dan radikal di AS, the Industrial Workers of the World atau IWW juga didirikan di Chicago pada tahun 1905 – mendahului bahkan Revolusi Bolshevik di Russia sekalipun. Sewaktu saya tinggal di kota kecil Athens di Ohio, saya juga menyaksikan berbagai komponen gerakan sosial dan LSM lokal, seperti lingkaran studi pemikiran Kiri, LSM-LSM antar iman, gerakan pro-perdamaian, gerakan makanan lokal dan pertanian organik belajar dan bekerja sama satu sama lain, membuka ruang-ruang demokrasi, partisipasi, dan deliberasi di mana tiap-tiap individu yang terlibat bisa saling berdiskusi dan terlibat dalam kritik, persetujuan, maupun ketidaksetujuan. Ya, rupa-rupanya tradisi politik radikal itu juga pernah bersemi, dan masih hidup di Amerika.
Diskursus politik di Amerika juga pelan-pelan mulai berubah. Penerapan sistem asuransi kesehatan universal misalnya, adalah salah satu contohnya. Bahkan, menurut Slavoj Zizek, filsuf asal Slovenia itu, penerapan sistem asuransi kesehatan universal merupakan sebuah pencapaian karena kebijakan tersebut telah berhasil mengubah diskursus politik AS secara pelan-pelan namun radikal, dari diskursus tentang ‘kebebasan dan pilihan pribadi’ (choice) menjadi ‘kebebasan dan kepentingan bersama.’
Amerika, terlepas dari segala kekurangannya, juga melahirkan tokoh-tokoh seperti Rosa Parks dan Martin Luther King, yang menunjukkan kepada tiap-tiap kita bahwa kritik, otokritik, dan upaya untuk menciptakan praktek-praktek sosial baru tidak hanya mungkin, namun juga pernah dilakukan.
Tak heran, apabila pendiri studi perdamaian asal Norwegia, Johan Galtung, pernah mengatakan, ‘Republik Amerika (American Republic) akan jauh lebih baik apabila ia mau melepaskan hasratnya sebagai Imperium Amerika (American Empire).’ Bagi Galtung, Republik Amerika melambangkan Amerika yang memberi tempat bagi praktek-praktek politik yang progresif, sedangkan Imperium Amerika adalah hasrat kekuasaan Amerika yang bersifat eksploitatif dan ekspansionis bagi dirinya sendiri dan segenap masyarakat dunia. Baginya, tentu saja Republik Amerika akan lebih baik minus hasrat kekuasaan dan dominasinya.
Hemat saya, Amerika bukanlah sebuah visi final yang 100 persen ideal – saya bukanlah penganut Francis Fukuyama yang menganggap bahwa ‘demokrasi liberal’ dan ‘kapitalisme’ adalah ‘akhir sejarah’ dari peradaban manusia. Namun, kita bisa belajar banyak dari pengalaman Amerika, sebagai bahan acuan kita dalam pencarian abadi akan sebuah model politik dan masyarakat yang emansipatoris.***
Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc