SEPERTI tahun-tahun sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram merayakan hari kasih sayang, tiap 14 Februari. Peringatan ini dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Beberapa kelompok Islam kemudian mengeluarkan seruan boikot hingga aksi penolakan di bunderan HI. Sayang, tak ada yang baru dan mencerdaskan pada polemik haram dan halal itu, sebab mereka gagal menghubungkannya dengan kapital dan pasar.
Bagi pasar, tak soal apakah Hari Valentine itu halal ataupun haram, yang penting jadilah konsumen yang baik. Sampaikan kasih sayangmu melalui hadiah, dan teruslah berbelanja. Itu sebenarnya pesan tahunan perayaan hari kasih sayang sedunia itu.
Saya tidak tahu pasti berapa uang yang dihabiskan orang Indonesia untuk berbelanja di hari kasih sayang itu Tapi di Amerika Serikat (AS), hasil Survey BIGinsight untuk National Retail Federation (2013) menyebutkan, negara berpenduduk paling padat nomer empat di dunia ini menaikkan anggaran belanja hari kasih sayangnya hampir 4 persen, dengan total pembelanjaan lebih Rp 171 Trilyun. Lebih 10 persen besaran APBN Indonesia tahun ini.
Hasil survey menyebutkan, meski permen dan bunga menjadi hadiah favorit di hari kasih sayang, tapi warga AS menghabiskan uang paling banyak untuk membeli perhiasan. Satu dari lima warga AS menyatakan akan memberi perhiasan di hari kasih sayang. Angka online pengguna tablet dan smartphone untuk memesan barang-barang hadiah tersebut juga naik.
Perhiasan, seperti cincin berlian, pin, gelang, kalung dan jam tangan, maupun alat elektronik macam smartphone dan tablet, bahan penyusun utamanya adalah logam. Barang-barang itu membutuhkan logam dasar, mulai besi, emas, perak, tembaga, baja, nikel, timah, cobalt, colton hingga jenis-jenis mineral langka lainnya (rare earth mineral). Tak hanya itu, mereka juga membutuhkan bahan bakar energi fosil sebagai sumber energi, untuk menggali bahan-bahan tersebut dari dalam tanah, mengolahnya, hingga mengangkutnya dan sampai di tangan konsumen. Dari sinilah mestinya cerita di balik hari kasih sayang dikupas.
Emas kotor
Tepat perayaan hari kasih sayang 14 Februari 2013, situs Nodirtygold meluncurkan kampanye emas kotor Macy’s, yang menyerukan penduduk dunia untuk protes terhadap perusahaan ritel perhiasan yang memiliki 850 departement store Macy’s dan Bloomingdale’s di seluruh Amerika Serikat. Kampanye ini bertujuan menyadarkan para penjual dan pembeli perhiasan tentang wajah kotor industri pertambangan, sehingga membuat mereka menjadi konsumen yang lebih bertanggung jawab.
Emas merupakan penyusun utama perhiasan. Namun sebagian besar konsumen tidak tahu dari mana emas dalam perhiasan mereka berasal, dan bagaimana emas itu ditambang. Padahal, pertambangan emas adalah industri kotor, yang menggusur warga setempat, mencemari air minum warga, membahayakan pekerja, menghancurkan lingkungan dan melanggar Hak Asasi Manusia. Pun penambangan logam-logam lainnya.
Pertambangan sendiri merupakan industri yang rakus lahan dan air. Di Papua, luas konsesi tambang emas yang diberikan pada PT Freeport McMooran pada 1967 meliputi luasan lebih 1 juta ha. Di Samarinda – ibukota Kalimantan Timur, ijin konsesi batubara telah meliputi 71 persen wilayahnya. Belakangan UU Mineral dan batubara No. 4 tahun 2009 mengatur maksimal luasan Ijin Usaha Pertambangan yang baru dibatasi 5 ribu – 100 ribu hektar. Angka yang luar biasa dibanding luas lahan rata-rata yang dimiliki sebagian besar petani Indonesia. Menurut Bappenas (2010), sekitar 53 persen petani Indonesia rata-rata memiliki luas lahan 0,5 hektar ke bawah.
Tidak hanya rakus lahan, industri pertambangan ini juga rakus air. Untuk mengekstraksi satu gram emas dari batuan dibutuhkan sedikitnya 100 liter air. Selain membutuhkan air dalam jumlah luar biasa, industri pengerukan ini berpotensi mencemari sumber-sumber air. Sebab untuk mendapat satu gram cincin emas, rata-rata dihasilkan 20 ton limbah, baik limbah batuan maupun tailing berbentuk lumpur.
Tambang-tambang skala besar saat ini setidaknya membuang 180 juta ton limbah tambang berbahaya tiap tahunnya ke sungai, danau, dan lautan di seluruh dunia yang mengancam dan merusak badan-badan air dengan logam berat beracun dan bahan kimia lainnya. Tidak heran jika limbah menjadi salah satu masalah utama pertambangan, tak hanya jumlahnya yang luar biasa besar, namun juga kandungan bahan beracunnya yang mematikan. Untuk memisahkan emas dari batuan, dibutuhkan sianida atau merkuri dan bahan kimia beracun lainnya. Nodirtygold menyebutkan, rata-rata tambang emas skala besar membutuhkan setidaknya 1900 ton Sianida per tahun. Padahal, sianida seukuran gabah saja dosisnya bisa fatal bagi manusia. Konsentrasi satu mikrogram (satu juta gram) per liter air bisa berakibat fatal pada ikan.
Di Amerika Serikat pertambangan logam dinobatkan Badan Perlindungan Lingkungan Hidup (EPA) sebagai pencemar lingkungan nomer satu di Amerika Serikat, yang bertanggung jawab terhadap 46 persen pelepasan bahan kimia beracun di lingkungan. Dalam laporan tentang pencemaran air oleh limbah pertambangan bertajuk ‘Troubled Waters’ (2012), dicontohkan beberapa perusahaan yang mencemari sumber-sumber air dunia. Ada Barrick Gold, BHP Billiton, Freeport McMoran, Goldcorp Inc., Newcrest, Newmont, Rio Tinto, Teck, Xtrata dan Vale. Mereka berasal dari enam negara, yaitu Amerika Serikat, Kanada, Australia, Inggris, Swiss dan Brazil, yang sebagian besar melarang pembuangan limbah tambang langsung ke sumber-sumber air.
Tapi perusahaan dan Negara-negara tersebut justru menerapkan standar ganda, dengan membiarkan perusahaan tambang mencemari dan membahayakan lingkungan negara lain. Banyak perusahaan tambang-tambang mereka yang justru beroperasi di dunia ketiga, di Asia, Afrika dan Latin Amerika. Mereka membuang limbah dalam jumlah lebih besar dan menghasilkan pendapatan yang jauh lebih besar dari operasinya di negara lain. Ini merupakan sebuah kejahatan sistematis antar bangsa yang dibiarkan sejak lama, meski Perserikatan bangsa-Bangsa telah berdiri sejak 1945.
Tujuh dari sepuluh perusahaan itu beroperasi di Indonesia. Tiga perusahaan asal Amerika serikat dan Inggris, yaitu Newmont dan Freeport/Rio Tinto saja membuang sedikitnya 360 ribu ton tailing perhari ke sungai dan lautan Indonesia. Belum lagi puluhan juta ton tailing dari dua perusahaan mereka yang sudah tutup, PT Newmont Minahasa raya di Sulawesi Utara dan PT Kelian Equatorial Mining Kalimantan Timur. Perusakan lingkungan yang luar biasa dengan segala daya rusaknya akibat limbah tambang itu ditanggung warga dan pemerintah setempat serta generasi ke depan.
Lantas apa tanggapan pelaku pertambangan? Mereka mengampanyekan pertambangan sebagai bagian pembangunan berkelanjutan. Setidaknya itu yang dikampanyekan ICMM atau Dewan Pertambangan dan Mineral Internasional sejak didirikan pada 2001. Jaringan perusahaan-perusahaan tambang dan logam multinasional ini seolah ingin mengatakan: jangan kuatirkan daya rusak pertambangan, itu masa lalu, kami akan berubah, kami sama dengan sektor lainnya yang dibutuhkan untuk pembangunan berkelanjutan.
Namun tambang-tambang milik sepuluh perusahaan di atas bukan tambang-tambang kemarin sore. Tambang Rio Tinto di Spanyol bahkan sudah ditutup lebih 100 tahun lalu, tambangnya yang lain di pulau Bougainville Papua Nugini, yakni tambang emas Panguna dimulai pada 1970, sementara Freeport mulai membuang limbahnya di sungai Ajkwa Papua dua tahun kemudian. Celakanya, sampai detik ini, mereka masih menggunakan metode buruk yang sama seperti puluhan tahun lalu. Mereka gagal membuktikan kampanye mereka bukan sekedar pencitraan hijau. Apalagi separuh anggota ICMM masih terus membuang tailing ke sumber-sumber air dan masih berencana melakukannya pada tambang-tambang mereka yang baru.
Ini baru cerita tentang tambang skala besar, belum mengungkap limbah dan penggunaan bahan kimia beracun pada pertambangan rakyat yang menjamur di mana-mana. Belum ada yang tahu pasti berapa limbah yang dihasilkan tambang-tambang tersebut. Tapi cerita pencemaran sumber-sumber air di sekitar lokasi tambang rakyat, seperti Pongkor di Jawa Barat, Poboya di Sulawesi Tengah, Bombana di Sulawesi Tenggara, Mandor di kalimantan Barat, dan lainnya, bukanlah cerita baru.
Daya rusak pertambangan emas dan logam lainnya dibalik perhiasan dan gadget, mesti menjadi bagian ‘merayakan’ hari kasih sayang, atau perayaan lainnya. Artinya saat kita merayakan hari kasih sayang dengan hadiah-hadiah tersebut, maka tak lagi bermakna ‘Aku sayang padamu.’ Makna sebenarnya adalah ‘Aku telah meracuni air minum seseorang.’***
Siti Maimunah, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)