REALITAS bekerja dengan penuh keanehan layaknya fiksi. Dalam pengalaman kita sekarang, misalnya, kita bisa melihat bagaimana pembangunan besar-besaran atas nama profit dan ‘revolusionarisasi alat-alat produksi’ berdampingan dengan kemiskinan akut dan deprivasi besar-besaran nilai-nilai kemanusiaan. Ketika apropriasi akumulatif untuk meningkatkan keuntungan kelas kapitalis, hal itu mensyaratkan pengurangan masif kualitas hidup mayoritas rakyat pekerja. Dalam ketegangan ini maka fiksi menjadi sangat operasional. Fiksi berfungsi sebagai perekat ideologis dalam rangka ‘rasionalisasi atas irasionalitas dari sistem yang irasional,’ yang berfungsi untuk memastikan bahwa sistem yang kontradiktif dan berlaku masih dapat berjalan sebagaimana biasanya. Di sini kita akan menemukan bagaimana fiksi, sekaligus karya-karya fiksi, justru menjadi pelayan ideologis dari status quo serta kekuasaan kapitalisme itu sendiri.
Walau begitu, pembacaan ini bukanlah suatu pembacaan yang lengkap. Ada dimensi kemungkinan yang lain dari fiksi sebagai bagian dari perangkat ideologi. Karena fiksi berlandaskan pada ‘rasionalisasi atas irasionalitas,’ maka fiksi juga terbuka untuk bentuk ‘rasionalisasi’ yang lain. Suatu rasionalisasi yang memungkinkan perubahan dan progresivitas yang berada di luar dari ‘sistem irasional’ yang bekerja sekarang ini. Dengan kata lain, fiksi menjadi ruang kontestasi ideologi dalam berpikir sekaligus berjuang di luar kerangka rasionalisasi kapitalisme itu sendiri.
Dalam trajektori penulisan fiksi seperti ini, nama Ken Budha Kusumandaru menjadi sangat relevan. Ken Budha Kusumandaru atau akrab disapa Ken Ndaru, menawarkan suatu posisi karya fiksi yang sangat berbeda, dimana fiksi bekerja bukan sebagai instrumen ideologi dari kelas yang berkuasa semata, akan tetapi sebagai fiksi yang mampu menjadi inspirasi perjuangan untuk mencari dan menemukan dunia yang lebih baik. Komitmen ini sebenarnya tidak terlalu aneh, karena Ndaru juga dikenal sebagai seorang aktivis politik yang selalu berbenturan dengan kekuasaan yang menindas, sejak dari zaman Orde Baru sampai dengan sekarang.
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana karya Ken Ndaru menempatkan fiksi sebagai alat perjuangan menuju dunia yang lebih baik, Muhammad Ridha dari Left Book Review (LBR) berbincang-bincang dengan Ken Ndaru. Berikut petikannya:
Jika dibandingkan buku anda sebelumnya, Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme, karya anda sekarang dapat dikatakan memiliki tema yang berbeda sepenuhnya dengan buku yang pernah anda tulis. Apa yang sebenarnya membuat anda menulis dengan tema berbeda?
Sebenarnya tidak berbeda. Tema utama dalam penulisan fiksi fantasi yang sekarang aku tekuni tetap berpijak pada konflik antar kekuatan, terutama benturan antar pandangan: bagaimana dunia ini seharusnya diatur.
Sebagian besar, jika tidak dapat dikatakan semua, kisah fantasi tidak mempertanyakan sistem dunia yang menjadi setting kisah tersebut. Ada yang bicara tentang perebutan kekuasaan, namun perebutan kekuasaan ini adalah antara tokoh ‘jahat’ dengan tokoh ‘baik.’ Kisahku bercerita mengenai perebutan kekuasaan yang fundamental, yang akan mengubah relasi sosial dalam keseluruhan ‘dunia’ yang aku kisahkan.
Keseluruhan kisah dijalin dengan logika ekonomi-politik yang ketat, juga dengan penerapan hukum-hukum alam sejauh tidak mengganggu faktor ‘rule of cool.’ Aku ingin tunjukkan bahwa kerunutan dan keruntutan bisa merupakan hal yang menyenangkan dan dapat dinikmati. Dalam buku II Shangri-La, misalnya, ada deskripsi cukup mendetil tentang bagaimana Mantera Pindah Jauh Portafaira bekerja. Aku pelajari teori-teori mutakhir berkenaan dengan teleportasi dan teknologi hyper-drive. Masih teori spekulatif, tapi sangat cool. Sains juga bisa keren.
Aku hanya mengubah medium bertuturku. Tutur fantasi bisa diterima lebih banyak orang. Ini sama saja dengan Pramoedya Ananta Toer bertutur politik lewat fiksi sejarah. Kelasku masih jauh dari Pram, tapi aku mencoba cara yang dia pakai karena cara itu terbukti jauh lebih efektif menggugah banyak orang, ketimbang tutur politik yang konvensional.
Mengapa fiksi fantasi? Apa yang membuatnya penting untuk dituliskan sekarang ini?
Fiksi fantasi menjadi penting saat ini, karena hanya pada genre inilah ‘pasar’ masih kosong. Genre yang lain sudah dikuasai oleh penulis-penulis konservatif. Bahkan genre fiksi sejarah pun sudah dikuasai oleh orang-orang yang tidak menggunakan pendekatan ekonomi politik sebagai landasan berpikirnya. Pembaca fantasi juga loyal pada seri yang dibaca, sehingga memungkinkan interaksi yang lebih dalam dengan reader-base kelak. Di samping itu, para pembaca fantasi inilah orang-orang yang berani bermimpi. ‘Liar’ dalam ide. Jika mereka dapat memperoleh tuntunan bagaimana mengarahkan keberanian mereka bermimpi ke arah perbaikan masyarakat, ini potensi yang luar biasa.
Bukan hanya dalam genre fantasi, semua genre dan medium sastra dan budaya lain juga harus didayagunakan dalam pertarungan perebutan hegemoni. Kita tidak dapat membatasi diri pada satu atau dua genre yang dianggap ‘ideologically correct,’ karena ideologi kepemilikan pribadi hadir di semua genre. Dan, bicara genre, kita bicara selera pribadi. Sebagai pelayan bagi kepentingan publik, kita harus menghadirkan ideologi layanan publik dalam semua genre yang termungkinkan.
Sebuah gerakan yang sungguh hidup niscaya menghasilkan produk budaya yang monumental. Zaman Orde Baru, ada Pram, ada Wiji Thukul. Zaman ini, begitu banyak penyair ‘progresif’ tapi belum ada lagi yang sanggup meraih status sebagaimana Rendra atau Thukul. Aku berpendapat kita harus mencoba semua medium budaya yang tersedia. Jika cukup banyak yang mencoba, suatu saat akan muncul produk budaya yang benar-benar mewakili semangat perlawanan zaman ini.
Siapa yang menginspirasi anda untuk menulis fiksi fantasi?
John Ronald Reuel Tolkien. Inilah mahaguru semua penulis fantasi modern. Tolkien ahli linguistik, sehingga paparannya tentang bahasa dan budaya masing-masing bangsa yang digambarkan dalam Lord of the Rings begitu hidup. Kesempurnaan ini yang menjadi cita-citaku juga.
Namun demikian, aku mencoba membalik Tolkien yang berjalan di atas kepalanya, yang tidak pernah mencoba menggambarkan apa yang dilakukan rakyat jelata dalam kisah-kisahnya. Aku tertarik menggambarkan konteks sosial ini. Tolkien juga membuat gambaran yang hitam-putih dalam hal moralitas. Aku lebih tertarik menggambarkan tokoh-tokoh gubahanku secara kompleks.
Dalam Shangrilla, anda menempatkan perempuan sebagai tokoh protagonis utama, Francine Massisou. Bisa anda ceritakan alasan mengapa anda memilih seperti itu?
Tokoh protagonis perempuan sangat langka dalam dunia fiksi. Terutama fantasi. Maka aku pun menggubah satu tokoh yang serba minoritas: perempuan, berkulit hitam, penggemar sains, putri seorang wartawan radikal pro-demokrasi.
Dalam novelku, aku juga menghadirkan tantangan yang muncul terhadap meningkatnya peran perempuan. Termasuk keraguan perempuan untuk mengambil peran yang lebih signifikan dalam pengaturan masyarakat. Aku ingin novelku bisa menjadi tempat bercermin, dengan cara yang lebih santai dan dapat dinikmati khalayak.
Bagaimana proses kreatif anda dalam menulis cerita fiksi fantasi ini?
Cukup standar sebetulnya. Gubah karakternya, gubah setting, rangkai konflik yang muncul dari perbedaan karakter dan antar karakter dengan setting. Dan biarkan kisah itu mengalir keluar ketika dituliskan.
Dalam merangkai konflik, aku banyak mengambil inspirasi dari konflik yang muncul dalam dunia pergerakan, baik yang antar pribadi dengan kelompok (organisasi) maupun antar pribadi itu sendiri. Kehidupan organisasi itu kehidupan yang riuh-rendah, kompleks, dan seringkali saling-silang dalam nuansa dan kepentingan. Dengan kata lain, kehidupan yang sangat dialektik. Organisasi mengandung kompleksitas dunia yang sesungguhnya, dalam bentuk yang lebih mikro. Semua yang hendak kita cari dalam dunia nyata, ada dalam bentuk mikro dalam kehidupan berorganisasi. Skala ini lebih personal, sehingga lebih terinternalisasi dan dapat kita tangkap warna-warninya. Ini memudahkan ketika melakukan translasi vektor ke dalam jemalin konflik yang kita gubah dalam kisah fiksi.
Bagaimana pedapat anda mengenai hubungan antara fiksi dengan realitas? Apa yang dapat dikatakan oleh fiksi dalam memahami realitas kita sekarang?
Fiksi menggambarkan apa yang ingin dilihat orang ketika realitas berubah. Dengan kata lain, fiksi adalah idealisasi manusia terhadap realitas. Dalam fiksi, semua ganteng dan cantik. Dalam fiksi, semua masalah akhirnya bisa terselesaikan dan tokoh baik menang. Fiksi yang baik berpijak pada realitas. Ketika pembaca sudah bersurat: ’ini beneran ada apa enggak ya?’ itu berarti mission accomplished. Itu artinya apa yang mereka baca terasa benar-benar riil, sesuai dengan apa yang mereka alami dan rasakan. Faktor ’rule of cool’ membuat kisahnya jadi bisa dinikmati; tapi realisme yang ada dalam kisah itulah yang membuat orang terpaku.
Ada begitu banyak fiksi yang mengilhami perubahan. Ini terjadi karena fiksi tersebut membuat orang yakin bahwa kondisi ’ideal’ dalam fiksi tersebut sungguh dapat tercapai. Uncle Tom’s Cabin, misalnya, adalah karya yang telah mengguncang sejarah karena memicu perlawanan terhadap perbudakan di Amerika Serikat. Aku tidak punya pretensi bisa membuat karya seklasik itu, tapi aku kira aku boleh berusaha untuk mencapai titik itu.
Bagaimana karya anda ditempatkan dalam perjuangan rakyat pekerja sekarang?
Karyaku bukan untuk hari ini. Karyaku adalah untuk memperkenalkan cara pandang atas dunia, idealisme, moralitas perjuangan, dengan cara yang dapat dinikmati orang, terutama generasi yang lebih muda. Cara propaganda konvensional cenderung menggurui, karena sifat kebutuhannya memang untuk segera membangkitkan perlawanan. Aku tidak bekerja di tataran itu. Aku bekerja pada khalayak yang lebih luas, dan pada generasi yang belum terlibat dalam aktivitas ekonomi atau politik (dan, dengan demikian, aktivitas perlawanan) secara penuh.
Bagaimana saran anda kepada para penulis muda yang ingin memulai untuk menulis karya fiksi, khususnya fiksi fantasi seperti anda?
Pelajari dan kuasai MDH (Materialisme Dialektika Historis, red). Problem writer’s block tidak akan lagi muncul. Proses menulis akan menjadi lebih segar dan karya yang dihasilkan tidak akan lagi terasa mengada-ada atau mengandung terlalu banyak kesalahan logika dan fakta. MDH itu cara pandang yang kumplit, yang tidak sepihak, yang empatik, yang mampu membedakan mana situasi khusus dan mana situasi umum. Semua hal ini sangat membantu dalam menuliskan karakter yang ‘hidup,’ tidak stereotip, tidak hitam-putih. MDH juga melatih kita peka terhadap fakta dan cara penyusunan fakta menjadi kesimpulan. Dan, yang terpenting, MDH membantu kita menyusun sejarah yang hidup dan berkembang. Semua ini membantu dunia rekaan kita menjadi sangat riil dan hidup.
Jika yang kita tulis adalah sekuel, sebagaimana yang aku lakukan dalam Shangri-La (Buku II akan segera terbit, Buku III dalam penulisan), MDH merupakan alat bantu yang tidak tergantikan. Disiplin berpikir yang dilatih lewat MDH membantu ketelitian merangkai fakta dalam sebuah paparan sepanjang apapun; menghindarkan kita dari jebakan inkonsistensi dan diskontinuitas. Sederhananya begini: ketika satu karakter ditampilkan sebagai ‘dingin’ dan ‘penuh kalkulasi’ bisakah dia tiba-tiba mengerjakan sesuatu yang impulsif? Jika tidak ada penjelasan mengenai perubahan sikap ini, maka inkonsistensi akan muncul. Mengenai diskontinuitas, alat ukur terbaik adalah apakah penulis sering terpaksa menggunakan Deus/Diablo Ex Machina sebagai peranti tutur (literary device) suatu kondisi ketika jagoan/tokoh baik terdesak, tiba-tiba ada jagoan lain datang menolong.
Terakhir, apa tantangan yang anda hadapi ketika menggunakan MDH dalam menulis novel?
Tantangannya adalah membuat MDH accessible buat pembaca. MDH itu analisa yang kompleks. Kalau tidak dihadirkan utuh, bisa bikin orang salah paham. Tapi, kalau dihadirkan sekaligus, akan membuat cerita jadi bertele-tele dan membosankan. Orang membaca fiksi sebagai relaksasi, bukan untuk dapat penjelasan ilmiah. Penjelasan ilmiah itu akan menyenangkan apabila hadir dalam porsi yang pas, di tempat yang pas, dengan penyampaian yang pas. Tantangannya bagaimana membuat MDH hadir di latar belakang, tidak intrusif, tapi terus hadir sebagai napas seluruh kisah.
¶