KRISIS finansial yang mendera Amerika Serikat dan berbagai belahan negara, baru saja mereda. Sebuah gejala yang sering disebut sebagai ekonomi gelembung (buble economy) itu telah meletus dan menyisakan kegamangan. Dalam suasana gamang dan penuh ketidakpastian inilah John Cassidy, editor ekonomi majalah The New Yorker, bertandang ke Universitas Chicago di Amerika Serikat untuk merekam situasi di sana.[2] Sebagaimana diketahui, Universitas Chicago adalah pilar penting penggagas apa yang disebut aliran monetarisme yang dikenal luas menggantikan Keynesianisme di akhir 1970-an. Adalah Eugene Fama, seorang profesor di universitas itu yang kemudian lirih berujar:
Saya tidak paham apa yang disebut gelembung kredit. Kata ini sedemikian populer tapi karenanya juga tak berarti apa-apa. Orang-orang sudah telanjur menimpakan kesalahan pada pasar finansial. Saya dapat menceritakan dengan mudah bahwa pasar finansial hanyalah korban dari resesi, dan bukan penyebabnya.[3]
Pendapat Profesor Fama ini tentu saja terdengar mencengangkan, namun tidak untuk sebuah keyakinan yang telah mendarah daging mengenai keutamaan pasar (market virtue). Sebagaimana ditegaskan koleganya Profesor John Cochrane, pemicu krisis adalah pidato Presiden Obama di televisi yang menyatakan bahwa pasar finansial mendekati kebangkrutan. Kekeliruan pemerintah ini mengikuti kesalahan sebelumnya ketika dua perusahaan milik pemerintah AS diumumkan bangkrut, Freddie Mac dan Fannie Mae. Di sisi lain, seorang tokoh penting Universitas Chicago yang juga ahli ekonomi dan ahli hukum, Richard Posner, mengumumkan dirinya kini menjadi seorang Keynesian dan mengakui bahwa Depresi Besar sudah di depan mata. Bahkan Gary Becker, ekonom Universitas Chicago lainnya yang sangat berpengaruh dan pada tahun 1970 mengatakan bahwa ekonomi menyediakan semesta pendekatan untuk memahami semua perilaku manusia,[4] kini berujar
Ada banyak hal terjadi. Bahwa banyak orang melakukan kesalahan, saya melakukan kesalahan, dan Chicago pun melakukannya. Anda membeli surat-surat derivatif dan tidak sepenuhnya memahami bagaimana risiko agregat dari transaksi derivatif ini bekerja. Risiko sistemik: saya tidak yakin kita mengerti termasuk di Chicago dan tempat lainnya. Barangkali beberapa akan menyalahkan deregulasi sektor finansial yang terlampau jauh, dan kita sebaiknya menetapkan prasyarat-prasyarat yang lebih banyak. Meskipun demikian, kesalahan tidak hanya dilakukan Chicago, tapi juga oleh Larry Summers – ekonom Harvard yang menjadi penasehat Presiden Obama.[5]
Tegangan semacam itu muncul akibat dominannya ortodoksi ekonomi neoklasik yang dicirikan dengan situasi ilmu ekonomi kontemporer yang mengemuka dalam metode analisis ekonomi maupun dalam model pengajaran ilmu ekonomi di perguruan tinggi. Ada lima karakter umum yang melandasi situasi tersebut:[6]
- Pergeseran dari deskripsi spesifik atas situasi partikular ke penjelasan yang memiliki dakuan universal. Ini berkaitan dengan status ilmu ekonomi sebagai sains.
- Pergeseran dari pendekatan holistik ke individualisme metodologis. Analisis dalam ilmu ekonomi kontemporer berangkat dari analisis tentang individu untuk lalu secara agregatif menganalisis masyarakat.
- Pergeseran dari teori nilai substantif (labour theory of value) ke teori nilai subjektif (utility theory of value). Sementara ekonomi Klasik melihat asal-muasal nilai pada ranah produksi (berdasarkan ongkos produksi), ekonomi Neoklasik mencarinya pada ranah sirkulasi (berdasarkan evaluasi konsumen).
- Pergeseran dari analisis normatif ke analisis non-normatif. Ilmu ekonomi kontemporer memisahkan pertanyaan soal ekonomi dari pertanyaan soal moralitas.
- Idealisasi ilmu ekonomi sebagai sains matematiko-deduktif. Ilmu ekonomi kontemporer menggunakan model matematis yang berangkat dari sederet aksioma yang kebenarannya sudah diandaikan. Semua kesimpulan dalam ilmu ekonomi merupakan hasil deduksi dari aksioma-aksioma tersebut.
Kelima karakter ini menjadi ciri penentu dari ilmu ekonomi yang disebut ortodoks, mainstream atau Neoklasik. Kelimanya adalah topik utama yang menjadi perdebatan besar pada awal abad ke-20. Perdebatan itu adalah Methodenstreit (Debat tentang Metode) yang mengemuka antara Mazhab Historis (dengan tokoh kuncinya Gustav von Schmoller) dan tiga pendiri ekonomi Neoklasik (Carl Menger, Léon Walras, William Stanley Jevons). Perbedaan posisi tersebut dapat diringkaskan sebagai berikut: sementara Schmoller melihat ekonomi sebagai kajian historis-normatif yang berangkat dari asumsi holisme metodologis, para pendiri Neoklasik melihat ekonomi sebagai kajian matematis-netral yang berangkat dari asumsi individualisme metodologis.
Dalam setting tegangan ideologis dan intelektual sebagaimana tergambar di atas, tulisan sederhana ini akan memotret dinamika internal kapitalisme dari pemikiran Karl Polanyi [1886-1964] – sejarawan dan antropolog ekonomi – dan mengiris sebagian kecil sejarah kapitalisme untuk memahami akar persoalan dan mencari jalan keluar dari jebakan sejarah yang berulang.
Mencari Akar Tegangan
Demikianlah, perdebatan mencari penyebab terjadinya krisis telah digelar dan akhirnya berujung pada dua kutub. Pertama, mereka yang meyakini bahwa sistem ekonomi yang dominan pada saat ini terbukti tidak mampu bekerja dengan baik. Apa yang disebut keyakinan pasar dan upaya melepaskan dari kontrol diyakini telah kebablasan dan mendorong perekonomian masuk ke jurang kehancuran.[7] Pihak lain berpendapat bahwa apa yang terjadi saat ini dikarenakan pemerintah yang masih campur tangan dan terlibat aktif dalam kinerja pasar. Jika ditilik dari sisi sejarah, apa yang kini menjadi tema perdebatan sebenarnya tidak pernah beranjak dari persoalan klasik yang muncul menyertai Depresi Besar di tahun 1920-1930 an yang mempertanyakan efektivitas kinerja sistem pasar dan merosotnya Mazhab Keyensianisme (welfare-state school) pada akhir 1970-an.
Namun secara umum diakui, membiaknya pasar finansial yang berujung pada kredit beracun yang menyebabkan keruntuhan tata keuangan global, tak lepas dari gejala semakin tercerabutnya kinerja sektor finansial dari kinerja sektor riil. Ekonomi yang dulu secara harfiah dipahami sebagai urusan pemenuhan kebutuhan rumah tangga (oikonomia), kini menjadi ranah yang lebih dekat dengan persoalan harga, indikator, dan kalkulasi matematis sebagaimana dituturkan Giovanni Arrighi, ‘para ekonom tidak berurusan dengan ekonomi; mereka berurusan dengan model-model matematis yang tidak ada kaitannya dengan ekonomi.’[8] Data juga mendukung penilaian bahwa sektor finansial melaju kencang meninggalkan kinerja sektor riil.[9] Keutamaan pasar (market virtue) telah telanjur menjadi jargon dalam ranah ekonomi politik, khususnya pasca runtuhnya negara komunis Uni Soviet dan negara-negara di belahan Eropa Tengah dan Eropa Timur. Ujung perdebatan diakhiri dengan dua pilihan: sistem pasar atau perencanaan terpusat, bahkan segera diikuti dengan labelisasi ‘pro’ dan ‘anti’ pasar, tanpa upaya reflektif memikirkan kemungkinan di luar itu. Sistem ekonomi pasar swatata (self-regulating market) hadir bersamaan dengan dominasi diskursus ekonomi politik kontemporer yang dikuasai oleh kapitalisme sebagai sebuah kekuatan hegemonik.[10] Dengan demikian mengurai nalar kapitalisme dan membongkar cara berpikir yang melambarinya merupakan proyek yang niscaya.
Membongkar Nalar Pasar: Modus Ketercerabutan
Polanyi tidak mengabaikan bahwa dalam semua tipe masyarakat faktor ekonomi senantiasa berperan. Sepanjang sejarah peradaban manusia – entah komunitas relijius atau non relijius, materialis ataupun spiritualis – eksistensi mereka selalu dipengaruhi dan dibatasi kondisi-kondisi material. Namun secara alamiah tidak pernah ada peradaban yang secara prinsipiil dikendalikan pasar meski institusi ini sudah ada sejak zaman Batu. Baru pada peradaban abad ke-19 sajalah ekonomi ditempatkan sebagai sesuatu yang berbeda dibandingkan era sebelumnya. Sistem pasar melahirkan sistem pasar swatata. Ekonomi pasar adalah sistem ekonomi yang dikendalikan, diatur, dan diarahkan oleh pasar semata. Tata produksi dan distribusi dipercayakan pada mekanisme swatata. Yang diasumsikan oleh sistem ini adalah pasokan barang (dan jasa) dan permintaan akan barang (dan jasa) berada pada tingkat harga yang setara. Produksi dan distribusi dikendalikan oleh harga.
Polanyi merumuskan beberapa pokok asumsi dari sistem pasar swatata. Pertama, mengenai eksistensi pasar itu sendiri. Dengan mengatakan bahwa sistem ekonomi dikendalikan dan diatur oleh pasar saja, berarti terjadi identifikasi antara ekonomi dan pasar. Ekonomi tidak lain adalah sistem pasar itu sendiri. Implikasinya adalah modus-modus ekonomi di luar pasar dianggap tidak ada. Kedua, ekonomi kini dipahami melalui pola menjelaskan dirinya sendiri (self explanatory). Ini berarti eksistensi pasar berikut keseluruhan asumsi dan mekanisme yang menyertai adalah alamiah kecuali muncul campur tangan yang menjadikannya tidak dapat bekerja. Ciri menjelaskan diri sendiri (self explanatory) pada gilirannya juga menunjukkan corak sistem ekonomi pasar yang mengacu pada dirinya sendiri (self-referential). Ekonomi tidak lagi mengacu pada sesuatu di luar dirinya (non-ekonomi), melainkan mengacu pada hukum permintaan dan pasokan yang merupakan bagian dari ekonomi. Untuk memperjelas watak acu-diri ini dapat disajikan ilustrasi. Misalnya terhadap kasus konversi penggunaan minyak tanah ke pemakaian elpiji. Alasan yang selalu dikemukakan adalah permintaan akan minyak tanah yang tetap tinggi sedangkan pasokan akan semakin turun, sehingga akibatnya pemerintah tidak sanggup lagi menanggung biaya subsidi. Tapi ketika kebijakan ini diambil, tidak pernah diperhitungkan atau dikaji sejauh mana pola hidup dan keyakinan masyarakat yang telanjur bergantung pada pemakaian minyak tanah (tata kultural, disebut institusi B), bagaimana pemerintah memainkan peran membuat regulasi dan pengawasan (tata pemerintahan, disebut institusi C), dan sejauh mana secara sosiologis kebijakan ini akan berdampak pada penurunan daya beli atau bahkan gejolak sosial (tata masyarakat, disebut institusi D).
Ketiga, implikasi dari identifikasi ekonomi dan pasar adalah kolonisasi terhadap ranah di luar pasar dan modus-modus ekonomi non-pasar. Sistem ekonomi swatata melakukannya melalui mekanisme harga. Harga dibentuk oleh kesetimbangan yang terjadi karena pertemuan permintaan dan pasokan di pasar. Di sini lalu terjadi penghematan konseptual yang menyimpan daya rusak tinggi. Pertemuan antara permintaan dan pasokan mengandaikan informasi sempurna yang dimiliki baik oleh penjual maupun pembeli. Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah, apakah asimetri informasi ini justru tidak dikondisikan untuk menciptakan manipulasi harga? Pasokan dapat membanjiri pasar bukan karena tingginya permintaan. Permintaan dapat diciptakan dan bukan pertama-tama karena terkait dengan kebutuhan. Harga tidak lagi secara acu-diri dapat dipahami dalam konteks informasi sempurna dan merupakan titik equilibrium alamiah yang mempertemukan pasokan dan permintaan. Pada titik ini terletak kekhawatiran akan ketercerabutan antara kinerja ekonomi pasar dengan kebutuhan nyata di masyarakat. Ini dapat dipandang sebagai persoalan ketercerabutan sosiologis/ontologis (sociological /ontological disembedding).
Agar sistem ekonomi pasar swatata dapat bekerja, seluruh barang dan jasa harus dijual di pasar. Ini berarti seluruh hasil produksi dimaksudkan untuk dijual di pasar dan seluruh pendapatan diturunkan dari penjualan. Dengan kata lain terdapat pasar-pasar untuk seluruh elemen industri, bukan hanya barang dan jasa melainkan juga bagi tenaga kerja, tanah, dan uang. Singkatnya, semua harus dijadikan komoditas. Faktanya tidak semua yang ada di dunia ini adalah komoditas. Tapi demi kepentingan tata kerja pasar swatata, apa yang selama ini tidak pernah dianggap komoditas dan sejatinya memang bukan komoditas, harus dijadikan komoditas.
Faktor pendorong orang melakukan tindakan ekonomi pun didasarkan pada sesuatu yang baru. Hanya ada dua faktor pendorong bagi kinerja ekonomi yaitu ketakutan akan kelaparan dan hasrat memperoleh keuntungan. Mengapa takut akan kelaparan? Karena ketika semua barang dan jasa sudah menjadi komoditas di pasar, daya belilah yang kemudian menjadi penentu apakah manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika mekanisme harga menjadi penentu bagi tenaga kerja, manusia harus masuk ke pasar untuk menjadi tenaga kerja untuk mendapatkan upah atas kerjanya, maka daya belinya ditentukan oleh adanya upah. Laku tidaknya tenaga kerja di pasar tentu sangat bergantung pada prospek laba. Maka urusan eksistensial manusia yaitu perihal hidup-mati kini hanya menjadi urusan dua motif, yaitu motif takut akan kelaparan dan motif laba. Pada titik ini muncul persoalan antropologis yang besar. Hal yang bersifat mendasar dalam sistem pasar swatata adalah secara ontologis manusia digerakkan oleh dua hasrat itu. Ini tentu tidak berarti bahwa hanya ada dua motif itu dalam hidup konkret. Persoalannya adalah tata laksana ekonomi pasar swatata mensyaratkan manusia hanya mengikuti dua motif itu. Artinya motif lain yang beraneka ragam dalam dunia kehidupan ini harus disisihkan dan dianggap tidak relevan. Pada titik ini terjadi ketercerabutan antropologis (antrophological disembbeding).
Makna Formal dan Substantif Ekonomi
Polanyi membedakan dua pengertian terkait istilah ‘ekonomi,’ yaitu formal dan substantif. Arti formal dari ekonomi diturunkan dari watak logis hubungan sarana-tujuan, sebagaimana tampak dalam istilah ‘ekonomis’ (economic) dan ‘ekonomisasi’ (economizing). Pengertian ini mengacu pada situasi khas soal pilihan, yaitu memilih pemakaian sarana yang berbeda dikarenakan keterbatasan sarana yang tersedia. Pengertian formalistik berakar pada logika atau kalkulasi matematis. Implikasi dari pengertian formal ini adalah serangkaian aturan yang menunjuk pada pilihan antara berbagai alternatif pemakaian dari sarana-sarana yang terbatas. Di sisi lain pengertian substantif dari ekonomi diturunkan dari ketergantungan hidup manusia pada alam dan sesamanya. Ini menunjuk pada hubungan timbal balik dengan alam dan lingkungan sosial yang menyediakannya dengan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhan material.[11]
Kritik Polanyi terhadap aliran formalis dan upayanya membela makna substantif ekonomi difokuskan pada dua persoalan penting yaitu pilihan (choice) dan kelangkaan (scarcity). Kaum formalis berpendapat bahwa pilihan disebabkan ketidakcukupan sarana (insufficiency of means), sebuah situasi yang disebut kelangkaan sarana (scarcity situation). Polanyi lantas menyodorkan pandangan bahwa pilihan dapat tetap ada, baik ada atau tidak ada sarana yang memadai. Pilihan moral misalnya, diindikasikan dengan niat dari pelaku untuk melakukan apa yang benar. Relasi tujuan-sarana bahkan menjadi urusan nonekonomi. Polanyi mengungkapkannya dalam perbandingan yang menarik:
Seorang jenderal yang menugaskan pasukannya untuk berperang, pecatur yang sedang berhitung mengorbankan bidaknya, pengacara yang menyampaikan bukti-bukti untuk membela kliennya, seorang seniman yang mengerahkan efek pada karyanya, orang beriman yang menandai buku doa dan amalnya untuk mencapai keselamatan, ataupun….seorang istri yang hemat sedang merencanakan daftar belanja mingguan. Entah bidak, bukti, efek artistik, tindakan saleh, atau bayaran mingguan, sarana-sarana yang tak mencukupi dapat terjadi pada yang lain: juga para pemilih memiliki lebih dari satu tujuan yang diperlukan untuk mendapatkan sarana guna mencapai tujuan yang paling dikehendaki.
Persimpangan baik-buruk misalnya, adalah subjek dari etika. Ketika Badu dihadapkan pada pilihan mencuri atau tidak mencuri, ia berada dalam sebuah persimpangan dan harus menentukan pilihan yang tidak mengandaikan kelangkaan. Badu harus memilih salah satu sebagai keputusan moral. Contoh lain misalnya persimpangan di sebuah jalan di mana seorang pejalan kaki menemui dua percabangan jalan yang memandu ke arah yang berbeda. Dengan mengasumsikan tidak ada faktor lain untuk mengambil keputusan, si pejalan kaki tetap harus memilih satu dari kedua jalan itu, atau bahkan memilih keduanya. Pada kedua contoh ini – baik persoalan moral maupun persimpangan jalan – tidak mempostulatkan ketidakcukupan sarana. Bahkan sangat boleh jadi semakin banyak sarana justru akan mempersulit penentuan pilihan. Jadi ada fakta lain bahwa melimpahnya sarana – dan bukan langkanya sarana – yang justru menjadikan tindakan memilih harus dilakukan.[12] Dengan demikian pilihan tidak niscaya menyatakan ketidakcukupan sarana, dan sebaliknya ketidakcukupan sarana tidak niscaya menunjukkan adanya pilihan atau kelangkaan.
Sebagai contoh mungkin dapat diberikan gambaran perburuan ikan paus di Lamalera Nusa Tenggara Timur. Para pemburu ikan paus tidak pernah memiliki target berapa ikan paus harus ditangkap. Mereka melakukan kerjasama antara nelayan, pemilik perahu, pemilik alat, dan petugas penanågkap ikan. Meski jumlah ikan paus yang tersedia cukup banyak, berdasarkan kesekapatan dan intuisi mereka tahu kapan harus berhenti berburu. Ini disebabkan kuatnya tradisi dan kebiasaan yang dihayati penduduk setempat. Pilihan secara sengaja dibatasi oleh tradisi dan bukan karena kelangkaan sarana. Contoh sebaliknya adalah praktik pertanian Subak di Bali. Mengikuti tekstur lahan pertanian yang berbentuk terasiring, air dialirkan dari bagian atas (hulu) ke bagian bawah (hilir). Jika sumber air yang terbatas ini dimiliki oleh individu yang sekedar memenuhi kebutuhan sendiri, tentu saja areal persawahan yang lebih rendah akan kekurangan air. Nyatanya keterbatasan sarana (air) tidak mengakibatkan para petani harus melakukan pilihan rasional. Sebagaimana diketahui pada lahan pertanian tersebut juga menyebar hama. Dan penyebaran hama pada umumnya diawali dari bawah ke atas. Jika petani di bagian bawah membiarkan penjalaran hama dan hanya membersihkan hama di lahannya, maka areal persawahan di atasnya akan dirugikan. Dalam praktiknya mekanisme koordinasi tetap dapat dijalankan melalui kesepakatan adat. Sarana yang terbatas (air) tidak mengharuskan adanya pilihan-pilihan yang diambil sebagai maksimisasi kepentingan individual tetapi pilihan yang diambil secara kolektif dana konteks berbagi.
Cukup pasti bahwa kelangkaan bukan merupakan kondisi atau situasi nyata, tetapi dipostulatkan. Jelas bahwa air dan udara tidak terbatas, juga sumber daya alam tidak terbatas dan tidak langka. Tetapi sistem pasar swatata menghendaki adanya kelangkaan maka terhadap sumber daya alam yang tidak langka itu dijadikan komoditas dan kepadanya dilabelkan harga (price making). Pemberian harga berarti kini pemerolehan sumber daya alam bergantung pada daya beli (purchasing power), meskipun pada kenyataannya sumber daya alam ini melimpah. Yang dapat memiliki barang itu hanya mereka yang memiliki daya beli. Pada level ini terjadi ketercerabutan epistemik (epistemic disembedding) yaitu makna ekonomi tercerabut dari asal usulnya. Dari pemenuhan kebutuhan manusia dan terkait dengan mata pencaharian menjadi kalkulasi rasional terkait hubungan sarana-tujuan.
Makna substantif ekonomi ini menjadi kerangka metodologis yang penting. Pengertian ekonomi sebagai pemenuhan kebutuhan individu dalam relasinya dengan sesama dan lingkungannya membuka ruang untuk memikirkan alternatif bagi konsep ekonomi pasar. Artinya ketika ekonomi adalah penyediaan dan pemenuhan kebutuhan material dan mengandaikan hubungan dengan lingkungan atau alam, tak terelakkan lagi bahwa proses ini adalah proses kelembagaan (kelembagaan). Polanyi berkontribusi mengintegrasikan antropologi ekonomi ke dalam analisis perbandingan sistem ekonomi secara komprehensif. Ekonomi formal yang bersekutu dengan paham liberal mengenai titik tolak ontologi yang bercorak individualistik mendapatkan tantangan karena ketika ekonomi adalah bagian dari relasi dengan struktur sosial yang lebih luas, ekonomi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ekonomi hanyalah salah satu cara mengada manusia dan bukan sesuatu yang secara soliter dan berdiri sendiri dengan klaim universalnya. Justru makna substantif berhasil mengintegrasikan fakta bahwa sistem ekonomi pra-kapitalis berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis. Dan di bawah pengertian ekonomi sebagai pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam relasi sosialnya dengan sesama dan alam, semua sistem ekonomi yang merentang dalam sejarah dapat dipahami.
Ekonomi sebagai proses terlembaga
Makna substantif ekonomi memberikan dasar pemahaman bagi ekonomi sebagai proses terlembaga (economy as instituted process). Proses terlembaga ini menghubungkan realitas masyarakat dan reproduksinya di satu sisi, dan organisasi ekonomi dan letaknya dalam masyarakat di sisi lain.[13] Aspek kelembagaan yang ditekankan dalam ekonomi substantif menunjukkan aspek budaya manusia – bahwa proses sosial adalah jaringan hubungan antara manusia sebagai entitas biologis dan struktur unik dari simbol-simbol dan teknik-teknik yang menghasilkan pemeliharaan eksistensinya.[14] Jejaring hubungan manusia yang memungkinkan ekonomi dipraktikkan dalam komunitas adalah adanya bentuk-bentuk integrasi dalam masyarakat yang menopang berbagai corak atau model tindakan ekonomi dalam masyarakat. Bentuk-bentuk integrasi itu adalah rumah tangga, ketimbalbalikan, redistribusi, dan pertukaran pasar. Sejarah menunjukkan bahwa keempat bentuk integrasi sudah selalu ada dan pasar tidak pernah mendominasi ketiga bentuk lainnya. Ekonomi adalah proses yang dilakukan individu tetapi tidak individualis-egois, melainkan terkait dengan konteks yang lebih luas (sosial). Dengan demikian model pemahaman ekonomi sebagai kalkulasi rasional yang mengacu pada mekanisme harga ditolak. Sebaliknya, modus mengada (mode of being) manusia dalam sistem ekonomi terlembaga adalah manusia yang kooperatif dan koordinatif dengan kapasitas melakukan kerjasama, bukan manusia yang menjadi serigala bagi sesamanya.
Komodifikasi, Gerakan Ganda, dan Ketertanaman
Sistem pasar swatata memiliki prinsip memproduksi barang dan jasa untuk dijual di pasar dan menjadikan harga pasar sebagai satu-satunya patokan. Konsekuensi dari prinsip ini adalah semua elemen industri dijadikan komoditas, termasuk terhadap tenaga kerja, tanah, dan uang. Meskipun tidak memenuhi kriteria sebagai komoditas, tetapi ketiganya harus dianggap seolah-olah komoditas (komoditas semu). Prinsip ini berimplikasi pada kehancuran masyarakat karena untuk dapat mewujudkan komodifikasi terhadap tenaga kerja, tanah, dan uang, harus dilakukan pemisahan manusia dari alam dan masyarakatnya. Terjadi pemisahan antara ranah ekonomi dan ranah politik. Implikasinya ekonomi pasar (market economy) mengandaikan masyarakat pasar (market society).
Jika komodifikasi adalah dehumanisasi, maka masyarakat sebagai keseluruhan melakukan tindak perlindungan-diri untuk menghindarkan diri dari kehancuran masyarakat. Di sinilah terletak konsep penting untuk memahami sistem pasar swatata, yaitu gerakan ganda.
Sejarah sosial abad ke-19 adalah hasil dari gerakan ganda (double movement): perluasan dari organisasi pasar terkait dengan komoditas asli yang disertai dengan penghambatan terhadap komoditas semu. Ketika di satu sisi pasar meluas ke seluruh permukaan bumi dan jumlah barang yang diperdagangkan melonjak hingga tak terkira, di sisi lain jejaring aturan dan kebijakan terintegrasi dalam lembaga yang berkuasa yang dirancang untuk mengecek tindakan pasar terkait dengan tenaga kerja, tanah, dan uang. Saat organisasi pasar komoditas dunia, pasar modal dunia, dan pasar uang dunia di bawah perlindungan standar emas memberi momentum yang tidak bersamaan kepada mekanisme pasar, pergerakan mengakar muncul untuk melawan dampak merusak yang melekat pada sistem pasar swatata – ini adalah wajah utuh dari sejarah abad ke-19.
Upaya perlindungan-diri ini berarti perusakan sistem pasar swatata itu sendiri, karena menggeroti asumsi-asumsi yang diandaikan dalam membangun sistem ini, yakni komodifikasi terhadap manusia, alam, dan uang. Perlindungan-diri oleh masyarakat bekerja dalam dua tataran. Pertama, tataran kelas yaitu kelas sosial, khususnya kelas pekerja yang berperan penting dalam melawan komodifikasi terhadap tenaga kerja. Kedua, tataran kelembagaan, yang bersumber pada pemisahan antara wilayah politik dengan wilayah ekonomi.
Ide Polanyi tentang gerakan ganda menyediakan kerangka konseptual yang penting untuk memahami masyarakat kapitalis dan watak kontradiktifnya. Pertama, masyarakat kapitalistik – yang dicirikan oleh pemisahan kelembagaan antara ranah ekonomi dan ranah politik – mengidap penyakit tidak stabil yang inheren karena pemisahan ini menciptakan tegangan antar kelas sosial dalam masyarakat. Kedua, gerakan ganda menunjukkan perspektif ‘societal’ (kemasyarakatan), karena menggambarkan dinamika antarkelas yang terjadi dalam masyarakat.[15] ‘Kelas’ menurut Polanyi tidak dapat dipahami sekedar sebagai kelas yang didasarkan pada kepentingan ekonomi. Konsepsi kelas seperti itu tidak memadai dan bersifat reduktif. Polanyi menolak esensialisme kelas dan mendorong gerakan ganda sebagai gerakan tandingan melawan hegemoni kelas berkuasa (kapitalis) melalui perluasan spektum sosial dan politik yang mencerminkan kepentingan bersama. Bagi Polanyi kerjasama antarkelas merupakan keniscayaan, karena menurutnya:
Konsepsi kepentingan kelas yang terlampau sempit berakibat berbeloknya visi sejarah sosial dan politik, dan tidak ada definisi kepentingan moneter yang murni dapat meninggalkan ruang bagi kebutuhan-kebutuhan penting akan proteksi sosial; contohnya adalah jatuhnya kepentingan komunitas kepada beberapa orang sebagai ciri pemerintahan modern. Nyatanya bukanlah kepentingan ekonomi melainkan kepentingan sosial dari berbagai matra yang berbeda yang terancam oleh pasar, dan orang dengan tingkat ekonomi yang berbeda secara tak sadar bersama-sama bergerak menuju marabahaya.[16]
Gerakan ganda ditilik dari perspektif lingkup masyarakat (societal) adalah pertarungan antara kekuatan yang mencerminkan ekonomi ‘tercerabut’ (disembedded) dan mereka yang mewakili masyarakat yang mencoba ‘menanam kembali’ (reembedding) ekonomi dalam masyarakat. Di sini Polanyi dipengaruhi Ferdinand Tönnies mengenai pembedaan antara gemeinschaft (paguyuban) dan gesellschaft (patembayan), di mana Gemeinschaft identik dengan Wesenwille (terkait dengan insting, perasaan, dan kebiasaan) sedangkan Gesellschaft mendasarkan pada keputusan rasional (Kurtwille). Kari Polanyi-Levitt – putri tunggal Karl Polanyi – menegaskan bahwa perspektif yang luas terhadap konsep gerakan ganda menunjukkan bahwa konsep ini bukanlah mekanisme swa-koreksi untuk memoderasi sistem pasar swatata atau fundamentalisme pasar. Gerakan ganda adalah upaya menunjukkan kontradiksi eksistensial antara kebutuhan sistem pasar swatata akan ekspansi tak-terbatas dengan kebutuhan umat manusia untuk hidup dalam relasi saling-dukung dan saling-menguntungkan dalam masyarakat.[17] Dalam kaitannya dengan komoditas semu, gerakan ganda bertujuan menggantikan komodifikasi atas manusia, alam, dan uang (modal) yang dilakukan sistem pasar swatata dengan komoditas sesungguhnya (genuine commodities). Artinya pasar swatata (self-regulating market) digantikan oleh pasar yang terkendali (regulated market).[18]
Bob Jessop lalu melakukan konseptualisasi embeddedness ke dalam beberapa level.[19]
(i) Ketertanaman sosial (Social embeddedness), sebagaimana dipahami dalam sosiologi ekonomi. Yang dimaksud dengan ketertanaman sosial di sini adalah relasi ekonomi antarpribadi yang terpilin dalam jejaring seperti identitas, kepentingan, kemampuan, dan praktik. Ini misalnya tampak dalam persoalan kepercayaan (trust) dalam praktik ketimbalbalikan.
(ii) Ketertanaman kelembagaan (Institutional embeddedness), yaitu ketertanaman kelembagaan yang terjadi dalam relasi antarorganisasi. Di sini hal yang sentral adalah negosiasi yang berfungsi sebagai penengah berbagai kepentingan yang saling bertentangan dan bagaimana upaya mengatasinya melalui kerjasama. Runutan Polanyi mengenai haute finance sebagai organisasi nonformal yang justru memiliki peran besar untuk urusan negosiasi dan menyelesaikan berbagai konflik bisnis di abad ke-19 adalah contoh nyata.
(iii) Ketertanaman lingkup masyarakat (Societal embeddedness), yaitu corak ketertanaman institusi-institusi yang terbedakan secara fungsional dalam tata hubungan yang kompleks dalam sebuah masyarakat yang decentered. Dan level ketiga inilah yang sangat relevan dengan pemikiran Polanyi tentang embeddedness. Polanyi memberikan kerangka analisis untuk memahami ketercerabutan ekonomi dari sistem sosial yang lebih luas sekaligus membuka ruang bagi upaya untuk tak membiarkan masyarakat jatuh dalam keadaan anarkhi akibat sistem ekonomi pasar. Polanyi menyajikan mekanisme untuk mengikatkan kembali sistem ekonomi dalam masyarakat. Ketergantungan sosial dan material tidak dapat diserahkan pada mekanisme pasar begitu saja.
Dari pendapat Jessop dapat disimpulkan bahwa dengan membedakan level embeddedness kita dapat memahami bahwa ekonomi tercerabut dalam pengertian ketiga yakni ekonomi pasar sebagai institusi terpisah atau meloloskan diri dari institusi lainnya dalam masyarakat. Skema pemikiran Polanyi menurut Jessop dapat ditunjukkan sebagai berikut.
Proyek Menanam Kembali Ekonomi
Gagasan Polanyi tentang ketertanaman (embeddedness) memberikan kerangka teoretik untuk memahami letak ekonomi dalam masyarakat. Bahwa prinsip dasar sistem pasar swatata tidak bersifat alamiah dan merupakan sebuah konstruksi yang melawan fakta sejarah. Sejarah abad ke-19 yang diwarnai upaya meloloskan ekonomi dari relasinya dengan institusi-institusi sosial yang lebih luas pada akhirnya runtuh. Motif pengejaran keuntungan dan corak ekspansif sistem pasar swatata pada saat yang bersamaan mendapatkan reaksi spontan dari masyarakat secara keseluruhan. Ini adalah bentuk proteksi terhadap ancaman kerusakan masyarakat akibat sistem pasar swatata yang melakukan komodifikasi terhadap manusia, alam, dan uang. Proses ini menunjukkan kodrat dari ketertanaman ekonomi pada struktur sosial yang lebih luas.
Ketertanaman adalah hakekat ontologi yang memperkuat pengertian bahwa institusi mendahului individu, atau dalam pengertian Aristotelian, ‘yang keseluruhan’ lebih utama dibanding ‘yang sebagian,’ dan dalam bahasa Polanyi sendiri itu adalah kesatuan dan stabilitas (unity and stability). Dan untuk memahami kompleksitas dalam masyarakat dibutuhkan epistemologi yang mampu menjelaskan hubungan-hubungan yang ada secara rasional, yaitu konsep ekonomi sebagai proses terlembaga (economy as instituted process). Jika konsep embeddedness berhasil menunjukkan bahwa cara berpikir mengacu diri (self-referential) itu keliru, maka konsep ekonomi sebagai proses terlembaga menyediakan landasan pemahaman terhadap bagaimana ekonomi harus mengacu pada sesuatu di luar dirinya (other-referential), dalam hal ini institusi-institusi nonekonomi.
Ekonomi sebagai proses terlembaga menunjukkan pendekatan lingkup masyarakat (societal) Polanyi terhadap ilmu-ilmu sosial, di mana ia tidak berangkat dari individu melainkan dari masyarakat. Struktur/lembaga adalah titik masuk ontologis yang dibingkai oleh kodrat ontologis bahwa ekonomi tertanam (embedded) dalam relasi sosial. Metodologi pemahaman terhadap ekonomi sebagai proses terlembaga yang ditopang oleh bentuk-bentuk integrasi tertentu dapat menjelaskan mengapa satu sistem ekonomi tertanam sedangkan sistem ekonomi lainnya cenderung tercerabut dari struktur sosial yang lebih luas. Dalam konteks ini, sistem pasar swatata dapat dikatakan disembedding dalam arti mengabaikan eksistensi bentuk integrasi lain yang mendasarkan keberadaannya pada nilai nonekonomi. Dengan demikian, upaya mengkonstruksi kaitan embeddedness dengan ‘ekonomi sebagai proses kelembagaan’, pelembagaan kembali proses ekonomi berarti pula proses menanamkan kembali (reembeding) ekonomi ke dalam institusi-institusi sosial. Dan kita kembali pada apa yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pertanyaan pokok dari seluruh pencarian adalah letak ekonomi dalam masyarakat. Jika hakekat ekonomi itu tertanam dalam relasi kelembagaan dengan lembaga-lembaga non-ekonomi, maka persoalannya adalah pada modus ketertanaman (mode of embeddedness). Ringkasnya, modus ketertanaman seperti apa yang memungkinkan kinerja ekonomi kembali terkait dengan makna substantif, yaitu subsistensi atau mata pencaharian? Proses itu dapat digambarkan sebagai berikut.[20]
Keterangan:
Hubungan organik ( organic link )
Kontrol sosial ( social control )
Mediasi kesadaran ( conscious mediation )
Penutup: Masa Depan (Ekonomi) Kapitalisme
Paparan ringkas ini berusaha memaparkan pemikiran Karl Polanyi yang sangat kaya dan kompleks. Ia dapat memandu kita menyusuri pengapnya situasi dan sempitnya ruang berpikir alternatif. Melalui proyek membongkar nalar kapitalisme, Polanyi menunjukkan pada generasi sekarang bahwa kapitalisme kontemporer sangat mungkin dikritik. Masa depan kapitalisme tak lain adalah proyek menanam kembali ekonomi, yaitu mengembalikan kinerja ekonomi substantif. Disembedded economy, yakni makna formal ekonomi di mana kinerja ekonomi sama sekali tidak terkait atau lolos dari relasinya dengan struktur sosial lain dalam masyarakat harus ditolak.
Polanyi menyediakan piranti analisis yang tajam dengan membongkar klaim alamiah sistem ekonomi pasar swatata sekaligus memberikan senjata untuk memulihkan kehidupan sosial dan kemanusiaan melalui dekomodifikasi. Implikasinya, kehadiran institusi non-pasar adalah sebuah keniscayaan. Karena statusnya niscaya, perdebatan kemudian bukan pada apakah institusi non-pasar harus ada atau tidak, melainkan kapan, apa, dan bagaimana institusi ini hadir bersamaan dengan sistem pasar. Ini tidak berarti memberikan prioritas terhadap sistem pasar tetapi dalam keserentakan pula sistem pasar mengandaikan hadirnya sistem lain di luarnya. Secara konkret Polanyi mengharuskan diperhitungkannya lembaga seperti keluarga, komunitas, lembaga agama (gereja dalam kasus Polanyi), serikat dagang, serikat pekerja, asosiasi profesi, hingga negara. Secara integratif, Polanyi menunjukkan bahwa ketimbalbalikan dan redistribusi adalah dua model integrasi yang ampuh menopang kehidupan dan penghidupan umat manusia. Karenanya, gerakan Occupy Wall Street, Forum Sosial Dunia, gerakan kredit mikro di dunia ketiga, kesadaran menuntut keadilan pajak, regionalisme, dan sebagainya harus dipandang sebagai bentuk aktualisasi manusia yang ingin menyelamatkan kemanusiaan yang dihancurkan nalar kapitalisme rakus. Dan melalui Polanyi kita paham bahwa berguru pada masa lalu bukanlah ajakan ke primitivisme, melainkan kejernihan bahwa dengan membentang sungai waktu hingga ke masa silam, kita akan menemukan cara hidup dan cara berpikir yang jika kita rentang ke masa kini akan menunjukkan benang merah yang merupakan arus sejarah yang bersabda tentang arti sebuah pencarian akan kebenaran. Atau jika meminjam strategi Bapak ekonomi modern – Adam Smith, bahwa “untuk tujuan apa The Theory of Moral Sentiments ditulis? Atas segala jerih payah dan hiruk pikuk dunia, apa akhir dari keserakahan dan ambisi, pengejaran kekayaan, kekuasaan, dan kejayaan? The Wealth of Nations menyediakan jawaban: seluruh pencarian kumuh atas kesejahteraan dan kejayaan memiliki puncak pembenarannya dalam kesejahteraan umat manusia.[21]
Smith mencoba menyuntikkan ‘yang seharusnya’ dan ‘yang mungkin’ ke dalam ‘apa yang ada’. Melalui cara ini tampaknya Smith ditempatkan sebagaimana mestinya dan keseluruhan kompeksitas yang ada tidak dikaburkan begitu saja demi sebuah klaim yang kadang dirumuskan untuk diwujudkan kebenarannya ketimbang diandaikan secara inheren menjadi prinsip yang memandu keseluruhan perjalanan sejarah individu, termasuk pengasalan secara serampangan bahwa Smith adalah pembela utama kapitalisme dan sistem ekonomi pasar tapi mengabaikan muatan pesan moralnya yang adiluhung.
Justinus Prastowo, Alumnus Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.
Daftar Pustaka
Kepustakaan Primer:
Polanyi, Karl, John Lewis, and Donald K. Kitchin,eds., Christianity and the Social Revolution , New York,1936
Polanyi, Karl, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Times, Beacon Press,2001 (asli,1944)
Polanyi,Karl, Conrad Arensberg, and Harry Pearson, eds., Trade and Market in The Early Empires, Glencoe,IL:Free Press,1957
Polanyi, Karl (G.Dalton, ed.), Primitive Archaic and Modern Economies: Essay of Karl Polanyi. Anchor.1968
Polanyi, Karl, Dahomey and the Slave Trade, The University of Washington Press, USA, 1966
Polanyi, Karl, Livehood of Man, (ed. Harry W. Pearson ), Academic Press, New York, 1977
Kepustakaan Sekunder:
Adaman, Fikret and Yahya M. Madra, ‘Theorizing the ‘Third Sphere’: a Critique of the Persistence of the ‘Economistic Fallacy’’, Journal of Economic Issue, Vol. 36 No.4 , 2002
Arrighi, Giovanni, ‘The Social and Political Economy of Global Turbulence’, New Left Review, No.20, Mar-Apr 2003, hlm. 4-71.
Baum, Gregory, Karl Polanyi on Ethics and Economics, McGill-Queen’s University Press, Montreal, 1996.
Berthoud, Gerald, “Toward a Comparative Approach: The Contribution of Karl Polanyi”, dalam The Life and Work of Karl Polanyi, (ed. Kari-Polanyi Levitt), Black Rose Books:1990.
Block, Fred, ‘Karl Polanyi and the writing of The Great Transformation’, Theory and Society, Vol. 32,2003, hlm. 275-306.
Bugra,Asye and Kaan Agartan, Reading Karl Polanyi for the Twenty-First Century Market Economy as a Political Project, Palgrave Macmillan, NY, 2007.
Cassidy, John, “Letter From Chicago: After The Blowup”, The New Yorker, Januari 11,2010, hlm.1-6.
Dale, Gareth, Karl Polanyi The Limit of Market, Polity Press, London, 2010a.
Duménil, Gérard and Lévy, Dominique, Capital Resurgence; Roots of the Neoliberal Revolution, Harvard, 2004
Fleischacker, Samuel F. On Adam Smith’s Wealth of Nations: A Philosophical Companion, Princeton: Princeton University Press,2004
Gemici, Kurtuluş, ‘Karl Polanyi and The Antinomies of Embeddedness’, Socio-Economic Review, 2008, hlm. 5-33.
Granovetter, Mark dan Richard Swedberg (eds.), The Sociology of Economic Life, Westview Press, 2001.
Göçmen, Dogan, The Adam Smith Problem, tauris Academic Studies, London, 2007
Heilbroner, Robert. The Worldly Philosophers: The Lives, Times and Ideas of the Great Economics Thinkers. London: Penguin Books, [1952] 2000.
Herry-Priyono,B. “Homo Oeconomicus: Dari Pengandaian ke Kenyataan” Dalam I. Wibowo & B. Herry-Priyono (eds), Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno. Yogyakarta: Kanisius.2006, hlm. 87-132
Herry-Priyono,B. “Adam Smith dan Munculnya Ekonomi: Dari Filsafat Moral ke Ilmu Sosial. Dalam Jurnal Diskursus Vol. 6, No.1, April 2007, hlm. 1-40
Hann, Chris and Keith Hart ( eds. ), Market and Society: the Great Transformation Today, Cambridge University Press, UK, 2009.
Harvey, M. , Ramlogan, Ronnie., and Randles, Sally, Karl Polanyi New Perspective on the place of the economy in society, Manchester University Press, 2007.
Jessop, Bob, ‘Regulationist and Autopoieticist Reflections on Polanyi’s Account of Market Economies and the Market Societies’, Departement of Sociology, Lancaster University, diunduh dari http://www.comp.lancs.ac.uk/sociology/papers/Jessop-Regulationist-and-Autopoieticist-Reflections.pdf
Levitt, Kari Polanyi dan Kenneth McRobbie, eds., Karl Polanyi in Vienna: the Contemporary Significance of The Great Transformation, Black Rose Books, 2004.
Levitt, Kari Polanyi, ed., The Life and Work of Karl Polanyi, Black Rose Books, 1990.
Muller, Jerry Z., The Mind and The Market Capitalism in Western Thought, Anchor Books, 2002
Priyono, B.Herry, Karl Polanyi Menanam Ekonomi, Orasi Ilmiah disampaikan pada Colloquium Studi Etika tentang Ekonomi dan Relasi Sosial: Pemikiran Karl Polanyi, disampaikan pada 28 Oktober 2010 di Unika Atma Jaya, Jakarta
Priyono, B.Herry, Amartya Sen Membongkar Rasionalitas, Makalah Wxtension Course Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, 6 Desember 2010, tidak dipublikasikan.
Sen, Amartya, “Rational Fools: A Critique of the Behavoral Foundations of Economic Theory”, Philosophy and Public Affairs, Vol. 6, No.4, 1977, hlm. 317-344.
Stanfield, James Ronald, The Economic Thought of Karl Polanyi, MacMillan, 1986.
[1] Pernah dimuat di buku ‘Merajut Kembali Nusantara” terbitan Kalimasadha Nusantara Institute.
[2] John Cassidy, “Letter From Chicago: After The Blowup”, The New Yorker, Januari 11,2010, hlm.1-6.
[3] Ibid., hlm. 3. Fama mengatakan:”I dont know what a credit bubble means. These word have become very popular. I don’t think they have a meaning. People have jump on the bandwagon of blaming financial markets. I can tell a story very easily in which the financial market were a casualty of the reccession, not cause of it.”
[4] Gary Becker, The Economic Approach to Human Behavior, Chicago: The University of Chicago Press, 1976, hlm. 14.
[5] Ibid., hlm. 6.
[6] Martin Suryajaya, Kapitalisme dan Filsafatnya, 2012.
[7] Bandingkan Paul Krugman, The Return of Depressions Economics and the crisis of 2008, W.W. Norton & Company, 2009, John Bellamy Foster dan Fred Magdoff, The Great Financial Crisis: cause and consequence, Monthly Review Press,2009.
[8] Giovanni Arrighi, dalam Greta Krippner, ‘Polanyi Symposium: a Conversation on embeddedness’, Socio-Economic Review, 2004, hlm. 125.
[9] Gérard Duménil dan Dominique Lévy, Capital Resurgence; Roots of the Neoliberal Revolution, Harvard, 2004 dan Robert Brenner, The Economics of Global Turbulence, Verso,2006.
[10] Polanyi sendiri menghindari pemakaian istilah kapitalisme dalam karyanya. Pemakaian istilah “masyarakat pasar” (market society) dan bukan “kapitalisme” (capitalism) dalam pemikiran Polanyi adalah upayanya untuk menjaga jarak dengan Marxisme dan mazhab yang menjadi turunannya yaitu “ragam kapitalisme” (varieties of capitalism). Bbandingkan Fred Block, ‘Karl Polanyi and the writing of The Great Transformation’, Theory and Society, No.32, 2003, hlm. 297
[11] Polanyi, Karl (G.Dalton, ed.), Primitive Archaic and Modern Economies: Essay of Karl Polanyi. (PAME), Anchor.1968., hlm. 139.
[12] Polanyi, Karl, Livehood of Man (LM), (ed. Harry W. Pearson ), Academic Press, New York, 1977, hlm.25-26.
[13] Stanfield, The Economic Thought of Karl Polanyi, MacMillan, 1986,hlm. 56.
[14] PAME, hlm. 116.
[15] Polanyi, Karl, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Times (GT), Beacon Press,2001 (asli,1944), hlm. 139.
[16] GT., hlm. 162.
[17] Kari Polanyi-Levitt ‘Tracing Polanyi’s Institutional Political Economy’, dalam Karl Polanyi in Vienna, hlm. 385.
[18] Fikret Adaman and Yahya M. Madra, “Theorizing the “Third Sphere”: A Critique of the Persistence of the “Economistic Fallacy”, Journal of Economic Issues, Vol. 36, No. 4 (Dec., 2002), hlm. 1049-1050.
[19] Bob Jessop, Regulationist and Autopoieticist Reflections on Polanyi’s Account of Market Economies and the Market Societies, Departement of Sociology, Lancaster University, diunduh dari http://www.comp.lancs.ac.uk/sociology/papers/Jessop-Regulationist-and-Autopoieticist-Reflections.pdf.
[20] Fikret Adaman, Pat Devine, dan Begum Ozkaynak, ‘Reinstituting the economic process: (re)embedding the economy in society and nature’, dalam Harvey, M. , Ramlogan, Ronnie., and Randles, Sally, Karl Polanyi New Perspective on the place of the economy in society, Manchester University Press, 2007, hlm. 98.
[21] Heilbroner, hlm.73