Setiap kekalahan dan kegagalan, tak perlu dirisaukan: ia bisa melahirkan siasat baru.
SHANGHAI: 12 April 1927. Hari itu pembersihan dimulai. Dengan percaya diri tentara Chiang Khai-sek merangsek, memasuki kota. Tujuan mereka satu: membersihkan kawan yang sekarang jadi lawan, Partai Komunis Cina [PKC]. Konon ada 6.000 orang Komunis yang dipenggal lehernya.
Peristiwa itu banyak disesali oleh kalangan Kiri. Mao dan Stalin dianggap telah membawa leher partai ke tukang jagal. Kaum ultra kiri menghujatnya hingga sekarang. Tapi ada yang dilupakan oleh tuan-tuan penghamba dogma itu: revolusi bukan semata-semata menerapkan isi Kitab Suci secara membabi buta; ada kondisi-kondisi yang tak bisa dipukul rata; setiap tempat punya perkembangan, hukum dan geraknya sendiri-sendiri.
Dalam situasi kepepet seperti itu, Mao melancarkan ‘Pemberontakan Panen Musim Gugur.’ Pemberontakan itu berlangsung di Changsha. Serangkaian pertempuran sengit terjadi. Dan, Mao dan PKC kalah telak. Tentara Merah terpencar pecah; banyak yang demoralisasi, sebagian dengan kelelahan meninggakan basis-basis mereka. Tak kurang dari satu tahun keanggotan PKC terpangkas dari 58.000 menjadi hanya 10.000 orang. Siapa yang tak pecah kepalanya dengan perkembangan yang begitu buruk itu?
Tapi Mao tak cengeng. Ia tak menebar jala belas kasihan untuk memperoleh simpati. Ia tetap tegak. Sadar revolusi seperti bermain dadu: bisa kalah bisa menang. Mao memang sudah terbiasa kalah. Ia lahir dari keluarga petani miskin. Hidupnya keras. Usia 13 tahun ia terpaksa keluar dari sekolah. Ia mesti bekerja di ladang untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Dalam kondisi ini, Mao mesti perlu bersiasat agar bisa terus menempuh pendidikan. Kabur dari rumah, hidup sunyi diperantauan tanpa sokongan keuangan dari keluarga, tapi bisa lulus dari Universitas Beijeng pada tahun 1918. Di tempat itulah ia bertemu dengan pendiri PKC yang berideologi Marxis.
Sebelum masa ‘teror merah’ Chiang Khai-shek, Mao sudah mengalami masa kritis ketika dikejar-kejar militer Inggris. Tanggal 30 Mei 1925, terjadi demo anti imperialis di Shanghai dan Changsha. Dalam aksi tersebut sepuluh pengunjuk rasa mati tertembak. Mao dituduh sebagai penggerak utama. Tak mau konyol tertangkap, Mao segera meninggalkan Shaoshan. Ia bersiasat. Pada pembawa tandu ia berpesan bila ditanya oleh siapapun siapa yang ada di dalam agar dijawab: seorang dokter. Siasat ini berhasil. Mao lolos dari sergapan militer Inggris. Ini memang titik yang penting bagi Mao. Pada malam pelariannya ke Changsha, seperti dicatat Jung Chang dan Jon Halliday dalam bukunya Mao: The Uknown Story, Mao menyusuri sungai sembari menulis puisi. Konon puisi itu merupakan patok bagi tekadnya untuk memenangkan revolusi:
‘Burung elang terbang meninggalkan kubah yang panjang,
Ikan-ikan berenang menyelami dasar sungai yang dangkal,
Di bawah langit berselimutkan embun beku, sepuluh ribu makhluk hidup
berlomba lomba mengukuhkan kehendak mereka
Tersentuh oleh kebesaran ini,
Aku bertanya kepada bumi yang tak terbatas:
Siapa yang akhirnya menjadi penguasamu?’
Itulah awal Mao bersiasat dengan menyusup menjadi anggota Kuomintang. Sampai akhirnya ‘teror merah’ itu tiba: Mao mesti lepas dari Kuomintang, dan membangun PKC yang terseok-seok.
Dari kekalahan yang berlarat-larat itu, Mao membuat siasat baru. Paling tidak ada 48 siasat. Kita bisa membacanya dalam buku Liu Jikun: Mao Zedong’s Art of War. Di sini jelas, sebuah siasat lahir dari pengalaman nyata, bukan dari serangkaian andaian. Menjumput kata-kata Karl Marx yang sudah terlalu terkenal: lingkungan sosial menentukan kesadaran seseorang, bukan sebaliknya.
Sebetulnya 48 jurus Mao tak rumit. Bisa diringkus dalam tiga kata: Belajarlah pada Bandit. Kita tahu, di Cina para bandit tinggal di pegunungan. Mereka membangun basis perbanditan di tempat yang tak mudah dijangkau. Sesekali, tentu setelah melakukan perencanaan, para bandit pergi ke kota untuk merampok. Setelah itu kembali ke pegunungan untuk mengamankan hasil menggarong. Lantas apa hubungannya dengan siasat Mao?
Dalam kondisi PKC yang ‘sakit,’ Mao memerintahkan kader-kader bersenjata yang telah dikenali oleh Kuomintang untuk segera pergi ke gunung. Tujuannya untuk belajar pada para bandit di gunung. Mao memang jitu dalam siasatnya. Kuomintang terkecoh. Bagi Kuomintang ‘belajar pada bandit’ dipahami sebagai kader-kader PKC diperintahkan menjadi bandit. Padahal maksud siasat Mao: mengembleng kader-kadernya agar mempunyai karakter seperti bandit. Dan semua itu akan berjalan lebih baik kalau para bandit yang mendidik secara langsung.
Bandit—walaupun penjahat—mereka saling terikat, baik secara emosional maupun gerak yang liat mencapai tujuan yang sama. Bandit layaknya seperti keluarga besar, yang bila satu anggota terluka, semuanya ikut merasakan. Dengan kata lain: bandit merupakan kelompok terorganisir yang rapi. Mao sadar kader-kader PKC yang dihajar Kuomintang tak solid lagi. Perlu reorganisasi agar kekuatan yang terbelah-belah itu mampu disatukan lagi.
Siasat itu akhirnya berbunga. Beberapa bulan kemudian, kader-kader PKC di Hunan bukan lagi kekuatan yang lemah, tapi sudah menjadi kekuatan yang terorganisir, dengan disiplin yang tak mudah bengkok. Mereka itu kemudian menjadi inti dari Tentara Merah yang disegani militansinya; terlibat dalam long march ribuan kilometer dalam perang gerilya yang lelahkan.
Mao tak berhenti bersiasat. Terhadap kader-kader PKC yang belum diketahui identitasnya oleh lawan, ia memerintahkan untuk tetap di dalam Kuomintang. Mereka perlu tetap berada di sana, selain untuk mengetahui taktik-taktik yang akan diambil musuh, juga untuk mengawali pemberontakan. Sederhananya: tugas mereka memukul musuh dari dalam. Mengacaukan keadaan agar lawan terpecah fokus.
Siasat ‘menghantam dari dalam itu’ memang beda dengan kejadian di Indonesia. Orang-orang kiri di Indonesia yang berada di partai lawan—sebut saja partai borjuis—justru tampil atraktif. Mereka dengan bangga memamerkan dirinya Kiri: dengan pengalaman aksi sekian kali, ditangkap berulang kali, dipenjara berapa tahun, atau pernah mengorganisir dimana saja. Akibatnya, lawan dengan mudah memetakan di mana saja musuh-musuh ada. Karena posisinya masih lemah, dengan sekali pukul, mereka terhempas ke luar arena. Setelah itu yang bisa dilakukan hanya meratap di luar: dizalimi-lah, lawan tak memakai mekanisme demokrasi-lah, atau dalih-dalih lain yang mengesankan kalau diri paling menderita di antara Mars dan Matahari. Padahal itu terjadi karena kepongahan mereka sendiri: terlalu bangga pada masa lalu, dan tak menginjak ke tanah lagi.
Ada satu siasat yang tak bisa diabaikan. Pada kekuatan bersenjata yang lemah dan tak terorganisir, Mao memerintahkan kepada mereka untuk memendam senjatanya. Tak perlu gagah-gagahan melakukan pemberontakan secara sporadis. Setelah senjata dikubur, mereka diminta membubarkan diri, masuk ke Koumintang bila mungkin, atau milisi-milisi lokal yang ada. Bila berhasil masuk, mengambil posisi dalam angkatan bersenjata lawan. Tujuannya sama: memecah dari dalam.
Kombinasi tiga siasat itu telah membuat PKC semakin kuat. Dan, sebetulnya tak perlu disebutkan lagi: PKC berhasil mempimpin Revolusi Sosialis di tanah berpenduduk semilyar itu.
Pada akhirnya: siasat sebetulnya hanya gabungan kecerdasan dan ketekunan mempelajari pengalaman. Tapi, siasat tetap siasat. Ia bukan rapal doa yang bisa dipakai untuk setiap saat. Tak ada salahnya gerakan Kiri terus belajar bersiasat agar otak tak berkarat.***
Lereng Merapi. 25.01.2013
Ragil Nugroho