Simptom Yunani: Sebuah Laporan*

Print Friendly, PDF & Email

DALAM upayanya menteorikan apa yang disebut ‘simptom,’ Lacan dikenal memiliki sedikitnya dua konsepsi besar tentang simptom: simptom sebagai penanda material yang memungkinkan analisis dan interpretasi atas gangguan pada diri subjek, namun tidak ternyatakan seluruhnya (ça ne dit pas tout); dan simptom sebagai bentuk determinasi subjek oleh bawah sadarnya melalui penikmatan (jouissance). ‘Tidak ternyatakan seluruhnya,’ simptom, atau ‘gejala,’ namun demikian kata Lacan, berbicara kepada kita (ça parle), seperti hendak menyampaikan sesuatu namun tak tersampaikan secara ‘normal,’ sesuatu yang menunjukkan suatu krisis pada subjek, namun tak dapat disampaikan sendiri oleh subjek dan karena itu membutuhkan pihak kedua atau ketiga untuk membacanya.

Demonstrasi Athena (DOK. "Daily Mail", http://www.dailymail.co.uk/travel/article-1273741/Athens-riots-Latest-travel-advice-Greece-debt-crisis-protests.html)
Demonstrasi Athena (DOK. “Daily Mail”, http://www.dailymail.co.uk/travel/article-1273741/Athens-riots-Latest-travel-advice-Greece-debt-crisis-protests.html)

Bila ‘simptom’ itu kini bernama ‘Yunani,’ apa sinyal yang hendak disampaikannya untuk kita? Jika diskursus simptomatologis oleh psikoanalisis, dan juga filsafat, ingin memperlihatkan, meminjam bahasa Lacan, ‘apa yang tak beres pada yang riil’ (ce qui ne va pas dans le réel), ‘simptom’ juga dipakai oleh diskursus medis untuk menciptakan relasi kuasa antara dokter dan pasien, di mana subjek, dilabeli sebagai penderita simptom, diharuskan menjalani pemeriksaan dan tunduk pada mekanisme medis. Di antara kedua diskursus ini, Yunani muncul sebagai  figur eksemplar dari ketegangan antara dua operasi simptomatologis ini, dua operasi yang, di satu sisi, menandai krisis kapitalisme namun, di sisi lain, memperlihatkan cara kerjanya.

Sejak dinyatakan mengalami defisit anggaran pada akhir 2009 dan membengkak pada Mei 2010, Yunani divonis sebagai negara bangkrut yang butuh ‘diselamatkan.’ Serangkaian talangan dari aliansi tiga besar (Troika)—Uni-Eropa, Bank Sentral Eropa, IMF—mengalir, melalui apa yang disebut ‘paket penyelamatan’  (rescue package), dengan dalih menghindarkan Yunani dari defisit yang lebih parah. Dana yang dikucurkan dengan sejumlah syarat: pengetatan anggaran publik (austerity), privatisasi aset-aset negara, dan reformasi struktural untuk pertumbuhan dan kompetisi. Di bawah dirigen Sarkozy-Merkel, Papandreou mengumumkan ‘terapi kejut’ di hadapan rakyat Yunani: pemotongan anggaran publik.

Kosakata ‘penyelamatan,’ ‘penanganan,’ ‘penyakit,’ yang bertebaran di media dan pernyataan para pejabat lembaga Eropa, menunjukkan bagaimana Yunani telah menjadi ‘simptom,’ dan, seperti kata Maria Kakogianni dalam pembukaan konferensi, ‘hanya para “ahli” yang dapat menangani simptom.’ Simptom Yunani adalah simptom para ahli, para spesialis ekonomi-politik, yang bekerja dalam diskursus mediko-politis, di mana ‘Yunani’ adalah ‘pasien’ yang mesti menelan pil neoliberal agar sembuh dan kembali pulih. Namun, sebagaimana simptom tidak didominasi semata oleh diskursus mediko-politis, ia adalah penanda bagi diskursus yang lain, yang memungkinkan pasien melepaskan diri dari tatapan patologis dokter dan menjadi subjek-pengucapnya sendiri. Inilah momen perebutan simptom, ketika simptom menjadi cara subjek menyatakan dirinya, mendemonstrasikan problemnya, dan memperlihatkan—melalui suara dan gesturnya sendiri—anomali dan resistensinya.

Antonio Negri (DOK. Muhammad Al-Fayyadl)
Antonio Negri (DOK. Muhammad Al-Fayyadl)

Uang, Kedaulatan, Eropa

Marie Cuillerai membuka diskusi tentang krisis Yunani dengan pendasaran kritik ekonomi-politik atas problem ‘uang’ dalam kapitalisme Eropa hari ini. Ia mengajukan tesis tentang distingsi antara ‘kedaulatan melalui uang’ (souveraineté par la monnaie) dan ‘kedaulatan uang’ (souveraineté de la monnaie).

Distingsi ini tidak lepas dari konsepsi Marx yang paling elementer tentang uang sebagai produk relasi sosial; relasi sosial-lah, bagi Marx, yang pertama-tama menciptakan uang, dan bukan uang yang menciptakan relasi sosial. Relasi sosial yang berkembang secara historis dari relasi sosial yang terbentuk antara manusia dan manusia, kemudian relasi sosial antara manusia dan manusia melalui mediasi barang, dan, pada gilirannya, relasi sosial antara manusia, barang, dan manusia melalui mediasi uang, memunculkan ‘kebutuhan’ akan nilai-tukar sebagai abstraksi dari fungsi pertukaran. Padahal, kebutuhan ini tepat merupakan mekanisme kapitalisme itu sendiri untuk mengubah produk menjadi komoditas, dan mengubah komoditas menjadi nilai-tukar, yang menyembunyikan, melalui proses abstraksi yang berlapis-lapis, keterlibatan kerja produktif di dasar pembentukan material produk itu sendiri. Fungsi kebertukaran (exchangeability) dari uang ini yang ‘dideterminasi,’ dibakukan, dan difiksasi menjadi komoditas baru dalam pasar moneter dan, lebih lanjut, dalam pasar finansial.

Krisis Yunani adalah simptom dari krisis ‘uang’ dalam tata ekonomi-politik Eropa hari ini. Dan ‘uang’ itu bernama ‘Euro.’ Jika ‘Euro’ mengalami krisis, pertanyaannya, dalam pengertian apa krisis moneter dan finansial ini persisnya dipahami? Bagi Cuillerai, jawabannya terletak pada krisis ‘Euro’ dalam hubungannya dengan ‘kedaulatan Eropa’ yang menciptakan dan diciptakannya. Alur pemikiran Cuillerai dapat dijelaskan kurang lebih demikian.

 (dari kiri ke kanan): Maria Kakogianni, Jacques RanciËre, StÈphane Douailler (DOK. Muhammad Al-Fayyadl)
(dari kiri ke kanan): Maria Kakogianni, Jacques RanciËre, StÈphane Douailler (DOK. Muhammad Al-Fayyadl)

Bila relasi sosial-lah—berangkat dari teori Marx—yang menciptakan uang, maka ‘kedaulatan Eropa’ adalah suatu konsepsi relasi sosial yang terbentuk di antara ‘masyarakat Eropa;’ kedaulatan ini membutuhkan suatu simbol pemersatu yang mampu merekatkan relasi sosial tersebut secara ekonomis dan politis; simbol itu kini bernama ‘Euro.’ Pada konteks ini, menurut Cuillerai, muncul konsepsi kedaulatan melalui uang, yaitu ‘kedaulatan Eropa’ yang diikat dan diintegrasikan melalui suatu simbol ‘uang-bersama’ (monnaie commune).

Modus kedaulatan melalui uang ini merupakan modus yang bekerja pada awal-awal pembentukan Uni-Eropa yang diinisiasi oleh faktor-faktor historis, kultural, dan politis, di bawah keinginan menyatukan Eropa yang porak-poranda pasca-perang.  ‘Kedaulatan simbolik’ itu kemudian diperkuat dengan penyatuan sistem mata uang, yang melahirkan ‘zona Eropa’ di mana Yunani adalah salah satu anggotanya. Konsepsi kedaulatan melalui uang ini, menurut Cuillerai, tidak lagi memadai untuk menjelaskan kondisi Yunani hari ini, karena yang terjadi bukan lagi determinasi ‘kedaulatan Eropa’ atas ‘uang,’ melainkan sebaliknya, determinasi ‘uang’ atas ‘kedaulatan Eropa:’ kedaulatan uang. ‘Uang,’ dengan kata lain, telah menggantikan fungsi integratif ‘kedaulatan Eropa’ dengan menjadi ‘kedaulatan’ itu sendiri.

Kedaulatan uang tak lain adalah superioritas uang atas imajinasi ke-Eropa-an, yang dibangun di atas cita-cita historis, kultural, dan politis bersama. Superioritas uang ini menciptakan tirani moneter, yang korbannya kini bernama ‘Yunani.’ Di bawah superioritas ini, meski Yunani adalah simbol kultural terpenting peradaban Eropa, ironisnya, ia terancam terdepak dari ‘Eropa,’ hanya karena ia terancam menolak kesepakatan Troika untuk tetap berada di dalam zona Euro dan tetap menggunakan Euro. Dalam modus kedaulatan uang ini, ‘Euro’ mengkudeta ‘Eropa.’

Modus terakhir ini menggambarkan pembalikan status ontologis uang, ketika uang menciptakan relasi sosial, dan bahkan menggantikan relasi sosial itu sendiri. Menyambung Cuillerai, André Orléan, dalam presentasinya, menyebut telah terjadi ‘fetisisasi Euro,’ yang digarisbawahinya dengan fenomena penting: fenomena uang-hutang (monnaie créancière) dari lembaga-lembaga donor internasional dan negara-negara kuat (dalam kasus ini: Jerman) terhadap negara-negara lemah atau bangkrut (baca: Yunani). Ini disebabkan, dalam fetisisme ini, Euro bukan lagi menjadi simbol integratif yang didasarkan pada hubungan ke-Eropa-an yang lebih ‘riil,’ dengan demikian didasarkan pada nilai-gunanya, melainkan telah menjadi komoditas itu sendiri, dengan bentuk-komoditas (commodity-form) yang menjadikan nilai-tukar lebih penting daripada nilai-gunanya. Fetisisme yang tampak berada satu level ini, yaitu uang-sebagai-komoditas yang modalitasnya dibedah Marx di akhir Bab 1 Capital, sebenarnya berlangsung dalam level ganda, yaitu ketika uang-sebagai-komoditas (dalam pasar moneter) berubah menjadi uang-sebagai-hutang (dalam pasar finansial). Di dalam transformasi pertama (uang-sebagai-komoditas), kapitalis tampil sebagai pemilik uang (money-owner), tetapi dalam transformasi kedua (uang-sebagai-hutang), kapitalis tampil sebagai pemilik uang-hutang (kreditur), yang, dalam relasinya dengan negara debitur, mengolah hutang menjadi kapital baru.

Sayangnya, Orléan tidak sempat membedah secara fundamental modalitas-modalitas uang-hutang ini dalam kaitannya dengan kapital—sesuatu yang pastinya jauh lebih penting—dan berhenti pada analisis yang kurang substansial dan nyaris menjadi klise, misalnya dalam pernyataannya bahwa krisis Euro menandakan krisis model Keynesian yang dianut oleh negara-negara Eropa. Tetapi, ia menggarisbawahi satu hipotesis menarik, tentang bagaimana krisis model Keynesian ini telah menciptakan suatu gelombang reaksioner yang disebutnya ‘represi finansial’ dan ‘kontrol total finansial’ pada negara-negara penganutnya, sesuatu yang melampaui model Keynesian sendiri dan, dalam kenyataannya, berujung pada proses oto-destruksi Keynesianisme hari-hari ini.

Seperti dikatakan Orléan, suatu ilusi mengharapkan krisis kapitalisme Eropa hari ini dapat berujung pada semacam “’estorasi etis,’ di mana Euro dipulihkan statusnya kembali (seperti pada masa-masa awal inisiasinya) sebagai simbol pemersatu Eropa. Pandangan Orléan mengritik pandangan Bruno Théret, yang dalam presentasinya, menyesalkan hilangnya ‘legitimasi etis’ Euro di mata rakyat Eropa. Théret, berseberangan dengan Cuillerai, menerima secara positif kedaulatan uang, sejauh baginya, kedaulatan tersebut dilegitimasi secara etis melalui suatu proses demokratis. Ia berangkat dari premis bahwa uang menciptakan rasa kepemilikan sosial (appartenance sociale) di antara penggunanya. Eksistensi Euro di antara masyarakat sipil Eropa memainkan fungsi pencipta rasa kepemilikan ini. Secara makro, eksistensi sistem mata uang-bersama Euro juga akan melindungi Eropa dari sapuan krisis global yang datang dari, misalnya, Amerika Serikat atau Asia. Untuk itu, Euro mesti diintegrasikan ke dalam apa yang disebutnya ‘model sosial Eropa’ (modèl social européen), di mana Euro menjadi integrator interaksi sosial antarwarga Eropa. Théret, yang menganut paham ekonomi institusional John R. Commons, mengimpikan suatu ‘federalisme moneter’ yang mendesentralisasi (tidak seperti saat ini) bank sentral Eropa. Filosofinya adalah ‘keadilan distributif’ untuk menghilangkan ketimpangan ekonomi di antara negara-negara Eropa.

Suatu ilusi, sekali lagi, karena Théret mengabaikan, atas motif ‘etis,’ kontradiksi pada relasi antara kedaulatan dan uang, dan hal ini membuat pandangannya terdengar normatif dan kompromistis terhadap kapitalisme. Jika asumsi Théret diikuti, maka kita mesti menerima suatu model hubungan sosial-politik yang dibangun di atas hubungan moneter; padahal, kontradiksinya, hubungan moneter itu dibangun di atas hubungan sosial. Dalam konteks ini, intervensi Étienne Balibar di hari kedua konferensi, memberikan suatu klarifikasi dalam menanggapi persoalan kedaulatan dalam konteks krisis Yunani dan Eropa hari ini.

Bila Cuillerai memaparkan tentang eksistensi dua konsepsi kedaulatan yang terkait secara problematis dengan uang, Balibar memberikan klarifikasi yang memperjelas bahwa kedua konsepsi kedaulatan moneter ini tidak tertangkap kontradiksinya, kecuali dikonfrontasikan dengan pertanyaan yang lebih mendasar: ‘siapa yang berdaulat?’ Kedaulatan uang maupun kedaulatan melalui uang adalah kontradiksi in terminus, karena pemilik kedaulatan yang ‘sebenarnya’ bukan negara-negara Eropa—yang merumuskan dua modalitas kedaulatan ini—bukan pula lembaga supra-negara seperti Uni-Eropa atau IMF, melainkan apa yang disebut, bukan tanpa ambiguitas, sebagai ‘rakyat Eropa.’ Di sini, Balibar memberikan suatu pendasaran subjektif bagi kedaulatan, yang di dalam skema neoliberal dihilangkan atau dikaburkan dengan memberikan peran ‘kuasi-subjektif’ kedaulatan kepada uang.

Bila seperti disitir Orléan, dan disepakati Théret, yang hilang dalam krisis kali ini adalah ‘perdebatan demokratis,’ Balibar menguji gagasan tentang apa yang dimaksud dengan ‘demokrasi’ itu dalam konteks Eropa hari ini. Untuk itu, Balibar, bertolak dari apa yang disebut Derrida sebagai ‘aporia,’ memetakan aporia-aporia yang mendekam dalam gagasan ‘rakyat Eropa’ sebelum nantinya mencoba menawarkan jalan keluar darinya.

Pada prinsipnya, Balibar menerima gagasan kedaulatan Eropa, sejauh ia merujuk pada kedaulatan rakyat Eropa. Tetapi, bagi Balibar, gagasan ‘rakyat Eropa’ itu sendiri telah terbelah dalam sejumlah aporia yang tidak terdamaikan satu sama lain. Aporia pertama terletak pada level ‘konstitusionalis’ atau ‘yuridiko-konstitusionalis,’ level di mana ‘rakyat’ (demos) dikonseptualisasikan oleh diskursus negara atau negara-hukum. Pada level ini, Balibar menangkap menghilangnya dan absennya rakyat sebagai ‘demos,’ dengan merujuk kepada diambil alihnya secara dingin dan prosedural keterlibatan rakyat Eropa dalam pengambilan keputusan menyangkut persoalan-persoalan mereka, oleh aktor-aktor negara atau supra-negara. ‘Kedaulatan rakyat,’ dengan demikian, menjadi ilusif, karena pada level nasional, keterlibatan mereka tidak dihitung dalam pengambilan keputusan (‘apakah rakyat Yunani, misalnya, dilibatkan dalam kebijakan austerity?’) lebih-lebih supra-nasional.

Aporia kedua terletak pada ketegangan antara demos dan ethnos, antara ‘rakyat’ sebagai suatu kolektivitas demokratis yang terbuka—Balibar menggunakan secara bergantian istilah demos dengan plethos, yang berarti ‘massa,’ multitude, kerumunan politis—dan ‘rakyat’ sebagai suatu kolektivitas tertutup etno-sentris. Sentimen sayap kanan reaksioner yang menguat di Eropa, rasisme, neo-fasisme, sauvinisme, dan seterusnya, adalah ‘rakyat’ dalam pengertian ethnos, yang selalu muncul bersamaan dengan menguatnya demos, namun secara esensial berlawanan.

Terakhir, ketiga, terdapat aporia antara ‘rakyat’ dalam konsepsi ‘kewargaan aktif’—konsepsi yang banyak dipikirkan ulang oleh Balibar dalam studi-studinya belakangan, melawan apropriasi ideologi republikanisme-kanan atasnya—yang beroposisi dengan ‘kewargaan pasif.’ Dengan mengaitkan ‘kewargaan’ dengan ‘rakyat,’ Balibar hendak menunjukkan ambivalensi dan ketegangan antara kewargaan yang dipahami secara representasional oleh negara kepada rakyat, dan kewargaan yang diklaim secara aktif oleh rakyat oleh rakyat itu sendiri, tanpa referensi kepada negara.

Ketiga aporia ini muncul bukan semata-mata karena dimensi linguistik dari kata ‘rakyat’ itu sendiri. Berbeda dengan Laclau, misalnya, Balibar tidak memahami konsep ini sebagai ‘penanda kosong’ yang oto-referensial, tetapi memahaminya dari kontestasi riil yang mengkonstruksinya. Untuk itu, Balibar mengajukan suatu pemetaan yang berangkat dari pertanyaan ‘Mengapa harus ada “rakyat Eropa”?’ Untuk siapa ‘rakyat Eropa’ itu dikonstruksi?

Ada sedikitnya tiga jawaban yang berkembang atas pertanyaan itu, menurut Balibar. Pertama, ‘rakyat Eropa’ perlu ada untuk kepentingan kelas penguasa (la classe dirigeante). Alasan ini, meski tidak begitu eksplisit di permukaan, pada kenyataannya adalah faktor yang selalu muncul dalam diskursus elite Eropa. Ia menunjuk pada munculnya idiom ‘pengawasan’ (surveillance) selama krisis; suatu idiom yang objeknya bukan semata-mata sistem moneter dan finansial, tetapi rakyat Eropa itu sendiri. Kelas penguasa ingin menjamin stabilitas politik demi stabilitas moneter dan finansial—analisis Balibar ini nantinya akan relevan, dengan melihat korelasi yang semakin signifikan antara ‘represi finansial’ dan represi politik di negara-negara Eropa hari ini.

Alasan pertama, tertolak secara teoretis, memaksa sejumlah pemikir di Eropa untuk memikirkan alasan kedua. Dan inilah, menurut Balibar, yang diajukan Habermas dan Claude Lefort: ‘rakyat Eropa’ perlu ada guna terciptanya federalisme administratif yang efektif dan efisien. Mirip seperti pandangan Théret, model federalisme ini mengimpikan distribusi kekuasaan yang merata di antara seluruh negara anggota Uni-Eropa. Menurut Balibar, federalisme ini cacat karena dua hal: dominasi yang terus berlanjut dari Jerman terhadap negara-negara anggota dan masih abstraknya demos dalam skema federalisme. Bagaimana mungkin memikirkan demos dalam suatu ‘rasio administratif?’ Kontradiksi federalisme terletak pada keinginannya melibatkan ‘rakyat Eropa’ dalam suatu kewargaan aktif—Habermas akan menyebutnya ‘deliberasi’—tetapi, di sisi lain, mendelegasikan kewargaan itu dalam administrasi politis yang membuat kewargaan itu menjadi pasif.

Pada gilirannya, jawaban yang bagi Balibar lebih tepat, walaupun tetap terbuka untuk diperluas dan diperdalam, adalah membuat ‘rakyat Eropa’ sendiri yang menanyakan ‘mengapa harus ada “rakyat Eropa”?’ Dengan kata lain, mengembalikan alasan perlu-tidaknya konstruksi imajiner dan riil ‘rakyat Eropa’ kepada suara populer yang tidak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan kelas penguasa maupun prosedur legal-administratif. Itu berarti, ‘rakyat Eropa’ masih dalam proses pembentukan, dan bagi Balibar, momen krisis ini adalah momen untuk mengintensifkan lebih cepat dan radikal proses pembentukan itu. Dengan itu, ‘rakyat Eropa’ dalam konstruksi kelas penguasa maupun rasio administratif dengan sendirinya bermasalah, karena konstruksi itu baru dibangun secara sepihak oleh kelas penguasa maupun intelektual kelas menengah Eropa. Hal ini memunculkan pertanyaan lebih lanjut: apakah Balibar menyarankan referendum sebagai jalan keluar dari krisis? Suatu kemungkinan yang secara implisit dibuka oleh pemetaan Balibar, namun masih menjadi tanda tanya besar bagi ‘rakyat Eropa’ hari ini.

(dari kiri ke kanan): Yannis Stavrakakis, Costas Douzinas, Jean-RenÈ Garcia, Alain Badiou (DOK. Muhammad Al-Fayyadl)
(dari kiri ke kanan): Yannis Stavrakakis, Costas Douzinas, Charles Alunni, Alain Badiou (DOK. Muhammad Al-Fayyadl)

Fasisme, Represi, Resistensi

Di antara sesi paling berkesan dan menarik selama tiga hari konferensi adalah mendengar bagaimana ‘simptom’ itu berbicara, tidak dengan bahasa pengamat, melainkan dengan bahasanya sendiri, bahasa pengalaman, atau meminjam Deleuze, bahasa ‘afek.’ Diawali dengan introduksi teoretis yang cukup panjang dari Antonio Negri, sesi ini menjadi ajang sejumlah aktivis, Yunani maupun Eropa, yang diundang untuk berbagi narasi tentang apa yang terjadi ‘di dalam negeri’ mereka masing-masing.

Negri memberikan suatu refleksi, bahwa apa yang sedang terjadi di Yunani saat ini merupakan ‘lahan pembentuk’ (terrain constituant) bagi keberlanjutan resistensi, setelah vakum yang cukup lama pasca-terbentuknya Uni-Eropa. Istilah ‘lahan pembentuk’ mengingatkan pada satu konsep Negri yang lain tentang resistensi populer sebagai ‘kekuatan pembentuk’ (pouvoir constituant), yang diapropriasinya dari Rousseau. Krisis menyediakan ‘lahan’ yang potensial bagi resistensi karena di sana kontradiksi-kontradiksi politis dari kapitalisme kontemporer terlihat secara langsung. Kontradiksi politis itu, secara garis besar, mempertemukan secara brutal kapitalisme dengan bio-politik, atau kapital dengan tubuh pekerja, dalam suatu sistem dan mekanisme yang mengeksploitasi tubuh pekerja dalam berbagai dimensi kehidupan (bios)-nya.

Konsekuensi dari hal ini, menurut Negri, adalah bahwa kapitalisme tidak lagi bekerja semata-mata secara konvensional dalam kamp-kamp konsentrasi kerja (pabrik), tetapi telah masuk meresapi kehidupan sehari-hari. Tipe kerja baru muncul—yang disebutnya ‘kerja immaterial’—dengan pekerjanya, ‘pekerja immaterial.’ Peresapan kapitalisme dalam kehidupan membuat siapa pun menjadi subjek yang tereksploitasi oleh kapitalisme; dalam presentasinya, ia menyebut subjek ini sebagai ‘subjek rentan’ (sujet précaire), yakni subjek yang selalu terbuka untuk dieksploitasi karena ketidakmampuannya melepaskan diri karena keterjeratan kehidupan atau lingkungannya oleh sistem kapitalis. Tinggal menunggu waktu bahwa ‘subjek rentan’ berubah menjadi ‘subjek mesin’ (sujet machinique), yakni subjek yang menjadi bagian langsung dalam sistem produksi kapitalis.

Keterjeratan ini, bagi Negri, tidak akan berlangsung begitu saja, tetapi mendorong secara kontradiktif pula resistensi dari subjek-subjek itu untuk melawan. Resistensi itu terjadi lewat titik di mana kapitalisme masuk ke dalam kehidupan kelas pekerja, yakni bio-politik. Melawan dengan bio-politik, Negri mengusulkan perebutan ‘nilai kerja’ yang dieksploitasi oleh kapitalisme dengan ‘oto-valorisasi oleh pekerja,’ yakni dengan menjadikan kerja dan hasil yang diperolehnya dimiliki, dibagi, dan didistribusikan secara langsung oleh pekerja itu sendiri, tanpa tangan negara, bank, maupun perusahaan. Perebutan ini mengandaikan adanya upaya yang disebut Negri saat itu sebagai ‘komunisasi’ (communisation), yaitu menjadikan resistensi dan oto-valorisasi itu dilakukan serentak bersama-sama oleh kolektivitas pekerja dan subjek rentan dalam suatu serangan massif terhadap institusi-institusi kapital.

Apa yang terjadi di Yunani, seperti terekam dari film dokumenter Aris Chatzistefanou, memberikan gambaran sekelumit bagaimana resistensi yang dikonseptualisasikan Negri menemukan sebagian manifestasinya. Presentasi Negri melewatkan satu hal: mediasi negara dalam pertemuan kapitalisme dan bio-politik itu. Seperti terekam dalam film Chatzistefanou, negara secara brutal memfasilitasi dan menjaga kepentingan kapitalisme dengan mempersekusi tubuh dan menjadikan tubuh pekerja dan massa sebagai target operasi.

Film itu bercerita tentang naiknya rezim fasis di Yunani dengan kehadiran milisi ekstrem kanan Fajar Emas (Golden Dawn, l’Aube Dorée) dalam polisi Yunani. Fajar Emas menjadikan target kekerasan dan serangan brutalnya bukan saja para demonstran—yang, sebagaimana dianalisis Negri, terdiri dari gabungan para buruh dan massa yang terancam PHK, figur dari subjek rentan—tetapi juga para imigran, para gelandangan, pengemis, tunawisma, dan berbagai lapisan Lumpenproletariat. Momen serangan itu berlangsung tepat ketika pemerintah korup Yunani menandatangani kesepakatan pencairan dana talangan dengan Troika.

Bagaimana menjelaskan aksi-aksi fasis dan neo-fasis di saat yang bersamaan dengan ‘represi finansial’ Troika terhadap Yunani? Logika bio-politik yang diajukan Negri kali ini relevan: tak lain karena kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari eksistensi tubuh pekerja, dan karena itu dipertahankan juga melalui represi terhadap tubuh itu. Karena eksploitasi itu berlangsung melalui tubuh, terhadap tubuh, maka tubuh yang resisten harus direpresi dengan segala cara untuk kembali jinak dan dapat dieksploitasi. Menonton film Chatzistefanou dengan bantuan teoretis Negri memberikan konsepsi tentang kapitalisme yang dipersenjatai.

Serangan paling mutakhir Desember 2012 lalu terhadap squat ‘Villa Amalias,’ markas kaum anarko-sindikalis dan aktivis kiri Yunani, sebuah tempat yang menjadi situs pertemuan dan solidaritas demokratis antar-berbagai kekuatan oposisi di Yunani, memberikan gambaran mikro tentang operasi kapitalisme yang dipersenjatai itu, dimana milisi fasis dan polisi, dengan dukungan ‘konstitusional’ pemerintah Yunani, bekerja sama untuk melenyapkan seluruh aksi dan potensi resistensi.

Rezim fasis yang sekarang menguasai Yunani, menurut Dimitris Kousouris, bukan fenomena baru, tetapi telah muncul sejak 1940-an. Joëlle Fontaine, mengafirmasi Kousouris, menelusurinya dari 1941, ketika pemerintah fasis Metaxas bekerja sama dengan PM Churchill (Inggris) dalam menyulut Perang Sipil terhadap kaum komunis Yunani. Ribuan komunis dibunuh secara sistematis, dalam suatu transisi menuju ‘dunia bebas’ (free world) yang diimpikan Churchill. Eksterminasi komunis oleh aliansi fasis dan liberal ini memberikan jalan bagi liberalisasi Yunani, yang sejak 1950-an mengikuti Marshall Plan dan memilih berintegrasi dengan pasar dunia.

Yang terjadi di Yunani hari ini tentu bukan replika persis dari pengalaman Yunani pada 1940-an, namun, menurut Elsa Papageorgiou, satu hal berulang: krisis ekonomi memberikan jalan bagi fasisme dan berbagai ideologi ekstrem anti-demokratis.

Dukungan solidaritas untuk Villa Amalias (DOK. www.eagainst.com)
Dukungan solidaritas untuk Villa Amalias (DOK. www.eagainst.com)

Konsolidasi, Politisasi, ‘Subjektivasi’

Pastilah belum banyak yang bisa disumbangkan konferensi ini bagi perbaikan kondisi rakyat Yunani yang kini sedang berjuang melawan dua kekuatan besar, yakni negara dengan aparatur-aparatur fasis dan neo-fasisnya, dan lembaga-lembaga supra-negara yang terus menginjeksikan resep neoliberal terhadap tata sosial dan ekonomi-politik Yunani di tahun-tahun mendatang. Berhimpunnya sejumlah aktivis dan intelektual Yunani dalam forum ini belum merepresentasikan seluruh dimensi perjuangan yang dihadapi langsung oleh gerakan-gerakan kiri dan demokratis Yunani, yang sedang berjuang menghadapi teror dan intimidasi terus-menerus dari berbagai elemen reaksioner. Tetapi setidaknya, seperti diakui Yannis Almpanis, konferensi ini menandakan dukungan dan solidaritas yang terus mengalir dari berbagai elemen kiri dari luar Yunani (kali ini, Prancis) terhadap situasi internal Yunani.

Menyepakati apa yang dinyatakan Amador Fernandes-Savater, dalam presentasinya yang menceritakan pengalamannya menggalang gerakan ’15 Mei’ (15 de mayo) di Spanyol, momen krisis ini telah mendorong politisasi massif terhadap elemen-elemen masyarakat yang sebelumnya tidak tergerak untuk bersuara, meskipun mereka adalah pihak yang paling menderita oleh efek krisis. Politisasi ini, misalnya, mulai mendorong kaum muda, yang sebelumnya apolitis, untuk turut serta dalam demonstrasi dan aksi-aksi jalanan, setelah mereka menyadari bahwa pengangguran yang mereka alami merupakan dampak langsung dari krisis. Begitu juga ibu-ibu rumah tangga, para pekerja rumah sakit, serta berbagai elemen yang sebelumnya tidak diperhitungkan.

Tetapi, apakah politisasi ini cukup? Seperti dikatakan Jacques Rancière, menjawab pertanyaan Maria Kakogianni tentang ‘apa yang akan terjadi setelah semua ini?’ (Qui vient après?), politisasi yang menular di antara berbagai elemen sosial saat ini baru merupakan proses ‘pra-subjektivasi politis‘ yang menyiapkan jalan menuju ‘subjektivasi politis’ sesungguhnya. Dengan kata lain, politisasi ini baru situasi pemanasan menuju munculnya subjek politis yang lebih besar dan lebih kontinu, yang pembentukannya sangat tergantung pada situasi kontingen di Yunani dan Eropa hari ini.

Seperti menyambung apa yang dinyatakan Rancière, Alain Badiou, di sesi penutup konferensi, memberikan nama bagi ‘subjek politis’ sebagai ‘komunis,’ yang dipahaminya sebagai rakyat (peuple) yang eksistensinya mengandaikan ‘in-eksistensi yang mungkin dari negara dan akumulasi’ (l’inexistence possible de l’état et de l’accumulation). Dalam ungkapan lain, rakyat yang menentang negara dan akumulasi pasar, sedemikian rupa hingga negara dan kepemilikan pribadi tidak lagi ada. Konsepsi Badiou ini mendekatkan, secara tak sengaja, dengan ‘komunisasi’ Negri; hanya bila Negri memahami komunisme sebagai proses (‘komunisasi’), Badiou memahaminya sebagai identitas (‘komunisme’) yang diklaim secara afirmatif, meski keduanya tidak lagi memberikan konten yang solid tentang siapa komunis itu (multitude bagi Negri; ‘rakyat’ bagi Badiou) sebagai entitas milik partai atau golongan tertentu.

Terlepas dari siapa yang akan muncul, Lapangan Syntagma Yunani, di bawah bayang-bayang Necropolis Parthenon, menjadi saksi sejarah bagi keberlanjutan resistensi di Yunani dan dekomposisi dogma-dogma neoliberal yang terus berlangsung dan meluas di kalangan rakyat Yunani dan Eropa hari ini.***

*Catatan dan notulensi dari konferensi internasional ‘Le Symptôma Grec’ yang berlangsung 18-20 Januari 2013 di Universitas Paris VIII dan École Normale Supérieure (rue d’Ulm), Paris. Catatan ini dibuat mengingat urgensi krisis Yunani dalam konteks krisis kapitalisme global saat ini, selain momen strategis konferensi sebagai tempat berkumpulnya sejumlah tokoh dan pemikir kiri berpengaruh–beberapa di antaranya sudah cukup dikenal di Indonesia, seperti Antonio Negri, Alain Badiou, Jacques Rancière–dalam menanggapi krisis tersebut. Ada 38 pembicara yang terlibat dalam konferensi ini, yang datang dari beberapa negara Eropa selain Prancis, namun tidak memungkinkan untuk seluruhnya disebut. Terima kasih secara khusus untuk Joëlle Fontaine dan Howard Caygill atas diskusi kecilnya selepas acara dan penyediaan beberapa material (makalah dan referensi) yang dibutuhkan sehingga catatan ini dapat disusun.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.