HARI itu, Sabtu 8 Desember 2012, kami berkeliling di sekitaran Grogol, Cengkareng dan Slipi, Jakarta Barat. Hari menjelang petang, ketika kami mengitari tempat-tempat tongkrongan seniman jalanan yang tergabung dalam SENJA (Seniman Jalanan Jakarta).
Tidak seperti biasanya, petang itu terasa aneh. Kami hanya bertemu beberapa orang saja dari anggota SENJA. Kami menunggu satu atau dua jam, berharap yang lain segera berkumpul seperti biasanya. Tapi, rupanya itu penantian yang sia-sia. Sungguh berbeda dengan waktu-waktu yang lalu ketika kampi mampir ke tempat ini, dimana dalam hitungan menit tempat ini sudah penuh sesak oleh mereka yang mampir dan nongkrong.
‘Kalau mau ketemu, kawan-kawan jangan hari Sabtu, bung. Itu haram. Hari sabtu pasti pada ngelayap ke mana-mana. Istilahnya, hari itu hari mereka untuk kejar setoran,’ ujar Heri Sunandar, koordinator SENJA saat ini.
Ah, rupanya kami tak mengenal waktu kawan-kawan itu. Hari Selasa memang hari apes buat Seniman Jalanan. Entah bagaimana ceritanya, pokoknya di hari Selasa, manusia Jakarta seketika menjadi pelit. Alhasil, rezeki Seniman Jalanan pun seret di hari itu. Namun, jangan tanya kalau hari Sabtu dan Minggu. Serempak orang- orang Jakarta menjelma dermawan. Bagi Seniman Jalanan, di Jakarta kebaikan hati rupanya ada jadwalnya.
‘Kami kerap mengadakan rapat di hari Selasa, kecuali kalau ada agenda-agenda yang mendesak,’ tambah Heri, yang juga aktif sebagai pengurus SRMI (Serikat Rakyat Miskin Indonesia). SENJA memang berafiliasi dengan SRMI.
Di setiap sudut Jakarta, keberadaan Seniman Jalanan atau populer disebut pengamen adalah pemandangan yang lumrah.. Mereka datang dari berbagai usia dan dengan banyak metode kreatif. Mereka berseliweran di bus kota yang padat merayap, di lelampu merah, di warung-warung kaki lima, dan kerap juga di jembatan penyeberangan.
Karena alasan inilah, pembaca yang budiman, kami membagi laporan ini dalam dua edisi. Tulisan pertama ini akan berfokus pada latar belakang serta keberadaan SENJA sebagai sebuah organisasi. Edisi berikutnya akan menyoroti aktivitas produksi dan reproduksi kehidupan para seniman jalanan yang tergabung dalam SENJA.
***
5 Juni 2011, adalah tanggal bersejarah bagi SENJA (Seniman Jalanan Jakarta). Pada hari itu, mereka mengadakan kongres kedua. SENJA didirikan dari sebuah kesadaran bahwa untuk memperjuangkan hak-haknya dan melindungi dirinya dari ketidak-adilan, seniman jalanan tidak bisa berjuang sendiri-sendiri. Mereka mutlak membutuhkan sebuah organsisasi yang kuat dan solid. Keinginan ini bak gayung bersambut, ketika SRMI (Serikat Rakyat Miskin Indonesia) bersedia mefasilitasi aspirasi mereka. Maka, kongres kedua SENJA pada hari itu pun dilaksanakan di kantor Dewan Pimpinan Nasional SRMI, di Tanjung Duren, Jakarta Barat. Para Seniman Jalanan datang berkumpul dan membulatkan tekad membentuk sebuah organisasi bersama. Sebelumnya, SENJA sudah melakukan kongres pertama 9 April 2009 di Jembatn Gantung, Jakarta Barat. Kala itu, 40-an Seniman Jalanan dari Cengkareng, Pesing, dan Grogol berkumpul untuk membentuk organisasi.
Pengamen sering sekali ditangkapi dan diperlakukan tidak adil oleh aparat Satpol PP, begitu juga terhadap anak jalanan. Mereka sendiri sudah sangat gedek melihat keadaan itu. Karena itulah, kami dari SRMI menawarkan sebuah konsep organisasi untuk kawan-kawan Seniman Jalanan, ujar Dika Mohammad dari SRMI.
SENJA dibentuk sebagai wadah dan sarana perjuangan bagi seniman jalanan. Gagasan perjuangan itu sendiri sesungguhnya sudah banyak berserak di benak seniman jalanan. Hal itu berjalan seiring dengan penindasan yang memiskinkan dan mendera derita pada kehidupan mereka. Kerasnya kehidupam ibukota, juga telah melahirkan semangat solidaritas dalam tubuh anggota SENJA. Dalam Manifesto yang disusun saat kongres, diutarakan bahwa SENJA bermaksud juga untuk bahu membahu bersama rakyat miskin dan menderita lainnya, dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar dan mewujudkan masyarakat yang adil dan beradab; baik secara material maupun spiritual.
Secara internal, organisasi SENJA dimaksudkan sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak Seniman Jalanan sebagai warga negara. SENJA juga diupayakan menjadi alat untuk membantu masalah-masalah domestik para Seniman Jalanan. Yang tak kalah penting, kehadiran SENJA ditujukan untuk memberi pendidikan bagi Seniman Jalanan di bidang politik agar tidak lagi gampang dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan politik lainnya.
‘Hidup di jalan itu banyak risikonya, Bung. Tanpa persatuan, kawan-kawan pasti lebih sulit menghadapinya,’ ujar Heri. Organisasi SENJA sendiri terdiri dari Organisasi Tingkat Pusat yang dipimpin oleh DPHS (Dewan Pimpinan Harian Pusat). DI bawah Organisasi Tingkat Pusat ada Organisasi Tingkat Basis yang dipimpin DPHB (Dewan Pimpinan Harian Basis). Selanjutnya, ada Organisasi Tingkat Kelompok dengan DPHK (Dewan Pimpinan Harian Kelompok) sebagai pemimpinnya.
SENJA secara rutin mengadakan rapat pengurus dan rapat akbar. Selain itu, SENJA juga melakukan pendataan berbagai masalah yang ada di jalanan, terkhusus kasus penangkapan dan razia. Secara lebih konkret, SENJA pernah melakukan aksi ke dinas sosial (Dinsos) DKI Jakarta dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) DKI Jakarta, terkait tuntutan membubarkan Panti Kedoya dan Panti Cipayung. Kedua panti ini adalah panti khusus untuk para pengamen dan anak jalanan yang tertangkap dalam razia Satpol PP. Panti ini, seiring sejalan dengan program Pemda DKI kala itu, bertujuan membebaskan Jakarta dari kriminalitas dan kekumuhan. Namun, program ini diterapkan dengan cara penangkapan dan pelarangan terhadap para Seniman Jalanan, tanpa menyediakan solusi kesejahteraan yang lebih baik.
Selain itu, SENJA meminta Dinsos dan DPRD DKI agar melepaskan anggota mereka yang tertangkap dalam razia dan penertiban. SENJA juga meminta pada pemerintah pusat dan daerah untuk secara terbuka membicarakan program mereka yang berkenaan dengan Seniman Jalanan dan anak jalanan. Permintaan ini mendapat sambutan baik dari departemen sosial (Depsos). Depsos berencana mengadakan semacam ‘forum belajar’ untuk meningkatkan ketrampilan dari anggota SENJA. Dari situ Depsos akan mencarikan wadah bagi mereka untuk mengisi hiburan di mall. Namun, karena kendala internal SENJA, program ini tak sempat terlaksana. SENJA, selain itu juga, seturut program SRMI, melakukan advokasi biaya pengobatan ketika ada anggotanya yang perlu perawatan rumah sakit, serta pembuatan KTP dan Akta Lahir.
***
Saat ini SENJA mempunyai paling kurang tujuh cabang atau tujuh kantong keanggotaan. Mayoritas kantong mereka ada di wilayah Jakarta Barat, seperti di Grogol, Cengkareng, Jembatan Gantung, dan Slipi. Selain itu ada juga beberapa lain di wilayah Jakarta Pusat, seperti di Kramat Raya dan Gedung Teater Trivoli.
Dari kantor SRMI, kami mendatangi sekretariat SENJA cabang Grogol. Lokasinya bertempat di pinggiran kali yang mengalir di belakang Mall Citraland. Kami bertemu Jack, koordinator cabang tersebut. Sekitar delapan rumah dari terpal berdiri di pinggiran jalan di samping kali itu.
‘Anak-anak lagi pada sepi. Banyak yang lagi pulang. Gua narik gerobak dulu nih, makanya belum naik. Yang lain dah pada naik dari tadi,’ ujar Jack.
Di tempat itu terdapat sekitar 15 pengamen, mayoritas dari mereka tergabung dalam SENJA. Tidak semua dari mereka mengamen setiap harinya. Ada juga yang nyambi pekerjaan lain. Jack, misalnya, saban siang menarik gerobak di pasar, setelah itu barulah ngamen.
Dari Grogol, kami menuju Cengkareng. Ada dua titik kantong SENJA di wilayah ini. Tak satu pun kawan-kawan yang kami temui. Hanya satu saja yang sempat ditemui di pinggiran jalan. Dari sana, kami menuju Slipi. Di perempatan Slipi, kami bertemu dengan Ages salah satu pengurus SRMI. Emblem BANG JAYA (Barisan Muda Pejuang Jakarta Raya (sebuah organisasi kepemudaan yang juga berafiliasi dengan SRMI), menempel di kemeja biru seragam penarik angkotnya.
Rata-rata di setiap kantong atau cabang, terdapat tujuh sampai sepuluh seniman jalanan yang tergabung dalam SENJA. Mereka aktif mengumpulkan iuran sebagai usaha untuk membangun ekonomi organisasi yang berdikari. Seribu rupiah per hari dikumpulkan guna dana aksi dan juga advokasi, bila ada anggotanya yang tertangkap.
Setiap anggota SENJA memiliki kartu anggota. Banyak dari mereka merasa terbantu dengan adanya kartu tersebut. Pasalnya, jika mereka ditangkap Satpol PP atau Polisi, dengan adanya kartu tersebut mereka tidak mendapat tindakan kekerasan. Sebelumnya, bukan hanya dipukul, bahkan uang yang mereka dapatkan dari mengamen pun terkadang dirampas oleh petugas. Masih belum cukup, selain penghasilan dirampas dan dipukuli ketika tertangkap, di dalam tahanan mereka masih juga kena jatah dari para preman penguasa tahanan.
Dengan adanya SENJA, para anggotanya bukan saja mendapatkan perlindungan dari tindakan tak adil aparat (Satpol PP dan Polisi), mereka pun punya posisi tawar di hadapan sesama pengamen. Para ‘penguasa’ di kalangan pengamen mulai berpikir dua kali jika hendak melakukan sesuatu terhadap anggota SENJA, karena mereka tahu bahwa di belakang orang itu ada sebuah organisasi dengan anggota yang cukup banyak. Bahkan, pernah beberapa anggota SENJA ‘perang’ di dalam tahanan dengan preman tahanan. Hal itu dilakukan sebagai peringatan agar tak lagi mengganggu anggota SENJA lainnya yang tertangkap. Sejak itu, setiap kali ada anggotanya yang masuk tahanan, tak pernah lagi terdengar adanya ancaman dan tindakan kekerasan.
Tapi tak semuanya berjalan mulus bagi SENJA. Tidak semua anggota SENJA adalah para seniman idealis; ada juga anggota yang—katakanlah—‘seniman preman.’ Beruntung, ada tokoh SENJA, Deden, yang bisa mempersatukan kedua aliran itu. Namun, pertentangan ini semakin berat dan malah menjurus kontra-produktif ketika, Deden berada di dalam sejak beberapa bulan terakhir ini. Beberapa anggota SENJA, sejak itu terkadang bertindak di luar azas-azas yang sudah ditetapkan oleh organisasi. Salah satunya adalah dilanggarnya larangan metode orasi (me-ngamen tanpa alat musik melainkan dengan aksi teatrikal atau pun puisi) dalam ngamen. SENJA melarang orasi karena sebagian anggotanya menganggap orasi sebagai sebuah tindakan pemaksaan dan ancaman kepada yang dingameni. Akibatnya, beberapa kalangan pengamen memandang negatif SENJA, sehingga beberapa anggota SENJA yang benar-benar berkesenian memilih mundur.
’Kalau orasi kita memang melarang. Karena kadang-kadang orasi disalah-artikan sebagai pemaksaan. Itu juga salah satu permasalahan yang sedang dihadapi SENJA sekarang. Ada beberapa anggota yang sebenarnya cukup berpengaruh, justru mempraktekkan hal itu,’ ujar Heri.
Transfer pengetahuan di antara Seniman Jalanan dimungkinkan pula dengan adanya SENJA. Selain rapat, SENJA sekaligus juga mengadakan pelatihan dan terkadang diskusi mengenai estetika melalui kerja sama dengan organisasi lain.. Selain itu, anggota SENJA yang memiliki skill memainkan alat musik mengajarkan pada yang belum bisa. Begitu pula dengan anggota yang punya ketrampilan kerajinan tangan mengajarkan kepada kawan-kawannya.
‘Sekarang, sudah lima anggota yang narik angkot. Kita kasih program itu ke mereka. Dengan itu mereka bisa sedikit berubah lah. Istilahnya, tidak hanya mengandalkan jual suara, tapi ada kemampuan lain,’ ujar Ages. Dialah yang juga mengusahakan agar beberapa anggota SENJA masuk dalam profesi supir angkot.
***
Selain ngamen secara individu, terdapat sebagian anggota SENJA yang membentuk grup-grup musik. Beberapa di antara grup-grup ini berbakat membuat syair lagu dan puisi. Ada juga yang mahir menggubah nadanya. Mereka sudah punya lagu gubahan sendiri dan sempat melakukan recording. Rencana penerbitan antologi pun sempat dijalankan, namun masih mengalami beberapa kendala. Selain grup musik, kelompok teater pun sudah mulai digalakkan kala itu.
‘Ada anggota SENJA yang kreatif, mengembangkan, sebut saja, aliran humor di dalam ngamen. Ini dimotori oleh Obay. Bisa dibilang, mereka ini mengembangkan semacam standup comedy jalanan. Untuk Obay dan kawan-kawannya, skill bermain alat musik tak terlalu penting. Yang penting banyolannya. Misalnya, baru masuk ke warung, mereka langsung membukanya dengan, “eh, bapak yang duduk di pojokan tuh, celana dalamnya bolong ya.” Dan ini disambut baik para pengunjung warung. Orang-orang pada ketawa,’ Dika Mohammad mengisahkan.
Aliran Humor ini cukup digemari masyarakat, terbukti dari penghasilan mereka yang bisa mencapai Rp 150.000 per orang setiap harinya.
Repertoir lagu yang dibawakan kawan-kawan di SENJA sendiri ketika ngamen bisa dikatakan tidaklah baku. Ada yang up to date dengan lagu-lagu pop Indonesia dan barat, ada juga yang tidak terlalu mementingkan itu lantaran keterbatasan skill. Permasalahan skill ini juga berpengaruh pada penghasilan, meskipun bukan utama. Para pemusik dengan kemampuan up to date lagu yang lebih baik, kerap bisa mendapatkan penghasilan lebih banyak ketimbang mereka yang tidak. Kreasi-kreasi sendiri pun lebih mendapat apresiasi, seperti kreasi humor dalam mengamen seperti yang diusahakan Obay dkk.
Lagu-lagu Iwan Fals kerap juga dibawakan mereka, bahkan terkadang lagu-lagu dari ikon musik jalanan Indonesia ini menginspirasi kawan-kawan SENJA dalam menggubah lagu-lagu mereka sendiri. Di satu sisi, hal ini memang cukup membanggakan, namun di sisi lain bisa pula memiskinkan kreativitas. Kondisi ini bukan tidak di sadari. Dalam sebuah kesempatan diskusi SENJA, Tejo dari Jaker, misalnya, pernah mengusulkan agar kawan-kawan SENJA mencoba mencari inspirasi dari pemusik dan gaya bermusik yang lain, sehingga tidak hanya terpaku pada musik a la Iwan Fals.
‘Idealisme kawan-kawan SENJA itu memang sudah ada dan sering kali dituangkan dalam lagu-lagu gubahan mereka sendiri. Tetapi memang butuh pendidikan politik dan ideologi lebih lanjut,’ ujar Heri.
Salah satu permasalahan dalam SENJA adalah hilanganya tokoh dari kalangan Seniman Jalanan sendiri, yang bisa mempersatukan dan juga menjadi panutan. Beberapa rencana, misalnya, gagal diwujudkan karena hal ini. Kehidupan anggota SENJA bisa dikatakan 100 persen ada di jalanan dan dibutuhkan pengurus yang juga bisa berada di sana bersama mereka, sehingga benar-benar mengetahui kondisi yang ada. Hanya melalui itulah baru bisa diusahakan strategi dan program bersama kawan-kawan yang lain untuk memecahkannya.
SENJA bahkan pernah merencanakan membuat basecamp berupa warung. Dengan membangun warung diharapkan ada pemasukan lain untuk organisasi.
‘’Dahulu sudah ada usaha untuk buka usaha warung sebagai basecamp-nya anak-anak SENJA. Mereka sudah dapat tempat yang strategis, sudah ditentukan juga bagaimana sistem operasinya. Tetapi sayang, usaha ini mentok di masalah dana,’ ujar Dika Mohammad lagi.
***
Sebagai sebuah organisasi untuk Seniman Jalanan Jakarta, SENJA pertama-tama dibentukt untuk memperjuangkan hak-hak Seniman Jalanan dan anak-anak jalanan. Masalah-masalah yang diusahakan adalah masalah-masalah real yang dihadapi mereka, seperti penangkapan, kekerasan di jalanan, dan juga skill berkesenian di antara mereka. Ketika masyarakat umum dan pemerintah memandang dan melabeli Seniman Jalanan dan Anak Jalanan sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), SENJA hadir untuk menuntut dan mengusahakan sendiri hak-hak mereka sebagai warga negara. Realitas jalanan adalah realitas kekerasan dan realitas pelanggaran hak-hak warga negara.
Kemerdekaan, dengan demikian, bukan sesuatu yang secara otomatis menjadi milik seluruh warga negara. Bagi pengamen dan anak jalanan ini, kemerdekaan adalah sesuatu yang harus diusahakan dan diperjuangkan setiap harinya. Melalui organisasi, melalui persatuan dan pemahaman akan realitas, pengusahaan akan kemerdekaan itu dimungkinkan. Entah melalui pendidikan, melalui demonstrasi, atau bahkan melalui ‘perang-perang’ jalanan. Menyadari hal itu, SENJA saat ini tengah berusaha mengadakan komunikasi dengan komunitas Seniman Jalanan di kota-kota lain, seperti Bekasi, Malang, dan Bogor, untuk membentuk forum Seniman Jalanan tingkat nasional. Kemerdekaan adalah hak setiap orang, sekaligus juga berarti kehidupan yang lebih baik bagi setiap kalangan. Pemahaman inilah yang diutarakan Deden dalam salah satu lirik lagunya, Merdeka Milik Bersama:
Bukan karna diberi dan bukan karna belaskasihan
Ini kita dapatkan mutlak dari hasil perjuangan
Melalui perperangan panjang yang menjatuhkan banyak korban
Pahlawan telah jatuh berguguran
Demi membela tanah air
Reff
Merdeka bukan hanya kata,
Merdeka adalah fakta
Merdeka bukan hanya janji,
Merdeka adalah bukti
Merdeka tak mengenal kelas
Merdeka untuk semua
Merdeka bukan hak golongan
Merdeka milik bersama
Mari jaga bersama tanah air kita tercinta
Jangan biarkan asing mendobrak persatuan kita
Bangkitkan semangat juang 45
Singkirkan musuh pancasila
Persatuan yang memenangkan kita
Hingga akhirnya kita merdeka
Kembali ke Reff
Bukan hanya orang kaya saja yang merdeka
Orang miskin juga punya hak untuk merdeka
Seniman, pengemis, joki dan banci
Asongan, kaki limapun merdeka
Pukul tujuh malam, kami beranjak dari kantor Dewan Pimpinan Pusat SRMI di wilayah Tanjung Duren. Dengan bajaj, kami menuju Mall Citraland untuk seterusnya pulang dengan bus Transjakarta. Sebelum menaiki tangga penyeberangan menuju tempat pembelian tiket Transjakarta, kami bersua dengan Jack. Masih dengan pakaian yang sama tadi, Jack menenteng genderang dari pipa-pipa paralon yang dilapisi karet. Emblem ganja dengan warna rasta (merah kuning hijau), menempel di bagian dada kanan rompi jeans yang dikenakannya. Sayup-sayup, lagu Black Roses dikumandangkan Inner Circle dari loud speaker penjual dvd bajakan dekat situ. Sebatang Sampoerna A Mild terapit di tangan kanan Jack.
‘Balik, Bung?’ sapanya.
Kami membenarkan tebakannya itu.
‘Jadi ke Cengkareng tadi?’ lanjutnya.
‘Jadi, tapi ga ketemu siapa-siapa,’ jawab kami.
‘Iya lah, malam Minggu, Bung. Anak-anak pada kelayapan.’
Ia pun berlalu, hilang ditelan perempatan Citraland yang riuh.***
Berto Tukan dan Yovantra Arief, Anggota Redaksi Jurnal ProblemFilsafat dan Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta.