MANUSIA boleh berwacana dan berbicara tentang kemajuan, tetapi perilaku kita sebagai manusia dan bagian dari masyarakat justru seakan-akan menunjukkan kemunduran. Di saat jazirah Arab memunculkan figur perempuan seperti Gigi Ibrahim yang turut menumbangkan rezim otoriter Hosni Mubarak di Mesir, perkembangan di belahan dunia lain, termasuk negeri kita, justru menjadi berita buruk bagi kaum perempuan. Di Aceh, sebuah peraturan absurd melarang perempuan untuk duduk ‘mengangkang’ di atas sepeda motor. Selain tidak masuk akal dan tidak penting, larangan ini hanya memperpanjang daftar kekonyolan politik dan hukum atas nama ‘otonomi daerah’ dan ‘syariah.’ Di India, yang terjadi lebih tragis lagi: seorang perempuan muda diperkosa secara beramai-ramai dan dibunuh oleh enam pemuda. Kembali ke tanah air, baru-baru ini daftar pelecehan terhadap kaum perempuan bertambah panjang: seorang calon hakim agung, saya ulangi, seorang calon hakim agung, menyatakan bahwa dalam kasus pemerkosaan, baik korban maupun pelaku pemerkosaan sama-sama menikmati.
Alih-alih kemajuan, kita sebagai masyarakat sepertinya telah mundur seratus tahun ke belakang.
Tidak perlu kita sebut lagi berbagai kasus pelecehan terhadap kaum perempuan, mulai dari ranah publik hingga di ranah privat, seperti institusi keluarga dan pernikahan. Mulai dari berbagai bentuk pelecehan yang ringan, seperti ‘candaan’ yang diucapkan oleh beberapa pejabat publik, hingga pelanggaran hukum berat seperti pemerkosaan. Di sebuah masyarakat yang mengaku demokratis, tidaklah berlebihan jikalau kita menyebut kasus-kasus seperti ini sebagai sebuah kontradiksi; sebuah kontradiksi yang jangan-jangan sudah menjadi bagian yang inheren dari tiap-tiap kita.
Yang mengerikan dan menyedihkan adalah, ketimpangan gender dan patriarkhisme ini seakan-akan dilanggengkan oleh berbagai institusi di sekitar kita; mulai dari keluarga, masyarakat, hingga agama dan negara. Dalil ‘atas nama agama dan tradisi’ di Aceh untuk menjustifikasi larangan duduk mengangkang, tentu bukanlah yang pertama; kita juga bahkan tidak perlu mengetahui perkembangan keilmuan metode tafsir dan hermeneutika terbaru maupun pemikiran-pemikiran posmodernis dan filsafat paling mutakhir, untuk menyebutkan bahwa dalil-dalil seperti itu hanyalah merupakan hasil dari lamunan-lamunan liar yang dilembagakan atas nama agama, negara, maupun tradisi.
Di dalam situasi seperti ini, maka berpolemik menjadi sebuah keniscayaan dan kewajiban. Keniscayaan karena lewat polemik-polemik dan kritik-kritik tersebut kita dapat membongkar asumsi-asumsi dasar dari aturan-aturan yang membatasi emansipasi perempuan. Kewajiban karena kritik kita hanya menjadi sebuah pepesan kosong apabila tidak dijadikan sebuah pedoman untuk bertindak, untuk mengubah keadaan, untuk melakukan kritik yang lebih keras lagi.
Kembali ke kasus Aceh. Kita seakan-akan lupa dengan fakta bahwa Cut Nyak Dhien, seorang pahlawan perempuan asal Aceh, adalah contoh sekaligus sumber inspirasi bagi kesetaraan gender di masyarakat Indonesia, masyarakat Muslim, dan masyarakat Dunia Ketiga pada umumnya. Tak perlu jauh-jauh mencari contoh untuk membongkar ‘mitos’ domestifikasi dan marginalisasi perempuan yang dipropagandakan oleh agen-agen pengusung patriarkhi. Dalam sejarah masyarakat Muslim, kita juga dapat melihat upaya-upaya kaum perempuan dalam memperjuangkan politik emansipasi dalam karya klasik sosiolog kenamaan dan penulis wanita asal Moroko, Fatima Mernissi (1997), dalam bukunya The Forgotten Queens of Islam (Ratu-ratu yang Terlupakan dalam Islam). Mernissi menunjukkan bahwa di berbagai masyarakat Muslim, berbagai figur perempuan telah memainkan berbagai peranan sejarah yang penting, termasuk menjadi pemimpin bagi masyarakatnya. Suatu episode sejarah, yang sayangnya, seringkali tidak pernah muncul ke permukaan, tertutupi oleh narasi-narasi dominan tentang sejarah yang ditentukan oleh tokoh-tokoh penting, yang biasanya adalah para lelaki.
Satu hal yang tidak kalah pentingnya untuk dianalisa dalam kasus Aceh dan kasus-kasus serupa, adalah proses terbentuknya peraturan-peraturan daerah (perda) yang ‘bernuansa syari’ah.’ Di sini kita perlu jeli dalam melihat persoalan. Alih-alih melihat perda syari’ah sebagai ekspresi konservatisme dari masyarakat kita, perda –perda tersebut juga perlu dilihat sebagai ekpresi dari relasi ekonomi dan politik yang hegemonik di dalam masyarakat kita. Dengan kata lain, penjelasan bahwa perda syari’ah dan meningkatnya berbagai perundang-undangan yang memarginalkan kaum perempuan baru separuh benar. Analisa terhadap fenomena-fenomena yang menyangkut marginalisasi kelompok-kelompok yang lemah dan termaginalkan dalam masyarakat, seperti perempuan juga harus melihat berbagai persinggungan antara kepentingan-kepentingan politik (dan terkadang juga ekonomi), baik pada level lokal maupun nasional, konflik di antara berbagai kepentingan itu, dan juga peranan berbagai aktor yang terlibat pada kompetisi dan konflik kepentingan tersebut. Kontestasi antara berbagai kelompok dan kepentingan ini juga terlihat di dalam ‘bahasa’ atau diskursus yang dipakai. Studi Hooker (2008), misalnya, menunjukkan bahwa beberapa kelompok Islam yang konservatif dan literalis dalam menginterpretasikan syari’ah menggunakan retorika ‘desentralisasi’ dan ‘otonomi daerah’ sebagai justifikasi untuk mempromosikan, dan jikalau sukses, mengimplementasikan perda-perda bernuansa syari’ah. Di dalam konteks Aceh, penerapan syari’ah Islam juga tidak memperhatikan kebutuhan dan konteks masyarakat lokal (Salim & Azra, 2003). Dalam situasi seperti ini, maka kepentingan segelintir elit akan bersekutu dengan konservatisme sosial untuk melanggengkan peraturan-peraturan yang memarginalkan perempuan; hari ini pelarangan ‘duduk ngangkang,’ besok entah apa lagi yang dilarang.
Situasi di tingkat nasional juga tidak kalah mengkhawatirkan. Candaan calon hakim agung Muhammad Daming Sanusi bukanlah sebuah candaan. Sebaliknya, itu merupakan sebuah bentuk penghinaan; sebuah penghinaan yang entah mengapa dirayakan secara beramai-ramai oleh beberapa anggota DPR di dalam sebuah forum nasional yang serius. Melihat kelakuan para pejabat publik kita yang seperti ini, maka kita bisa berimajinasi sedikit ‘liar’ bahwa jangan-janagan isu-isu emansipasi kaum perempuan tidak pernah ditanggapi secara serius oleh negara.
What Is To Be Done?
Ulasan tidak akan berarti jikalau tidak menjadi kritik. Kritik ini juga hanya akan berakhir sebagai khotbah di tengah-tengah gurun pasir apabila tidak disertai dengan upaya-upaya untuk mengubah keadaan. Di tengah-tengah langkanya kritik dan upaya yang serius, ada baiknya kita berpikir dan berefleksi sejenak mengenai apa yang harus dilakukan kedepannya.
Pertama, pelanggaran-pelanggaran akan hak-hak perempuan dalam bentuknya yang ekstrim, seperti pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan berbagai bentuk pembatasan akses dan gerak perempuan di ruang publik mulai dari ‘jam malam’ untuk perempuan hingga larangan ‘duduk ngangkang,’ rupa-rupanya masih marak terjadi di masyarakat kita. Upaya-upaya yang serius untuk menganalisa maraknya fenomena ini dari konteks sosial-politik yang lebih besar merupakan sebuah prasyarat untuk mengubah keadaan.
Kedua, di tengah-tengah kekacauan seperti ini, perjuangan politik emansipasi bagi kaum perempuan justru menjadi lebih penting dari sebelumnya. Perjuangan ini bukan sekedar ‘menambah jumlah keterwakilan’ perempuan di parlemen, tetapi lebih dari itu, memperjuangkan agenda politik yang betul-betul memperjuangkan hak-hak perempuan, di mana ketimpangan gender dapat betul-betul teratasi. Perjuangan kita juga perlu mempertimbangkan kondisi objektif kaum perempuan; seperti fakta bahwa sebagian besar kaum perempuan juga termarjinalkan dalam hal kelas sosial dan ekonomi.
Di saat para politisi dan pejabat publik semakin acuh tak acuh dan justru menjadikan perempuan sebagai bahan candaan, maka perjuangan politik emansipasi bagi kaum perempuan menjadi lebih penting dan relevan dari sebelumnya.***
Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc