Judul Buku: The Year of Dreaming Dangerously
Penulis: Slavoj Zizek
Penerbit: Verso, London
Tahun: 2012
Tebal: 142 h.
‘MEREKA yang tidak berbicara mengenai kapitalisme harus tetap diam tentang fasisme.’ Statetmen ini muncul dari Max Horkheimer, salah seorang pendiri Mazhab Frankfurt, ketika mengritik kolega-koleganya pada tahun 1930 yang ketika itu banyak berbicara tentang fenomena fasisme namun mengabaikan kontradiksi kapitalisme itu sendiri. Dengan intonasi yang sama, Slavoj Zizek, seakan meniru Horkheimer, mengatakan ‘mereka yang tidak berbicara mengenai komunisme harus tetap diam mengenai masa depan dunia.’
Tapi, tunggu dulu! Komunisme? Di tengah masyarakat yang semakin ‘post-industrial’ dan ‘post-modern,’ bukankah berbicara komunisme merupakan sebentuk lelucon? Tentu saja ini adalah lelucon, namun lelucon dalam termin yang sama dalam pemahaman Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris masa Perang Dunia II, yang menyatakan bahwa lelucon sebagai sesuatu yang sangat serius (joke is a very serious thing). Lelucon yang memiliki kengerian radikal di dalamnya. Lelucon karena komunisme adalah sebuah nama yang sinonim dengan ‘kegagalan katastropik’ yang terjadi di abad 20. Dengan berbicara tentang komunisme berarti berbicara mengenai gulag, negara totalitarian, anti-demokrasi, dsb. Namun sekarang, komunisme sekali lagi harus muncul, bukan sebagai solusi namun sebagai masalah yang harus kita jawab bersama.
Bagi Zizek, tahun 2011 yang lalu adalah bukti bahwa komunisme adalah sebuah nama untuk perlawanan kemanusiaan kontemporer. Bukan sebagai predikat, namun mengutip filsuf Perancis Alain Badiou, sebagai aspirasi kolektif yang ‘abadi’ tentang kesetaraan, solidaritas dan keadilan. Perlawanan rakyat di semenanjung Arab untuk menggulingkan rezim otoritarian di negaranya masing-masing, gerakan pendudukan Wall Street di AS, hingga parade pemogokan massal rakyat Eropa dalam rangka menentang kebijakan pengetatan anggaran yang dilakukan oleh rezim neoliberal di masing-masing negara, sejatinya bukan tuntutan untuk demokrasi semata. Jika demokrasi adalah nama untuk inklusi seluas-luasnya (bahwa semuanya diakomodasi dalam ruang negosiasi dan konsensus politik), maka lebih dari itu, perlawanan yang terjadi pada tahun 2011 adalah suatu tuntutan umum tentang kebaikan bersama (bonum commune) yang secara sadar mengesklusikan kepentingan yang lain. Artikulasi utama dari perlawanan global 2011 adalah artikulasi kontradiksi, pembagian murni, logika perjuangan kelas antara satu pihak yang berupaya menegasikan yang lain. Kita, massa rakyat 99% melawan mereka elit 1%. Dalam hal inilah komunisme muncul sebagai suatu hal yang aktual sekarang ini.
Bukunya yang paling baru, The Year of Dreaming Dangerously (TYDD), adalah intervensi Zizek terhadap momen evental perlawanan emansipatoris global. Seperti karya Zizek sebelumnya dengan First Farce, then Tragedy, karyanya kali ini lebih banyak bernuansa anekdotal sekaligus komikal. Tidak heran jika buku ini ‘relatif’ lebih ringan dibandingkan karyanya yang lain yang diterbitkan di tahun yang sama.[1] Zizek hendak memberikan pandangan yang ‘langsung pada intinya’ tanpa berupaya untuk berbasa-basi secara filosofis. Dengan kata lain lebih tepat jika TYDD adalah sebuah ‘pamflet politik’ dengan kekayaan ‘agitasi untuk berpikir lebih dalam’ tentang kemungkinan kemenangan komunisme sekarang.[2]
TYDD sendiri dipresentasikan dalam bentuk pemetaan kognitif atas konstelasi kita kini. Pada bab-bab awal (bab 1 sampai 5), Zizek menawarkan deskripsi dasar atas fitur utama kapitalisme sekarang, setelah itu analisa bergerak ke penguraian atas kontur ideologi kapitalisme yang hegemonik, yang memfokuskan pada fenomena reaksioner (perlawanan populis pada khususnya) yang tumbuh sebagai reaksi antagonisme sosial. Bagian kedua setengahnya mengelaborasi dua gerakan emansipatoris terbaik tahun 2011, Perlawanan The Arab Spring dan Occupy Wall Street, sebelum mengonfrontasikannya melalui pendiskusian film seri HBO The Wire, dengan pertanyaan sulitnya, ‘bagaimana melawan sistem kapitalisme tanpa berkontribusi untuk meningkatkan fungsi-fungsinya?’
Ideologi Kapitalisme Kini
Sebagai seorang Marxis, Zizek berangkat dari premis bahwa analisa harus selalu dimulai dari kritik ekonomi politik (hal. 7). Bagi Zizek, ada tiga fitur utama yang menjadi karakteristik ekonomi-politik dari kapitalisme kontemporer (hal. 8): pertama, adanya tren jangka panjang peralihan apropriasi profit dari kerja ke rente (dengan dua bentuk utamanya: rente berdasar pada privatisasi ‘pengetahuan bersama’ atau general intellect dan rente berdasar pada sumber daya alam). Apropriasi profit berdasar rente, misalnya, dapat dilihat pada bagaimana keuntungan perusahaan software seperti Windows didapatkan bukan dari pencurian waktu kerja sebagaimana yang dipahami dalam Kapital-nya Marx, namun bersumber dari pengambilan rente melalui penyewaan ide-ide kreatif kolektif pekerja yang sebelumnya telah diambilalih sebagai ‘property privat’ Windows, melalui aturan hak kekayaan intelektual. Yang kedua adalah peranan struktural dari pengangguran dimana pengangguran adalah rupa dominan dari relasi kerja kapitalisme global. Lebih dari 60 persen angkatan kerja global dikategorikan sebagai pengangguran. Tidak heran jika kesempatan untuk ‘dieskploitasi’ dalam sebuah pekerjaan jangka panjang dianggap sebagai keistimewaan. Dan terakhir adalah kemunculan kelas baru, yang disebut oleh psikoanalis Jean Claude Milner, sebagai ‘borjuasi upahan.’ Jika pada masa kapitalisme lampau yang memiliki kontrol atas perusahaan adalah para pemilik perusahaan itu sendiri, maka pada masa kapitalisme sekarang kontrol justru dilakukan oleh manajemen yang diupah oleh para pemilik. Manajemen, yang adalah para manajer atau para CEO, mendapat upah yang sangat tinggi dibandingkan dengan posisi pekerja lainnya karena dianggap memiliki kompetensi berlebih dibanding yang lain. Mereka medapatkan apa yang disebut sebagai ‘upah-surplus’ (hal. 10) dimana bentuknya dapat berupa uang yang lebih banyak atau waktu luang yang lebih luas. Menurut Zizek, yang mengutip Milner, formasi sosial seperti ini tidak selalu bersifat ekonomi, namun lebih bersifat politik. Tujuannya untuk mempertahankan ide sebuah ‘kelas menengah’ guna menjaga stabilitas sosial.
Tiga fitur dalam kapitalisme kontemporer menunjukkan bahwa kapitalisme ditopang oleh keberadaan struktur inkonsistensi (baca: kontradiksi) yang inheren. Profit dalam kapitalisme membutuhkan kerja yang produktif, namun kapitalisme sekarang dengan dominasi penganggurannya tidak mensyaratkan hal itu karena rente sudah menjadi mekanisme utama pengambilan profit. Kapitalisme membutuhkan keberadaan dunia yang terprivatisasi, namun perkembangan teknologi dalam kapitalisme menciptakan dunia yang semakin tersosialisasi, dimana semua hasil teknologi dimungkinkan untuk diapropiasi secara publik. Dengan kata lain semua yang secara imajiner diutarakan oleh kapitalisme termanifestasikan dalam bentuk yang berkebalikan sama sekali. Di sini kapitalisme menjadi apa yang disebut Lacan sebagai yang-nyata, dalam artian ketidak-mungkinan inheren ontologi bagi kapitalisme.
Konsekuensi dari kapitalisme sebagai yang-nyata, menciptakan komplikasi bagi representasi politik kelas-kelas sosial sekarang. Zizek mengelaborasi komplikasi representasi politik kelas-kelas sosial dari penjelasan Marx dalam The 18th Brumaire of Louis Bonaparte. Dalam Brumaire, Marx berpendapat bahwa representasi politik kelas tidaklah representasi yang sifatnya linier. Seorang agen politik dapat merepresentasikan kelompok sosial yang berbeda; sebuah kelas dapat meninggalkan representasi langsungnya dan memberikannya kepada kelas lain untuk mengamankan kondisi politiko-yuridis, sebagaimana yang dilakukan kelas kapitalis Inggris dengan memberikan hak pelaksaaan kekuasan politiknya kepada kelas aristrokrasi (hal. 11). Representasi selalu melakukan distorsi atas apa yang hendak direpresentasikannya. Dengan kata lain, representasi politik kelas juga mengalami inkonsistensi.
Berbeda dengan kalangan ‘post-marxis’ yang menyatakan bahwa inkonsistensi karena ketidak-mungkinan kapitalisme ini menunjukan bahwa kelas-kelas sosial menjadi menghilang dan tidak relevan, Zizek via Marx, berpendapat sebaliknya, inkonsistensi ini justru menunjukan bahwa perjuangan kelas, perjuangan antara dua kutub kelas: borjuasi dan proletariat, lebih nyata dibanding sebelumnya. Menurut Zizek, problem representasi politik kelas yang diajukan Marx adalah yang disebutnya sebagai kebuntuan yang-semua (Deadlocks of the All) (hal. 21). Dalam artian representasi kelas tidak selalu murni, selalu ada ekses dari representasi kelas karena representasi kelas berupaya untuk memasukkan semua sebagai presentasinya. Setiap ‘semua’ terkandung secara istimewa posisi kelas tertentu (hal. 23). Setiap upaya untuk mengikutsertakan semua adalah upaya untuk menghegemonikan satu posisi kelas tertentu sembari memarjinalkan posisi kelas yang lain. Dengan kata lain, penampakkan suatu representasi yang hendak mengartikulasikan semua kepentingan adalah representasi dari dominasi kelas sosial tertentu.
Penjelasan Zizek atas representasi politik ini membuka kemungkinan lain dalam bagaimana kita memahami kontradiksi yang banyak bermunculan dalam konfigurasi ekonomi-politik kapitalisme kontemporer. Pluralitas penampakan representasi (yang memanifestasikan dirinya dalam bentuk budaya-budaya yang berbeda) sekarang bukan presentasi murni, namun merupakan distorsi dari relasi kelas yang menampakkan dirinya dalam representasi tertentu. Untuk itu, leksikon politik dari perlawanan terhadap kapitalisme kini bukanlah multikulturalisme, sebagaimana yang dominan terjadi sekarang, namun akan selalu perjuangan kelas. Batas multikulturalisme sebagai artikulasi politik dapat dilihat saat ini.
Pada 17 Oktober 2010, Kanselir Jerman Angela Merkel, menyatakan dalam sebuah pertemuan anggota muda Perkumpulan Kristen Demokrat, bahwa pendekatan multikultural, yang menyatakan bahwa kita secara alamiah hidup berdampingan dan saling berbahagia, telah gagal. Menurut Zizek, pernyataan Merkel memiliki kebenaran di dalamnya. Menurutnya, multikulturalisme telah berkontribusi terhadap situasi menyedihkan kita sekarang karena jika semua orang tidak berbagi atau menghormati peradaban yang sama, maka multikulturalisme berubah menjadi peraturan yang melegalkan pengabaian atau kebencian. Untuk itu, konflik tentang multikulturalisme adalah selalu mengenai Leitkultur (budaya dominan): ini bukan konflik antar budaya, namun sebuah konflik antara visi berbeda mengenai bagaimana kebudayaan yang berbeda dapat dan harus berdampingan, tentang aturan dan praktik yang budaya-budaya ini miliki untuk saling berbagi jika mereka hendak berdampingan (hal. 45). Dengan kata lain, perjuangan kelas untuk menentukan visi kelas yang mana yang mampu memberikan definisi kebudayaan yang mensyaratkan perbedaan dan harus berdampingan.
Walau begitu, mengembalikan komunisme sebagai horizon utama politik emansipasi sekarang harus ditempatkan dalam situasi ideologis yang konkrit pula. Untuk memahami ‘medan pertempuran’ komunisme sekarang, penting memahami bagaimana operasi ideologi kapitalisme kontemporer yang, menurut Zizek, berada dalam tahapan ‘pasca ideologi.’ ‘Pasca ideologi’ dalam artian ideologi kapitalisme kini tidak memunculkan dirinya secara vulgar di wilayah umum kesadaran publik. Di masa lalu, tepatnya pada abad 20, ideologi muncul dalam bentuk ‘pembelahan besar.’ Perbedaan antara ideologi mudah ditemukan secara diametral. Apa yang diterima pada satu ideologi akan ditolak di ideologi yang lain. Pada masa lalu, misalnya, jika ideologi kapitalisme menjunjung kepemilikan pribadi, maka ideologi sosialisme akan menolak kepemilikan pribadi. Pada masa ideologi ‘pasca ideologi,’ perbedaan diametral ini menjadi buyar.
Bagi Zizek, buyarnya perbedaan diametral ini adalah hasil dari operasi penikmatan (jouisance) dalam ideologi ‘pasca ideologi’ kapitalisme sekarang. Penikmatan adalah ekses dari prinsip kesenangan (pleasure) yang termaktub dalam ideologi sekarang (hal. 47). Operasi penikmatan dalam ideologi kini dapat dilihat pada bagaimana ideologi kapitalisme mewujudkan dirinya dalam bentuk konsumerisme. Dalam konsumerisme, semua orang seakan diizinkan untuk melakukan serta menikmati apapun. Wejangan-wejangan ‘kebijaksanaan kontemporer’ seperti ‘live life to the fullest’ (jalani hidup sepenuhnya!), ‘just do it’ (lakukan saja!), ‘enjoy!’ (nikmati!), dsb, bergelimpangan di setiap wacana publik masyarakat konsumeris kapitalisme kini. Apa yang dinafikan dari wejangan-wejangan ini adalah kemustahilan dari prinsip terdalam dari wejangan itu sendiri. Penikmatan ditoleransi, bahkan diwajibkan, namun dengan syarat dan kondisi tertentu, yang tidak mengancam stabilitas fisik atau biologis kita. Meminum banyak kopi? tentu saja! Tapi tanpa kafein. Mengonsumsi banyak coklat? Kenapa tidak! Namun hanya coklat tanpa lemak. Berhubungan seks secara liar? Pastinya! Tetapi seks yang aman. Di sini apa yang berlaku adalah perintah/paksaan/tuntutan yang merupakan karakteristik penting dari ideologi sebagai ide yang mengatur perilaku individu agar bergerak pada wilayah non-ideologi. Tidak heran jika kini ideologi semakin mengatur masyarakat lebih banyak dibanding sebelumnya, karena ia mengatur apa yang ‘harus’ dan apa yang tidak ‘harus.’
Konsekuensi dari operasi ideologi ‘pasca ideologi’ ini adalah adanya ruang untuk penerimaan sekaligus penolakan, penundukan dan perlawanan dalam satu koordinat ideologi kapitalisme. Menurut Zizek (hal. 54), bagaimana perlawanan bisa menjadi bagian dari reproduksi kapitalisme dapat dilihat pada kerusuhan London, Agustus 2011. Kerusuhan ini yang dilakukan oleh para pemrotes yang berasal dari kalangan kelas bawah yang ditindas dan secara de facto dieksklusi, justru menampakkan dirinya sebagai pengingat utama bahwa kapitalisme tidak memiliki alternatif. Kegagalan para pemrotes untuk memunculkan program politik yang jelas adalah bukti bahwa di tengah masyarakat yang digadang-gadang sebagai masyarakat yang memiliki banyak pilihan, pilihan bagi alternatif untuk mendesak konsensus demokratis mengambil bentuk tindakan penjarahan yang membabi buta. Di sini Zizek kemudian melihat bahwa kerusuhan London 2011 tidak menciptakan ruang politik baru di luar kapitalisme karena pilihan politik yang dihadapkan adalah ‘mengikuti aturan otoritas atau melakukan kekerasan melalui pengrusakan diri.’ Di sini kapitalisme, sekali lagi, dipahami sebagai suatu kemustahilan untuk diubah.
2011 dan Mimpi Berbahaya Bernama Komunisme
2011 adalah tahun dimana kemanusiaan tengah memimpikan sesuatu yang sangat berbahaya. Mimpi itu bernama komunisme. Bagi Zizek, salah satu aktualitas dari mimpi komunisme itu sendiri adalah peristiwa The Arab Spring (Musim Semi Arab atau Peristiwa Arab). Tapi tunggu dulu! Dunia Arab? Bukankah dunia Arab dengan Islamnya adalah asing dengan ide emansipasi, sebagaimana yang sering diceramahkan banyak ahli orientalis? Di sini Zizek mengatakan sebaliknya, Islam sebagai pengalaman sejarah bagi dunia Arab justru pernah menjadi penanda universal bagi ide emansipasi itu sendiri (baca: komunisme). Harus diingat bahwa Islam pernah memiliki tradisi millenarian pemberontakan ‘komunis’ pada masa ‘Republik Qarmantian’ dan perlawanan Zanj (hal. 66). Qarmantian adalah kelompok Syiah Ismaili yang berpusatkan di Timur Arabia (Bahrain kini), dimana mereka mendirikan sebuah republik utopis pada tahun 899 M. Mereka sering dituduh sebagai pelaku ‘abad terorisme’ dimana pada musim haji tahun 930, mereka mencuri Hajar Aswad dari Mekah. Tujuan dari Qarmantian adalah untuk membangun sebuah masyarakat yang berdasar pada nalar dan kesetaraan. Pemerintahan dipimpin oleh sebuah dewan. Semua harta benda dalam komunitas didistribusikan secara merata di antara mereka. Walau Qarmantian diorganisir sebagai sebuah komunitas spiritual, namun keberadaan mereka tidak dirahasiakan: aktivitas mereka dipropagandakan secara publik dan terbuka. Kemunculan mereka didorong oleh pemberontakan budak di Basra, yang mengguncang kekuasaan Baghdad. Pemberontakan budak ini disebut dengan ‘Pemberontakan Zanj’ yang terjadi selama kurang lebih 15 tahun (869-83), melibatkan 500.000 budak yang didatangkan dari seluruh wilayah kekuasaan Islam. Pemimpin mereka, seorang budak hitam bernama Ali Ibn Muhammad, dikejutkan oleh penderitaan budak yang bekerja di Basra, dan memulai untuk terjadinya perbaikan kondisi kerja dan nutrisi. Ia mengklaim dirinya sebagai keturunan Khalifah Ali bin Abi Thalib; ketika klaim ini ditolak, dia memulai mendakwahkan doktrin kesetaraan egaliter secara radikal dimana setiap orang memiliki hak untuk memerintah walau orang tersebut adalah budak Abbasiyah. Tidak heran jika sejarawan resmi seperti Al Tabari dan Al Masudi mengecam pemberontakan ini sebagai brutal dan kejam. Walau begitu, pengalaman sejarah Islam seperti ini mempengaruhi sejarah kemanusiaan lainnya di tempat yang tidak disangka-sangka: Revolusi Haiti yang berakhir pada Januari 1804. Salah satu pemimpin revolusi Haiti yang bernama John Bookman, mendapatkan namanya, Bookman, justru berasal dari kitab suci agama Islam, yakni Al-Quran. (Trans. Bacaan atau Buku) (hal. 65).
Dimensi emansipatoris peristiwa Arab mampu mengubah koordinat ideologi kapitalisme. Jika reproduksi ideologi kapitalisme kini biasanya memunculkan perlawanan dengan bentuk fundamentalisme agama, maka Peristiwa Arab menunjukan rupanya yang sekuler dimana agama bukanlah tuntutan utamanya. Tidak heran, bagi Zizek, Peristiwa Arab adalah peristiwa komunis dalam artian dia tidak dapat dikategorikan dalam momen-momen politik ‘unik’ yang pernah terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, peristiwa Arab mampu membedakan dirinya secara radikal dari peristiwa-peristiwa lainnya yang merupakan bagian dari reproduksi ideologi kapitalisme itu sendiri (seperti kemenangan Obama dalam pemilu AS pada tahun 2008 misalnya). Peristiwa Arab bukanlah tuntutan untuk sekedar demokratisasi ala demokrasi liberal sebagaimana yang menjadi anggapan para pengamat dari dunia Barat. Akan tetapi, peristiwa dengan tuntutan universal mengenai prinsip emansipatoris utama dalam demokrasi Barat, yakni tentang kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan.
Mimpi komunisme tidak hanya terjadi di Semenanjung Arabia; jantung utama kapitalisme, yakni Amerika Serikat, juga diguncang dengan mimpi tentang komunisme. Sebagai respon dari krisis finansial 2007-2008, rakyat AS memobilisasi diri mereka dalam gerakan Occupy Wall Street (Duduki Wall Street). Bagi Zizek, gerakan ini adalah ‘sebuah awalan baru kekerasan yang sunyi’ (The Violent Silence of A New Beginning) (hal. 77). Sebuah awalan karena Gerakan Duduki Wall Street telah memulai penghancuran banyak tabu, dimana kita mulai mempertanyakan bahwa dunia yang tengah dihidupi sekarang bukanlah dunia yang mungkin untuk ditinggali; kita semua harus mulai berpikir mengenai alternatif. Sebagai bentuk ‘kekerasan yang sunyi’ karena gerakan ini menghajar secara brutal koordinat ideologi kapitalisme yang telah lama membenak dalam lingkup terdalam kesadaran massa, dan brutalitas ini tidak termanifestasi dalam bentuknya yang bising. Namun secara sunyi menyergap semua imajinasi manusia tentang perubahan sosial.
Secara khusus, Zizek menggarisbawahi bagaimana Gerakan Duduki Wall Street secara brutal menghancurkan hubungan ideologis antara demokrasi liberal dengan kapitalisme. Zizek mengritik balik komentator politik dari The Washingon Post, Anne Applebaum yang mengritik Gerakan Duduki Wall Street. Applebaum mengatakan, para demonstran di Gerakan Duduki Wall Street seharusnya percaya akan keberadaan sistem politik demokrasi yang ada sekarang. Negara demokrasi maju seperti AS bukanlah Mesir, atau Negara Timur Tengah lainnya, yang tidak memiliki sistem politik yang mumpuni untuk menjawab aspirasi warganya. Bagi Applebaum, proses dalam sistem politik demokrasi liberal adalah satu-satunya jawaban rasional untuk aspirasi para pendemo. Tetapi bagi Zizek, argumen Applebaum seperti ini mengabaikan fakta bahwa tuntutan Gerakan Duduki Wall Street bukan sekedar reformasi dalam sistem politik yang ada. Gerakan Duduki Wall Street memahami bahwa kapitalisme global telah menggerogoti sistem politik demokrasi liberal (hal. 86). Setiap pemenuhan tuntutan melalui kerangka institusi demokratis sistem politik yang ada hanya akan memperkuat sistem kapitalisme itu sendiri. Dalam hal ini sebenarnya Zizek berargumen tentang apa yang disebutnya dengan ilusi demokrasi, dimana kepercayaan buta tentang penerimaan prosedur demokratis sebagai kerangka kerja satu-satunya untuk setiap kemungkinan perubahan (hal. 87).
Di sini kemudian Zizek memproblematisir masalah kebebasan dalam demokrasi liberal. Mengikuti Marx, bagi Zizek, isu terbesar mengenai kebebasan dalam suatu sistem politik justru bukan di ranah politik itu sendiri (hal. 86), seperti ‘apakah suatu masyarakat telah memiliki kebebasan untuk memilih atau tidak?’ ‘apakah di negara tersebut telah menerapkan kebebasan pers atau tidak?’ dan berbagai pertanyaan indikator politik lainnya ala Freedom House. Kebebasan yang fundamental dari sistem politik justru berada di ranah non-politik, seperti misalnya, ‘apakah perempuan di negara tersebut kuasa untuk menentukan pilihan secara bebas dalam lingkup keluarganya?’ atau ‘apakah buruh di negara tersebut mampu untuk menentukan secara bebas siapa yang harus menjadi manajer di pabrik mereka?’ atau bahkan, ‘apakah ada kebebasan bagi masyarakat untuk mengontrol secara demokratis kerja perbankan di negara tersebut?’ dan seterusnya. Jika jawaban atas pertanyaan kebebasan di ranah non-politik itu adalah iya, maka dapat dipastikan masyarakat tersebut tengah menikmati kebebasan yang fundamental.
Menurut Zizek, slogan Gerakan Duduki Wall Street dengan ‘Kita sang 99%’ adalah titik berangkat yang tepat untuk menjawab problem demokrasi liberal yang digerogoti oleh kapitalisme global. Slogan ini menunjukkan logika perjuangan kelas, dimana demokrasi liberal yang tergerogoti oleh kapitalisme global bukanlah demokrasi yang diharapkan. Demokrasi seperti ini hanya menciptakan dominasi elit kapitalis 1% atas mayoritas rakyat pekerja 99%. Tidak heran jika bagi Zizek, Gerakan Duduki Wall Street mengajukan proposisi mengenai pentingnya penghancuran posisi kelas elit kapitalis 1% sebagai prasyarat utama bagi perluasan demokrasi untuk melampaui bentuknya yang sekarang, sebagai upaya untuk melampaui sistem representasi multi-partai; yang biasanya disebut sebagai kediktatoran proletariat (hal. 88).
Tanggapan atas Karya Zizek
Poin krusial yang saya temukan dari karya Zizek kali ini adalah komunisme bukanlah merupakan sesuatu yang mudah. Pentahbisan komunisme sebagai suatu mimpi yang berbahaya bukan tanpa alasan. Komunisme tidak hanya berbahaya bagi musuh komunisme itu sendiri (karena ia adalah seperangkat logika politik yang berupaya untuk menghancurkan musuh-musuh ide komunisme itu). Namun, ia juga berbahaya bagi para pengusungnya karena komunisme berarti tidak ada jaminan bahwa mimpi ini akan terealisasikan, yang oleh karena itu kegagalannya selalu berimplikasi langsung pada rehabilitasi serta penguatan kembali atas sistem kapitalisme yang dilawan dan hendak digantikannya. 2011 masih merupakan tahun bermimpi yang berbahaya, karena walau mimpi tersebut terjadi, namun banyak kegagalan untuk terjadinya realisasi penuh komunisme. Peristiwa Arab, pada beberapa tempat, justru memberikan ruang lebih besar bagi para Islamis reaksioner untuk berkuasa (lihat Mesir dan Tunisia!). Gerakan Duduki Wall Street juga seakan tengah kehilangan gaungnya sampai dengan sekarang, yang bahkan secara tragis direspon dengan kemenangan kembali Obama dalam pemilu 2012. Dan daftar ini masih akan sangat panjang jika kita mau melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Walau begitu, ketidakmudahan ini justru membuka kemungkinan baru bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan untuk memastikan terjadinya kemenangan total. Salah satu dimensi yang secara umum mewarnai kegagalan realisasi emansipatoris dari seluruh peristiwa 2011, yang hampir tidak dilihat secara lebih jauh adalah mengenai keberadaan organisasi politik komunis itu sendiri. Organisasi politik komunis, atau dapat secara longgar disebut dengan partai kiri, hampir memiliki peranan yang marjinal dalam perlawanan emansipatoris yang terjadi. Argumen ini tidak untuk menyanggah bahwa di setiap momen perlawanan 2011, gerakan kiri pasti memiliki peranan dalam momen-momen perlawanan tersebut. Namun peranan mereka bukan sebagai pemain utama yang mampu mendorong kesadaran perlawanan secara lebih maju. Kegagalan organisasional gerakan kiri berimplikasi pada kegagalan pengorganisasian secara politik serta konsekuensi-konsekuensi yang muncul dari peristiwa politik itu sendiri. Tidak heran, jika setelah peristiwa emansipatoris 2011 terjadi, gerakan Kiri dipinggirkan dari dinamika politik utamanya, sehingga tidak memiliki kapasitas apapun untuk mendorong transformasi secara lebih luas.
Dalam hal ini kemudian penting bagi kita semua untuk mengulang Lenin, bukan pada kesimpulan-kesimpulan politiknya, namun pada metode politiknya. Kontribusi penting metode Lenin bagi politik emansipatoris adalah pentingnya suatu bentuk disiplin serta organisasi dalam mendorong perubahan. Dengan pengalaman 2011 dan mimpi komunisnya yang berbahaya, maka upaya untuk menciptkan peristiwa politik emansipatoris mau tidak mau memerlukan intervensi politik yang programatik. Tanpa itu, sejarah telah menunjukkan bahwa kapitalisme akan selalu menjadi masa depan kita. Dan bagi kemanusiaan hal tersebut hanya berarti satu, satu jalan menuju barbarisme.
Penutup
The Year of Dreaming Dangerously adalah ‘pamflet politik.’ Sebagai bentuk pamflet, The Year of Dreaming Dangerously mampu mengagitasi kita untuk berpikir lebih dalam atas situasi yang tengah kita hadapi sekarang. Zizek, sekali lagi, menurut saya, telah menjadikan kalangan kiri sebagai ‘musuh utamanya,’ menghajar tapi bukan untuk menghancurkannya, namun menghajar dalam rangka memaksa kalangan Kiri untuk secara kreatif menyikapi situasi kini yang semakin potensial untuk realisasi komunisme. Ketidakmampuan kalangan kiri dalam merespon situasi kini harus diiringi dengan kritik mendasar atas posisi kiri itu sendiri. Kritik Zizekian memberikan kita petunjuk mengenai ruang-ruang berpikir baru yang tidak terpikirkan sebelumnya karena terselimuti oleh tirai ideologi. Hanya dengan penyingkapan serta pembongkaran tirai ideologi inilah kita mampu untuk melangkah ke depan secara mantap. Tidak heran jika saya menganggap Zizek tidak lebih sebagai seekor lalat, seekor lalat yang mengganggu kerbau untuk mau bergerak maju.
Muhammad Ridha, Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)
[1] Lihat misalnya pada buku terbarunya mengenai Hegel, Slavoj Zizek, Less Than Nothing: Hegel and The Shadows of Dialectical Materialism (London: Verso, 2012)
[2] ‘Pamflet politik’ lainnya yang berupaya untuk memahami perlawanan 2011 dari sudut pandang filsuf radikal dapat dilihat dari buku Alain Badiou, Rebirth of History: Times of Riot and Uprising (London: Verso, 2012)