Judul: Marx and Education
Penulis: Jean Anyon
Penerbit: Routledge Press
Tahun Terbit: Desember 2011
Halaman: 115 halaman
SUDAH jauh-jauh hari, ahli pendidikan revolusioner Brazil Paulo Freire, mengingatkan bahwa netralitas dalam pendidikan adalah sebuah kenaifan. Pendidikan secara keseluruhan justru digunakan sebagai alat untuk menjaga eksistensi kelompok dominan. Lewat kurikulum, metode pengajaran, hingga sistem produksi guru, pendidikan diyakini Freire meciptakan manusia-manusia yang siap menyokong konfigurasi kelompok dominan.
Dengan kata lain, pendidikan tidak hadir dengan ilmu pengetahuan yang bebas nilai. Lewat sekolah, kepentingan menjaga eksistensi kelompok dominan gencar dilakukan. Berdasarkan pandangan tersebutlah, paradigma pendidikan pada akhir 1970-an memiliki dinamikanya. Lewat pendekatan sosiologis, khususnya perspektif Marxis, ahli-ahli seperti Michael Apple, Pierre Bordieu, Henry Giroux, dan Paulo Freire, memulai analisis sosiologi pendidikan. Mereka, khususnya Freire, tidak sepakat bahwa yang diajarkan pada siswa sekolah adalah pengetahuan objektif. Sebaliknya, apa yang diajarkan adalah pengetahuan yang mengandung dominasi budaya, yaitu pengetahuan yang disusun melalui proses selektif yang memasukkan kepentingan tertentu dan membuang yang lainnya (Freire: 2007). Kebudayaan selalu terkait dengan kekuasaan dan memuat karakteristik serta pengalaman kelas tertentu.
Kekuasaan sendiri tidak selalu bermakna negatif. Ia bersifat dialektis, tetapi mode of operation-nya bersifat represif. Pada taraf tertentu, kekuasaan merupakan daya dorong dari semua perilaku manusia di mana masyarakat mempertahankan hidupnya, berjuang dan berusaha mewujudkan cita-cita kehidupannya yang lebih baik. Di sisi lain, kekuasaan punya arti kemutlakan, dalam hal ini kekuasaan bersifat eksklusif dan sebagai kekuatan negatif (Freire: 2007).
Karena banyak menggunakan Marx dalam menganalisis proses pendidikan, para ahli sosiologi pendidikan sepakat –walau tidak sepenuhnya – bahwa kelas kapitalis adalah kelas yang dominan. Termasuk dalam Marx and Education, Jean Anyon menggunakan analisis Marxis untuk menjabarkan bagaimana ketidakmerataan pendidikan di Amerika Serikat.
Anyon membuka (bagian Introduction) bukunya melalui tiga ide utama Marx dalam mengejewantahkan silang sengkarut dunia pendidikan; kapitalisme sebagai sumber utama sistem sosial, ekonomi, dan ketidakmerataan pendidikan; kelas sosial sebagai penjelasan sosial dan pendidikan secara heuristik; dan analisis budaya yang menemani sistem kapitalis dapat dijadikan sumber praktik-praktik neo-Marxis dengan pedagogi kritis. (hal. 5)
Pertama, mengenai ketimpangan. Sebagaimana Marx, Anyon percaya bahwa sistem ekonomi kapitalis tidak bisa berfungsi tanpa kondisi ketidakmerataan. Artinya, dalam membangun kapitalisme dibutuhkan kondisi yang tidak adil. Penting untuk digarisbawahi bahwa perbandingan pendapatan atau keuntungan antara korporasi-korporasi besar dan kecil saja sangat berbeda jauh. Sementara korporasi kecil memiliki rata-rata keuntungan yang kecil, korporasi besar menikmati untung yang menggiurkan dengan memotong upah para pekerja. Tak perlu jauh-jauh menengok kembali kelahiran kapitalisme buat mengafirmasi pendapat tersebut. Pada 2010 di Amerika Serikat, gaji pimpinan korporasi besar mampu mencapai 300 kali lipat dari pekerjanya, apalagi dalam korporasi kecil. Hal ini menjadi dasar dari relasi antar pekerja dan pemiliki korporasi dalam sebuah sistem yang terus diwariskan. Buat Marx, ihwal relasi tersebut menjadi fundamental untuk didefinisikan. (hal.8)
Relasi kelas-kelas ekonomi (borjuis-proletar) dalam sistem kapitalisme berpengaruh kuat atas kondisi realitas manusia. “The Mode of Production of material life conditions the social, political, and intelectual life process in general. It is not the consciusness of men that determines their being, but on the contratry, their social being that determines their consciousness.” (lih. The Portable Karl Marx: 1859). Dengan kondisi tersebut, maka segala tindak tanduk manusia didasarkan pada basis materialnya, dalam hal ini adalah ekonomi. Pada saat yang sama, kelas ekonomi yang menguasai alat-alat produksi – kapitalis – turut mengontrol kondisi sosial untuk tetap menjaga keberlangsungan eksistensinya.
Cara mengontrolnya dilakukan oleh bagian-bagian yang merepresentasikan kapitalisme: pemerintah, media , dan institusi pendidikan. Mereka memproduksi sekaligus mereproduksi ide dan keyakinan – ideologi – yang melegitimasi dan mendukung kapitalisme. Pun kapitalisme yang paling mengeruk hasilnya. Ideologi ciptaan kapitalisme salah satunya ditemukan di dalam sekolah, di mana sekolah diyakini sebagai institusi pencetak manusia. Melalui sekolah, kapitalisme dengan kuat menancapkan dominasinya.
Kemudian Anyon berangkat pada analisis kedua: analisis relasi kelas sosial sebagai penjelasan atas dimensi sosial dan pendidikan. Dalam pembahasannya, Anyon lebih banyak menggunakan teori-teori neo-Marxis seperti analisis hegemoni Antonio Gramsci. Setelah kapitalis diyakini sebagai kelas yang dominan yang didasari atas ketidakadilan, selanjutnya demi menopang eksistensinya, kapitalisme melancarkan serangan-serangan yang hegemonik. Caranya beragam, mulai dari yang represif, persuasif hingga adiktif (Nuryatno:2008). Dan pada tahap tertentu, karena gerilya-nya, upaya hegemonik tersebut bisa menjadi sebuah kewajaran bagi kelompok minor.
Semisal, anggapan bahwa dengan pendidikan tinggi berkualitas dan mahal, kita akan mendapat kerja yang strategis, pada akhirnya hanya menghasilkan logika permisif: bukan mempertanyakan kenapa biaya menjadi mahal, kenapa akses menuju pendidikan semakin runcing, tapi lebih mengarah kepada tindakan menyelamatkan diri dalam mekanisme kapitalisme.
Meminjam Gramsci, Anyon mengemukakan bahwa hegemoni tidak diciptakan dalam bentuk yang final oleh kapitalisme, melainkan dibangun di atas kontradiksi (kontra-hegemoni) yang menyerang hegemoni tersebut. Makanya hegemoni oleh kapitalisme terus-menerus diproduksi di media, sekolah, koran dan produk kultural lainnya dari kapitalisme demi kelangsungan eksistensinya, sekaligus memberangus kontradiksinya (hal.13).
Walau demikian, Anyon sendiri meyakini cara kontra-hegemoni masih memiliki kontribusi dalam menangkis dominasi kapitalisme. Medan pendidikan bisa jadi lahan potensial untuk membangun resistensi. Kuncinya dengan membangun kesadaran kritis yang diproduksi oleh guru yang bersatu dengan murid. Buat Anyon, hal ini kelak berguna untuk mengkritisi dimensi kultural yang makin dimanipulasi oleh kapitalisme, dengan praktik pedagogi kritis. Hal ini merupakan ide ketiga dari analisis Marx yang diterjemahkan oleh Anyon.
‘We have no choice but to “start where we are” and use whatever means we have a hand in the struggle against exploitation and subordination’ (hal.14).
Sekolah dan Kelas Sosial
Inspirasi untuk menggunakan Marx tidak muncul sekonyong-konyong buat Anyon. Literasi mengenai pendidikan sebelum 1970-an yang kebanyakan menampilkan kondisi sosial, ketimpangan akses pendidikan, dan relasi pendidikan dengan ekonomi-politik, menjadi awal mengapa Anyon menggunakan Marx. Mengenai pendidikan, kala itu kebanyakan akademisi memaknai pendidikan hanya di ruang kelas, makanya pendekatan mereka hanya berparadigma psikologi dan cenderung positivistik. Akademisi menilai bahwa hal-hal di luar karakter murid, dan proses pembelajaran merupakan perihal taken for granted.
Mencontoh Samuel Bowles dan Herbert Gintis (lih. Schooling in Capitalist America: 1976), sejak 1980-an Anyon mulai menulis dengan keyakinan bahwa kondisi ketimpangan pendidikan jelas disebabkan oleh distribusi ekonomi yang tidak merata. Selain itu, ada korelasi langsung antara proses pembelajaran, pengalaman murid, dan kemampuan yang didapat murid di sekolah dengan masa depan murid yang dicirikan dari pekerjaan yang diperoleh murid kelak.
Dalam Bab 1 Marx and Education, Anyon mengemukakan temuan-temuan penelitiannya yang telah ia lakukan sejak 1970-an terhadap lima kelas lima di Sekolah Dasar dengan latar belakang ekonomi yang berbeda; dua sekolah kelas pekerja; satu sekolah kelas menengah; satu sekolah kelas profesional; dan satu sekolah elit eksekutif. Walau secara prosedural kelima sekolah tersebut sama, tetapi Anyon mendapati fakta bahwa masing-masing sekolah merepresentasikan kelas sosial dalam pembelajaran dan konsepsi pengetahuannya. Dari perbedaan tersebut tercermin pekerjaan-pekerjaan yang akan dan bisa murid lakoni di masa depannya.
Di sekolah kelas pekerja, murid-murid diberikan metode mekanis dalam pembelajarannya. Guru menjelaskan dan murid harus menerima secara utuh, tanpa kritisisme. Murid harus mencatat dan menguasai apa yang diberikan guru, makanya pembelajarannya lebih menekankan kepada prosedur menaati langkah-langkah. Murid hampir tidak diberi ruang untuk berekspresi.
Fenomena ini tercermin dengan kuat pada pelajaran matematika. Ada satu kejadian di mana guru menyuruh untuk membuat sebuah diagram dengan membuat garis, lalu membuat nomor pada tiap titik, dan kemudian menghubungkan antar titik yang dibuat. Saat itu ada satu gadis yang menyela guru tersebut, dimana mengatakan bahwa ia dapat membuat diagram tersebut lebih cepat dari langkah-langkah yang diberitahu si guru. Si guru kemudian marah “No, you don’t; you don’t even know what i’m making yet. Do this way, or it’s wrong,’ bentak guru tersebut (hal. 24). Di sekolah kelas pekerja ini, Anyon juga banyak menemukan guru yang berkata dan bertindak kasar kepada murid untuk membuat disiplin kelas.
Dengan cara menghapal, ketiadaan apresiasi terhadap murid, dan kontrol disiplin yang ketat, sekolah kelas pekerja memang merepresentasikan mekanisme kerja dari buruh-buruh murah. Dan murid pun dipersiapkan untuk menjadi buruh murah selanjutnya.
Di sekolah kelas menengah, nilai jadi tolak ukur murid. Murid dipacu untuk untuk mendapat nilai bagus ketimbang sekolah kelas pekerja yang lebih mengutamakan cara-cara prosedural. Walau tidak seketat sekolah kelas pekerja, guru masih menerapkan kontrol. Malah arahan-arahan guru membuka sedikit ruang bagi murid untuk berekspresi, walau tidak diutamakan.
Nilai–nilai murid pada sekolah kelas menengah diyakini berisi informasi, fakta, dan pengetahuan. Makanya mendapat nilai tinggi menjadi tujuan untuk kemudian diakumulasikan demi mendapat perolehan-perolehan yang menguntungkan bagi murid kelak di kemudian hari; seperti mendapatkan pekerjaan dan akses masuk ke perguruan tinggi. 00000Proses pembelajaran tersebut, kata Anyon, juga berpengaruh pada kebutuhan kelas pekerja menengah. Yakni dengan pemberian sedikit ruang untuk mengambil keputusan, pemahaman terhadap konsep, dan dapat dinilai secara numerik.
Di sekolah kelas profesional, murid diberi ruang bebas untuk mencipta ide, dan konsep-konsep baru. Tugas-tugasnya berupa hasil buah pikir dan ekspresi individual. Murid diminta untuk menjelajah lebih jauh konsep yang sudah ada ditambah imajinasinya. Tugasnya bisa berupa tulisan atau bentuk kerajinan tangan.
Dalam mengontrol kelas, guru lebih longgar terhadap murid. Guru biasa bernegosiasi dengan murid dalam mengambil keputusan. Kemampuan negosiasi ini kelak dibutuhkan murid dalam pekerjaannya, seperti konsultan, desainer, pemilik media yang banyak melibatkan kreatifitas dan pengambilan keputusan.
Di sekolah elit profesional, murid dituntut untuk lebih dari sekadar berekspresi, yakni untuk memiliki kemampuan analisis intelektual. Murid secara berkelanjutan diminta untuk menanggapi sebuah masalah, membuat produk intelektual yang logis dan memiliki nilai akademis. Tujuan utama dari menganalisis masalah tersebut adalah untuk mengonsep aturan yang mencakup banyak elemen, yang kemudian digunakan untuk mengatasi masalah tersebut.
Di dalam kelas murid punya otonomi penuh, mereka bebas melakukan apapun. Para guru selalu berpesan bahwa murid harus bisa mengontrol dirinya sendiri atas dasar aturan rasional dan disiplin berpikir. Dengan kemampuan tersebut, murid kelak diharapkan mampu menjadi stakeholder yang memiliki kontrol terhadap diri sendiri serta keharusan mengendalikan orang lain dalam sistem yang dibuat dengan tanggung jawab.
Dari temuan di lima sekolah tersebut, Anyon makin memperjelas bahwa kemampuan, keahlian, dan ilmu pengetahuan yang didapat pada sekolah berkorelasi langsung dengan kebutuhan ekonomi kapitalisme. Sayangnya, berdasarkan klasifikasi tersebut muncul diskriminasi kelas sosial yang makin ekstrim.
Dalam Bab 2, Anyon menjelaskan bagaimana detil korespondensi antara mekanisme pendidikan yang terkumulasi dengan kebutuhan kapitalisme. Konstelasi pendidikan dan ekonomi politik jelas tergambar dalam situasi ekonomi Amerika Serikat pada 1990-an. Pada era ini, ditandai dengan hasrat korporasi besar di Amerika untuk meningkatkan daya saing bisnis mereka yang mulai mengalami kemunduran sejak 1970-an, ketika mobil dan produk elektronik dari Jepang serta Korea membanjiri Amerika dengan harga yang lebih murah, dan berteknologi tinggi. (hal. 44)
Terhadap kemunduran itu, Kamar dagang dan industri Amerika menyalahkan sistem pendidikan di Amerika yang tidak bisa menciptakan Manusia Amerika yang mampu berkompetisi secara global. Laporan A Nation at Risk: The Imperative for Educational Reform (http://www.ed.gov/pubs/NatAtRisk) menyimpulkan bahwa jika pekerja memiliki aspek kognitif dan kemampuan teknis yang lebih baik bisnis Amerika akan lebih kompetitif.
Dengan harapan bahwa meningkatkan kemampuan kognitif dan teknis mampu meningkatkan ekonomi Amerika, pada 1990-an muncul banyak kebijakan reformasi pendidikan di Negara-negara bagian Amerika Serikat. Caranya dengan membangun pelajaran matematika dan kurikulum ilmu pengetahuan alam yang baru; meningkatkan standar akademik yang digunakan di seluruh negara bagian untuk penilaian; memperkecil ukuran kelas; meningkatkan kemampuan pengajar; reorganisasi struktur administratif sekolah dengan menyertakan orang tua murid dan pengajar; menyesuaikan kebijakan pendidikan negara bagian dengan kebijakan negara federal untuk mengatur pendidikan di tingkatan distrik ; mendirikan sekolah-sekolah kecil; mengatur sikap murid dengan mandat ‘zero tolerance’; meningkatkan pendanaan sekolah urban. (hal. 46)
Menurut Anyon, kebijakan reformasi sekolah sebenarnya sia-sia belaka. Buatnya, meningkatkan pendapatan ekonomi hanya bisa dilakukan dengan meningkatkan ekonomi itu sendiri, dan peningkatan konkrit masyarakatnya, bukan dengan reformasi kurikulum di sekolah, apalagi investasi besar-besaran. Hal ini didasarkan pada perkembangan sejarah kota dalam penelitiannya di Sekolah Dasar Marcy, Newark, New Jersey pada pertengahan 1990-an.
Newark sendiri pada pertengahan 1990-an memunyai banyak keluarga miskin, dan jadi daerah konsentrasi kemiskinan. Kebanyakan sekolah di sana juga merupakan sekolah miskin dengan 78 persen murid berasal dari keluarga berpendapatan rendah, dan didominasi 80-85 persen orang kulit hitam dan latin. Padahal, pada awal abad 20, Newark adalah kota industri terkemuka.
Dalam perkembangan sejarah Newark, Anyon menyimpulkan; pertama kelas sosial, status ras, dan populasi masyarakat berkaitan dengan tingkat investasi dan keberhasilan kota dalam mendidik siswa. Makanya ketika Newark menjadi kota industri terkemuka pada awal abad ke 20, lebih banyak kelas menengah dan tinggi yang bersekolah.
Pada awal 1930-an ekonomi dan perubahan sosial di Newark menciptakan sistem sekolah yang muridnya mayoritas berasal dari kulit putih, karena jumlah sekolah tidak lagi mampu menampung kelas menengah. Sementara investasi terhadap kota dan masyarakat menurun.
Kedua, ada hubungan langsung antara kontur dan nasib sekolah Newark dengan ekonomi dan transformasi kota. Pada 1930-an, berbagai kebijakan Negara bagian maupun Amerika berkontribusi atas penipisan ekonomi Newark. Misalnya, peningkatan pajak properti yang menyebabkan perpindahan industri-industri dari Newark. Selain itu, kelas menengah juga mulai bergerak ke pinggiran kota.
Ketiga, Newark kemudian menjadi daerah yang minim dari investasi ekonomi, dan ditambah kebijakan pemerintah yang tidak menyampingkan konteks sosial Newark. Sempat mendapat angin segar dari kebijakan One Man One Vote yang merevisi prosedur voting untuk mengisi jajaran pemerintah bagian sehingga kota memiliki representasi yang lebih besar. Namun, perpindahan kelas menengah ke pinggiran kota segera mendominasi hasil suara, dan kota kembali kehilangan suara.
Kondisi isolasi politik kota kemudian berkontribusi pada penurunan pendanaan sekolah kota secara nasional. Makanya, Newark pada 1961 mulai dijadikan destinasi bagi orang-orang kulit hitam miskin untuk hidup, yang kemudian malah mendominasi dan menjadikan Newark sebagai daerah gettoisasi. Sekolah Newark kemudian dibanjiri orang kulit hitam dengan dana pendidikan yang minim.
Keempat, dengan ketiadaan sumber daya ekonomi, pekerjaan, dan rendahnya representasi mereka di legislatif, selama hampir seratus tahun, Newark terjerat ke dalam jejaring korupsi lokal dan patronase yang dijalankan kelompok kulit putih minoritas. Selama bertahun-tahun, kualitas hidup Newark jauh tertinggal dari pinggiran kota. (Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Newark dan bagaimana kontestasi kota terkait perkembangan ekonomi dan pendidikan, baca Jean Anyon, Ghetto Schooling: A Political Economy of Urban Educational Reform, 1997)
Anyon menyimpulkan, untuk membalikkan penurunan dalam akses terhadap sekolah, hal utama yang harus dibenahi adalah revitalisasi kota, dan menjadikan reformasi sekolah sebagai bagian dari perubahan yang lebih sosial. Di sini ia memutarbalikkan logika bahwa peningkatan pendidikan akan menguatkan kota sekaligus memajukan perekonomian Negara.
Pendidikan, Kebijakan Pemerintah, dan Ekonomi-Politik
Isu mengenai peningkatan pendidikan disertai peningkatan manusia yang akan mampu meningkatkan pendapatan ekonomi individu dan juga negara, menjadi isu penting di Amerika sejak 2000-an. Presiden George Bush memulai kebijakan No Child Left Behind, kemudian dilanjutkan dengan Race to The Top oleh Presiden Barrack Obama. Kedua rezim ini mempercayai bahwa pendidikan – dengan meningkatkan kemampuan teknis dan kongnitif – mampu menjawab masalah pengangguran dan meningkatnya kemiskinan.
Dalam Bab 3, Anyon mengartikulasikan kritiknya atas dua kebijakan tersebut. Pertama, untuk beberapa dekade terakhir, pendidikan dan kemampuan yang lebih tinggi tidak serta merta mendapatkan upah yang tinggi. Pekerja Amerika kini lebih produktif dari yang pernah ada, karena mereka telah mendapat pendidikan dan memiliki kempampuan teknis yang lebih tinggi, tapi upah mereka makin lama makin menurun. (hal. 69)
Hal ini dimulai dari dekade awal 2000-an, ketika pemulihan pengangguran justru menunjukkan polarisasi kelas sosial yang makin runcing. Pekerjaan yang disediakan hanya pekerjaan berupah murah dengan beban kerja lebih tinggi. Keluarga rendah mau tidak mau menerimanya, karena selepas resesi ekonomi, mereka benar-benar tidak memiliki apapun. Sementara pertumbuhan dari hasil produksi buruh berupah murah ini malah membawa keluarga kaya makin menuju puncak, yang secara dramatis meningkatkan ketidakmerataan pendapatan.
Dari ketimpangan pendapatan, muncul pemisahan produktifitas dengan kenaikkan upah. Sebenarnya, pada 1913 telah ada ketimpangan pendapatan yang tajam; di mana 1 persen kelompok memegang 23 persen dari total pendapatan di Amerika. Dan pada beberapa tahun terakhir saja, ada keuntungan sebesar 400 milliar dolar yang dihasilkan oleh 95 persen kelompok pekerja untuk 5 persen kelompok pengusaha. Dan hal ini makin diperparah oleh kebijakan pemotongan pajak pendapatan dari Presiden Bush bagi kelompok pengusaha, yang lebih rendah ketimbang kelompok menengah dan bawah (lih. The State of Working America: 2009)
Dengan kemampuan yang relatif tinggi dan jam kerja yang ditambah, pekerja tingkat menengah dan rendah telah meningkatkan produktifitas perusahaan, namun mereka tidak mendapatkan upah yang meningkat sebagai proses produktifitas yang meningkat.
Kedua, fakta bahwa pekerjaan di Amerika yang justru sangat sedikit dibayar tinggi karena kemampuan kognitif dan teknis. Pekerjaan-pekerjaan dalam ekonomi Amerika selama beberapa dekade terakhir hanya memproduksi pekerjaan dengan upah rendah.
Pada 2005 Anyon mendapati bahwa 77 persen pekerjaan yang diproyeksikan ada pada dekade mendatang akan berupah rendah. Hanya kurang lebih seperempat kesempatan pekerjaan yang menyediakan gaji di atas 26.000 dollar setahun (hal.71). Hal ini didukung oleh beberapa penelitian yang dilakukan sejak 2000-2006, yang berkesimpulan bahwa ‘pekerjaan yang layak’ adalah yang berpendapatan minimum 17 dollar per-jam, serta memiliki asuransi kesehatan dan uang pensiun. Sementara pada 2006, hanya 23 persen masyarakat yang memiliki ‘pekerjaan yang layak.’
Padahal, di satu sisi akses terhadap pendidikan, khususnya pendidikan tinggi telah meningkat dari yang pernah ada. Sejak 1979 ada peningkatan lebih dari dua per tiga, atau sekitar 70 persen masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi pada 2008. Masyarakat sebenarnya lebih terdidik, namun tetap miskin karena memang tidak memiliki kesempatan atas pekerjaan berupah tinggi. Buat Anyon, ‘education did not create the problem of wide-spread poverty and low-wage work, and education will not solve the problem.’ (hal. 75)
Gerakan Bermula dari Sekolah
Demi meruntuhkan dominasi kapitalisme, dalam dalam Bab 4 Anyon juga menawarkan cara untuk membuat perlawanan. Pertama, dengan mengaplikasikan praktek neo-marxis di kelas dalam wujud pedagogi kritis. Ini berguna untuk mendorong kesadaran politik murid dalam bersikap terhadap isu-isu kontemporer. Semisal, murid diajak membaca, berdiskusi, dan menulis tentang bagaimana sistem pendidikan nasional menciptakan diskriminasi berdasrkan kriteria ekonomi, ras, dan gender. Pada tingkat selanjutnya, bagaimana suprastruktur, kebijakan, menciptakan dan melanggengkan kondisi ketidakadilan tersebut.
Kemudian, dalam proses pembelajaran tersebut, harus ada pergerakan dari ruang kelas menuju tempat masyarakat berpenghasilan rendah, orang hitam dan Latin, serta imigran tinggal lainnya. Dengan kata lain, tujuannya untuk meningkatkan keterlibatan murid pada kontestasi ruang publik yang nyata. Hal ini, buat Anyon, berguna untuk mengaransemen protes-protes sosial dari peserta didik yang telah memiliki kesadaran politik. Ketidakmerataan gaji, dan akses lulusan peguruan tinggi untuk mendapat gaji yang tinggi harus dilihat sebagai pintu masuk menuju kesetaraan. (hal. 97)
Kedua, Anyon berusaha mendorong sekolah menjadi pusat gerakan untuk transformasi sosial. Guru bisa menggunakan orang tua, murid, sebagai agen perubahan. Makanya pendidik yang kritis kini punya peran baru dalam proses pendidikan, yakni membantu murid untuk menjelaskan relasi yang membuat kondisi ini menjadi tidak adil. Pendidik yang kritis menjadi kunci bagaimana membangun sekolah sebagai ruang-ruang yang menjelaskan keadilan sosial itu seperti apa (hal. 99).
Ketiga, selain itu, para aktivis sosial turut diikutsertakan dalam memperluas gerakan tersebut. Dari semua elemen tersebut, kegiatan seperti diskusi, kampanye, dan provokasi mengenai kepentingan bersama digencarkan. Keterlibatan langsung dari elemen tersebut di dalam aksi-aksi protes yang nyata juga sangat diharapkan. Di sini, pedagogi kritis memiliki peran untuk menjadi pedoman dalam proses pendidikan, pendidik yang kritis harus memberikan pengalaman langsung atas kerja-kerja keadilan sosial yang lebih luas. Walau Anyon tidak berharap banyak atas hasil dari gerakan tersebut, tetapi buatnya, ini akan berguna, khususnya bagi murid, untuk menjadi bekal dalam kerja-kerja perubahan sosial selanjutnya. (hal. 104)
Catatan Kritis
Sebenarnya Anyon sudah menggunakan Marx dengan baik buat menganalisis medan pendidikan sebagai penunjang konfigurasi kapitalisme. Namun, secara bersamaan Anyon juga telah meninggalkan Marx. Pertama, pembacaan mengenai keadilan sosial hanya dimaknai dari pemerataan distribusi ekonomi, dalam hal ini gaji atau upah. Artinya, saya menganggap Anyon sendiri memisahkan ekonomi hanya untuk ekonomi. Sementara, ia tidak bermaksud menghapus kelas sosial (borjuis-proletar) sebagaimana konklusi akhir Marx.
Kedua, ia juga telah jauh meninggalkan Marx dengan mengklaim bahwa pendidik yang kritis adalah agen yang revolusioner. Di satu sisi, Anyon juga tidak begitu menjelaskan bagaimana seorang pendidik bisa bersifat revolusioner, atau paling tidak kritis. Padahal sebelumnya, Anyon mengafirmasi bahwa institusi pendidikan telah masuk dalam logika kapitalisme dengan geraknya dari sektor publik ke sektor privat, yang mana proses pendidikan hanya dimaknai, apakah ia menghasilkan untung atau tidak bagi kapitalisme (hal.75).
Ketiga, gerakan yang diusung Anyon sebenarnya berkarakter reformatif, tidak tidak radikal. Di sini, ia mencontoh model gerakan-gerakan sipil di Amerika Serikat pada 1940-an mengenai isu-isu kesetaraan orang kulit hitam dalam akses terhadap fasilitas-fasilitas publik (hal. 98). Jika ia setia dengan analisa Marxis, maka ketidakadilan dan kesenjangan pendidikan, hanya mungkin dihapuskan ketika kapitalisme telah berhasil dienyahkan.
¶
Anggar Septiadi, mahasiswa sosiologi fakultas ilmu sosial UNJ, Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa DIDAKTIKA, UNJ
Bacaan tambahan:
Anyon, Jean. Ghetto Schooling: A Political Economy of Urban Educational Reform. Teachers College Press, New York 1997
Freire, Paulo. Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2007
Nuryatno, Agus. Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta. Resist Book. 2008.
Marx, Karl. The Portable Karl Marx diedit Eugene Kamenka. New York. 1983