Catatan Awal Pergerakan Buruh di Bekasi
Pada bagian ini, saya merasa perlu mengutarakan beberapa pendapat yang tidak setuju terhadap aksi grebek pabrik, yang secara khusus dilakukan oleh FKI –karenanya tidak merujuk pada aksi grebek di luar FKI. Ketidaksetujuan ini berasal dari serikat buruh itu sendiri, bukan dari pihak pengusaha yang posisinya memang dirugikan oleh aksi-aksi grebekan pabrik tersebut.
Beberapa pendapat serikat buruh yang tidak setuju:[1] pertama, aksi Grebek pabrik lebih mengedepankan strategi konfrontasi dibandingkan negosiasi. Tindakan ini dianggap telah merusak prinsip-prinsip Hubungan Industrial Pancasila, yang mengedepankan hubungan yang harmonis, dan kemitraan antara pihak pengusaha dan buruh, karena sama-sama saling membutuhkan. Kedua, aksi Grebek pabrik dipandang lebih merujuk pada tindakan-tindakan ancaman dan tekanan ketika proses perundingan sedang berlangsung, yang tidak mengedepankan argumentasi yang rasional untuk mengajukan tuntutan. Ketika ditanya, seperti apakah contoh argumentasi yang rasional tersebut, jawaban selalu tertuju pada tingkat kemampuan ekonomi perusahaan untuk mengangkat buruh outsourcing menjadi buruh tetap. Menurut mereka, tidak semua perusahaan memiliki kemampuan yang sama dalam melakukan hal tersebut, dan tidak semua perusahaan memiliki kemampuan untuk mengangkat seluruh pekerjanya menjadi buruh tetap. Sementara aksi grebek cenderung melihat kemampuan ekonomi seluruh perusahaan untuk mengangkat buruh outsourcing menjadi buruh tetap itu sama. Hal ini justru dapat menyebabkan banyak buruh yang tadinya ingin diangkat menjadi buruh tetap, justru ter-PHK, karena perusahaan harus melakukan efisiensi untuk merasionalisasikan pengeluarannya.
Ketiga, kritik yang disampaikan dengan nada paling bersemangat merujuk pada potongan-potongan situasi lapangan ketika aksi grebek dilakukan, seperti beberapa peserta grebek pabrik yang mabuk minuman keras, menyalakan musik keras-keras dan berjoged sampai malam, ugal-ugalan di jalan, bahkan sampai melakukan tindak kekerasan dan pengrusakan. Selain itu dalam beberapa kasus yang tidak disebutkan detailnya, terdapat oknum FKI yang meminta sejumlah uang bayaran kepada buruh-buruh yang meminta pabriknya digrebek, nilainya mencapai 300ribu perorang.
Saya belum sempat mengklarifikasi pendapat ini kepada pihak FKI. Selain itu, saya juga tidak memiliki kapasitas untuk menjawab kritik-kritik. Yang ingin saya diskusikan adalah situasi-situasi seperti apa yang melatarbelakangi munculnya ketidaksetujuan tersebut, sebagai situasi perdebatan yang wajar dalam dinamika gerakan buruh. Perdebatan ‘diam-diam’ tersebut menunjukkan semakin eksplisitnya pertentangan antara (a) mereka yang masih mengandalkan jalur-jalur perundingan bipartit dalam ruang-ruang formal yang telah disediakan, seperti pembaharuan PKB yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali, dan memprioritaskan keseimbangan antara kepentingan pengusaha dan buruh secara baik-baik. Jika terjadi perselisihan, maka harus diselesaikan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku dan menyerahkannya pada perangkat. Dengan (b) mereka yang semakin tidak percaya dengan efektivitas ruang-ruang perundingan serta mekanisme hukum, untuk kemudian memilih strategi konfrontasi dan jalanan sebagai ruang untuk memenangkan kepentingan buruh.
Mereka yang melakukan aksi grebekan, melihat aksi tersebut sebagai respon dari semakin meluasnya sistem kerja fleksibel, dan lemahnya penegakkan hukum, yang menyebabkan perusahaan dengan mudahnya melanggar ketentuan-ketentuan penggunaan buruh outsourcing yang tertuang dalam UU 13/2003. Karena itu, mereka tidak lagi percaya dengan mekanisme hukum formal yang berlaku, sementara perusahaan justru mengambil keuntungan dari situasi lemahnya proses penegakkan hukum itu sendiri, dan buruh outsourcing semakin terampas hak-hak normatifnya. Bagi mereka yang menolak aksi grebekan, masih terlihat pengaruh doktrin Hubungan Industrial Pancasila (HIP), yang mengajarkan bahwa relasi buruh dengan pengusaha mirip sebuah keluarga, dimana masing-masing harus saling menjaga kerukunan, sama-sama memiliki relasi ketergantungan, dan kewajiban untuk memajukan perusahaan. Karenanya setiap upaya perundingan harus dilakukan dengan kesadaran dan niat baik untuk memajukan perusahaan. Jika perusahaan maju dan bertambah keuntungannya, pihak buruh juga yang akan menerima manfaatnya.
Kelompok penentang ini seringkali mengabaikan situasi-situasi sosial yang menjadi latabelakang kemunculan aksi grebek pabrik. Padahal aksi grebek pabrik bukan sesuatu yang muncul dari ruang hampa, ia muncul sebagai strategi untuk merespon situasi-situasi tertentu. Seperti sering dikatakan oleh aktivis FSPMI Bekasi, melonjaknya aksi-aksi buruh dan kemunculan aksi Grebek pabrik, merupakan ‘Reaksi’ atas semakin lemahnya penegakkan hukum oleh negara (hal ini akan dibahas selanjutnya).
***
Semakin meluasnya penggunaan buruh outsourcing di luar ketentuan hukum yang berlaku, semakin merajalelanya keberadaan yayasan-yayasan outsourcing, dan lemahnya penegakkan hukum ketenagakerjaan oleh Disnaker, merupakan tiga faktor eksternal pokok yang mendukung bahkan memaksa serikat buruh menjalankan aksi Grebek pabrik. Di luar itu, laju industrialisasi di Bekasi, sebagai kota industri terpadat di Indonesia, dengan 16 kawasan industri yang menampung lebih dari 2500 perusahaan di dalamnya,[2] dan 4500 perusahaan jika digabungkan dengan yang berada di luar kawasan.[3] Sebagai kota industri, Bekasi menjadi sasaran para pencari kerja dari daerah lainnya, sehingga membuat tingkat kepadatan penduduk yang sudah sangat tinggi semakin terus bertambah. Pada 2008, di Bekasi jumlah penduduk pada usia kerja mencapai 72,02 persen. Sementara itu dari total angka pencari kerja hanya 6,49 persen yang berhasil mendapatkan pekerjaan.[4] Angka ini menunjukkan tingginya jumlah angkatan kerja yang tidak dapat tertampung.
Kesemua faktor ini, ditambah dengan perubahan-perubahan di internal serikat buruh, telah menjadi faktor yang membuat aksi-aksi mobilisasi serikat buruh terus terjadi setiap hari di Bekasi. Tentu saja faktor-faktor tersebut, selain masih perlu ditambahkan, juga membutuhkan analisis yang lebih lengkap untuk melihat hubungannya yang tidak sederhana dengan naiknya intensitas aksi-aksi buruh, khususnya grebek pabrik. Namun, saya tidak memiliki kapasitas untuk sampai kesitu. Tulisan ini selanjutnya, akan mendiskusikan bagaimana aksi Grebek pabrik telah dan dapat terus dimaknai.
Grebek pabrik Sebagai Penegakkan Hukum Jalanan
‘Pabrik ini, sejak bulan Agustus sudah tidak lagi menggunakan buruh outsourcing’
(bunyi spanduk di beberapa pabrik di kawasan-kawasan industri di Bekasi)
Ketika memasuki kawasan industri di Bekasi, seperti Jababeka, EJIP, Delta Silicon, atau MM2100, kita akan menemukan banyak pabrik yang memasang spanduk di pagar atau gerbang yang bertuliskan, ‘Pabrik ini, sejak September sudah tidak lagi menggunakan buruh outsourcing’ atau, ‘Pabrik ini, sejak Juli sudah tidak lagi menggunakan jasa yayasan penyalur tenaga kerja,’ dan ‘Pabrik ini, sejak Agustus sudah menjadi anggota serikat A dan tidak menerima penggunaan1 buruh outsourcing.’ Spanduk-spanduk tersebut seperti menandakan kekhawatiran yang meluas dari pihak perusahaan, jika pabriknya dijadikan target operasi Grebek pabrik.
Aktivis serikat buruh FKI-SPSI dan FSPMI Bekasi, memaknai aksi grebek pabrik sebagai, ‘Penegakkan Hukum Jalanan.’ Memang target dari aksi tersebut adalah jantung dari berlangsungnya pelanggaran hukum, yakni pabrik itu sendiri, bukan di lembaga pengadilan hubungan industrial. Dalam prosesnya, serikat buruh juga sama sekali tidak melibatkan institusi formal pengawas hukum perburuhan, yang dinilai sudah kehilangan kredibilitasnya. Dalam konteks ini aksi grebek pabrik merupakan respon atas lemahnya penegakkan hukum, khususnya aturan pelaksanaan outsourcing.
Dalam konteks penegakkan hukum, aksi grebek pabrik telah berhasil memotong jalur penanganan kasus perselisihan hubungan industrial dengan skema formal berikut mekanisme dan lembaga penopangnya. Skema formal penanganan perselisihan hubungan industrial berawal dari persoalan (kasus) di dalam pabrik, kemudian memasuki mekanisme bipartit yang mempertemukan pihak serikat, dengan pihak manajemen. Jika tidak ada kata sepakat, kasus akan berlanjut pada tahap mediasi (tripartit). Tahap ini melibatkan pihak Disnaker sebagai representasi negara dalam perundingan antara serikat dan manajemen. Pada proses ini, pihak Disnaker diharuskan berposisi sebagai pihak yang netral, dan memberikan masukan-masukan kepada kedua belah pihak. Walaupun secara formal pihak Disnaker tidak diperbolehkan memberikan saran atau masukan yang merugikan buruh –seperti menyarankan untuk menerima PHK, namun banyak ditemukan pihak Disnaker justru merugikan pihak buruh, dengan menyarankan untuk menerima PHK. Selanjutnya, jika pada tahap mediasi tidak ditemukan jalan keluar, perselisihan akan dimasukkan ke Pengadilan Hubungan Industril (PHI). Pada tahap inilah proses yang berkepanjangan dimulai. Proses penyelesaian satu perselisihan hubungan industrial, yang rata-rata memakan waktu dua tahun sampai keluarnya putusan PHI, dapat terus bertambah ketika salah satu pihak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berlaku saat ini, sepertinya memang sengaja didesain untuk menguntungkan pihak pengusaha yang memiliki nafas jauh lebih panjang, dengan segala persyaratan yang dimiliki untuk dapat mengikuti sampai kapanpun proses hukum penyelesaian perselisihan tersebut berujung, apalagi hanya dalam koridor hukum perdata. Sementara, serikat buruh dengan nafas yang lebih pendek, harus ngos-ngosan untuk mengikuti seluruh proses berkepanjangan tersebut.
Selain prosesnya yang berkepanjangan, jarak antara lokasi pabrik dengan lokasi PHI sering terlampau jauh, dimana setiap propinsi hanya memiliki satu PHI. Sebagai contoh, tiap perselisihan yang terjadi di Bekasi –yang menjadi bagian dari Propinsi Jawa Barat– harus didaftarkan dan diproses di PHI Bandung. Sementara jarak Bekasi-Bandung memakan waktu sekitar 2,5 jam sekali perjalanan. Di Pekalongan, dimana PHI propinsi Jawa Tengah berada di Semarang, membutuhkan tiga jam sekali perjalanan. Jarak tersebut bisa lebih jauh ketika mempertimbangkan situasi di luar pulau Jawa. Persoalan jarak antara lokasi kasus perselisihan hubungan industrial yang sering terjadi di kawasan industri, dengan lokasi PHI yang berada di ibukota propinsi, merupakan persoalan kendala akses terhadap lokasi pengadilan. Ketika menangani kasus, paling tidak dalam satu minggu serikat buruh harus bolak-balik PHI satu kali.
Selain persoalan waktu dan jarak, lembaga pengadilan hubungan industrial juga memiliki catatan praktik-praktik penyuapan.[5] Ketiga hal tersebut: waktu yang berkepanjangan, jarak yang jauh, dan lembaga PHI yang korup, merupakan sebagian persoalan yang telah membuat buruh secara struktural selalu dilemahkan ketika berada di dalam ruang-ruang penyelesaian perselisihan formal. Negara seperti sengaja menyediakan ruang bagi penyelesaian perselisihan hubungan industrial, tetapi sekaligus membuat posisi buruh selalu lemah. Dalam situasi itulah aksi grebek pabrik muncul dan menjadi jawaban telak, karena berhasil memangkas proses yang berkepanjangan dengan menghindari mekanisme formal yang tidak berpihak pada kepentingan buruh.
Dalam grebek pabrik, tahapannya dimulai sejak serikat mengajukan perundingan bipartit untuk menuntut diangkatnya buruh outsourcing menjadi buruh tetap. Ketika tuntutan ini tidak disepakati, maka langkah selanjutnya adalah aksi grebek pabrik melalui kombinasi mogok, pendudukan, boikot, sampai penyanderaan manajemen. Pada banyak kasus, aksi grebek pabrik bahkan mulai dilakukan sebelum perundingan dengan manajemen berjalan. Grebek pabrik telah memaksa pihak manajemen untuk menerima kesepakatan secara mendadak ketika berunding.
Skema formal:
Persoalan di tempat kerja –> bipartit –> tripartit/mediasi melibatkan pihak Disnaker –> Pengadilan Hubungan Industrial X atau diteruskan –> Kasasi ke Mahkamah Agung.
(untuk sampai pada putusan PHI, rata-rata satu kasus menghabiskan waktu sampai dua tahun)
Grebek pabrik:
Persoalan di tempat kerja –> bipartit –> Grebek pabrik.
(rata-rata kesepakatan didapat dalam dua-tiga hari)
Dalam grebek pabrik, Disnaker sebagai mediator, serta mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial samasekali tidak dilibatkan. Serikat sudah semakin kehilangan kepercayaan terhadap institusi Disnaker dan PHI. Sebaliknya serikat buruh mulai menemukan kembali kepercayaan dirinya, terhadap kekuatan aksi kolektif, melalui mobilisasi cepat dan terkoordinasi. Dalam konteks ini pergeseran dari skema formal ke grebek pabrik, dapat dilihat sebagai pergeseran dari ruang pengadilan ke aksi-aksi jalanan.
Grebek Pabrik Sebagai Respon Terhadap Pasar Kerja Fleksibel
Sebagai respon atas rezim pasar kerja fleksibel, aksi Grebek pabrik menurut saya merupakan sesuatu yang berada di luar dugaan sebagian besar pengamat perburuhan. Dalam catatan Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) sepanjang 2010-2012, respon serikat buruh terhadap semakin meluasnya pasar kerja fleksibel mengambil bentuk: (1) respon di tingkat pabrik, seperti pembatasan penggunaan buruh outsourcing; (2) melakukan pengangkatan status menjadi buruh tetap; (3) menyamakan antara hak-hak buruh tidak tetap dengan buruh tetap; dan (4) menjadikan buruh tidak tetap sebagai anggota serikat buruh. Menariknya, keempat bentuk respon itu dilakukan melalui mekanisme perundingan PKB (Perjanjian Kerja Bersama), sampai pembentukkan serikat buruh outsourcing.
Di tingkatan wilayah, aliansi-aliansi serikat buruh tingkat cabang di Bekasi, Semarang, Tangerang, Batam, dan Pekalongan, mendesak Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengeluarkan Surat Edaran, Moratorium atau Peraturan Daerah (Perda) yang tujuannya adalah melakukan pembatasan dan penertiban penggunaan buruh outsourcing sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain itu, serikat buruh di Bekasi, Semarang, Depok, Batam, dan Tangerang, masing-masing menuntut Pemda mengeluarkan peraturan yang dapat menertibkan dan membatasi keberadaan yayasan penyalur tenaga kerja, khususnya yayasan yang berdomisili di Jakarta. Di Sukabumi, Koalisi Buruh Sukabumi (KBS), melakukan sosialisasi tentang bahaya outsourcing di kelurahan-kelurahan. Di Pekalongan, Semarang dan Batam, serikat buruh melakukan advokasi penambahan anggaran bagi Disnaker, khususnya untuk kerja-kerja pengawasan. Hal ini dilakukan dengan asumsi, salah satu sumber tidak berjalannya kinerja pengawasan dari Disnaker karena terbatasnya anggaran pengawasan. Di Depok, muncul strategi dimana serikat buruh menuntut untuk dilibatkan dalam kerja-kerja pengawasan, dengan menjadikan posisinya sebagai petugas pengawas adhoc. Strategi ini berangkat dari asumsi lemahnya kinerja pengawasan Disnaker, akibat tidak cukupnya jumlah petugas pengawas dan kurangnya pemahaman mereka mengenai persoalan-persoalan ketenagakerjaan.
Di level nasional, selain melalui aksi-aksi besar menuntut penghapusan sistem outsourcing, seperti dalam setiap aksi May Day sejak 2006, dan gerakan aksi Hostum pada tahun 2012, muncul juga respon dalam bentuk judicial review terhadap beberapa pasal pada UU 13/2003, yang berhasil dilakukan oleh ISBI (Ikatan Serikat Buruh Indonesia), dan AP2ML (Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listik). Kesimpulan sementara saya, dari beragam aksi serikat buruh di level wilayah dan nasional yang terkonsentrasi pada ruang-ruang kebijakan, belum terlihat efektivitasnya dalam membendung gelombang penggunaan buruh outsourcing, salah satunya karena tidak terhubungnya ruang-ruang pembuatan kebijakan tersebut, dengan pelaksanaan kebijakan di lapangan. Termasuk hasil judicial review mengenai pelaksanaan outsourcing, dengan dikeluarkannya Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011 menjadi tidak efektif karena ketiadaan peraturan pelaksana sebagai turunannya.[6]
Karena itu, aksi grebek pabrik untuk sementara ini mampu menjadi jawaban dari tidak efektifnya berbagai respon tersebut dalam menghadapi semakin meluasnya penggunaan buruh outsourcing. Amir Mahfuz, pengurus FSPMI, seperti dikutip dalam tabloid Lembur (Lembaran Buruh), menyatakan bahwa sejak Mei hingga Agustus tahun ini, telah ada ratusan ribu buruh tidak tetap yang diangkat menjadi buruh tetap.[7] Yanche, pengurus FKI-SPSI Bekasi, mengatakan kepada saya, sudah ada lebih dari 60 pabrik yang mengalami operasi penggerebekan pabrik oleh FKI, dan buruh-buruh outsourcingnya diangkat menjadi buruh tetap. Memang belum ada angka pasti mengenani berapa jumlah buruh outsourcing yang diangkat statusnya menjadi buruh tetap, namun aksi grebek pabrik dinilai lebih efektif dibanding respon-respon serikat buruh yang disebutkan sebelumnya. Salah satu kunci yang membuat strategi grebek pabrik lebih efektif, karena kemampuannya untuk menjangkau secara langsung lokasi dimana pelanggaran penggunaan buruh outsourcing berlangsung: pabrik itu sendiri.
Namun, justru tepat di situ aksi grebekan pabrik telah membatasi jangkauannya untuk menuju penggunaan buruh outsourcing berbentuk pekerja rumahan (homebase workers). Kritik ini mungkin tidak jelas letak signifikansinya, tapi saya menyampaikannya dengan harapan agar aksi grebek pabrik sebagai respon terhadap keberadaan pasar kerja fleksibel, juga dapat menjangkau keberadaan pekerja rumahan yang menerima order dari pabrik-pabrik di sekitarnya. Dengan begini, aksi grebek pabrik mungkin dapat dikombinasikan dengan berbagai strategi pengorganisasian buruh berbasis komunitas.
Grebek Pabrik, Pelibatan Anggota dan Demokratisasi Pengetahuan
Grebek pabrik disadari atau tidak, telah menjadi kritik dan berhasil membongkar model penanganan kasus serikat buruh yang legalistik, yang terjebak pada logika dan prosedur hukum, dan seringkali apolitis dan doktriner.
Legalistik karena proses penanganan kasus hanya bersandar pada logika dan prosedur hukum, hanya merujuk pada pasal-pasal ketenagakerjaan, kemudian terjebak dalam mekanisme hukum, dan selanjutnya berkembang menjadi apolitis. Apolitis, karena penanganan kasus tidak berusaha mengaitkan persoalan penanganan kasus dan pelanggaran hak-hak buruh sebagai sebuah perwujudan dari relasi kekuasaan yang timpang, relasi kekuasaan yang jauh lebih rumit dari sekedar mekanisme bipartit, tripartit, atau Pengadilan Hubungan Industrial. Selanjutnya menjadi doktriner, karena praktik penanganan kasus berjalan satu arah, dari pengurus serikat yang dianggap paling memahami seluk-beluk advokasi, kepada buruh yang tertimpa kasus dan dinilai tidak mengetahui apapun.
Model penanganan kasus seperti ini, enggan melakukan pelibatan buruh yang tertimpa kasus, apalagi melibatkan sebanyak mungkin anggota. Keduanya hanya ditempatkan sebagai pasien dan penonton. Menilai pelibatan anggota sebagai sesuatu yang merepotkan dan tidak efektif. Padahal model penanganan kasus seperti ini telah sekian lama menghalangi serikat untuk dapat memanfaatkan proses-proses penanganan kasus –yang nyaris terjadi setiap hari–, sebagai bagian dari proses-proses penguatan serikat buruh, melalui pelibatan sebanyak mungkin anggota.
Grebek pabrik kembali memperlihatkan bagaimana penanganan kasus ini menjadi lebih efektif. Yang juga penting, grebek pabrik dapat terus dikembangkan sebagai sarana pendidikan, implementasi nyata nilai-nilai solidaritas, serta sarana untuk melakukan pengorganisasian. Melalui aksi grebek pabrik yang terus dikembangkan, siapapun yang terlibat bisa belajar lebih dekat bahwa tatanan politik yang berlaku saat ini terus menerus mereproduksi ketidakadilan. Belajar juga bahwa ketidakadilan haruslah dilawan bersama-sama, bukan hanya oleh mereka dinilai paling mengerti hukum-dan di lakukan di Pengadilan, tapi oleh siapapun-di segenap ruang politik sehari-hari, termasuk di jalanan.[8]
Karena itu, grebek pabrik dapat mendorong proses-proses penanganan kasus yang lebih demokratis, dimana setiap orang bisa terlibat dengan berbagai cara dalam setiap prosesnya. Dalam grebek pabrik, rumusan hukum, pasal-pasal terkait dan apapun yang disebut sebagai pendekatan litigasi, pada akhirnya menjadi sekunder. Sebaliknya, strategi di luar kerangka legal (non-litigasi) menjadi yang utama. Strategi aksi massa, solidaritas antarpabrik, pelaksanaan mogok panjang, penutupan dan pendudukan pabrik, penyanderaan manajemen, termasuk strategi-strategi yang ditempuh untuk menghasilkan tekanan politik terhadap pihak perusahaan, seperti menuntut dikeluarkannya nota dinas oleh Bupati, melakukan aksi ke Kedutaan Besar asal perusahaan, seperti dilakukan buruh PT. Toppan (Kedutaan Jepang), dan PT Hanyungnux (Kedutaan Korea), mendatangi Komnas HAM, meminta rapat dengar pendapat dengan DPR RI (seperti dilakukan serikat buruh PT. Panarub, GBSI), dan lain sebagainya. Selain telah membuat penanganan kasus keluar dari jebakan kerangka hukum, dengan melihat pada beberapa tingkatan secara lebih politis, juga telah memperluas ruang-ruang penanganan kasus dari sekedar ruang dan mekanisme formal. Melalui aksi grebek pabrik, serikat dapat mengajak setiap massa aksi yang terlibat untuk melihat setiap kasus perburuhan, termasuk penggunaan buruh outsourcing yang melanggar ketentuan hukum, terlahir dari sebuah sistem hubungan industrial yang politis. Karenanya sejak awal dan sampai kapanpun, kasus perburuhan merupakan persoalan politik. Dengan demikian selain mendorong demokratisasi dalam penanganan kasus, aksi grebek pabrik juga dapat dikembangkan sebagai strategi untuk mendorong proses-proses politisasi.
Grebek pabrik jika terus dikembangkan, maka dapat mendorong perubahan-perubahan mendasar di tubuh serikat buruh. Dengan menjadikan grebek pabrik sebagai ruang belajar, serikat telah melakukan proses-proses demokratisasi pengetahuan. Sehingga tidak lagi menyerahkan penanganan kasus kepada para ahli, yaitu pengurus serikat yang dinilai paling berpengalaman. Salah satu momen yang berkesan bagi saya, ketika menyaksikan langsung mogok di PT. Toppan, satu malam, di tenda yang hanya beratapkan terpal, beralaskan tikar, dan didirikan di depan pabrik di seberang jalan yang berdebu. Pada malam hari, peserta mogok yang berkumpul dari beberapa pabrik bersama-sama menyaksikan film-film perjuangan. Siang harinya, beberapa buruh perempuan pabrik PT. Toppan, disela-sela kekhawatirannya karena tidak kunjung ada titik terang dari aksi mogok yang sudah berjalan lebih satu bulan, mereka yang terancam kehilangan pekerjaannya, begitu ceria melakukan simulasi penanganan kasus di depan gerbang pabrik. Saya seperti melihat mereka sedang saling menguatkan, saling mempertahankan optimisme, sambil melakukan pendidikan! Merancang pendidikan dalam situasi mogok, dalam situasi darurat, bagi saya adalah suatu ikhtiar yang luar biasa untuk mendemokratisasikan pengetahuan. Pada aksi grebek pabrik PT. Hanyungnux, yang berlarut-larut dan saat itu telah memasuki malam kesepuluh, anggota serikat dari berbagai pabrik bergiliran datang. Di sela-sela dentum musik dari mobil komando, suasana grebekan yang menjelma seperti pasar malam, di satu pojokan dengan cahaya redup beberapa orang melingkar, mereka berdiskusi dengan sangat serius tentang bagaimana serikat buruh mereka ke depan. Dengan berbagi kekhawatiran dan pengetahuan yang mungkin terbatas, mereka seperti menuntut dirinya sendiri untuk ikut berpikir dan menemukan berbagai rencana-rencana perbaikan ke depan. Di pojok tenda, beberapa orang yang usianya saya taksir tak ada yang lebih dari 25 tahun, dengan tekun melakukan aksi-aksi grebekan, penuh kelelahan namun juga penuh semangat.
Salah satu perbedaan mendasar antara apa yang sering disebut dengan sinis sebagai ‘serikat buruh pengurus’ dan serikat buruh demokratis adalah jarak pengetahuan dan pemahaman tentang organisasi yang dapat mendorong tingkat partisipasi anggota. Pada ‘serikat buruh pengurus,’ jarak pengetahuan antara pengurus dan anggota sangatlah lebar. Pengurus menjadi subjek superior yang mahatahu, sementara anggota adalah objek inferior yang paling tidak tahu. Dari jarak pengetahuan yang terlampau lebar ini, maka serikat buruh pengurus juga telah menjadi serikat buruh pelayanan. Dimana anggota hanya ditempatkan sebagai pengguna jasa, hanya datang ke serikat ketika berkasus, itupun ditangani secara birokratis. Tidak heran jika partisipasi anggota dalam serikat buruh menjadi sangat lemah. Strategi grebek pabrik yang selama ini berjalan karena keberadaan mereka yang berdedikasi pada gerakan buruh, dapat menjadi salah satu jawaban terhadap salah satu persoalan paling fundamental dalam serikat buruh, yaitu terkonsentrasinya pengetahuan di tangan para pengurus. Dengan cara mengembangkan grebek pabrik sebagai ruang untuk secara terus-menerus berbagi pengetahuan.
Bertemunya berbagai pengalaman, pengetahuan, kemarahan, militansi, dan solidaritas dapat membuat grebek pabrik terus berkembang dan melahirkan kekuatan-kekuatan baru bagi serikat buruh yang lebih besar lagi. Ini hanya mungkin jika pengurus serikat buruh tidak lagi menempatkan diri sebagai subjek superior yang paling tahu dan paling berpengalaman dihadapan anggotanya, dan mulai menjadikan aksi grebek pabrik sebagai ruang untuk berbagi pengetahuan dan bersolidaritas. Dengan demikian, demokratisasi pengetahuan sebagai pondasi proses politisasi serikat buruh dapat terus tumbuh. Sementara itu grebek pabrik dapat terus berkembang menjadi ruang-ruang transformasi kesadaran bagi kelas buruh.
Tiga Pertanyaan Lanjutan
Bagian ini merupakan penutup sekaligus tempat saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pembaca. Grebek pabrik semakin menunjukkan bahwa kekuatan pokok politik serikat buruh terletak pada kemampuannya dalam menghadirkan politik akar rumput: melalui beragam kombinasi strategi pengorganisasian dan mobilisasi massa. Grebek pabrik terbukti telah membantu menaikkan posisi tawar serikat buruh dalam kontestasi politik nasional. Ketika aksi-aksi boikot jalan tol dan penolakan rencana kenaikan harga BBM, isu-isu perburuhan, khususnya upah dan outsourcing, rasanya hanya bisa dikalahkan oleh isu korupsi, beberapa pimpinan serikat buruhpun masuk media massa nasional dalam siaran langsung. Berkat rencana aksi mogok nasional 3 Oktober, beberapa pimpinan serikat yang tergabung dalam MPBI diundang berdialog dengan menteri ketenagakerjaan, dan menteri koordinator perekonomian. Aksi tersebut juga disiarkan langsung oleh tv-tv swasta nasional. Namun, pertanyaannya seberapa efektifkah hubungan antara kekuatan politik akar rumput serikat buruh dengan kemampuannya untuk mempengaruhi kontestasi politik elite (dalam tulisan ini dimaknai sebagai intervensi kebijakan)? Apakah yang kita lihat di jalanan saat ini, masih sebuah awalan dan karena dapat terus berkembang, seiring berkembangnya kapasitas politik pimpinan serikat dan terus menguatnya politik akar rumput serikat buruh?
Walaupun kekuatan serikat buruh di jalanan untuk mampu terhubung dan membawa perubahan-perubahan struktural dalam rezim hubungan industrial saat ini masih sebuah pertanyaan, kapasitas mobilisasi serikat buruh sebagai subjek politik subversif di jalanan, telah menunjukkan kemajuan yang penting bagi perkembangan gerakan buruh.
Berangkat dari kondisi-kondisi meningkatnya skala dan intensitas mobilisasi serikat buruh, kemunculan strategi grebekan, dan menguatnya politik serikat buruh di level akar rumput, penulis ingin mengajukan tiga pertanyaan untuk menjadi agenda bagi penelitian-penelitian mengenai gerakan buruh selanjutnya. Penelitian yang ditujukan untuk memotret dinamika perlawanan serikat buruh di akar rumput. Pada bagaimana pertarungan di arus bawah terjadi, pada kerja-kerja politik serta pengorganisasian serikat buruh di lapangan, serta situasi-situasi sosial dibaliknya. Tiga pertanyaan tersebut adalah:
- Bagaimana strategi yang dapat menghubungkan antara kemampuan serikat buruh dalam melakukan mobilisasi, aksi kolektif dan mengembangkan politik akar rumput –politik dan penegakkan hukum jalanan– dengan struktur politik elite yang dimaknai sebagai intervensi kebijakan di arena negara untuk membawa perubahan-perubahan yang lebih struktural, sekaligus dapat mempengaruhi posisi politik serikat buruh dalam relasinya ketika berhadapan dengan negara dan pasar?
- Grebek pabrik yang dimaknai sebagai aksi penegakkan hukum jalanan, muncul dari situasi lemahnya penegakkan hukum perburuhan, terutama pelaksanaan peraturan outsourcing. Dalam kerangka tersebut, pada awal dan perkembangannya sampai saat ini, grebek pabrik terlihat masih memposisikan relasi perburuhan dan pasar kerja fleksibel sebatas diskursus hukum. Sehingga menghindarkan serikat buruh untuk melihat lebih jauh bagaimana di balik diskursus dan konstruksi hukum, serta bekerjanya pasar kerja fleksibel, terdapat logika kapitalisme. Ketidakjelasan dalam melihat relasi-relasi di dalam kapitalisme sebagai sebab dan penegakkan hukum yang lemah sebagai akibat, membuat serikat buruh secara relatif belum dapat melihat persoalan lemahnya penegakkan hukum sebagai sesuatu yang melekat dan menjadi bagian dari strategi akumulasi kapital. Dalam konteks tersebut, selain diperlukan penelitian lebih lanjut yang dapat melihat dengan lebih detail aksi-aksi grebek pabrik, penulis mengajukan pertanyaan bagaimana membuat kerja-kerja pengorganisasian serikat buruh di akar rumput mampu secara mendasar melampaui logika dan diskursus hukum, untuk kemudian melihat kontradiksi kapitalisme sebagai sumber dari mapannya rezim hubungan industrial yang eksploitatif?
- Pada tahap selanjutnya apa yang harus dibangun oleh serikat buruh setelah aksi-aksi jalanan ini, apa yang perlu dikembangkan sehingga dari tahap mobilisasi dan aksi kolektif, serikat buruh dapat beranjak pada persoalan-persoalan pembangunan garis politik dan konstruksi ideologisnya? Pertanyaan ini juga terkait dengan struktur perlawanan seperti apa yang perlu dikembangkan oleh serikat buruh untuk menjawab secara sekaligus antara persoalan sehari-hari dan persoalan yang lebih struktural.
Abu Mufakhir, peneliti Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di http://majalahsedane.net/. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
[1] Penulis sengaja tidak menyebutkan identitas narasumber untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan
[3] Angka perkiraan ini didapat melalui wawancara dengan beberapa pengurus FKI
[5] Kasus Imas, hakim PHI Bandung yang terbukti menerima suap dari pihak pengusaha dan dikenakan vonis enam tahun penjara, merupakan salah satu contoh praktik penyuapan yang terungkap dan diproses pengadilan
[6] Lebih jauh mengenai Putusan MK tersebut, dan kritik atasnya, bisa dibaca di: Asep Mufti (2012), Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011, Status Quo atau Harapan Baik bagi Buruh? http://majalahsedane.net/
[7] Lembur, edisi 30, Juni-Agustus, 2012
[8] Penulis pernah menuliskan secara umum persoalan penanganan kasus dan pelibatan anggota dalam artikel, 36 Jam Bersama Spn Pekalongan. Aksi Massa dan Politisasi, Abu Mufakhir (2012), http://majalahsedane.net/