SOSOK ‘haji’ menjadi tokoh penting dalam banyak cerita pendek (cerpen) Indonesia tahun 1950an dan 60an. Tadinya, saya mengira, cerpen-cerpen ini datang dari kalangan pengarang kiri atau abangan, sebagai bagian dari pertentangan antar aliran yang merambah ke dunia sastra saat itu. Tapi anggapan ini tidak terlalu tepat. Dalam Laporan dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakyat 1950-1965, Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan ed. (2008), yang menghimpun 99 cerpen dari 61 pengarang, saya ‘hanya’ menemukan lima cerpen yang mengangkat sosok haji di dalamnya. Cerpen-cerpen itu adalah Pak Ibrahim dan Transfusi Dara‘ (Bambang Sukowati), Kenangan dan Corat-Coret (Hadi), Air Pasang (Lilik M.), Tetap Bertahan (Sesongko), dan Seperti Mimpi Saja (Z. Arifien). Cerpen-cerpen ini melukiskan dan menyorot sosok seorang haji dengan sangat kritis.
Tentu saja, catatan ini tidak termasuk cerpen-cerpen di luar yang dimuat Harian Rakyat semisal cerpen Pramoedya Ananta Toer (Dendam). Tapi di luar itu, ada banyak penulis lain, bahkan yang berafiliasi di dalam organisasi Islam, yang juga mengangkat sosok haji dalam karyanya, dengan penggambaran yang jauh lebih kritis lagi. Di antaranya Umi Kalsum karya Djamil Suherman, seorang pengarang santri yang tergabung dalam HSBI (Himpunan Seniman Budayawan Islam) dan yang paling terkenal tentu Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis.
Ketiga cerpen ini mengemukakan perilaku jelek seorang haji. Pada karya Pram, haji ‘menjadi pengkhianat.’ Pada karya Djamil, haji ditampilkan sebagai seorang yang ‘materialis, pelit dan kejam,’ dan pada karya Navis haji sangat ‘egoistis.’ Dapat dikatakan sifat a-sosial menjadi ciri umum seorang haji dalam ketiga cerpen itu.
Menyertai kritik itu, ketiga cerpen ini meyakini bahwa haji ‘jelek’ yang mereka tampilkan itu bukan haji yang sesungguhnya. Dalam Umi Kalsum hal ini tersurat dari julukan ‘hadji singapur’ kepada Haji Basuni. ‘Haji singapur’ bisa dimaknai hajinya benar-benar tidak sampai ke Mekah, jadi memang bukan haji yang sesungguhnya. Selain itu, pengarang juga menampilkan sosok haji yang baik, Haji Tayib –yang berbeda dengan Haji Basuni— gemar berzakat.
Sementara dalam Dendam tersirat dalam kalimat seorang dari massa yang mengeroyok haji pengkhianat itu, ‘haji apa tu! Sorbannya aja yang tebal.’ Kalimat itu bisa dibaca secara inversif, ‘kalau haji yang benar tak mungkin melakukan hal itu.’ Lagi pula, jika memang sejak semula ia memakai pakaian haji, tentu saja haji itu akan mudah tertangkap. Tetapi dari kalimat itu tampaknya pakaian haji itu hanya dijadikannya sebagai alat penyamaran. Kalimat ‘Gua nggak bisa lupa sama tampang lu,’ menunjukkan bahwa yang dikenali bukan pakaiannya, tetapi wajahnya. Pikirnya, dengan pakaian haji itu, orang tak mencurigainya.
Dalam A. A. Navis, keyakinan ini secara implisit terungkap dari kegagalan Haji Saleh menyeimbangkan orientasi kehidupan dunia dan akhiratnya, sehingga membuat haji Saleh masuk neraka. Haji yang benar, dalam interpretasi terhadap cerpen ini, setidaknya mempunyai kepedulian sosial pada sesama, yang menyebabkan mereka tak mungkin masuk neraka. (Lih. Hairus Salim HS, “Kesalehan dan Kelas: Sosok “Haji” dalam Sastra Indonesia”, Jurnal Budaya Desantara, No. I. 2002).
Dua Cerpen Mochtar Lubis
Pengarang terkemuka lainnya, Muchtar Lubis (ML), juga pernah mengangkat sosok haji dalam dua cerpennya: Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri dan Lotre Haji Zakaria. Berbeda dengan cerpen-cerpen dengan tema sejenis, kedua cerpen ini secara eksplisit menyebutkan gelar haji dan nama dalam titelnya. Nama haji ini kemudian digandengkan dengan ‘menggantung diri’ atau ‘lotre’, petanda yang membuatnya tampak paradoks dan menjadikannya sebagai judul yang provokatif.
Cerpen pertama bercerita tentang Haji Jala yang sangat patuh pada pemerintah. Pada zaman revolusi, sang haji mendukung seruan kaum komunis untuk merebut tanah onderneming, tetapi ketika kaum komunis berkuasa, ia diminta untuk mengembalikan tanah itu kepada pemerintah. Ia menjadi bingung, karena dulu disuruh merebut, sekarang diminta mengembalikan. Ia sebenarnya tetap ingin mendukung rakyat mempertahankan tanah, tapi di sisi lain, ia takut kalau dianggap melawan pemerintah. Ketika didesak rakyat, mengapa dulu ia menyuruh menduduki, sekarang ketika diambil lagi ia tidak membela dan berdiam saja, ia tak berkutik. Ia jadi malu keluar rumah, mengurung diri di kamar, dan akhirnya bunuh diri.
Melalui tokoh ‘aku,’ seorang guru sekolah rakyat dan juga teman Haji Jala sendiri, yang harus menceritakan kepada anak Haji Jala yang tinggal di Jakarta mengapa ayahnya bunuh diri, ML menggambarkan betapa berpengaruhnya seorang haji di dalam masyarakat (Sumatera Timur) pada masa itu. Karena itu, ketika seorang haji berhasil direkrut kalangan politik, maka dampaknya sangat besar sekali dalam memengaruhi masyarakat.
Haji Jala akhirnya membunuh diri, tapi itu bukan berarti gambaran yang seluruhnya buruk terhadap haji ini. Pada dasarnya, seperti dilukiskan, ia adalah ‘seorang pencinta rakyat…rajin memberi sedekah, membayar fitrah, dan…selalu ikut membantu (orang sekampung).’ Yang kurang adalah haji itu terlalu lugu, naif, dan buta politik.
Haji Jala adalah representasi dari kebanyakan rakyat yang lugu dan tak mengerti politik. Orang-orang seperti ini akan selalu menjadi korban politik. Akan lebih berbahaya lagi jika orang yang lugu dan a-politis itu seorang yang secara sosial-budaya berpengaruh dan dihormati, seperti Haji Jala. Inilah menurut saya alasan mengapa ML memilih sosok haji dalam cerpen ini. Cerpen ini pertama-tama, dengan demikian, bukan kritik terhadap sosok haji, tetapi pada kalangan partai politik yang gemar menjual dan mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Cerpen kedua Lotre Haji Zakaria dengan teknik penceritaan yang mirip, berkisah tentang seorang haji kaya yang gemar membeli lotre, namun tebakannya tidak pernah kena. Kertas lotrenya yang tak kena itu tidak ia buang dan selalu ia kumpulkan, sehingga jika dijumlah nilainya amat besar sekali. Ketika terjadi perubahan ekonomi, Haji Zakaria jatuh bangkrut. Ia lalu jadi sering mengurung diri di kamar dan menghitung-hitung kertas lotrenya. Ia kemudian tewas membunuh diri dengan serakan kertas lotre mengelilingi mayatnya.
Seperti Haji Jala, Haji Zakaria pun digambarkan sebagai seorang yang pada dasarnya ‘amat baik hati sekali dan pemurah.’ Masalahnya adalah ia tak pernah bisa menghentikan kegemarannya membeli lotre dan kebiasaannya menyimpan kertas-kertasnya, yang ketika jatuh bangkrut, ribuan kertas itu menjadi teror yang membuatnya hampir gila dan akhirnya bunuh diri.
Cerpen kedua ini lebih datar dan tak memiliki bobot politik yang tinggi. Lewat cerpen ini, ML tampaknya ingin mengkritik kebiasaan masyarakat membeli lotre, yang sedemikian buruk dampaknya, bahkan seorang haji yang baik pun, bisa rusak jiwanya. Pada akhirnya, bisa dikatakan bahwa haji dalam kedua cerpen ini, ditampilkan sebagai sosok manusiawi belaka. Bukan manusia suci, yang tak bisa salah atau pun keliru.
Dokumentasi Sosial
Rupanya telah menjadi semangat zaman kala itu di mana masalah-masalah sosial menjadi perhatian luas seniman, termasuk dalam hal ini sosok haji: seorang yang dianggap saleh, kaya dan berpengaruh. Perhatian ini tidak terbatas di kalangan seniman kiri saja tapi para sastrawan di luarnya. Tentu saja pewacanaan masing-masing pengarang berbeda satu sama lain, meski secara umum gambaran yang diberikan sama-sama kritis. Dalam hal ini, cerpen-cerpen lama seperti ini bisa menjadi bahan dokumentasi sosial yang penting.
Sudah barang tentu kehadiran sastra sebagai sarana pewacanaan yang diskursif mensyaratkan adanya kebebasan di dalamnya. Baik secara secara fisik maupun mental, orang bebas untuk menulis apapun dan dalam bentuk apapun. Itulah sebagian pemandangan dunia cerpen tahun 1950an dan 60an, seperti tergambar dalam sederetan cerpen mengenai sosok haji ini.***
Hairus Salim HS, mantan redaktur majalah Gong dan peneliti di Yayasan LKiS, Yogyakarta