PADA Juli 2012, Jurnal Perburuhan Sedane, melakukan wawancara panjang dengan salah satu pejuang buruh di Bekasi, Danial Indrakusuma. Wawancara ini memotret pengalaman kemenangan gerakan buruh di Bekasi, sehingga diharapkan dapat memberikan hikmah bagi gerakan buruh di daerah lain. Dalam wawancara ini juga terungkap mengenai sejumlah kendala dan tantangan apa saja yang sedang dihadapi dan perlu diselesaikan oleh pimpinan serikat buruh dalam menjaga atmosfir perjuangan. Berikut petikannya:
Jurnal Perburuhan Sedane (JPS): Bagaimana Anda melihat perkembangan gerakan buruh sekarang?
Danial Indrakusuma (DI): Kalau mau membicarakan gerakah buruh sekarang, harus ditarik dulu ke belakang. Kalau tidak, tidak kelihatan sebab-akibatnya. Kelas buruh saat ini dan masa lalu memiliki saling keterkaitan sebab-akibat erat dengan sejarah pembentukan kelas buruh sejak Hindia Belanda, masa penjajahan Jepang, masa revolusi nasional, masa kemerdekaan, dan masa Orde Baru.
Pada masa Orde Baru kelas buruh beserta organisasinya ditata secara integralistik atau korporatisme ala fasis, seperti pada masa penjajahan Jepang. Semua harus terintegrasi ke dalam satu organisasi (yang ditentukan oleh pemerintah). Serikat buruh hanya satu, SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Saat itu, ada kawan-kawan yang mencoba membuat organisasi independen. SKEPHI (Sekretariat Kerjasama untuk Pelestarian Hutan Indonesia) dan INFIGHTS (Indonesia Front for the Defence of Human Rights) adalah yang pertama mendorong pendirian Serikat Buruh Merdeka Setiakawan (SBMK)–Ketuanya Saut Aritonang; kemudian muncul Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Ketuanya Mochtar Pakpahan; dan terakhir, berdiri PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia), Ketuanya Dita Indah Sari. Terlepas dari karakternya sekarang, mereka adalah para pelopor yang berani melawan arus dan integralisme yang menghambat kebebasan tersebut.
Di Era Reformasi, ada keuntungan buat buruh. Walaupun dari banyak segi belum banyak yang berubah. Tapi dalam hal demokrasi, kita sedikit bisa lebih bebas berbicara dan mendirikan serikat buruh. Terutama setelah Habibie meratifikasi konvensi ILO tentang kebebasan berserikat. Itulah juga yang memberikan kesempatan terpecahnya SPSI dan menghasilkan SPSI-Reformasi. Kemudian SPSI-Reformasi pecah lagi, menjadi FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia), SPN (Serikat Pekerja Nasional), dan yang lain. Nah, pecahan-pecahan tersebut berhasil membawa sebagian anggota SPSI lama, misalnya FSPMI berhasil membawa sekitar 10 persen dari total basis keanggotaan SPSI.
Hanya saja masih ada problem. Pertama, pembodohan dan kepasifan buruh itu telah berlangsung puluhan tahun. Buruh-buruh masih tidak peduli, mereka masih berada di bawah cengkeraman SPSI lama, di mana sebagian besar buruh masih terorganisasi. Dan itu, sebetulnya, karena mereka tidak pernah diikutsertakan dalam perjuangan, juga penyadarannya (pendidikan) yang kurang baik—malah di sebagian besar PUK tak pernah diselenggarakan pendidikan. Itu terjadi selama puluhan tahun. Itulah realitas yang harus dihadapi oleh gerakan buruh. Sekarang, terutama setelah aksi penutupan kawasan industri pada 27 Januari, 2012, banyak PUK SPSI yang beralih menjadi PUK-FSPMI atau PUK-SPSI-FKI (Forum Komunikasi dan Informasi)—salah satu forum di dalam struktur SPSI yang lebih kritis pada kepemimpinan strukturalnya.
Formasi lainnya adalah tumbuhnya serikat-serikat buruh independen yang didirikan di luar SPSI, seperti Konfederasi KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia), GSBI (Gabungan Serikat Buruh Independen), PPBI (Persatuan Perjuangan Buruh Indonesia), FPBJ (Federasi Serikat Buruh JABODETABEK), GESBURI (Gerakan Serikat Buruh Indonesia), dan lain sebagainya. Namun, semua serikat tersebut hanya mengusai sedikit sekali buruh. Sebagaian besar buruh di Indonesia masih belum terorganisasi—dan buruh yang tak teroganisasi sulit sekali diorganisasikan ke dalam serikat-serikat buruh kecil (independen) karena menyangkut popularitas dan infrastruktur lainnya.
JPS: Pergeseran apa yang terjadi pada masa Reformasi?
DI: Reformasi tidak serta merta mentransformasikan budaya, ideologi, dan tindakan politik organisasi serikat-serikat pecahan SPSI, apalagi SPSI lama. Konsekuensi logis transformasi ideologinya adalah menjadi serikat buruh sosial-demokrat, mengingat basis material (misalnya, tersedianya buku-buku dan unsur-unsur alternatif di dalamnya) serta landasan spiritual (misalnya, pertukaran pikiran) dengan ideologi alternatif lainnya belum memenuhi syarat. Bahkan transformasi ke arah serikat buruh sosial-demokratnya pun tidak sebagaimana serikat buruh sosial-demokrat di Eropa atau di Amerika Latin, yang bisa berpolitik dengan lebih militan dan bisa mengambil kekuasaan. Kesadarannya juga belum mengalami transformasi ke arah sosial-demokrat yang lebih sempurna.
Seperti aku jelaskan, menjadi serikat buruh sosial-demokrat adalah pilihan yang paling logis bagi mereka, dan itu sudah menjadi realitas. Saat ini, tak mungkin membohongi realitas (memaksakan kesimpulan) bahwa mereka bisa bertransformasi seperti serikat buruh di Filipina atau Amerika Latin, misalnya—yang bisa bertransfromasi menjadi serikat buruh Kiri. Walaupun sekarang sudah bebas, jarang sekali bacaan-bacaan Kiri yang dibaca serikat-serikat buruh tersebut, bahkan mereka terbiasa tidak membaca.
Budaya membaca di kalangan buruh sangat rendah. Hal tersebut dikarenakan buruh tidak memiliki waktu untuk membaca (karena disiplin pabrik seperti lembur dan shift kerja) atau sudah merasa mapan dengan transformasi ala kadarnya menuju serikat buruh sosial-demokrat. Apalagi jika bahasa bacaannya terlalu canggih (scholars) dan rumit. Di Eropa dan Amerika Latin, yang namanya serikat buruh sosial-demokat bisa mengerahkan ratusan ribu massa buruh. Buruh bisa berhenti kerja tidak hanya sehari atau hanya pada hari libur, tapi bisa berhenti kerja selama mingguan, bahkan bulanan. Atau, misalnya, hanya serikat buruh di Purwakarta yang mampu menarik massa dengan menggunakan alat media selebaran. Saat Purwakarta menutup kawasan industri, pengaruh selembaran paling kuat dalam menarik massanya. Di tempat-tempat lain, selebaran belum belum menjadi kebudayaan alat politik. Selain itu, pimpinan-pimpinan massanya juga belum membudayakan bacaan.
Kondisi gerakan buruh sekarang akan menggembirakan kalau saja bisa menyatukan orientasi-orientasi yang berbeda, sehingga bisa menjadi partai seperti di Brazil, misalnya. Insureksi atau pemberontakan buruh bersama rakyat, itu masih berat! Kesadarannya harus kuat. Harus dikombinasikan dengan kemungkinan kedua, terlibat dalam pemilu. Kombinasi (dalam mengambil kesempatan) peluang parlementer dan ekstra-parlementer. Sekarang ini, serikat buruh atau anggota serikat buruh berkehendak terlibat dalam pemilu, mereka masih menumpang pada partai-partai yang ada (dengan segala konsekuensinya). Terlibat pemilu melalui organ independen masih sangat sulit. Apalagi UU pemilu sekarang telah mengalami kemunduran (demokratik) ketimbang Undang-Undang Pemilu 1999. Biasanya calon yang telah memiliki popularitas (strategi atas), seperti artis dan tokoh, lebih mudah terlibat dan memenangkan Pemilu, apakah dia menumpang pada partai yang ada ataupun melalui organ independen. Bahkan partai yang ada melamar mereka demi meningkatkan citra dan popularitas partai mereka.
JPS: Kemajuan-kemajuan apa yang telah diraih, setelah duabelas tahun Reformasi?
DI: Saat ini, muncul konsep, kesadaran dan tindakan ‘tutup kawasan,’ ‘solidaritas antar-pabrik’ serta ‘menuntut persoalan-persoalan di luar pabrik (atau, dalam bahasa FSPMI, “dari pabrik ke publik”)—seperi menolak revisi undang-undang, menuntut jaminan sosial, menolak kenaikan harga BBM dan lain sebagainya—“rapat akbar”, “1 Mei bukan sekadar perayaan tapi menuntut’ dan lain sebagainya, itu kemajuan yang sangat berarti. Bahkan SPSI bisa mengerahkan sampai hampir seratus ribu saat menolak revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003; FSPMI, KSPI (dan gabungannya dengan konfederasi serta federasi lainnya) mampu mengerahkan sekitar seratus ribuan saat aksi Mayday dan rapat akbar di Gelora Bung Karno. Sebelumnya, kesadarannya masih urusan-urusan perburuhan. Nah, belakangan, terlepas benar-tidaknya konsep Jaminan Sosial yang mereka usung, adanya mobilisasi besar dalam menuntut jaminan sosial, sangatlah besar pengaruhnya terhadap kesadaran politik buruh. Mereka mulai berpikir politik dalam pengertian berani berbicara-melawan dan menuntut negara. Soal upah juga sebenarnya melawan negara—melawan ketetapan upah lewat birokrasi negara—tapi tuntutan jaminan sosial yang mereka angkat menyangkut kepentingan yang lebih luas, rakyat.
Gerakan serikat buruh mulai mempraktikkan konsep tutup kawasan industri. Baru-baru ini, sudah empat kali melakukan tutup kawasan industri. Contohnya adalah pemogokan pada akhir 27 Januari, 2012, sebelumnya tanggal 19 Desember, dan sebelumnya ada lagi. Macetnya sampai Tomang dan Purwakarta, semua buruh di 7 kawasan industri bergerak. Dan karena belum semua, bahkan sebagian besar, buruh belum kuat kesadaran mogoknya, maka serikat buruh juga melakukan sweeping untuk menarik buruh-buruh tersebut.
Kemudian mereka mulai mengenal konsep persatuan yang lebih luas, bahkan dengan SPSI lama, yang masih bisa disatukan –Walaupun kadang-kadang komitmen mereka di lapangan tidak sepenuhnya. Misalnya dalam KAJS (Komite Aksi Jaminan Sosial), sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh FSPMI untuk menurunkan massa. FSPMI total dalam komitmen persatuannya. Namun, keadaan tersebut justru memberikan keuntungan lain: anggota atau massa SPSI mampu melihat karakter pimpinan mereka; massa bisa melihat kadar kesetiaan pimpinan SPSI terhadap perjuangan. Sehingga banyak yang pindah ke FSPMI atau ada internal kritik di dalam SPSI. Mulai ada kritisisme dari dalam, seperti seperti yang dilakukan oleh FKI (Forum Komunikasi dan Informasi) SPSI. Bahkan di PT Matel, seluruh anggota PSP SPN, sekitar 600 anggota, pindah ke FSPMI.
Kemajuan lainnya adalah kepercayaan buruh terhadap aksi meningkat. Kepercayaan terhadap militansi dan propaganda meningkat. Kebencian mereka terhadap negara dan para pimpinannya meningkat. Selain itu, kepercayaan diri anggota serikat buruh untuk beragitasi dan berpropaganda meningkat, banyak orator-orator baru bermunculan.
Kemajuan yang paling hebat adalah: terjadi kombinasi antara strategi bawah (pengerahan massa bertambah besar dan luas) dengan strategi atas (dapat berbicara kepada massa dengan lebih luas) yang semakin membaik. Mereka terus menerus mendapatkan pengalaman aksi dengan massa yang lebih besar dan luas serta berbicara di kalangan masyarakat luas. Pimpinan mereka dikenal masyarakat luas. Sehingga massa luas lebih percaya, mendukung, dan sayang pada organisasi, program, strategi-taktik, dan pimpinan-pimpinannya. Strategi tersebut, apalagi pada gerakan buruh yang masih kecil, sangat lemah. Apalagi, hampir semua serikat buruh tak memiliki alat atau media seperti radio, koran, (channel) TV sendiri, dan media-media lainnya. Baru-baru ini, terutama setelah penutupan kawasan industri dan aksi Mayday, pimpinan serikat buruh seperti Said Iqbal dan Obon Tabroni mulai dikenal massa lebih luas karena bisa diwawancarai beberapa media TV—media yang paling banyak disimak rakyat. Itu bukan sekadar hasil perorangan, tapi juga hasil pergerakan. Dan strategi atas tersebut harus terus didorong agar menjadi mapan, hingga popularitas tokoh, organisasi dan programnya dikenal dan mendapatkan dukungan politik yang signifikan, yakni bisa mempengaruhi keberhasilan strategi bawah dengan lebih ampuh—cepat dan luas—dan memenangkan tahap lanjutan pergerakan—misalnya, memenangkan Pemilu, menguasai negara, dan mewujudkan program-programnya. Keuntungan lainnya adalah menyadarkan sekutu untuk memahami realitas tahapan pergerakan yang harus diambil keuntungannya, diintervensi.
JPS: Bagaimana dengan kemajuan gerakan di sektor lainnya?
DI: Banyak orang yang bangga bahwa petani sekarang sudah semakin berani. Petani-petani perempuan di Batang, kalau demo bawa golok, bawa tombak, dan segala macam alat, dalam menghadang preman, polisi dan aparat lainnya. Sudah ratusan hektar direbut kembali oleh mereka. Tapi orang-orang yang membanggakan itu tidak melihat, kenapa petani-petani itu bisa menjadi seperti itu. Itu juga adalah berkah dari reformasi Tahun 1998. Sebelum itu, mereka tak punya kesempatan seperti itu. Sekarang mereka memiliki ruang untuk berbicara, bertindak dan melawan. Banyak sekali orang yang berani menghina dan menghujat bahwa reformasi 1998 tak ada manfaatnya, bahwa aktivis-aktivisnya hanya membuang nyawa percuma, hanya dikarenakan belum tercapainya tujuan-tujuan reformasi di bidang lain seperti dalam bidang ekonomi, politik, hukum dan lain sebagainya. Sebetulnya kita harus tunduk, hormat, dan berterimakasih kepada aktivis-aktivis sebelum 1998, yang telah membuka ruang kesempatan untuk melawan dan bergerak lebih lanjut.
Sekarang, sebenarnya, kondisi untuk mahasiswa turun ke tani, kaum miskin kota, buruh (dan buruh perkebunan serta buruh pertambangan yang lebih jauh), jauh lebih mudah. Apalagi, dalam isu-isu tertentu yang menyangkut kepentingan rakyat (seperti BBM dan lain sebagainya), mahasiswa mulai menunjukkan komitmennya dengan lebih luas. Namun, sepertinya ada tradisi yang menipis di kalangan intelektual muda, terutama mahasiswa, yakni komitmennya pada perbincangan teoretik yang diarahkan untuk keampuhan gerakan; tak seperti awal-awal 1980-an, saat mahasiswa dan intelektual muda (dengan hampir-hampir fanatik) bahkan mampu berkelana antarkota untuk membicarakan teori-teori tentang masyarakat dan pergerakan. Sehingga, pada saat itu juga terjadi kristalisasi antara yang siap berjuang dan yang sekadar berkubang di ruang-ruang dingin diskusi.
Perlu diingat, dalam sejarah gerakan mahasiswa, baik di Indonesia maupun dunia, tidak ada gerakan mahasiswa yang tidak politis yang dapat melakukan mobilisasi besar; gerakan mahasiswa dengan mobilisasi massa besar adalah gerakan mahasiswa yang politis. Sekarang ini, semua sektor masyarakat sedang mengalami penderitaan, dan mulai banyak yang melawan, namun tak ada kepemimpinan gerakan yang menyatukan dan mengarahkannya sehingga menjadi lebih besar dan ampuh untuk menghadapi kekuasaan sekarang ini.
JPS: Kendala apa yang dihadapi oleh serikat buruh untuk meningkatkan kesadaran massa?
DI: Kesadaran (politik) massa buruh didapat dari penderitaan; dari penyadaran (pendidikan, bacaan dan tontonan); dari pengetahuan-pengetahuan politik di lingkungannya; dari atmosfir perjuangan (baik perjuangan buruh maupun perjuangan gerakan-gerakan lain di luar buruh, baik dari perjuangan dalam negeri atau luar negeri—misalnya FSPMI belajar dari pergerakan buruh Eropa dan Korea; dan, yang terpenting, dari keterlibatan mereka sendiri dalam gerakan.
Namun serikat buruh menghadapi disiplin pabrik. Upah buruh terlalu kecil sehingga harus lembur dan menerima shift. Itu menyebabkan mereka sulit untuk belajar dan ke luar pabrik. Tapi kini mereka mengatasi disiplin pabrik tersebut, misalnya, bisa memanfaatkan waktu shift—bila aksinya pagi, maka kawan-kawan buruh yang shift 2 atau 3 bisa terlibat dalam aksi—atau, mengambil dispensasi, meninggalkan lembur; memanfaatkan waktu off kerja; mengambil cuti; atau, bahkan, bagi yang lebih militan, berani mengambil risiko alpa (sampai batas yang bisa ditolerir). Demikian pula saat mereka harus hadir dalam pendidikan. Mereka sudah mampu mengatasi capai, lelah, dan ngantuk, bahkan justru meningkatkan militansi mereka, kesiapan mereka untuk berjuang.
Kedua, problem transformasi karakter organisasinya, yakni birokratisme (bahkan prosedural) untuk menerima masukan atau pengaruh dari luar.
JPS: Hambatan-hambatan apa yang tengah dihadapi gerakan buruh?
DI: Banyak serikat buruh yang masih cenderung apatis—bila kepentingan sektornya terancam baru lah mereka bergerak—sehingga mereka tak mampu masuk ke dalam kancah politik sebagai bagian, atau pimpinan, politik masyarakat.
Yang lainnya adalah, dengan alasan sebagai konsekuensi ideologis. Banyak serikat buruh (yang masih kecil) enggan bergabung atau mengintervensi massa buruh (yang paling luas dan paling banyak) yang paling teorganisasi, padahal Marx atau pun Lenin menganjurkannya—sebagai konsekuensi dari pergerakan yang materialis, bukan idealis. Kaum materialis, bila hendak memajukan kesadaran massa secara luas harus berkumpul dan mengintervensi massa luas yang paling terorganisasi, menjadikan teori sebagai senjata spiritual massa—dan bila teori sudah mendekam di kepala massa luas buruh, barulah kita bisa berharap gerakan buruh akan menjadi kekuatan politik yang maju dan kuat. Jika tidak, maka mereka tidak akan tahu dan mengerti bahwa di dalam wadah yang besar itu terdapat calon-calon pimpinan yang memang radikal dan mau berkorban.
Kesulitan lainnya adalah demokrasi mulai terancam sekarang, dan respon gerakan buruh terhadap ancaman demokrasi belumlah selayaknya. Ambil contoh kasus Freeport, sejak tanggal 11 sudah ada upaya pembunuhan terhadap pimpinan PUK-SPSI Freeport, namun SPSI (dan persatuan gerakan buruhnya) tidak merespons dengan selayaknya sehingga tak berapa lama kemudian terjadi pembunuhan-pembunuhan anggota serikat buruhnya,—hanya mengandalkan lobby ke DPR, KOMNASHAM, dan audiensi ke Presiden. Negara (represif) tentu saja akan berpikir bahwa mereka bisa ditindas, sehingga terjadi lagi kasus represi di Batam, Mesuji dan lain sebagainya—bahkan di Bekasi para pengusaha bisa mendatangkan marinir, Brimob, polisi dan Kostrad di halaman-halaman pabrik; dan di Tangerang mereka menempatkan 7-8 Kostrad bertenda di setiap pabrik, sehingga buruh-buruh tak mampu mewujudkan rencana menutup kawasan industri. Pelaku kekerasan dan penembakan dalam kasus-kasus itu dibiarkan. Tidak ada perlawanan. Bila demokrasi terancam, dan dibiarkan, maka upaya buruh untuk menuntut kesejahteraan (apalagi tuntutan politik) akan menjadi semakin sulit. Padahal, secara sosiologis dan historis, tak ada landasan bahwa tentara, polisi, dan aparat lainnya akan proburuh dan prorakyat. Sudah terbukti dalam sejarah Indonesia sendiri, bahwa bila buruh bersatu, rakyat bersatu, maka tentara, polisi dan aparat lainnya tak akan punya daya.
Nah yang penting lagi untuk disoroti adalah penjajahan asing. Hampir seluruh ekonomi kita dikuasai perusahaan asing. BUMN-BUMN (yang, bahkan bagus, dapat menghasilkan keuntungan) dijual obral. Padahal, sebanyak-banyak perusahaan asing, tetap saja tak mampu menyerap tenaga kerja sepenuhnya, apalagi industrialisasi nasionalnya pun nihil. Bagaimana mungkin kita bisa mewujudkan industrialisasi nasional yang dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak dan luas, bila sebagian besar keuntungan dan sektor usaha dikangkangi asing, sementara pengangguran terus meningkat dan daya beli masyarakat terus menurun. Belum lagi persaingan di antara perusahaan semakin menajam (hingga mampu membangkrutkan perusahaaan-perusahaan lainnya dan mematikan pasar perusahaan-perusahaan lainnya). Sebagai contoh barang-barang Jepang dan Korea yang mulai tak terjangkau oleh kelas menengah bawah (apalagi kelas bawah), sehingga harus digantikan oleh barang-barang China (yang murah tapi rendah kualitasnya). Datangnya barang-barang China makin menghilangkan kemampuan (pasar) Industrialisasi nasional.
JPS: Bagaimana keadaan serikat buruh lainnya?
DI: Problem pokok serikat buruh lainya adalah bagaimana mereka melakukan persatuan dengan dan intervensi ke dalam serikat buruh dengan massa besar dan paling terorganisasi. Dan itu telah dilakukan beberapa kali, walau masih terjadi perbedaan-perbedaan dan kesalahpahaman-kesalahpahaman. Yang terbaik, walaupun kadang dalam bentuk aksi terpisah namun pada waktu yang sama, adalah saat aksi tanggal 27 itu dan aksi menolak kenaikan harga BBM.
Serikat-serikat buruh yang kecil-kecil sedang mengalami kesulitan dalam memajukan gerakannya. Aku selalu sedih menyadari hal itu. Mereka seharusnya memahami betul realitas dan takzim memaknai apa itu program transisi dan kompromi—kadang tuntutannya tak bisa dipenuhi sesuai dengan keinginan program sejati kita, namun, sebagaimana salah satu manfaat persatuan dan faedah berkompromi, kita bisa mendapatkan keuntungan lainnya: mobilisasi massa buruh yang lebih besar, yang dapat meningkatkan kepercayaan diri dan keberanian buruh (dan sebagai tabungan) untuk melakukan tuntutan yang lebih tinggi kadar manfaatnya bagi buruh-rakyat (dengan resiko yang lebih besar) dan, selain itu, merupakan ajang bagi agitasi-propaganda tuntutan-tuntutan yang sejati.
JPS: Sejauh mana kompromi itu bisa dilakukan?
DI: Contohnya, kenaikan upah yang bisa disepati maksimal Rp 400 ribu (tertinggi dalam sejarah FSPMI), sementara kondisi obyektif—apapun alasannya—untuk mendorongnya lebih jauh sangatlah sulit, walaupun sudah tutup kawasan industri. Kenaikan sedemikian saja sudah digugat Apindo dan dihadang tentara. Jadi kita harus menghadapi itu, selain hal-hal lain seperti, misalnya, kesadaran massa dan pimpinannya. Selama tidak kontra-produktif kompromi bisa dilakukan, apalagi terdapat keuntungan lain, yakni kemampuan mobilisasi (sereformis apapun) sebagaimana dijelaskan di atas—aksi pentupan kawasan tersebut merupakan mobilisasi terbesar (dalam 10 tahun terakhir) yang mencapai hingga lebih dari seratus ribu dari 7 kawasan industri.
Keuntungan lainnya adalah, dalam keadaan gerakan masyarakat lainnya lemah, paling tidak, harapan (politik) rakyat bisa meningkat dan kesejahteraannya (walau) sedikit terangkat. Titik terjauhnya, hasil dari peningkatan kesejahteraan dan peningkatan militansi tersebut, buruh punya waktu untuk belajar dan berjuang. Dengan naiknya upah, diharapkan buruh berani tidak lembur lagi, tapi berjuang, ada basis material untuk memudahkan mereka berjuang. Dia bisa meluangkan waktunya untuk belajar, untuk melawan, dan berkesadaran lebih tinggi.
Sebetulnya, tuntutan yang lebih besar itu tidak mungkin tanpa desakan, apalagi tentara semakin kuat. Bohong besar jika tentara mau melakukan reformasi. Jangankan aksi dengan tuntutan lebih tinggi, aksi mogok biasa saja, itu ‘baju hijau’ selalu hadir, padahal tak diperbolehkan oleh Undang-Undang. Saatnya mempersatukan diri. Sehingga memberanikan sektor-sektor masyarakat lain juga bersatu. Rakyat percaya dengan kekuatan mereka, dengan kekuatan persatuan, dan mempercepat kepemimpinan pergerakan alternatif.
Hasil reformis (mau tak mau, sejalan dengan realitanya) dalam tahap perjuangan tidaklah ditabukan, asal kita mampu mendorongnya lebih maju lagi. Perjuangan itu jangan diidealisasi. Analoginya, kalau kita sedang membawa barang-barang ke atas tangga, lalu ketemu orang dan minta tolong. Dan orang tersebut menjawab, ‘Aku hanya bisa membantu sampai di bawah tangga.’ Ya kita terima saja pertolongan tersebut, nanti, di bawah tangga tersebut kita bisa mencari pertolongan lainnya, atau paling tidak beban kita sudah berkurang. Hal tersebut tidaklah bisa dikatakan sebagai gradualis dan pragmatik (kita tetap mengusahakan agar barang-barang tersebut sampai ke atas tangga).
JPS: Bagaimana dengan peran pendidikan yang dilakukan LSM?
DI: Pengaruh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), terutama LSM yang berkarakter sosial-demokrat, adalah yang paling dominan, namun itu masih belum mencukupi di kalangan serikat buruh. Pendidikan-pendidikan LSM pun jarang melibatkan pendidikan politik dan ideologi. Paling pendidikan perburuhan, hukum, advokasi, bagaimana cara membuat PKB, keterampilan berunding, jaminan sosial, pemahaman (tanpa perbandingan bahan primer) terhadap ideologi selain sosial-demokrat, dan lain sebagainya. Konsepsi gerakan massa pun sekadar mogok. Bahkan, banyak siasat-siasat mogok yang tidak diajarkan. Misalnya, apa syarat-syarat mogok supaya berhasil, syarat apa yang harus dipenuhi. Itu pun tidak banyak dipelajari. Tidak ada pendidikan agar buruh bisa mengenali karakter dan kondisi situasi pabrik dan bagaimana meneguhkan kekompakan saat diserang kapitalis dan negara. Dan, sayangnya, banyak serikat buruh (kiri) yang menolak karakter pendidikan seperti itu sehingga, apalagi banyak aktivisnya tak berlatar belakang buruh dan gerakan serikat buruh, mereka tak paham masalah-masalah perburuhan reformis dan tak mampu menangkap logika serikat buruh reformis—sehingga sulit menawarkan alterntifnya—misalnya, banyak buruh dan pimpinan serikat buruh reformis hanya melihat UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sekadar dari pelanggarannya, tidak dibedah apakah Undang-Undang tersebut sudah benar dan baik bagi kehidupan buruh. Dalam hal outsourcing, misalnya, mereka hanya mempersoalkan pelanggaran dalam penempatannya (di core business), bukan mencabut pasal outsourcing dari Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut.
JPS: Dalam kondisi sekarang relasi serikat buruh, partai politik dan negara itu seperti apa?
DI: Reformasi memunculkan aktor-aktor baru, yang tidak diketahui asal-usulnya, bahkan sebagian besar tidak turut dalam gerakan menjatuhkan Soeharto dan gerakan reformasi. Namun mereka bisa mencuri panen, hasil gerakan penjatuhan Soeharto dan gerakan reformasi. Begitu banyak pencurinya, dan setelah berkuasa, mencuri lagi (uang rakyat) dan menyalahgunakan wewenang. Partai politik sekarang ini, kalau kita kaji dari pengetahuan dan pengalaman politiknya, dianalisis secara sosiologis dan historis, tidak memiliki landasan untuk menjadi benar dan sayang pada rakyat.
Reformasi hanya bisa dinikmati oleh orang yang berduit (bahkan dengan harus mencuri uang rakyat). Wiranto, Prabowo, Surya Paloh, dan yang lainnya tak punya massa dan pengalaman pergerakan, namun tiba-tiba bisa mampu punya struktur partai di mana-mana, sehingga bisa memenuhi syarat ikut dalam pemilu, itu karena mereka punya duit, apalagi UU Pemilu sekarang hanya menguntungkan orang berduit. Alternatifnya apa? Menumpangkan orang kita ke partai lain, yang mudah-mudahan amanah. Sulit berjuang di dalam partai yang banyak banditnya, keculai kita punya daya tekan massa sendiri (yang dapat menghindari upaya recall terhadap orang kita oleh bandit-bandit tersebut saat orang kita tersebut amanah).
Tadi sudah dipaparkan situasi kemunduran dan ada juga kemajuan yang menggembirakan, rachmat, sekarang bagaimana caranya agar kemajuan (rachmat) tersebut dapat diakumulasikan. Itulah problem sebenarnya. Dalam Islam dikatakan bahwa Allah melarang umatnya berputus asa terhadap rachmat (Allah). Jika kita berputus asa, maka kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sesat. Artinya, kita harus mengakumulasikan kemenangan-kemenangan yang telah diraih, agar jangan sesat, dan bila kita tak mengerti rachmat, kemajuan-kemajuan yang telah kita capai, itu sama juga dengan orang yang tak tak sadar bahwa kita telah memiliki senjata, kekuatan, untuk melangkah lebih jauh. Dan kemajuan-kemajuan tersebut harus disebarluaskan dengan sabar.
Serikat harus membuat partai politik sendiri. Sebagai taktik, sah-sah saja untuk menumpang ke partai lain, tapi menyulitkan, dan harus memiliki pamungkas terhadap efek sampingannya, seperti yang saya sudah jelaskan tadi. Banyak kepentingan-kepentingan (tak amanah) yang ada di dalam partai yang ditumpangi itu. Ditambah pula, mereka tidak pernah punya pengalaman berjuang dan menyayangi rakyat, kalapun berjuang itu basa-basi. Sampai memalukan. Coba saja diselidiki. Ini harus seperti Brazil, pekerja punya partai sendiri yang, dalam beberapa hal antineoliberalisme, dan upaya itu bisa diwujudkan dalam kondisi seperti sekarang ini.
Kawan-kawan buruh beserta pimpinannya harus sadar bahwa mereka harus memimpin negara bersama kelompok-kelompok lain yang sama-sama berjuang, agar upaya mencapai, mewujudkan program yang sejati membahagiakan rakyat dapat lebih mudah diraih.
JPS: Bagaimana supaya tidak terjebak dalam demokrasi parlementarian?
DI: Pada dasarnya, demokrasi (liberal sekalipun) menguntungkan kaum proletar, bila kita bisa terus menerus memanfaatkan dan mendorongnya lebih jauh. Lenin mengatakan bahwa demokasi (borjuis) akan menguntungkan borjuis, namun akan lebih menguntungkan proletar bila bisa didorong sepenuh-penuhnya. Bahkan Lenin mengkategorikan berbagai macam demokrasi yang paling menguntungkan bagi pergerakan. Kebebasan berbicara, kebebasan beroganisasi, penghargaan terhadap HAM, terlibat dalam pemilu, duduk dalam jabatan-jabatan trias politica, dan lain sebagainya, merupakan landas-pijak bagi GERAKAN MASSA untuk bergerak maju. Terus dorong sampai bisa menggiring banyak massa, menyadarkan banyak massa akan tujuan sejatinya, sampai titik strategis perjuangan buruh, … Titik strategisnya adalah demokratisasi tenaga produktif—manusia dan alat-alat/sarana-sarana produksinya, tak peduli dia lelaki atau perempuan, berkulit hitam, putih, coklat atau kunig, tak peduli matanya belok atau sipit, tak peduli beragama apapun, dan lain sebagainya. Masalahnya, siapa yang harus mengatakan titik strategis kita dalam demokrasi seperti itu? Ketika kesempatan-kesempatan demokrasi semakin banyak dan luas. Siapa yang akan memimpinnya.
JPS: Bagaimana dengan pengalaman praktik, seperti pernah dilakukan oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD)?
DI: Keberhasilan-keberhasilan dan kegagalan-kegagalannya memberikan pelajaran. Orang mengeluhkan kenapa pecah? Justru lebih baik pecah! Karena, dengan demikian, terdapat kemungkinan alternatif. Bayangkan, tega-teganya mereka masuk partai yang bejat dan dahulu menculik, menganaiaya, dan membunuh kawan-kawan mereka. Ini bukan soal moral politik, tapi itu tindakan kontradiktif, kontraproduktif di hadapan massa, sehingga menyulitkannya untuk menang, apalagi mereka tak punya penyangga massa atau tak mau menggunakan massanya untuk melawan penyelewengan atau recall terhadap calon-calon mereka. Katanya harus mengubah dari dalam. Teorinya, masuk dan mengubah di dalam. Tapi kalau dari awal masuk sudah kontradiktif dan kontraproduktif, bagaimana mungkin mau menang? Apakah memang benar ada perubahan di dalam? Atau malah justru kekayaan perorangan mereka yang masuk ke dalamnya menjadi semakin bertambah, dan hidupnya semakin hedonis?
Yang sudah berhasil justru pergerakan teman-teman di Batang, mereka berhasil memasukkan anggotanya di DPRD dan menjadi bupati (yang sekarang). Di Batang mereka memanfaatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), tapi mereka punya penyangga massa untuk melawan efek buruk menumpang di partai lain, dan dapat menggenggamkan kesadaran pada calon-calonnya untuk melaksanakan platform program-program yang harus dilaksanakan oleh calon-calonnya, serta mereka pun berketetapan akan me-recall atau menjatuhkannya bila calon-calon tersebut tidak amanah. Kekuatan kawan-kawan di Batang adalah adanya kontrol oragnisasi dan rakyat terhadap wakil mereka di pemerintahan dan parlemen. Nah, sampai sekarang, itu salah satu siasat yang berhasil di tingkat kabupaten.***
Wawancara ini sebelumnya telah dimuat di Jurnal Perburuhan Sedane