Memikirkan Kembali Relasi Manusia dan Alam

Print Friendly, PDF & Email

Judul Buku: Materialisme Dialektis: Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer
Penulis: Martin Suryajaya
Penerbit: Resist Book, 2012
Tebal: 377 h. + xvi

 

TESIS utama buku Martin Suryajaya yang berjudul Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer adalah materialisme dialektis atau ekonomi sebagai satu-satunya epistemologi atau teori pengetahuan Marxisme yang sahih di mana setiap pemikiran yang mengklaim diri Marxis harus lulus dari ujian epistemologi dan metodologi materialisme dialektis atau ekonomi. Dengan kata lain, Materialisme Dialektis adalah rekonstruksi ulang teori pengetahuan Marxisme yang dicetuskan Vladimir I. Lenin lewat Materialisme dan Empirio-Kritisisme dengan memanfaatkan pemikiran Quentin Meillassoux dan Bertrand Russell.

Rekonstruksi materialisme dialektis Lenin menyangkut dua aspek. Pertama, rekonstruksi justifikasi realisme-epistemologis dari materialisme dialektis Lenin melalui pemikiran Quentin Meillassoux. Kedua, modifikasi metodologi dialektika pada materialisme dialektis Lenin dengan menginjeksikan doktrin relasi eksternal dari Bertrand Russell atas doktrin relasi internal dialektika versi Lenin.

Buku Materialisme Dialektis terbagi dalam tiga bagian yang berisi tujuh bab. Bagian pertama bertajuk ‘Posisi’ berisi (1) ‘Lenin dan Realisme’ serta (2) ‘Meillassoux dan Materialisme Spekulatif’; bagian kedua bertajuk ‘Kritik’ berisi (3) ‘Mengenang Tran Duc Thao: Kritik atas Fenomenologi’, (4) ‘Hegemoni dan Strategi Liberal: Kritik atas Pasca-Marxisme’, (5) ‘Negara dan Perjuangan Kelas: Kritik atas Libertarian Sosial’, serta (6) ‘Roti Duniawi dan Roti Surgawi: Kritik atas Marxis-Otonomis’; dan bagian ketiga bertajuk ‘Problematisasi’ berisi (7) ’Marxisme dan Dilema Relasi Internal.’ Pada bagian akhir disertakan catatan ‘Penutup’ berjudul ‘Materialisme Dialektis dan Gerakan Kiri di Indonesia,’ yang merupakan pembumian argumentasi teoritis Materialisme Dialektis ke dalam realitas sosial-historis di Indonesia.

Pada bagian ‘Pengantar’ dan ‘Pendahuluan,’ Martin memperlihatkan dimensi historis proyek penulisan dan kehadiran buku Materialisme Dialektis. Dimensi historis itu adalah ‘filsafat kontemporer abad ke-20 yang diawali oleh fenomenologi Husserl telah memuncak pada idealisme Prancis’ (h. 12) sudah mengalami kebangkrutan. Sebagai jalan keluar mengatasi kebangkrutan itu, Martin menyatakan perlu dilakukan ‘destruksi atas sejarah ontologi kontemporer’ (h. 12) dengan jalan ‘[mengedepankan] materialisme’ (h.12). Martin melihat kemungkinan meneguhkan kembali materialisme itu ada pada pemikiran materialisme spekulatif Meillassoux—untuk selanjutnya, menginjeksikan materialisme spekulatif Meillassoux ke dalam pemikiran materialisme dialektis Lenin.

Bagian pertama buku Materialisme Dialektis adalah afirmasi posisi materialisme yang diambil Martin, yaitu mengafirmasi (secara kritis) materialisme dialektis Lenin dan materialisme spekulatif Meillassoux. Materialisme dialektis Lenin adalah membaca ‘materialisme’ dan ‘dialektika’ secara realis. Membaca ‘materialisme secara realis’ berarti ‘mengakui keberadaan dan objektivitas materi yang mendahului subjek (kesadaran) dan objek (keterberian pada kesadaran)’ (h. 53). Membaca ‘dialektika secara realis’ berarti ‘menunjukkan bahwa relasi internal adalah sesuatu yang mesti ditemukan melalui analisis, bukan dipostulasikan sejak mula’ (h. 66). Karena doktrin relasi internal ditemukan melalui analisis, Lenin, secara tidak langsung, dapat dinyatakan mengakui adanya aspek a priori dan menolak jatuh ke dalam idealisme. Agar tidak jatuh ke dalam idealisme, doktrin relasi internal Lenin diformulasikan dalam dua domain, yaitu ‘relasi internal dalam alam objektif (Domain I) dan relasi internal dalam hubungan antar-konsep (Domain II)’ (h. 67).

Adapun materialisme spekulatif Meillassoux, pertama-tama diarahkan sebagai kritik terhadap ajaran korelasionalisme epistemologis, yang mendapat justifikasi epistemologis lewat afirmasi kepurbaan dan formulasi ontologis hiper-Kacau (hyper-Chaos). Pemikiran Meillassoux menjadi dasar untuk memukul tendensi idealisme dalam filsafat kontemporer yang beroleh inspirasi dari korelasionalisme epistemologis yang dipelopori oleh Immanuel Kant, lalu dimutakhirkan oleh Edmund Husserl melalui metodologi fenomenologi. Korelasionalisme yang dimaksud adalah ‘ide yang menyatakan bahwa kita hanya memiliki akses terhadap korelasi antara pikiran dan Ada, dan tak pernah salah satunya yang dilihat secara terpisah dari yang lain’ (h. 84). Lantas, apa yang bermasalah dalam hal ini? Korelasionalisme bermasalah karena Ada hanya dapat didekati, pertama-tama dalam kualitas sekunder untuk kemudian dapat sampai ke kualitas primer—dengan kata lain: prioritas kualitas sekunder atas kualitas primer, tendensi subjektivitas atas objektivitas, tendensi idealisme atas materialisme.

Berhadapan dengan korelasionalisme, Meillassoux mengajukan posisi yang berbeda. Melalui problem ‘kepurbaan’ (ancestralité), Meillassoux membuktikan bahwa korelasionalisme dapat dilampaui karena ‘memikirkan kepurbaan adalah memikirkan suatu dunia tanpa pikiran—sebuah dunia tanpa keterberian dunia’ (h.117-8)—dalam kata lain, ada ‘realitas yang mendahului segala bentuk relasi antara manusia dan realitas’ (h. 103). Seperti sudah kita ketahui, korelasionalisme meyakini pikiran sudah berkorelasi dengan Ada—dalam kata lain, manusia berkorelasi dengan realitas. Persoalannya, di saat alam semesta terbentuk ‘13,5 milyar tahun lalu’ (h. 103), di saat manusia belum ada dan hal itu berarti pikiran juga belum ada, asumsi korelasionalisme runtuh. Fakta ‘kepurbaan’ memperlihatkan adanya realitas tanpa pikiran, ada dunia sebelum ada manusia. Melalui afirmasi fakta ‘kepurbaan’, kualitas primer mendapat prioritas daripada kualitas sekunder—kualitas primer adalah ‘sifat (property) benda pada-dirinya’ (h. 81) dan kualitas sekunder adalah ‘sifat benda-bagiku.’ Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa kualitas primer adalah kualitas yang tidak bergantung pada pengamat, keberadaan dan kesadaran pengamat. Kualitas primer tampil dalam pernyataan-pernyataan yang ‘dirumuskan secara matematis’ (h. 104). Keterpikiran realitas yang mendahului kesadaran dijamin dalam pernyataan matematis di mana acuan (référent) riil, yang terpisah dari kesadaran, menjustifikasi pernyataan ideal.

Setelah membantah ajaran korelasionalisme melalui non-korelasionalisme, pertanyaan selanjutnya yang dihadapi Meillassoux adalah memformulasikan secara ontologis realitas yang mendahului pikiran itu. Realitas yang mendahului pikiran itu adalah realitas ‘yang-absolut’ (h. 123), yang tak lain adalah ‘hiper-Kacau,’ ‘faktisitas radikal’ atau ‘kontijensi murni’ (h. 132). Kontijensi murni ini mengimplikasikan secara logis ‘tesis tentang kemenjadian segala sesuatu’ (h. 134), meski kemenjadian atau aktualitas dari terjadinya segala sesuatu itu belum dapat dipastikan acuan riil-nya.

Meski mendapatkan peneguhan dari pemikiran Lenin dan Meillassoux, daya kritis Martin terhadap keduanya tidak hilang. Terhadap Lenin, Martin mengkritisi doktrin relasi internal ‘terbatas’ Lenin, yang tampaknya masih berpotensi tergelincir ke dalam idealisme jika tidak ditopang oleh doktrin relasi eksternal Russell, yang meyakini ‘relasi [antar term-term] itu ada sebagai sesuatu yang riil dalam kenyataan ekstra-mental’ (h. 331). Terhadap Meillassoux, Martin mengkritisi ketiadaan penjelasan Meillassoux menyangkut ‘fakta purba’ di wilayah sosial. Pada bagian ketiga, “Problematisasi,” Martin mengelaborasi pemikiran Lenin, Meillassoux dan Russell melalui peng-ontologi-an ekonomi. Ekonomi diformulasikan sebagai penerimaan atas doktrin relasi internal Lenin sebatas subjektivitas di mana subjektivitas itu hanya dapat diterima bila mendapat justifikasi dari objektivitas, yaitu doktrin relasi eksternal. Ekonomi yang diformulasikan Martin sebagai ‘produksi dan reproduksi syarat-syarat keberadaan material masyarakat’ (h. 339) tak lain adalah ’fakta purba’ di wilayah sosial yang tidak ada dalam pemikiran Meillassaoux yang dirujuk Martin.

Pada bagian kedua, Martin mengritik pemikiran Marxisme kontemporer—di mana, secara tersirat, ulasan kritis pada bagian pertama menjadi landasan bagi kritik terhadap pemikiran Marxisme kontemporer. Martin mengkritik demokrasi radikal Laclau-Mouffe, yang tertuang dalam Hegemoni dan Strategi Sosialis. Emansipasi memang tampil dalam pemikiran Laclau-Mouffe melalui ‘pembangunan subjek kolektif yang dirumuskan dalam kehendak kolektif’ (h. 214)—karena itu, jika hanya melihat kemungkinan emansipasi, pemikiran Laclau-Mouffe memang masih dapat dinyatakan sebagai pemikiran Marxisme. Namun, ketika Laclau-Mouffe ‘meninggalkan ide tentang revolusi sebagai konfrontasi kelas’ (h. 216), pemikiran Laclau-Mouffe tidak dapat dinyatakan sebagai pemikiran Marxisme. Alasannya, peniadaan basis-suprastruktur, peniadaan dua domain relasi internal Lenin, mengimplikasikan kekhasan pemikiran Marxisme menjadi lenyap. Karena demokrasi radikal dihasilkan dari penghilangan kelas, maka, bagi Martin, demokrasi radikal Laclau-Mouffe tak lain adalah liberalisme.

Setelah mengritik demokrasi radikal Laclau-Mouffe, Martin mengritik posisi liberatarian sosial John Holloway, pengarang Change the World Without Taking Power. Holloway berada dalam posisi ‘memikirkan pembebasan tanpa mengambil alih ‘mesin negara … karena kekuasaan-sebagai-penindasan (power-over, potestas) inheren dalam bentuk-Negara (State-form) itu sendiri’ (h. 240-1). Tendensi emansipasi Holloway tampil melalui, dalam posisi ekstrem, peniadaan negara—dan peniadaan negara merupakan tujuan pemikiran Marxisme. Namun, jika ditelisik lebih jauh, tesis Holloway jelas bertentangan dengan pemikiran Marxisme yang melihat ‘Negara adalah produk dari masyarakat’ (h. 254), ‘Negara … situs perjuangan kelas’ (h. 255)—dan dengan demikian, pemikiran Holloway bukanlah pemikiran Marxisme. Tanpa negara, tidak ada perjuangan kelas—dan peniadaan negara sebagai situs perjuangan kelas mengimplikasikan ketiadaan perjuangan kelas itu sendiri. Namun, bukankah peniadaan negara menjadi tujuan pemikiran Marxisme? Atas pertanyaan ini, Martin mengajukan jawaban ‘karena negara adalah ekspresi dari perjuangan kelas, maka negara dapat dibatalkan melalui perjuangan kelas’ (h. 268). Dalam kata lain, penerimaan terhadap peniadaan negara versi Holloway berarti mengabaikan doktrin dua domain relasi internal Lenin.

Kritik berikutnya diarahkan pada para pemikir Marxis-otonomis, yaitu Antonio Negri dan Michael Hardt, keduanya berkolaborasi mengarang Empire, Multitude, dan Commonwealth; serta Paolo Virno, pengarang Virtuosity and Revolution: The Political Theory of Exodus. Kekeliruan pertama Negri-Hardt adalah mengafirmasi kerja imaterial, ‘”kerja yang memproduksi isi informasional dan kultural dari komoditas”’ (h. 277). Namun, bukankah sesungguhnya ‘kerja imaterial mensyarakat kerja material’ (h. 284)? Sederhananya, bukankah muatan informasi dan kultural dari tas kulit ‘Hermes’ tidak akan dapat diakses tanpa adanya tas kulit ‘Hermes’ itu sendiri? Kekeliruan yang berikut dari Negri-Hardt adalah mengafirmasi adanya ‘kumpulan orang yang berbeda satu sama lain dan tak bisa ditempatkan dalam sebuah kategori umum yang merangkum kesamaan mereka’, atau disebut sebagai ‘multitude… (kerumunan)’ (h. 309). Afirmasi multitude mengimplikasi peniadaan kelas, sebagaimana yang dinyatakan dalam demokrasi radikal Laclau-Mouffe. Karena mengabaikan kerja material dan meniadakan kelas dengan jalan mengafirmasi keberadaan multitude (yang mendapat justifikasi ontologis dari kerja imaterial), pemikiran Negri-Hardt tak lagi dapat dinyatakan sebagai pemikiran Marxisme. Adapun kekeliruan Virino adalah mengidentikkan kapitalisme dengan kerja, ‘karena kapitalisme adalah rezim yang berbasis pada kerja, dengan meninggalkan kerja atau menolak untuk kerja maka kita telah menyerang kapitalisme’ (h. 300). Persoalannya, bukankah Karl Marx mendasarkan pemikirannya pada kerja (labour)—dan bukankah hal itu yang membedakan Marx dengan gurunya, Hegel, yang berpijak pada konsep nalar (reason)? Dan bukankah afirmasi terhadap ‘kerja imaterial’ berarti juga mengabaikan materialitas dari kerja itu sendiri, mengabaikan posisi ‘metafisis’ pemikiran Marx, basis dan suprastruktur?

Berbeda dengan tiga bab lainnya dalam bagian kedua, bab ketiga ‘Mengenang Tran Duc Thao: Kritik atas Fenomenologi’ mengulas kritik terhadap pemikiran metodologi fenomenologi Husserl. Kritik Thao terhadap fenomenologi Husserl menyangkut dua hal, pertama, kritik terhadap keterberian realitas pada kesadaran dan kedua, tendensi idealisme pada pemikiran Husserl. Kritik terhadap intensionalitas kesadaran, yang bekerja melalui struktur korelatif noesis-noema, sesungguhnya terjadi melalui asumsi keterberian realitas kepada kesadaran. Terhadap posisi ini, Thao menyatakan kritik, ‘realitas tidak memberikan dirinya pada kesadaran secara kognitif saja, melainkan memberi dirinya sebagai sesuatu untuk diolah melalui kerja’ (h. 198). Sementara itu, tendensi idealisme dalam pemikiran Husserl muncul ketika Husserl, melalui reduksi transendental fenomenologis, menemukan ‘kesadaran murni’ (pure consciousness) atau ego transendental yang berperan mengkonstitusi dunia atau realitas—dan hal ini berarti menunjukkan prioritas kesadaran atas realitas di luar kesadaran. Karena itu, Thao mengkritik idealisme transendental ‘dengan [jalan] kembali pada realisme’ (h. 196). Akhirnya, melalui kerja dan ‘kembali pada realisme’, Thao merekonstruksi ‘dunia-kehidupan (Lebenswelt) pra-reflektif yang dimungkinkan oleh ego transendental dan menjadi konteks bagi pemaknaan subjektif atas dunia tidaklah lain daripada ekspresi kultural dari modus produksi kehidupan material yang menjadi basis dari kerja’ (h. 199). Berbeda dengan Meillassoux yang ‘mendestruksi’ fenomenologi dengan non-korelasionalisme, Thao malah ‘merekonstruksi’ fenomenologi dengan membalikkan prioritas kesadaran atas realitas Husserlian, atau idealisme, menjadi prioritas realitas atas kesadaran, atau realisme.

Catatan Kritis

Setidaknya, menurut saya, ada tiga catatan penting yang harus dipertimbangkan kembali dalam buku Materialisme Dialektis. Pertama, menyangkut skenario hiper-Kacau dari Quentin Meillassoux. Kedua, menyangkut potensi kemenduaan posisi Martin dalam hubungannya dengan problematisasi Thao atau Meillassoux. Dan ketiga, menyangkut meditasi kontra-Cartesian demi menemukan justifikasi atas pengontologian ekonomi.

Martin sudah menyadari bahwa skenario hiper-Kacau Meillassoux juga berlangsung pada ranah kosmologi. Pertanyaannya, bagaimana Meillassoux menautkan pemikiran akan hiper-Kacau dengan keberadaan manusia? Melalui konstruksi pemikiran Meillassoux sendiri, setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan manusia di dalam semesta hiper-Kacau dijamin oleh prinsip antropik lemah—atau dengan kata lain, keberadaan manusia dalam galaksi Bima Sakti adalah kontijensi dari semesta hiper-Kacau. Atau keberadaan semesta atau galaksi Bima Sakti ini sendiri adalah kontijensi dari semesta hiper-Kacau. Pertanyaan berikutnya, jika memang keberadaan manusia ditopang asas antropik lemah, lantas bagaimana menjelaskan pendekatan saintifik dari sosialisme Marx? Atau, bagaimana pemikiran Marxisme meneguhkan tesis jaminan pembebasan kelas melalui konflik antara kelas proletar dan borjuis yang akan terjadi secara niscaya dalam perjalanan sejarah? Singkatnya, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan sejarah dalam pemikiran Meillassoux dan bagaimana keniscayaan sejarah dijamin dalam pemikiran Meillassoux?

Kedua, menyangkut adanya potensi kemenduaan di dalam buku Materialisme Dialektis. Meski paparan tentang Thao ditempatkan dalam bagian kedua, ‘Kritik,’ saya tetap saja melihat ada potensi kemenduaan antara Thao dan Meillassoux. Bukankah proyek ‘destruksi fenomenologi’ dari Meillassoux sesungguhnya bertentangan dengan proyek ‘rekonstruksi fenomenologi’ Thao? Lantas, sesungguhnya di mana posisi Martin terhadap fenomenologi? Apakah hanya menerima posisi Meillassoux, dalam pengertian menolak fenomenologi, atau hanya menerima posisi Thao, dalam pengertian menerima fenomenologi?

Ketiga, meditasi kontra-Cartesian yang dilakukan Martin pada halaman 334 hingga 338 ternyata tidak cukup menyakinkan untuk menjustifikasi prioritas realitas eksternal atas kesadaran. Melalui meditasi kontra-Cartesian, Martin sampai pada ‘kesimpulan absolut tentang oksigen sebagai realitas eksternal’ (h. 338). Secara sederhana, meditasi kontra-Cartesian Martin dapat diformulasikan ke dalam pernyataan: ‘saya tidak dapat ada, tanpa adanya oksigen’ atau ‘tanpa adanya oksigen, saya tidak ada.’ Meditasi kontra-Cartesian versi Martin jika dibandingkan dengan meditasi Cartesian yang berbunyi ‘saya berpikir, maka saya ada,’ segera memperlihatkan betapa meditasi kontra-Cartesian versi Martin tidak begitu meyakinkan. Meditasi Cartesian secara intuitif dapat menjadi bukti-langsung yang jelas dengan sendirinya (self-evidence), yang tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut di luar dari pernyataan itu sendiri—hanya dengan ‘berpikir,’ kita dapat langsung, secara intuitif mengerti ‘ada.’ Namun, meditasi kontra-Cartesian versi Martin tidak memberikan bukti-langsung yang jelas dengan sendirinya. Jika meditasi kontra-Cartesian versi Martin ditransformasi ke dalam bentuk meditasi Cartesian, maka meditasi kontra-Cartesian versi Martin akan berbunyi ‘oksigen ada, maka saya ada.’ Apakah dengan ‘oksigen’ kita dapat mengerti ‘ada?’ Tentu tidak. Oleh karena itu, pernyataan ‘oksigen ada, maka saya ada’ hanya dapat dipahami setelah diberi penjelasan lebih lanjut, penjelasan yang berasal dari luar pernyataan itu sendiri, dalam hal ini mengacu pada paparan Martin. Oleh karena itu, jelas meditasi kontra-Cartesian versi Martin tidak semeyakinkan meditasi Cartesian. Saya mencurigai ketakmeyakinkan pernyataan ‘saya tidak dapat ada tanpa adanya oksigen’ disebabkan oleh perubahan skeptisisme metodis pada Descartes menjadi skeptisisme ontologis pada Martin.

Untitled

Epilog

Materialisme Dialektis memperlihatkan kemungkinan menghidupkan kembali gagasan Karl Marx, sekaligus memetakan tantangan yang dihadapi oleh pemikir manapun yang hendak menghidupkan kembali gagasan Karl Marx di zaman kontemporer. Martin, melalui Materialisme Dialektis, telah memetakan jalan yang (tampaknya) ia tempuh dalam upayanya menghidupkan kembali gagasan Karl Marx, yakni dengan membaca kembali kelahiran epistemologi modern, yang entah bagaimana, malah melahirkan tradisi pemikiran kontemporer, yang tampaknya semakin memisahkan manusia dengan alam, pikiran dengan realitas.

Materialisme Dialektis, dengan demikian, adalah proyek memulihkan kembali relasi antara manusia dan alam, pikiran dan realitas.

David Tobing, Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF)  Driyakara, Jakarta

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.